NARUTO (C) MASASHI KISHIMOTO
(We don't take any profit by publishing this fict)
WARNING: AU & OoC
Somewhere I Belong
chapter 1: Side Effect?
.
.
"Menyedihkan," gumamnya sambil menatap tajam pemuda yang duduk di depannya. "Setelah semua yang kita lalui, kau memutuskan untuk menyerah?"
Pemuda di depannya tidak merespon, tapi wajahnya yang kian memucat makin membuatnya kesal.
Mereka sudah menjadi kekasih selama 2 tahun. Mereka membagi hal-hal manis, membagi keluh kesah, mereka membagi cinta. Dan sekarang si brengsek ini ingin putus?!
Hell.
Seharusnya ia tahu ini akan terjadi.
Seharusnya ia tidak pernah berharap.
"Kita memulai dengan cara yang salah." Gumaman itu terdengar dari pemuda yang masih menundukan kepalanya, kedua tangannya saling meremas dengan gugup.
Sasuke menghembuskan napas lelah, kedua kelopak matanya terpejam rapat berusaha menetralisir amarah yang kian menguasai pikirannya.
"Tidak, bukan kita, tapi kau yang mengakhirinya dengan cara yang salah." Diliriknya pemuda itu lagi. Sedikit merasa bersalah saat sosok itu yang biasa terlihat ceria, kini terlihat rapuh dan hanya bisa terduduk tak berdaya.
"Kau ingin semua berakhir? Baik, kita akhiri sampai disini." Ucapannya yang tak terbantahkan itu sedikit membuat pemuda dihadapannya terlonjak kaget. tapi Sasuke sudah tidak peduli. Ia sudah terlalu muak dengan semua ini. Dan batinnya sudah terlalu lelah untuk sebuah drama. "Menyingkirlah, dan aku akan melakukan hal yang sama."
"Sasuke." Panggilan lirih itu seketika menghentikan langkah Sasuke yang bergegas menuju pintu. " Aku tidak ingin semua ini berakhir. Beri aku waktu. Beri aku kesempatan menjelaskan pada orangtuaku, mereka akan mengerti dan kita bisa memulai semuanya lagi."
Kali ini tidak seperti yang diharapkan, bukannya luluh, Sasuke justru mendengus meremehkan. Seringaian mengejek yang tak pernah pemuda itu lihat makin membuat hatinya mencelos.
"Dewasalah. Bahkan sampai lidahmu terbakar, orangtuamu lebih senang memaksamu menikah dibandingkan mengakui bahwa putra kebanggaan mereka ternyata penyuka sesama jenis. Lagipula aku lebih senang mencari mainan baru daripada menunggumu"
Dengan kalimat terakhirnya itu, Sasuke bergegas meninggalkan pemuda yang telah menghiasi harinya selama dua tahun terakhir ini.
Akhirnya semua selesai.
.
.
.
Hinata terduduk di sofanya yang empuk dengan murung.
Sahabatnya, sahabat keparatnya, menggedor pintu apartementnya pada pukul tiga dini hari. Gedorannya yang keras dan menyakiti telinga, membuatnya seketika terbangun dari mimpi indahnya. Ia akan dengan mudah memaafkan sahabatnya itu jika kedatangannya yang diluar jam normal berhubungan dengan hidup dan mati, bukannya karena patah hati.
Mana pakai mabuk segala lagi.
Yang lebih parahnya lagi, setelah muntah di karpet ruang tamu yang baru dibelinya minggu lalu, si sahabat dengan seenaknya memonopoli tempat tidurnya. Secara kurang ajar membiarkan sang tuan rumah tidur di sofa.
Jelas tidak ada gunanya berdiplomasi pada orang mabuk.
Dari awal, ia sudah merasa menjalin pertemanan dengan seorang Uchiha bukan ide bagus.
Sambil menggerutu sendiri, Hinata beranjak dari sofa dan membuka tirai jendela. Di luar masih sangat gelap dan masih terlalu pagi untuknya memulai hari. Hal itu makin membuatnya frustasi.
Ini hari Kamis, hari dimana jadwal mengajarnya penuh, tanpa jeda. Pagi hari ia harus mengajar kelas dua, menjelang siang ia harus mengajar kelas sebelah, setelah makan siang ada test untuk kelas tiga dan sebelum pulang, kepala sekolah mengharuskannya ikut rapat.
Memikirkannya saja sudah membuat Hinata lelah.
Dan semua ini gara-gara sahabatnya yang masih enak tidur!
Sialan, kalau saja sahabatnya itu laku dijual di murah. com, sudah dari dulu ia obral.
Menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, Hinata kembali menatap pemandangan gelap di depannya.
Sudah setahun ia tinggal di apartemen kecil ini dan sudah sepuluh tahun ia menjalin persahabatan dengan Sasuke Uchiha. Persahabatan, yang harus ia akui, hanyalah karena keterpaksaan.
Keluarga mereka sama-sama kaya, terpandang dan dihormati. Mungkin karena itupula ayahnya beranggapan akan menjadi hal bagus jika menjalin pertemanan dengan sesama keluarga berada. Mereka bisa saling membantu jika sesuatu mulai menjadi sulit.
Cara klasik yang ironisnya masih dipraktekan hingga saat ini.
Awal perkenalannya dengan Sasuke pun bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Usia mereka masih sangat muda saat itu. Hinata terlalu pemalu untuk memulai pembicaraan dan akan sangat panik saat ibunya meninggalkannya sendiri. Sementara Sasuke adalah anak terjudes yang pernah ia kenal dan Hinata kecil paling takut dengan yang mukanya sangar itu. Jadilah percakapan didominasi para orang tua yang saling melempar basa-basi membosankan.
Ia mengira itulah saat terakhir ia akan bertemu dengan anggota keluarga Uchiha itu, tapi sayangnya keluarganya punya rencana lain. Setiap bulan selalu ada pesta dan makan malam yang harus ia hadiri. Membuatnya dengan terpaksa menerima takdir bahwa ia akan sering menemukan wajah seram yang paling tidak disukainya.
Hubungan mereka berubah drastis saat Hinata mengetahui fakta tentang ketertarikan seksual Sasuke yang sedikit menyimpang. Bukan berarti ia keberatan. Semakin menyimpang seorang Sasuke, semakin nyaman Hinata berhubungan dengannya. Karena siapa pun yang telah lama mengenal Hinata akan tahu bahwa ia tidak pernah nyaman menjalin hubungan romantis dengan siapa pun. ketakutannya pada sentuhan intim membuatnya sedikit khawatir saat ia diharuskan bersosialisasi dengan lawan jenis.
Entah bagaimana semuanya berawal, kekurangan mereka menjadikan mereka dekat satu dengan yang lain.
Saking dekatnya, Sasuke tidak segan mengumbar kesialan padanya. Dimulai dari bangku sekolah dimana Hinata dijadikan tumbal bagi cewe-cewe yang haus darah yang mengejar Sasuke ke mana pun ia pergi. Di bangku kuliah, nasibnya tidak membaik karena Sasuke yang terus menempel ke mana pun ia pergi. Bukan dalam lingkup romantis seperti yang biasa dituduhkan orang-orang, tapi karena ia tahu Hinata mudah dimanfaatkan untuk mengerjakan tugasnya. Dan sekarang, takdir pun belum mau membagi sedikit keberuntungannya pada Hinata.
Menghela napas untuk yang terakhir kali, Hinata melangkahkan kakinya kekamar mandi. Sedikit tidak rela melepas kesenangan menatap langit gelap di luar sana. Tapi ia harus mandi, harus kerja dan harus memasak makanan mewah karena Sasuke yang patah hati bukan orang yang mudah dihadapi.
.
.
.
Setiap hari Sabtu, Hinata biasanya menghabiskan sore hari sepulang kerja dengan pergi ke kafe yang letaknya tak jauh dari tempatnya bekerja. Memesan sepotong kue dan secangkir coklat panas saat udara sedikit sejuk atau segelas jus buah saat hari terasa terik. Biasanya Hinata akan menghabiskan hampir dua jam hanya untuk duduk disana sambil membaca novel kesukaannya. Terkadang, ia hanya memesan minuman hangat, menghirupnya sedikit demi sedikit sembari menikmati pemandangan dibalik jendela disebelahnya. Memang tidak ada kegiatan khusus, tapi saat-saat seperti itulah yang selalu Hinata nantikan.
Sayangnya, hal itu berubah saat si judes menyerang.
Tak seperti dugaan awal, si nyebelin itu malah makin betah berkubang di kasur Hinata dan bukannya angkat kaki sesegera mungkin. Itu benar-benar menyebalkan, memang patah hati bisa separah apa?
Tidak, salah. Harusnya pertanyaannya adalah: memang tamunya sebebal apa?
Ayolah, mereka berdua punya kehidupan. Hinata dengan rutinitas monotonnya dan Sasuke dengan kegiatannya sendiri. Apa pun itu.
Hinata punya semacam jadwal yang sudah ia tekuni setahun ini. Pagi-pagi ia akan mandi lalu sarapan dengan sereal sambil membaca kembali materi yang akan ia ajarkan hari itu, berangkat kerja, pulang, mandi, menyiapkan makan malam, menyiapkan materi besok, tidur. Dan semua itu berubah menjadi: pagi-pagi ia akan repot memasak karena Sasuke lebih suka sarapan dengan menu lengkap kemudian ia akan mandi karena Sasuke tidak suka bau asap yang menempel ditubuhnya. Lalu ia akan berangkat kerja dan pulang dengan membawa sekantong belanjaan. Belum lagi tetek bengek lain yang secara misterius ada sejak lelaki itu menginvasi tempat tinggalnya.
Aish, Kapan laki-laki itu minggatnya ya?
"A-ano, Sasuke-kun." Panggil Hinata ragu saat mereka tengah menyantap makan malam dihari ke 10 Sasuke menginap.
"Hn?"
"Ka-kapan kau akan pergi?"
Shiiiiinggg~
Setelah pertanyaan itu terlontar, terjadi kesunyian mencekam yang membuat Hinata menelan ludah dengan grogi. Ada perasaan tak enak hati yang menggerogoti tengkuknya.
"Kau mengusirku?" tanya Sasuke dengan wajah dan nada suara datar andalanannya. Seharusnya di detik ini Hinata menjawab 'ya' dengan lantang. Ini kesempatan. Sasuke sudah menghancurkan rutinitasnya, sudah mengganggu kenyamanan hidupnya dan sudah merusak kedamaian jiwanya. Wajar dong Hinata ngusir tamu kurang ajar itu. Namun, melihat tatapan Sasuke sekarang, Hinata ngeri juga.
"Ti-tidak, aku hanya ingin tahu sampai kapan kau mau tinggal di sini."
Crap!
"Hn, aku akan tinggal selama yang diperlukan."
Double crap!
.
.
Dan kehidupannya makin mencemaskan saat keesokan harinya Hinata menemukan sepucuk surat yang diketik rapi terselip di pintu apartemennya.
Tidak ada nama ataupun alamat si pengirim. Hanya selembar kertas polos bertuliskan: Aku mengetahui rahasiamu, Uchiha Sasuke.
.
.
.
To be Continued
Authors' Note:
Yeeeiiii ini fanfict collab pertama kami (Grey Chocolate dan kaede airi) semoga kalian suka ^_^. ayo tebak, chapter pertama ini ditulis siapa? #plakk
terima kasih sudah membaca.
Review?
