Hidup di mata kami, kurang lebih seperti ini. Bacalah, mungkin kau akan mengerti.
Bunuh diri itu butuh keberanian. Karena kau yang menjemput maut, kau yang mengundang rasa sakit.
.
Ansatsu Kyoushitsu © Matsui Yuusei
Our Life By Zaky UzuMo
Koro-Hen #SA16
.
(bold) savior' POV
(bold) victims' POV
Setiap detak jantung, helaan napas. Yang kami hirup, yang kami bawa dan dengarkan setiap harinya. Beragam hal yang kami lewati, seluruhnya terasa menyesakkan.
_Hidup itu perih_
Horibe Itona
Berapa kalipun kami menghela napas, semuanya terasa kian penat berat. Kian sempit, merapat hampa. Apakah kata sakit masih dapat menjelaskan? Kurasa ya—dan tidak. Sebab kata apa lagi yang dapat menggambarkan, sakit yang kami rasakan?
_Hidup itu menyakitkan_
Shiota Nagisa
Inilah yang kami alami, dalam masa yang baru setua jagung. Denting-denting waktu, begitu ingin kami lewati. Bukan agar hari berganti, namun demi memangkas napas dalam diri.
_Hidup itu pahit_
Hazama Kirara
.
.
Kami bersama, tak mampu lagi merasakan empati. Tak dapat lagi mengerti makna simpati, dan terlalu lelah menangis—membagi kisah untuk ditangisi. Kami tidak butuh dikasihani. Kami tidak butuh tatapan itu, pandangan itu, semua kata-kata kosong itu—yang tidak bisa kalian tunjukan dalam tindakan, demi sebuah bukti.
Tahukah kalian, kami lelah mencoba, berdoa, menanti, dan berharap. Karena tiada satupun yang pasti. Segalanya, sebatas angan dan mimpi.
Maka bolehkah kami berhenti?
berhenti bernapas dan menjalani—hidup ini.
.
—StayAlive—
.
Akankah datang seseorang, yang sungguh-sungguh mengatakan, "Tetaplah hidup."
Tentu, akan ada.
.
—StayAlive—
.
Kau tidak perlu mati untuk melihat surga. Karena tanpa napas terhenti, kau telah mati. Dan jika kau sungguh-sungguh mencabut nyawa dalam diri, tiada tempat yang akan menerimamu baik dalam kondisi hidup maupun mati. Sebab dunia hanya menerima mereka yang menjalani takdirnya, bukan yang dengan jumawa melangkahinya.
Lagipula, surga bisa kau temui di mana saja. Asalkan matamu masih terbuka, dan jantungmu berdetak tanda hidup, memang masih kau miliki.
.
—StayAlive—
.
Sabar, sabar, sabar.
Hanya itu yang bisa dikatakan orang-orang.
Banyak-banyak lah bersabar, berdoa.
Namun pernahkah mereka merasakan, seperti apa saat kau tak henti berdoa, namun tak pernah dijabah? Pernahkah mereka benar-benar merasakan, pahitnya tidak didengarkan? Sakitnya tidak dipercayai, dan hampa menusuk membelah relung dada saat keputusasaan begitu angkuh tegak di depan mata?
Tidak. Karena itulah mereka bisa mengatakannya.
Sebab apabila mereka tahu, bukan itu yang akan mereka ucapkan. Bukan lontaran kalimat simpati memberi iba—tidak. Sebab seharusnya mereka tahu, bahwa itu hanya menambah lengkung pahit kami. Setiap baitnya hanya menambah pekat relung kami, hanya memperdalam kepercayaan kami, bahwa segalanya tiada berguna lagi.
Harapan, yang mereka bisikan berulang-ulang sontak berubah bak sampah di mata kami. Sebab bagaimana lagi harapan terlihat dari balik lipatan lengan yang menghalangi pandangan kami, yang telah kian merapat seiring tenggelamnya wajah kami.
.
Mana yang lebih baik—terlanjur lupa hingga hampa, atau tetap mengenal perih hingga sampai di tepi mata? —Hazama Kirara
.
Jangan menyalahkan diri sendiri.
Terkadang kalian juga mengatakannya berulang kali. Dan ya, kami tidak selalu melakukannya. Karena terkadang kami sampai pada pemikiran, kalian lah yang membuat percik cahaya yang mengintip dari celah sempit kami abai terlihat.
Karena harapan nyatanya telah merobek benak kami, dengan meredup dan kian meredup hingga lagi-lagi, kami mengecap hampa—kekosongan yang nyata.
Dan pada akhirnya, kalian malah pergi. Mengambil jarak menjauh dan menarik langkah mundur teratur. Kami tidak menyalahkan kalian, sebab di kala kami sungguh menyentuh gelembung rapuh nan lembut bak dandelion yang kalian tawarkan, nyatanya di mata kalian kami terlambat—atau sudah terlalu banyak menolak.
.
Hidup tak semudah cerita di televisi. Likunya lebih banyak, celahnya lebih sempit. Lorong yang ada sangat gelap, hitam pekat—tiada titik cahaya. Bila pun ada, mungkin terlewat. Karena itu hanya setitik. —Shiota Nagisa
.
Tetapi, sadarkah kalian jika kami telah berubah layaknya kelalawar yang takut menemui cahaya?
Ya, kami telah diangkat angan dan harapan, sebelum kemudian dijatuhkan, hancur lebur menyerpih bersama debu—hanya dengan hilangnya uluran tangan kalian. Silahkan berkatalah bahwa kami ini manja, dan begitu lemah. Karena ya, memang begitulah kami. Kami ini menjadi manja, karena dahaga sebab kering kasih sayang yang sesungguhnya—yang tulus tanpa banyak kata. Kami merindukan ketulusan, yang sayangnya tidak bisa kami dapatkan.
Maka kami menghabiskan waktu dengan percuma. Kami memangkas masa dengan kesia-siaan demi menghilangkan percik penat di dada. Sebab letih ini tak tergambar, perih ini tak terlukis. Sesak merajam ini tak dapat ditulis, ukiran luka tanpa tangis. Isak hampa dipangkas masa, harap lenyap bersama hari, waktu berlari meninggalkan kami.
Sebagaimana dunia yang selalu mengusir kami. Selayaknya kami yang selalu siap meninggalkan bumi, tanpa terpikirkan hendak menjumpai apa yang kalian sebut-sebut sebagai surga.
Dan lagi, surga memang bukan tempat untuk kami—orang-orang yang kalian sebut sebagai, manusia yang menyia-nyiakan hidup mereka.
.
Mungkin mereka lupa ada kata terimakasih, jadi muncul istilah habis manis sepah dibuang. —Horibe Itona
.
Semua ini telah membutakan kami, dan tidak ada lagi yang membuat kami peduli—selain kesadaran bahwa sejatinya kami telah menjadi bangkai berjalan sejak dini.
Tertawalah, karena kalian tidak mengetahui seperti apa rasanya—hidup, padahal kau telah lama mati.
.
.
raga kosong berisi napas, jasad hidup tanpa binar rona.
.
—StayAlive—
.
Bunuh diri itu butuh keberanian. Karena kau yang menjemput maut, kau yang mengundang rasa sakit.
Mungkin keputusasaan menghadangmu, derita menghampirimu. Duka dan luka menghiasi harimu, dan kelam biru menyertai lantunan langkahmu. Pedih pahit perih telah dirajam dalam hatimu, kini mengalir dalam sari hidupmu—setiap gumpal darahmu.
Berapa kalipun kau mencoba mempercepat kematianmu, belum tentu kau akan langsung menemui malaikat maut. Sebab aku yakin ia takkan sudi menjemputmu, apalagi mengantarmu ke alam yang selanjutnya.
Nantinya kau akan diterlantarkan, sama seperti saat kau di dunia ini.
Kau bertanya kenapa aku peduli? Karena di dunia ini, ada beragam paradoks menyusahkan yang membuatku melakukan hal ini—berusaha menyelamatkanmu. Manusia telah ditakdirkan untuk mati, jadi untuk apa terburu-buru? Kelak, cepat atau lambat kematian sendiri yang akan menghampirimu, tersenyum seraya mengalungkan sabitnya di lehermu.
Dan satu hal lagi, karena aku percaya kau belum jatuh sejauh itu. Kau masih bisa diselamatkan, dan aku pasti akan melakukan apapun untuk itu.
Setidaknya, pahamilah bahwa sebuah nyawa hanya dimiliki satu dalam setip raga, dipasangkan dengan sebuah jiwa. Jadi sayangilah hal itu. Baiklah, jika tidak, setidaknya lakukan itu demi orang-orang yang tidak seberuntung dirimu—kau yang masih memiliki napas di dunia ini.
Mungkin kau tidak lagi takut melihat gundukan tanah merah, jejeran batu nisan dan makam. Tetapi lihatlah, di dalam pusara itu terbaring mereka yang masih menginginkan hidup. Mereka yang masih berjuang dan berharap untuk dapat memperbaiki kehidupan mereka, atau minimal menambah amal baik mereka di dunia ini.
Ya, aku yakin kau tidak lagi takut pada kematian. Sebab kau pasti cukup berani untuk mengakhiri hidupmu, menantang malaikat maut untuk datang lebih cepat. Kau pasti sangat pemberani.
Jadi, kenapa tidak kau gunakan keberanian itu untuk melanjutkan hidupmu saja? Dengan membuka lembaran baru, melihat dari sisi dan sudut pandang yang berbeda. Agar kau dapat melihat keindahan yang tersembunyi di dalam hidup ini. Agar kau menyadari betapa banyaknya warna yang akan kau lewati jika kau mati saat ini.
Pandanglah cermin, ia memantulkan parasmu. Lihatlah baik-baik, apakah benar tidak ada lagi keinginan untuk merasakan napas dan hembus angin di dunia ini? Apakah benar jika kau sudah siap meninggalkan dunia ini, dengan cara yang seperti ini?
Aku yakin kau tidak ingin ditangisi, karena binar matamu telah muak meneteskan hujan ataupun melihat hujan.
Tetapi, sekali lagi—jika kau cukup berani untuk mendobrak gerbang kematian, mengapa tidak kau gunakan keberanian itu untuk mendongak dan merangkak, meniti ulang kehidupanmu?
Kumohon, sekali saja—ya, cukup sekali saja—cobalah untuk membuang buku lamamu, dan mulailah sesuatu yang baru.
Hiduplah, demi diriku. Demi aku yang mengharapkan kalian, para muridku, untuk melanjutkan hidup dengan cara kalian sendiri, untuk menjadi sosok yang kuyakini akan dapat membuatku menangis bangga.
Kalian meratapi nasib, mencicipi pahit. Getirnya hidup ini telah kalian kecap, kumohon jadikanlah itu sebagai pijakan kalian di masa depan. Bawalah bara panas dan besi besar yang menempa kalian, sebagai bukti kesuksesan kalian.
Tunjukanlah pada dunia bahwa kejamnya takdir justru menyuburkan harapan. Anak-anakku, sebarkan dan tanamlah seluruh pengalaman hidup kalian dalam ladang nan luas, yang akan membuat dunia malu karena telah menyiksa kalian.
.
.
Menangislah, anak-anakku. Walau sulit, perlahan-lahan ubahlah segala emosi negatifmu, alirkan dalam sesuatu, apapun itu. Mungkin memang sulit—sangat sulit—untuk melakukan hal itu, tetapi sensei percaya, kalian bisa melakukannya.
Sebab sampai kapan pun, tentakel sensei takkan pernah melepaskan kalian.
Hidup itu pahit, perih, begitu menyakitkan. Namun sadarkah kau, bahwa dengan hal itu kau akan tahu, bahwa hidup begitu bermakna.
Tamat
Huaa~ ini hari terakhir #SA16, ya? Ah, ga terasa event ini selesainya cepet banget~ #sebulanmasihkecepetan?!
Aih, sudah lah~ ngomong-ngomong, hiatus itu ga enak~ jadi Zaky balik lagi ke FAKI~ maafkan bocah labil ini, minna-san m(_ _)m
Oh ya! Salaaam~
Z.U.M
