a/n: kutak tahu ini nulis apa sebenarnya karena galauin Tama. Damn you, Sorachi.

.

Gintama © Sorachi Hideaki

switch off

©Moon Waltz

.

Gintoki tak perlu diajarkan untuk tahu bahwa dinginnya tangan Tama yang ia genggam sekarang pertanda sesuatu yang lain, sesuatu yang melebihi kenyataan bahwa tangan itu dan kulit yang melapisinya hanya sekadar buatan. Gintoki tak perlu diingatkan oleh hangat, karena jari jemari itu memang sudah dingin sejauh yang ia ingat.

Tetapi meski bola matanya tak berbeda dengan lensa kamera, meski rambutnya hanya berupa jalinan serat nilon belaka, meskipun, meskipun tubuhnya hanya disatukan oleh mur dan baut dan kabel-kabel berwarna, ia adalah Tama. Tama, yang di suatu pagi menyodorkannya dengan senyum seraya berujar Gintoki-sama. Tama, yang tak segan-segan menghancurkan ruang depan jika ia tak juga melunasi sewa kontrakan. Tama, satu-satunya yang tetap percaya meski seluruh Edo berbalik memusuhinya. Dan sekalipun kemampuan berpikirnya artifisial, tidak dengan kenangan yang ia bagi bersama, tidak dengan kebaikan hatinya, tidak dengan kesetiaannya. Semua itu nyata.

Ia masih mencari, sesuatu bergerak, bergetar perlahan; ia masih menunggu, keajaiban untuk segera datang.

Sayangnya keajaiban hanya datang sekali, dan itu adalah ketika mesin-mesin, kapal, serta berbagai persenjataan yang memicu perang di Edo telah mati seutuhnya. Perang berhenti, bersama seluruh rekan robotnya yang mati. Tak tersisa, mati, seperti tumpukan sampah besi yang terlupakan di sudut-sudut gang.

Gintoki merasakan lengannya kebas, dan ia benci karena hatinya tidak merasakan hal serupa. Ia membawa tubuh Tama yang dingin dalam rengkuhannya, berusaha mendengar sesuatu, apa saja, demi Tuhan, apa saja; ia tak ingin kehilangan harapan selamanya.

Telapak tangan Gintoki yang terus meraih, menjangkau, menjumpai silinder besi berulir di antara helaian rambut gadis itu. Baut murahan yang dulu pernah ia hadiahkan. Ia ingin tersenyum karena si gadis masih menyimpannya, tetapi ia tak bisa. Ia ingin menangis karena si gadis tak kunjung membuka matanya, tetapi ia tak boleh, sebab air hanya akan membuat tubuh gadisnya berkarat.

Ia menggenggam baut itu sembari mempererat rengkuhannya. Ia pikir, mungkin rengkuhannya bisa mengalirkan kehangatan yang tak gadis itu miliki. Ia harap, rengkuhannya mampu membuat gadis itu hidup kembali. Tetapi ia tidak bisa, karena ia hanya manusia biasa. Ia mungkin pernah berhasil menghancurkan virus yang menyusup di dalam sistem algoritma gadis itu, namun untuk yang kali ini ia benar-benar tak mampu.

"Kau bilang, kau bisa pergi karena tugasmu telah selesai," ia menggerakan bibirnya, tetapi ia tak mengenali suara serak yang keluar.

"Tetapi Tama, tugasmu belum selesai. Kau belum boleh mati sekarang. Kau berjanji akan mendampingiku hingga akhir, dan itu adalah akhirku, bukan akhirmu. Jadi bangunlah. Buka matamu. Katakan sesuatu, apapun. Kau senang menghinaku, bukan? Katakan sesuatu, Tama!"

Suara Gintoki nyaris hilang di antara getaran pada sekujur tubuhnya.

Nan jauh di penghujung Edo sana, barangkali perang akan berlanjut, pedang dan bambu tajam akan diacungkan sebagai pengganti senjata modern yang telah sepenuhnya dilumpuhkan. Tetapi di sini, di antara tubuh-tubuh heroik yang gugur, yang menjelma tumpukan besi tanpa guna lagi; Gintoki hanya ingin menulikan kelima inderanya, mematikan rasa sakit di hatinya. Gintoki hanya ingin merapal doa tanpa henti, mengucap sebentuk harap melalui bibirnya yang mulai goyah dan suaranya yang semakin lemah.

"Katakan sesuatu, Tama. Kumohon."

Ia masih mencari, sesuatu bergerak, bergetar perlahan; ia masih menunggu, keajaiban untuk segera datang. ***

fin

.