Disclaimer : Belong to JK Rowling and I have nothing /slapped /sobs

Cast : Drarry always.

Warn : Fic YAOI gaje. Typos everywhere, masih terlalu amateur. Ngga begitu yakin akan genre-nya. Tentuin sendiri, ya? Ehehe.

Harry Potter © JK Rowling

Gara-gara Pesta Dansa © SachiMalff

.

.

DMHP

.

.

Hogwarts High School sedang ramai-ramainya. Beberapa siswanya terlihat sedang bercengkerama hangat satu sama lain. Topik yang mencuat belakangan ini menarik perhatian hampir semua siswa di sana.

Mungkin pecualian untuk seorang Draco Malfoy.

Ketika semuanya sibuk dengan fantasinya masing-masing, Draco Malfoy malah sedang bersantai dengan beberapa teman dekatnya di kantin sekolah. Seolah-olah tak tertarik sedikitpun dengan acara pesta dansa yang akan di adakan di sekolahnya.

Pemuda bersurai platina itu beberapa kali terlihat mengerling menggoda satu atau dua perempuan yang lewat di hadapannya, membuat mereka terkikik sendiri.

"Kita akan dapat satu kartu berwarna biru. Yang perempuan berwarna merah muda," ujar Blaise Zabini, salah satu teman Draco yang duduk di sebelahnya.

Pansy Parkinson, yang duduk di depan Blaise, mengernyit mendengarnya. "Hanya satu?"

Blaise mengangguk. "Kau berharap mau mengajak berapa pria?"

Pansy terkekeh pelan, kemudian meminum chocolate floatnya. "Beberapa untuk cadangan, mungkin?"

Draco, yang sedari tadi acuh tak acuh dengan perbincangan kedua sahabatnya itu, menoleh heran pada mereka. "Apa yang kalian maksud? Kartu?"

Blaise memutar matanya bosan, kemudian mengacak rambut kebanggaan Draco yang mengakibatkan sang empunya mencibir pelan.

"Pesta dansa Hogwarts, Drake," jawab Blaise santai. Draco mendengus mencela.

"Kita akan diberi satu kartu untuk menuliskan nama seseorang yang akan kita ajak untuk pergi ke pesta itu," sambung Pansy.

"Dan bagaimana jika aku memberikan kartuku ke seseorang, sementara aku dapat seratus kartu?" tanya Draco sambil meminum sodanya.

"Choose one, then."

"Lalu bagaimana aku bisa tahu pasanganku mau atau tidak pergi denganku?" Draco bertanya sambil mengerutkan keningnya.

"Sesimpel mengirim kembali kartu itu kembali ke pengirimnya, bodoh."

"Merepotkan," ujar Draco pelan. Blaise dan Pansy mengangkat bahu mendengar keluhan sang tuan muda Malfoy.

Beberapa menit kemudian, datanglah Theodore Nott dan Daphne Greengrass, sahabat Draco yang lain. Mereka bahkan sangat excited dengan diadakannya pesta dansa ini.

"Aku akan mengajak Cedric Diggory," ujar Daphne pada semua temannya yang ada di sana. Blaise melongo mendengarnya, sementara Theo mendengus mencela.

"Telat. Kudengar dia akan menuliskan nama Chang," ujar Theo.

Dan yang lainnya melotot horor. Kecuali Daphne dan Draco.

"Kan belum tentu si Chang mau dengan Cedric," jawab Daphne dengan rasa percaya diri yang tinggi.

"Kalau aku jadi Diggory, aku takkan mau pergi dengan Daphne," celetuk Theo, membuat Daphne memberikan deathglare terbaiknya.

"Kalau aku jadi Diggory, aku akan mengajak Oliver Wood," sambung Blaise. Theo melotot tajam kearahnya.

"Wood, kapten team basket Hogwarts?" tanya Pansy sambil mencondongkan tubuhnya, tertarik dengan topik ini, sepertinya.

"Yeah. Dia cukup oke," jawab Daphne. "Dan gagah," lanjutnya.

Draco mendengus jijik mendengarkan gosip teman-temannya itu.

"Tapi—jika Diggory tak mau denganku, kuharap Potter akan mengajakku," kata Daphne. Kali ini, Draco melotot pada temannya itu.

"APA?!" pekik semua yang ada di sana. Daphne sampai harus menutup telinganya saking kerasnya suara mereka.

"Kau gila?"

"Potter? Harry Potter?"

"Kau sungguh-sungguh?"

Daphne mengangguk pelan sambil tersenyum. "Dia manis."

"Terserah dia saja," ujar Draco pada teman-temannya.

Mereka melanjutkan perbincangan sampai para karyawan sekolah membagikan kartu yang harus mereka berikan pada orang yang mereka inginkan untuk pergi bersama di pesta dansa.

Daphne dan Pansy masing-masing mendapatkan sebuah kartu berwarna merah muda, sedangkan Draco, Blaise, dan Theo mendapatkan kartu warna biru.

.

.

.

Di lain tempat, pada waktu yang sama, seorang pemuda berambut berantakan sedang duduk di perpustakaan sekolah bersama lima temannya. Pemuda itu bernama Harry. Harry Potter.

Di tangan keenam anak tersebut, telah terpampang sebuah kartu milik masing-masing. Harry mendesah pelan ketika iris hijau zamrudnya memandang lekat kartu tersebut.

Seorang anak perempuan dengan rambut coklat mengembang, Hermione Granger, menoleh kearahnya. "Bingung mau mengajak siapa, eh Harry?" tanyanya.

Harry tersenyum kecut padanya. "Aku tak jago dansa," jawab Harry pelan.

Ron Weasley, sahabat Harry dari TK, yang kini berada di kanan Harry, juka ikut meremas rambut merah menyalanya dengan frustasi. "Bloody hell, aku bingung harus menulis nama siapa. Hey, Mione, apa kau pikir Luna Lovegood mau menerima kartu dariku?' tanyanya pada Hermione.

Hermione, di sebelah kiri Harry, mengangkat bahunya santai. "Entah. Coba saja," jawabnya singkat. Ron merengut mendengar jawaban singkat sahabatnya.

"Kupikir Neville akan mengajaknya," sambung Dean Thomas, lelaki dengan kulit cokelat matang yang duduk di depan Harry.

Ron semakin frustasi mendengarnya. "Benarkah, Neville?" tanyanya sembari menoleh kearah seorang pemuda bertubuh agak tambun di samping Dean. Neville Longbottom.

Neville mengangguk malu, kemudian kembali pada buku yang baru saja dia buka.

"Aku akan mencoba mengajak Lav," celetuk Seamus Finnigan di samping Hermione. Ron menoleh kearahnya. "Lavender Brown?" tanyanya.

Seamus mengangguk riang.

"Dan kau, Dean? Akan mengajak siapa?" tanya Ron seketika.

Dean tersenyum penuh arti pada Ron. "Ginevra Weasley."

"APA?!" pekik Ron sambil menggedor meja disana. Harry melonjak kaget.

"Calm down, Ron," ujar Dean sambil nyengir tak bersalah. Hermione melotot tajam pada Ron, yang kemudian kembali tenang.

"Kurasa hanya kita bertiga yang tak tahu harus menulis nama siapa," tukas Ron.

Hermione berdehem pelan. "Maaf, Ronald. Tapi, aku telah memikirkan akan menulis nama siapa."

Ron membelalakkan matanya ngeri. "Yang benar saja! Siapa?!"

"Rahasia..."

Dan Ron mengerucutkana bibirnya, jelas saja sebal karena Hermione sudah mendapatkan sebuah nama, sedangkan dirinya dan Harry belum—

"Kurasa, tinggal kita berdua, Harry..."

"..."

"Harry?"

"Aku sudah tahu harus menulis nama siapa," jawab Harry sambil tersenyum kecil.

Dan Ron semakin sebal dibuatnya. Hari ini, dia akan mudah sekali sensi. Hanya karena tak tahu harus mengajak siapa untuk pesta dansa besok lusa.

.

.

.

Draco dan gengnya masih menyibukkan diri menuliskan sebuah nama di secarik kertas milik masing-masing. Kecuali Draco, tentu saja. Dia tak mau repot-repot menulis untuk memohon kepada seorang perempuan untuk pergi dengannya.

"Kau harus menulis jika tak ingin di ceramahi oleh Profesor McGonagall," kata Daphne pada Draco. Draco mencibir pelan, kemudian mengambil bolpen milik Daphne, lalu berpikir sebentar. Mencari seorang perempuan yang akan dia tulis di kertas konyol ini.

"Fred-Weasley. Fred Weasley?!" Theo tersentak ketika selesai mengeja sebuah nama yang ditulis oleh Pansy. Semuanya mulai berebutan untuk memeriksa kertas Pansy.

"Kau gila—"

"Apa yang kaupikirkan, Pans?"

Pansy tersenyum penuh arti pada semuanya. "Dia hot."

Dan semuanya melenguh pada Pansy.

"Coba kulihat kartumu," ucap Pansy pada Theo. Dia kemudian menyerahkan kartunya pada sahabat wanitanya.

Pansy melotot pada kartu Theo, kemudian langsung merebut kartu milik Blaise. Lalu mendengus pelan.

"Ada apa?" tanya Draco.

"Mereka akan pergi bersama. Nih," ujarnya sambil memperlihatkan dua kartu milik Blaise dan Theo. Draco mendengus pelan. Sedangkan Daphne nampak tak peduli. Dia masih sibuk menulis nama Cedric Diggory dengan tanda cinta kecil-kecil yang mengelilingi nama Cedric.

"Kau sendiri harusnya menulis nama seseorang, kan, Dray?" tanya Daphne tanpa menoleh. Draco mengernyit mendengarnya.

"Entah. Aku tak peduli."

"Tapi itu wajib."

"Tapi aku tak peduli, Pans."

"Tapi kau akan dimarahi—"

"Alright, alright. Aku akan menulis, oke?" ujar Draco sambil mencibir pelan. Kemudian menulis sebuah nama.

"Siapa, Drake?' tanya Theo.

Draco, yang baru saja meletakkan bolpennya, tersenyum penuh arti pada semuanya. "Asal-asalan."

"Coba kulihat..."

Mereka berkumpul untuk melihat siapa yang begitu beruntung namanya di tulis oleh seorang Malfoy muda.

Setelah melihatnya, Daphne dan Pansy menutup mulut mereka.

"Kau yakin? Fleur Delacour?" tanya Blaise sambil mengernyitkan keningnya. Draco mengangguk pelan.

"Seleramu sungguh tinggi..."

"Tak kukira, Drake. Kau suka pada wanita yang lebih tua..."

"Kan aku bilang asal, jadi yaa—aku tak peduli. Asal comot satu nama saja. Lagian, kalaupun aku menulis nama asal, takkan kutulis nama Granger atau Potter, kan?"

Daphne melotot padanya. Sementara Draco terkekeh pelan.

Dalam jangka waktu limabelas menit, Draco sudah mendapatkan enambelas kartu. Tigabelas kartu berwarna merah muda, dan tiga buah kartu berwarna biru.

Blaise mendapatkan sembilan kartu berwarna merah muda, sedangkan Theo mendapatkan sembilan kartu berwarna biru dan lima kartu berwarna merah muda. Keduanya langsung membuang semua kartu yang mereka dapatkan.

Pansy mendapatkan lima kartu berwarna biru, yang langsung dia pilah-pilah untuk cadangan jika saja Fred Weasley—kakak dari Ron Weasley—tak mau pergi dengannya.

Daphne mengacuhkan sebelas kartu yang dia dapat. Dia yakin, Cedric mau pergi dengannya.

Sepuluh menit menjelang bel masuk kelas, seorang adik kelas menghampiri meja tempat nongkrong Draco dan yang lainnya. Anak perempuan berkepang dua itu terlihat malu-malu menghampiri mereka.

"I—ini, kak. Untuk kakak," ujarnya seraya menyerahkan sebuah kertas berwarna biru yang terlipat rapi.

Draco mengambilnya dengan kernyitan yang dalam. Biru berarti dari seorang lelaki. Dan kenapa yang mengantarkan adalah seorang perempuan, batinnya.

Perlahan, dia membuka kartu itu.

Dan Draco dibuat melotot ketika selesai membacanya.

"Dari siapa lagi, Draco?" tanya Theo malas-malasan.

Hening.

"Draco?" panggil Pansy.

Blaise mencondongkan tubuhnya mendekat pada Draco, kemudian membaca isinya. Sesaat kemudian, Blaise menoleh ke arah Daphne.

"Daph... Berdoalah semoga Cedric mau pergi denganmu..."

.

.

.

"Bloody git, Mate! Kau gila!"

"..."

"Apa yang kaupikirkan hingga kau menulis nama si idiot itu?!"

Hermione menghela napas panjang. Kupingnya akan segera memanas mendengar pertengkaran ini.

"Masih banyak lelaki dan perempuan yang lebih baik darinya!"

"Ron!" tegur Hermione. Namun Ron tak mengindahkannya.

"Mione, Harry mengajak Malfoy! Draco Malfoy!"

Neville, Dean, dan Seamus menggeleng-geleng melihat reaksi Ron.

"Biarkan saja. Draco Malfoy cukup berkelas," celetuk Dean sambil nyengir pada Harry.

Ron membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Sementara Harry masih tersenyum kecil.

"Oh, lebih baik aku kembali ke kelas dan tidur," ujar Ron lemas, kemudian melangkahkan kaki untuk kembali ke kelas mereka.

"Jangan hiraukan Ron. Dia memang agak sinting," canda Hermione, menenangkan Harry. Harry mengangguk mafhum, kemudian membolak-balik buku yang ia baca lagi.

.

.

.

"Mana yang akan kauambil, Drake?" tanya Blaise ketika dilihatnya Draco tengah memandangi semua kartu yang dia dapat. Mereka berada di kantin lagi saat itu, ketika bel pulang sekolah berdering nyaring. Minus Theo yang harus pulang duluan karena ada latihan basket.

"Kalau aku jadi kau, aku akan pilih Harry, Draco," sambung Daphne.

Draco mendengus mencela. "Kau sungguh tak punya selera, Daph," jawab Draco.

"Kau bodoh kalau menolak Potter. Benar apa yang dikatakan Daphne. Potter menarik. Punya wajah baby face dan mata yang indah," sambung Blaise.

"Awas saja kalau Theo mendengarnya. Kudengar dia punya kartu dari Lee Jordan," tukas Draco yang berhasil membungkam Blaise.

"Anyway, kau dapat berapa kartu, Drake?" tanya Pansy sambil menyeruput minumannya.

Draco mengerling kearahnya. "Sembilan belas."

"Masih kalah dari Potter. Dia dapat duapuluh sembilan," jawab Pansy. Draco mengernyitkan keningnya.

"Populer juga dia..."

"Dia manis, kan sudah kubilang. Blaise juga setuju. Kudengar dia dapat banyak kartu dari beberapa pria macho," sambung Daphne.

"Misalnya?" tanya Draco penasaran.

Daphne nampak mengingat-ingat. "Ada Niall Horan teman sekelas kita, lalu Zacharias Smith, Tom Riddle, Michael Corner... Bahkan, Oliver Wood mengajaknya! Oh Tuhan, kuharap aku bisa memilih satu laki-laki macho yang tersisa yang mau mengajakku."

Draco sedikit kaget mendengar kalimat Daphne barusan. Tak menyangka jika Potter malah mengajaknya. Padahal, dia punya duapuluh sembilan pilihan!

Lalu dia memikirkan bagaimana nampaknya Harry Potter saat pesta nanti. Dengan setelan jas formal yang akan dia kenakan, senyum bodoh yang setiap hari dia bagi untuk para sahabatnya, dan pancaran sinar mata yang meng—

Oh, tidak... 'Jangan berpikir tak penting seperti itu!' ujar Draco dalam hati.

Dan hal itu membuat Draco jadi berpikir keras. Apakah jika Potter telah menerima duapuluh sembilan kartu, dia akan tetap menantikan Draco agar mau pergi bersamanya?

Oh, dan Draco kembali merutuki pikirannya sendiri yang ngaco itu...

TBC


A/N : Haloo. Seperti biasa, ini fanfic abal yang ngga sengaja Sachi temukan di antara file-file usang. Daripada berdebu, mending di post, kan? Ehehe. Maaf ya reader sekalian yang menunggu kelanjutan FRL /berasapentingbangetya/ saya belum bisa ngepost karena lagi kena writers block hikseu. Baru jadi separo sih, terus tiba-tiba feel nya ilang buat lanjutin. Tapi tetap saya usahakan kok. Sementara saya bawain ini deh. Ehehe. Ini baru teaser kok. Tapi chap-nya juga ga bakal banyak-banyak.