Sebuah goncangan besar membuatku terlempat dari pusat kota Paris—mungkinkah itu, bom atom?

Entahlah. Mataku perlahan tertutup, seolah maut telah menghampiriku.

Aku terkejut. Aku masih bisa merasakan dampak hawa panas dari beberapa bom atom itu. …Italy? Mata ambernya yang biasa tertutup rapat kini telah berubah—berubah menjadi merah bagai darah. Cairan merah dimulutnya yang kali ini tentu bukan karena saus pasta yang sangat ia gemari membuatku tersedak. Entah karena asap bom atau apa.

Kucoba bangkit, tapi kedua kakiku seolah tak bisa bergerak. Nyeri luar biasa langsung menyentuh saraf otakku, sepertinya ada banyak tulangku yang patah. Tapi aku terus mencoba, kutarik tubuhku ke sebuah ruang bawah tanah di sudut kota Paris.

Kedua mata merah itu menatapku dengan tatapan aku akan membunuhmu. Menyadari hal tersebut, aku berusaha beringsut masuk lebih ke dalam—lebih dari dalam.

Menekuk leherku—seseorang menekuk leherku dari belakang, menyeretku ke ruangan yang sangat miskin cahaya. Dia membanting tubuhku ke sudut ruangan, tak sempat aku mengenalinya yang kulihat hanya—baju pada abad ke-17, bewarna hitam.

H-Holy Roman Empire?

Desisku tak percaya. Bukankah ia telah mati?
Belum sempat memikirkan semua hal itu, seseorang dengan kalimat yang sangat khas memasuki ruangan ini.

"Veee~ Big brother France! apa kabar?"

Suara polos itu berbanting terbalik dengan perbuatannya—menekan dadaku dengan lutut kanannya, tangan kirinya mencengkram kedua pipi yang nyaris membuatku muntah darah.

"SREK!"

Terdengar suara gesekan, gesekan logam dingin menempel di daguku. Itu... Belati!

"Heey, Big brother France~Sadarkah kau bahwa hidupmu ada di tanganku? Oh bukan, tapi di tangan Rodeich! " terdengar suaranya, lembut tapi mencengkram. Suara yang sangat akrab di telingaku.

"M-mon petit, Italy?"

Ia membisu. Belati yang ia pegang diputar ke atas. Dengan sebuah sentakan, benda itu dibawa meluncur turun. Terdengan bunyi melesak dan getaran di leher. Aku menunggu, saraf mana yang kali ini akan mengirimkan rasa sakit ke otak. Tidak ada.

Italy melepas tekanan lututnya lalu menampar wajahku yang indah ini sebelum beranjak pergi. Di ambang pintu ia berbalik dan mengatakan suatu kalimat yang membuat mataku melotot tajam. Dalam gelap, terasa olehku ucapan yang terdengar pelan itu keluar bersamaan dengan merah mata yang menatap tajam. Kalimat yang datar;

"Terima kasih telah membunuh Holy Roman Empire, big brother France."