When I Love You

Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto

Tapi fanfiction ini asli punya saya

Rate: T

Pairing: Kiba dan Ino

Genre: Romance, hurt/comfort, and a little bit drama

Warning: AU, abal, typo, miss typo, mainstream, absurd, lebay, dll

Setiap chapter memiliki pairing yang berbeda

Don't Like, Don't Read!

.

.

.

Summary:

Ketika dirimu mencintai seseorang yang tak kan pernah bisa kau gapai, dan melihatnya bahagia tanpa dirimu. Apa yang akan kau lakukan? Memperjuangkannya atau justru merelakannya? Karena cinta itu penuh dengan elegi. Tapi apakah kau percaya jika cinta tak selamanya menyakitkan?

.

.

.

Chapter 1: Love Isn't Always Painful

Pemuda berambut cokelat itu terus men-dribble bolanya melintasi lapangan basket. Ring yang berada di ujung lapangan telah menjadi targetnya saat ini. Ia terus berlari dengan fokus pandangan ke depan. Sesekali ia mengubah haluan dan menukik, ke kanan dan ke kiri seolah ada lawan yang sedang menghadangnya.

Lelaki muda bersurai cokelat dengan tato segitiga merah terbalik di masing-masing pipinya itu bernama Inuzuka Kiba. Sesungguhnya kini ia tengah menjalankan permainan tunggal. Tanpa lawan maupun kawan. Namun ia terus melakukan manuver-manuver tajam, memamerkan kehebatan permainannya tanpa ada satu orang pun yang melihat semua kehebatan itu.

Kini ring telah ada di depan mata. Dipercepatnya laju kedua kakinya itu dengan tak lupa tetap mempertahankan kontrolnya terhadap bola yang tengah ia dribble. Dengan cepat ia melakukan lay up dalam tiga langkah. Dan dalam sekali loncatan ia langsung menembakkan bola yang ada di tangannya ke dalam ring.

Dunk...

Dan bola itu pun telah melesat masuk ke dalam ring. Sedangkan Kiba langsung terjatuh setelah melakukan shoot menawan dengan three point itu. Peluh telah membanjiri seluruh tubuhnya. Membuat kulit kecokelatannya itu terlihat berkilau di bawah pancaran sinar matahari.

Kini ia terduduk sendirian di lapangan basket yang luas itu. Dadanya naik turun, meraup oksigen sebanyak mungkin setelah dirinya ngos-ngosan melakukan permainan tunggalnya. Kepalanya menengadah, menatap mentari yang mulai meredup dan berubah warna dengan mata yang sedikit disipitkan. Dan kini ingatannya pun tengah menerawang kembali ke kejadian yang menimpa dirinya beberapa jam yang lalu.

.

.

.

Hari mulai beranjak sore. Kini sekolah sudah mulai sepi, mengingat bel berakhirnya kegiatan belajar mengajar telah berbunyi sejak satu jam yang lalu. Namun dapat kita lihat, ada satu anak yang masih bertahan di kelasnya seorang diri. Ya, pemuda itu adalah Inuzuka Kiba.

Bukannya ia malas pulang atau bagaimana. Sejujurnya ia juga telah bosan hanya tidur-tiduran di kelas sendirian begini. Tapi mau bagaimana lagi. Ia telah terlanjur berjanji untuk menunggu dan pulang bersama dengan sahabatnya sejak kecil. Sayangnya orang yang ditunggu semenjak tadi itu tak kunjung tampak batang hidungnya.

Headset masih setia menempel di telinga pemuda itu. Entah sudah berapa lagu yang terputar dari ponselnya itu. Sesekali Kiba melirik jam tangannya gelisah. Ini sudah lewat satu jam dari bel pulang sekolah, tapi sahabatnya yang tak lain adalah Hyuuga Hinata itu belum juga datang menemuinya. Memang tadi sahabatnya itu bilang jika masih punya urusan sepulang sekolah. Kiba yang tak menyangka bahwa urusan yang dimaksud Hinata akan berlangsung selama ini pun tetap bersikeras untuk menunggu Hinata agar dapat pulang bersama seperti biasanya.

Samar-samar Kiba mendengar derap kaki yang melintasi koridor sekolah mulai mendekat. Dan benar saja. Tak lama kemudian pintu kelasnya terbuka dan menampakkan seseorang yang sudah sejak tadi ia nanti kedatangannya.

"Kiba-kun!"

Yang dipanggil namanya langsung bangun dari posisi tidurannya. Ia lepas headset yang sudah setia menemaninya menunggu sejak tadi. Kiba langsung memandang Hinata dengan tatapan intens. Tak biasanya Hinata memanggil dirinya dengan nada yang seriang itu. Hm, pasti ada sesuatu yang terjadi pada gadis itu. Dan Hinata pun sukses membuat sang pemuda bertato itu penasaran dengan perubahan sikapnya yang menjadi lebih riang.

"Ah, akhirnya kau muncul juga. Kau tak tahu, ya? Aku sudah hampir lumutan menunggumu sejak tadi," kata Kiba sedikit mendengus menahan kesal. Di saat seperti ini ia masih berusaha menahan rasa penasarannya karena terlebih dahulu kalah dengan rasa dongkolnya.

"E-eh, maaf. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sampai lupa kalau Kiba-kun sedang menungguku..."

Melihat Hinata yang meminta maaf padanya dengan mata yang berkaca-kaca membuat Kiba akhirnya luluh juga. Sejak dulu Kiba memang selalu kalah jika Hinata sudah mengeluarkan jurus andalannya itu, "Haaahh, baiklah-baiklah. Aku memaafkanmu sekarang. Memangnya apa yang kau lakukan sampai melupakan sahabatmu sendiri, eh?"

Mendengar pertanyaan Kiba langsung membuat rona merah menjalari pipi Hinata. Matanya terlihat berbinar bahagia. Seperti ingin mengungkapkan sesuatu, tapi terlalu sulit saking bahagianya.

"Hinata? Jadi apa yang kau lakukan sepulang sekolah tadi?" tanya Kiba sekali lagi.

"S-sebenarnya kemarin malam Naruto-kun mengirimiku email. Katanya aku disuruh menemuinya sepulang sekolah. J-jadi, sepulang sekolah tadi aku langsung menemuinya di atap sekolah," jawab Hinata malu-malu.

Entah mengapa Kiba merasakan firasat tak enak setelah mendengar penuturan Hinata, "Sejak kapan kau memanggil Naruto dengan suffiks –kun? Lalu kenapa kau tak jujur saja jika tadi kau ada urusan dengan Naruto. Kau kan bisa bilang, jadi aku tak perlu menunggumu dengan perasaan khawatir begini."

"M-maaf..." terlihat Hinata yang menyesali perbuatannya, "Habis, Naruto-kun bilang kalau aku harus merahasiakan jika kami akan bertemu berdua saja saat pulang sekolah. Jadi, aku tak bisa bilang padamu, Kiba-kun. Dan soal aku yang memanggil Naruto menggunakan suffiks –kun... Sebenarnya tadi ia mengajakku mengobrol, lalu tiba-tiba saja Naruto―"

Jantung Kiba berdetak sangat kencang. Saking kencangnya sampai-sampai ia merasa jantungnya bisa saja pecah saat itu juga. Terus ia tatap wajah Hinata ketika gadis itu menggantungkan kalimatnya.

"―Naruto menyatakan perasaannya padaku. Naruto bilang ia mencintaiku. Jadi sekarang kami berpacaran!" Hinata menyampaikan kabar tersebut dengan pipi yang masih merona merah. Tampak sekali bahwa kini ia sedang sangat bahagia. Mengingat cinta yang telah lama bersarang di hatinya tak lagi bertepuk sebelah tangan.

Namun lain halnya dengan keadaan Kiba saat ini. Waktu seolah berhenti bergerak kala ia mendengar pengakuan Hinata. Hatinya merasakan sakit yang begitu luar biasa. Satu hal yang tak pernah Hinata ketahui.

Dirinya, Inuzuka Kiba, yang selama ini menjadi sahabat terbaik dari seorang Hyuuga Hinata, telah memendam perasaan cintanya kepada sahabatnya itu selama bertahun-tahun. Dan kini pupus sudah harapannya. Tak ada lagi harapan untuk mewujudkan cintanya agar tak bertepuk sebelah tangan. Karena sekeras apa pun Kiba mencoba, selamanya Hinata tak 'kan pernah berpaling untuk melihatnya sebagai seorang lelaki.

Sekuat tenaga Kiba berusaha menampilkan senyumnya seperti biasa. Walaupun senyum itu tampak kaku, toh tak mengapa selama gadis yang berada di hadapannya tersebut tak menyadarinya. Dengan tenggorakan yang terasa tercekat Kiba berusaha menanggapi pernyataan Hinata, "Aa, akhirnya si bodoh itu menyatakan perasaannya padamu juga ya. Aku sampai lelah menunggu kalian berdua bersatu, hehe."

"I-iya, aku merasa bahagia sekali sampai rasanya ingin menangis. Makanya aku langsung berlari kemari untuk mengabarimu. Kiba-kun adalah orang pertama yang mengetahui hubungan kami, lho..." terlihat Hinata yang tersenyum lembut pada Kiba, "Ah iya, aku sampai lupa. Sebenarnya aku ke sini juga mau memberi tahu, kalau aku tidak bisa pulang bersama Kiba-kun. Maaf ya, Naruto-kun mengajakku pergi kencan dan Naruto-kun bilang dia tidak menerima penolakan. Maafkan aku..."

"Ah, begitu ya. Tak apa, aku bisa maklum kok dengan perasaan kalian yang baru saja jadian. Selamat ya, Hinata. Semoga kau bisa bahagia dengan si kepala kuning itu, hehe. Oh ya, semoga kencan pertama kalian berjalan lancar ya."

"Un, terima kasih Kiba-kun. Em, baiklah aku pergi dulu ya? Jaa ne, Kiba-kun."

Hinata pun melenggang pergi meninggalkan Kiba seorang diri. Senyum bahagia terus terkembang di bibirnya hingga pandangan terakhir yang ia berikan kepada sahabat lelakinya tersebut. Dan Kiba pun hanya dapat melihat helaian rambut panjang Hinata yang berkibar ketika sang pemilik membalikkan tubuhnya tersebut dengan pandangan nanar. Kini ia menjatuhkan beban tubuhnya ke kursi yang ada di dekatnya. Ia terus mencengkram bagian depan seragamnya. Berusaha menahan sakit yang teramat sangat di dadanya. Senyum getir pun terpatri di wajahnya itu.

"Jadi, patah hati itu rasanya sesakit ini, ya?"

.

.

.

"Hai, Pig ayo temani aku membeli bahan-bahan untuk membuat cokelat Valentine."

"Sudah berapa kali aku bilang? Jangan panggil aku Pig, Forehead!"

"Eh, kau sendiri juga suka memanggilku Forehead. Jadi, kita impas 'kan?"

Gadis yang semenjak tadi dipanggil pig oleh teman berambut merah jambunya itu mendengus kesal. Diletakkannya majalah fashion yang semenjak tadi ia baca. Mulai lagi deh sifat manja sahabatnya itu. Kalau sudah ada maunya, pasti akan memaksa. Huh, dasar forehead!

"Maaf, aku tidak bisa menemanimu hari ini, Sakura. Aku sedang tidak enak badan. Jadi aku ingin langsung pulang saja."

Sakura pun mengerucutkan bibirnya. Tidak terima dengan penolakan yang diberikan oleh temannya yang berambut pirang itu, "Tapi Ino, sebentar lagi 'kan Valentine. Eh, bukan. Lebih tepatnya besok ini sudah tanggal 14 Februari lho... aku harus cepat-cepat. Kalau tidak cepat, nanti aku gagal memberikan cokelat buatanku sendiri pada Sasuke-kun."

"Heh, itu sih urusanmu Sakura. Yang mau memberikan cokelat untuk Sasuke 'kan kau, bukan aku. Aku sih santai saja. Lagi pula bukannya Sasuke itu tidak suka makanan yang manis, ya?" tanya Ino kepada Sakura.

"Iya, makanya aku ingin membuatnya sendiri. Aku akan menyesuaikannya dengan selera Sasuke. Jadi, kau mau 'kan menemaniku? Ayolah, please..." Sakura telah mengeluarkan jurus puppy eyes miliknya. Tapi kali ini sepertinya jurus andalannya itu tak 'kan mempan terhadap gadis yang ada di hadapannya ini.

"Serius, kali ini aku tidak bisa menemanimu, Sakura."

"Huh, ya sudahlah. Dasar jomblo! Makanya cari pacar dong," jawab Sakura yang menumpahkan kekesalannya karena gagal membujuk Ino.

"Hahaha... iya-iya, aku akan mencari pacar secepatnya, deh," ujar Ino sambil terkekeh mendengar ejekan Sakura, "Sudah sana, kalau tidak segera berangkat nanti kau bisa kehabisan lho... pasti sekarang para gadis sedang mengantre."

"Un, cepat sembuh ya, Ino. Aku pergi dulu, ya. Jaa ne," dan Sakura pun melangkahkan kakinya keluar kelas. Meninggalkan Ino yang kini termenung sendirian di dalam kelasnya.

Tidak seperti yang Sakura kira. Ino sama sekali tidak sakit. Justru hari ini kondisinya sedang sangat prima. Semua itu hanya alasan untuk menghindari ajakan Sakura saja. Buktinya Ino tidak langsung pulang ke rumah seperti yang ia katakan pada Sakura. Yang ada Ino justru tetap bertahan di sekolah. Termenung sendirian di dalam kelasnya. Entah sudah berapa lama waktu yang ia habiskan untuk terdiam.

Ini sudah lebih dari satu jam semenjak kepergian sahabatnya. Tapi Ino masih betah terbuai dalam pikirannya sendiri. Dicengkramnya erat rok sekolah yang ia kenakan, sebagai pelampiasan atas rasa sakit yang dideritanya. Air mata telah lama mengalir dari netra sewarna aquamarine itu.

Senyum getir terus ia tampilkan. Berusaha menampilkan wajah baik-baik saja yang hasilnya tetap saja gagal. Karena bagaimana pun juga, hatinya begitu sakit mendengar hubungan Sakura dan Sasuke. Dua sejoli yang tampak serasi dan tak terpisahkan. Saling melengkapi dalam kekurangan. Hidup bahagia tanpa menyadari bahwa ada seseorang yang merasa tersakiti berada di sekitar mereka.

"Hei Forehead, sepertinya kau benar-benar lupa, ya? Aku―mencintai Sasuke, jauh sebelum kau mulai mencintainya..."

.

.

.

Ino terus menstarter mobilnya. Namun hasilnya sama saja, mobilnya itu tetap saja mogok dan tak bisa dinyalakan. Dirinya semakin panik melihat hujan yang turun semakin deras. Sepertinya hari ini nasibnya benar-benar sial. Padahal sebelumnya tak ada tanda-tanda akan ada hujan deras sore ini. Tapi tiba-tiba saja mereka langsung datang menyerbu kala Ino mulai panik saat mobilnya mogok di daerah yang asing baginya.

Karena tak ada payung di dalam mobilnya, Ino pun terpaksa keluar dari mobilnya tanpa perlindungan. Namun baru saja membuka pintu, tubuh Ino sudah mulai basah terkena guyuran hujan. Ino terus melangkah menerjang hujan untuk mengecek mesin mobilnya. Tapi ketika ia sudah membuka kap mesin mobilnya itu, yang ada Ino justru kebingungan dengan hal yang harus ia lakukan. Sebenarnya sudah sejak tadi ia berusaha menghubungi ayahnya. Dan sialnya lagi, ayahnya itu tak mengangkat teleponnya!

"Kuso! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Oh, Kami-sama, jika kau mengirimkan bantuan kepadaku, aku berjanji akan benar-benar merelakan Sasuke bersama Sakura..."

Di tengah keputusasaan yang dialami gadis berambut pirang itu, tiba-tiba saja ada sebuah motor sport berwarna hitam metalik yang berhenti di samping mobil miliknya.

"Yamanaka, apa yang kau lakukan di tengah hujan deras begini?"

Ah, rupanya Kami-sama telah mengirimkan sesosok penyelamat dalam wujud Inuzuka Kiba untuk membantunya, "I-Inuzuka? Oh, terima kasih Kami-sama... em, mobilku mogok, aku sudah berkali-kali menghubungi ayahku tapi tidak diangkat. Jadi aku terjebak di sini tanpa tahu apa yang seharusnya aku lakukan.

Kondisi hujan yang deras membuat mereka harus berteriak agar dapat saling berkomunikasi. Kiba yang sudah paham dengan situasi yang sedang dialami Yamanaka Ino langsung mengeluarkan ponselnya.

"..."

"Aku sudah mengirim pesan pada bengkel langgananku. Katanya mereka akan segera datang untuk mengangkut mobilmu. Sebaiknya kau ikut aku, Yamanaka. Tubuhmu sudah basah kuyup begitu. Apartementku tidak jauh dari sini. Bagaimana?"

Merasa tak punya opsi lain, Ino pun menyetujui saran Kiba. Dan akhirnya motor sport hitam metalik itu pun kembali melaju menerjang hujan yang masih saja turun membasahi bumi.

.

.

.

"Masuk saja, Yamanaka. Jangan sungkan ya, maaf kalau sedikit berantakan."

Ino melangkahkan kakinya memasuki apartement milik Kiba. Matanya terus mengobservasi segala sudut dari ruangan itu. Apartement milik Kiba ini bisa dikatakan cukup mewah. Terlihat dari desain interiornya yang terlihat sederhana tapi elegan. Kesan maskulin nan lembut pun tak lepas dari apartement ini.

"Maaf ya, Inuzuka. Aku jadi merepotkanmu begini. Terima kasih karena kau sudah menolongku," ucap Ino tulus.

"Santai saja. Walaupun tidak sekelas, kita tetap saja teman satu sekolah 'kan? Dan jangan memanggilku seformal itu. Panggil saja aku Kiba."

"Baiklah Kiba, kalau begitu kau juga harus memanggilku Ino, oke?"

"Hm, sekarang keringkan saja dulu tubuhmu. Nanti kau bisa masuk angin. Aku sudah menyiapkan baju ganti untukmu di kamar mandi," perintah Kiba sambil menyerahkan selembar handuk kepada gadis itu.

Selang beberapa menit, Ino pun keluar dari kamar mandi. Kini tubuhnya telah terbalut oleh dress lengan panjang selutut berwarna putih yang terlihat pas di tubuhnya. Kiba yang melihat Ino keluar kamar mandi dari balik pantry sempat terkesima dengan penampilan gadis itu. Ia jadi malu sendiri dengan penampilannya yang hanya mengenakan jeans belel dan kaos oblong berwarna merah pudar.

Kiba berdeham untuk menutupi kecanggungannya setelah melihat penampilan Ino. Ia berjalan membawa dua cangkir cokelat hangat menuju gadis Yamanaka yang sedang duduk di sofa ruang santainya.

"Ini untukmu. Minumlah untuk menghangatkan tubuhmu," Kiba pun meyerahkan salah satu cangkir yang ia bawa kepada Ino. Dan kini ia pun duduk di sebelah gadis itu.

"Em, terima kasih. Ini enak sekali," ujar Ino sambil sesekali menyesap cokelat hangat miliknya, "Jadi, apakah pakaian ini milik pacarmu? Dia tidak akan marah 'kan kalau aku berkunjung ke sini?"

"Pacar? Tenang saja, aku tidak punya pacar kok. Lagi pula aku tinggal sendirian di apartement ini."

"Eh, begitu? Jadi, kau tinggal sendirian ya... lalu dress ini milik siapa?"

"Oh, dulu dress itu milik kakakku saat masih tinggal di sini. Tapi sekarang ia sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Sedangkan orangtuaku tinggal di luar negeri. Jadi, ya seperti yang sekarang ini kau lihat."

"Ah, begitu rupanya. Aku sempat khawatir pacarmu akan cemburu. Fakta seorang Inuzuka Kiba, forward tim basket sekolah kita yang terkenal ini tidak memiliki pacar membuatku cukup terkejut, hehe."

"Kau sendiri, apakah pacarmu tidak akan marah bila tahu kau sedang bersama pria lain?" tanya Kiba penasaran.

"Tentu saja tidak. Aku 'kan memang tidak punya pacar," jawab Ino santai.

"Seorang Ino Yamanaka, ratu fashion sekolah kita tidak mempunyai pacar?! Kau bercanda, ya?"

"Untuk apa aku bercanda? Aku serius."

Sebenarnya Kiba masih sangsi. Tapi melihat tak ada tanda-tanda kebohongan yang terlihat dari Ino, membuatnya mau tak mau mempercayai omongan gadis itu, "Jadi kau tak punya pacar ya... kalau seseorang yang kau sukai pasti ada 'kan?"

Seketika wajah Ino langsung memucat. Pertanyaan yang terlontar dari bibir Kiba membuat hatinya tertohok. Tapi mau bagaimana lagi, tadi ia juga sudah berjanji untuk merelakan orang yang dicintainya itu bersama sang sahabat, "Ya, a-aku memang mencintai seseorang. Tapi orang itu sudah menjadi milik orang lain. Jadi, aku memilih untuk merelakannya bahagia bersama orang lain..."

Kiba yang mendengar pengakuan Ino langsung tertegun. Rasa bersalah karena telah mengorek luka gadis itu langsung menyeruak di dadanya. Dan apa yang dikatakan gadis itu pun juga menohok hatinya. Ternyata tak hanya dirinya yang mengalami kisah cinta sepilu itu, "Maaf, aku tak bermaksud―"

"Tak apa. Kau tak perlu minta maaf. Tadi 'kan aku sudah bilang, aku sudah merelakannya bahagia dengan orang lain. Jadi kau tak perlu merasa bersalah seperti itu."

Hening. Tak ada lagi obrolan yang keluar dari mulut mereka. Baik Ino maupun Kiba telah tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

"Hei Ino, sepertinya hujan sudah berhenti. Sebaiknya aku segera mengantarmu pulang sebelum hari semakin malam," ajak Kiba. Dan Ino pun hanya mengangguk dalam diam.

.

.

.

Kiba terkejut kala ia hendak langsung pulang ke apartementnya. Tapi rencananya itu gagal karena terlebih dahulu bertemu dengan Ino yang sudah menghadangnya di depan kelas. Dan dengan seenak jidatnya, gadis itu langsung menarik Kiba menuju parkiran.

"Kau ini apa-apaan sih, Ino? Kenapa kau menyeretku ke sini? Tak perlu kau seret pun aku pasti akan pergi mengambil motorku," ujar Kiba setelah Ino membawanya ke tempat motornya diparkir.

Ino yang dimarahi pun hanya tersenyum lebar kepada Kiba, "Hari ini aku tidak bawa kendaraan. Mobilku masih belum selesai diperbaiki. Jadi, kau harus mengantarkan aku pulang, oke?"

.

.

.

"Kau bilang tadi mau pulang. Kenapa sekarang kita malah ada di Shibuya, eh?!" tanya Kiba yang sudah mulai kesal dengan Ino.

"Sudahlah, jangan ngambek seperti itu. Nanti aku akan memberikanmu hadiah kalau kau mau menemaniku hari ini."

Pada awalnya Kiba sempat ragu. Namun akhirnya ia pun menerima penawaran yang Ino berikan, "Huh, baiklah. Aku pegang janjimu, awas kalau kau tak menepatinya."

"Tentu saja, seorang Yamanaka Ino tak pernah mengingkari janji yang sudah ia buat," jawab gadis berkucir ala pony tail itu yakin, "Tapi sebagai gantinya kau harus menjadi pasanganku hari ini."

Melihat Kiba yang menampilkan wajah horror membuat Ino harus menyanggah dugaan pemuda itu, "Bukan pasangan sungguhan, bodoh! Sebenarnya hari ini brand Mubi mengadakan perlombaan bagi para pasangan untuk menyambut Hari Valentine. Pasangan yang berhasil menyelesaikan misi dan mengalahkan peserta lainnya akan mendapatkan ponsel keluaran terbaru dari brand Mubi edisi terbatas spesial Valentine. Jadi, aku tidak mau tahu. Kita harus memenangkan pertandingan itu. Yosh, Ganbatte!"

.

.

.

"Satu untukku, satu untukmu. Akhirnya~ Sudah lama aku ingin memilikinya. Terima kasih Kiba-kun," Ino berterima kasih pada Kiba. Tak lupa senyum terbaik ia tampilkan untuk menunjukkan ketulusannya pada laki-laki itu.

Jantung Kiba berdetak kencang kala melihat senyum Ino. Entah mengapa ia merasa hari ini Ino jadi terlihat lebih cantik. Yah, sebenarnya sejak masih di pertandingan tadi jantung Kiba juga sudah berdebar-debar. Apa lagi perlombaan yang berlangsung tadi mengharuskan pihak laki-laki menggendong pasangannya sepanjang permainan sampai akhir.

"T-tentu saja kau harus berterima kasih padaku. Kalau bukan karena keahlianku, kita tak 'kan memenangkan pertandingan tadi. Tak kusangka keahlianku bermain basket justru digunakan dalam perlombaan bodoh seperti itu. Haaahh, kau berutang banyak padaku. Kau pikir aku tidak lelah menggendongmu, eh? Kau ini berat sekali tahu..."

"Eh?! Enak saja. Aku ini tidak berat, kau saja yang terlalu lemah. Sudahlah di hari Valentine ini sebaiknya kita bersenang-senang saja. Aku akan mentraktirmu makan. Ayo!" dan Ino pun langsung menarik tangan Kiba agar mengikutinya.

Mereka terus berjalan, menyusuri jalanan Shibuya untuk mencari tempat makan yang cocok untuk mengisi perut mereka. Tetapi tiba-tiba saja Kiba menghentikan langkahnya. Matanya terus saja fokus memandangi sesuatu. Karena penasaran Ino pun ikut berhenti dan mengikuti arah pandang Kiba semenjak tadi. Dan ia pun terkejut saat tahu apa yang dilihat Kiba adalah Naruto dan Hinata yang sedang berada di salah satu toko aksesoris.

"K-kiba, jangan-jangan orang yang kau sukai itu... Hinata ya?"

Orang yang ditanya bukannya menjawab justru menarik tangan si gadis dan membawanya ke salah satu taman yang sepi. Kiba tak berbicara sama sekali. Ino pun tak mau memulai pembicaraan, takut perkataannya justru akan semakin menyakiti perasaan pemuda berambut cokelat itu. Dan tiba-tiba saja Kiba sudah meletakkan kepalanya di atas pangkuan Ino. Membuat semburat merah muncul di kedua pipi gadis itu. Jantungnya bertalu-talu. Gugup dengan perlakuan Kiba.

"A-apa yang kau lakukan, Kiba? Jangan seperti anak kecil begini."

"Sebentar saja. Biarkan seperti ini sebentar saja."

Selama beberapa saat keadaan kembali sunyi. Kiba terus tidur beralaskan paha Ino. Entah mengapa ia merasa sangat nyaman dengan posisinya saat ini. Apa lagi ditambah dengan perlakuan Ino yang terus mengusap rambutnya dengan lembut. Rasanya ia jadi tidak ingin kehilangan momen ini.

"Hei, Ino. Apa tadi kau melihatnya? Saat Naruto memeluk Hinata dari belakang? Rasanya di sini sakit sekali," ucap Kiba sembari membimbing jemari Ino ke dadanya, "Rasanya aku ingin menghampiri mereka dan menonjok muka si kuning yang menyebalkan itu. Tapi kalau aku melakukannya, aku pasti akan membuat Hinata menangis setelahnya. Jadi, sebisa mungkin aku menahan keinginanku. Karena bagiku, perasaan Hinata itu jauh lebih penting dari perasaanku sendiri. Aku aneh sekali ya?"

Ino hanya tersenyum sebelum akhirnya menanggapi omongan Kiba, "Tidak aneh sama sekali kok. Kau pikir apa yang aku rasakan saat tahu Sakura jadian dengan Sasuke?"

"Eh, jadi selama ini kau menyukai si rambut pantat ayam itu?" tanya Kiba yang tak percaya.

"Un, begitulah. Aku bahkan mencintainya jauh sebelum Sakura mengenal apa arti cinta itu. Sudah lama aku memendam perasaanku. Sakura juga tahu perasaanku terhadap Sasuke. Tapi cinta itu memang buta 'kan? Sepertinya Sakura benar-benar lupa pada perasaanku ketika ia pun mulai mencintai Sasuke. Dan pada akhirnya, Sakura berhasil merebut hati orang yang kucintai. Rasanya sakit sekali. Tapi bagiku, melihat orang-orang yang kusayangi bahagia walaupun tanpa diriku itu jauh lebih penting. Maka dari itu, aku... memutuskan untuk merelakan mereka bersama," setetes cairan bening jatuh dari mata aquamarine itu. Membuat Kiba tak dapat berpaling dari sang gadis.

"Kau cantik, Ino. Aku yakin banyak laki-laki yang bersedia menjadi pacarmu jika kau mengijinkan mereka," Kiba bangkit dan duduk dengan tegap. Mengusapkan buku jarinya untuk menghapus air mata Ino. Ditariknya Ino ke dalam dekapannya. Dan kini Ino pun menangis dalam pelukan Kiba.

"Hei Ino, apa kau tahu? Mungkin aku terlihat bodoh karena mengatakan hal ini padamu. Tapi asal kau tahu saja. Menghabiskan waktu bersamamu selama dua hari ini membuatku merasakan perasaan hangat yang dulu juga kurasakan saat bersama Hinata," Kiba terus menatap kedua manik aquamarine Ino tanpa berkedip.

"E-eh, apa maksudmu? Lawakanmu sama sekali tidak lucu, Kiba."

"Aku tidak sedang bercanda, Ino. Aku bukan tipe lelaki yang suka mengumbar-umbar perasaanku sebagai bahan lawakan," sahut Kiba dengan sorot mata penuh keyakinan, "Mungkin kaulah orang yang tepat untuk menyembuhkan luka yang ada di hatiku. Kumohon, ijinkan aku untuk mengenalmu lebih dekat."

"..."

"Ino―maukah kau terus berada di sampingku?"

"Kiba, yang benar saja. Jangan bercan―"

Dan Ino pun tak bisa menyelesaikan ucapannya. Karena kini Kiba telah mengunci bibirnya. Memberikan kecupan-kecupan lembut pada bibir Ino dengan bibirnya. Perlahan Ino dapat menurunkan bahunya yang semula tegang. Entah mengapa ia dapat merasakan semua perasaan Kiba yang tersalur dalam setiap kecupan yang pemuda itu berikan. Toh, dalam hati Ino pun mengakui. Bahwa hatinya, perlahan namun pasti telah terjerat oleh pesona sang lelaki bermarga Inuzuka tersebut.

'Kiba, aku―bolehkah aku berharap? Mungkin cinta memang tak selamanya menyakitkan, ne?'

.

.

Cinta tak selamanya harus memiliki. Karena cinta yang tulus dan hakiki adalah cinta yang membebaskan.

.

.

The End

.

.

.

Author Note:

Oke, saya tahu. Mungkin fic ini aneh dan maksa banget. Dan fic ini saya buat spesial untuk Valentine Day.

Rencananya chapter kedua besok spesial membahas hubungan NaruHina, karena setiap chapter akan memiliki pairing yang berbeda. Ada yang berminat menunggu?

Oh ya, mari sejenak kita berdoa untuk saudara-saudara kita yang ada di sekitar lereng Gunung Kelud. Walaupun saya tinggal jauh sekali dari sana, tapi dampaknya bisa sampai ke tempat saya tinggal. Dan ini adalah hujan abu paling parah yang pernah saya rasakan #PrayForKelud

Arigatou,

Amu B

.

.

.

Do you mind to review?