Jam 7 pagi, hari pertama sekolah Prim.

"Kat! Bangun!" tangan kecilnya mengguncang-guncangkan tanganku.

"Kaat! Kaat!" dia masih berusaha membangunkanku. Aku membuka mataku dan menemukan dia dalam sebuah kegembiraan yang besar ketika membangunkanku. Hari pertama Prim masuk sekolah. "Okay Prim. Bangunkan ayah dan ibu."

Aku meregangkan badanku dan melihat kesekeliling sejenak. Kamarku dan Prim tidak sebesar kamar orang tuaku. Hanya ada sebuah kasur yang tidak begitu besar namun cukup untuk kubagi bersama Prim, dua meja belajar yang berseberangan, sebuah lemari pakaian yang cukup besar, sebuah meja rias lengkap dengan kaca yang besar, sebuah sofa berwarna hijau muda yang ditaruh ayah didekat jendela dan sebuah kamar mandi. Jika dipikir, kamarku tidak jauh berbeda dengan kamar anak perempuan kebanyakan.

Aku turun tempat tidurku, membasuh muka dan menyikat gigi, mengganti pakaian tidurku dengan celana jeans biru, kaus biru, dan jaket kulit berwarna hitam dengan lambang S.H.I.E.L.D Academy dilengan kiri, serta mengikat rambutku. Ketika aku sudah siap dan hendak keluar dari kamarku, suara yang selalu ada setiap aku akan memulai aktivitasku menyapa, "Selamat pagi Katniss."

Aku tersenyum mendengar pemilik suara ini. "Selamat pagi Jarvis. Apakah semuanya sudah bangun?"

"Ya, Ibumu sedang membuatkan roti keju."

"Terimakasih Jar,"

"Sama-sama." Saat suara itu menghilang, aku membuka pintu kamarku dan menemukan keluargaku sudah lengkap dimeja makan. Ayah selalu duduk sofa depan televisi mendengarkan berita pagi ini. Ibu menyiapkan sarapan dan Prim membantunya. Roti keju dan segelas susu. Menu sarapan favoritku.

"Prim giliranmu." Prim tersenyum dan segera meninggalkan dapur untuk membersihkan dirinya. "Jarviiis! Aku masuk sekolah menengah pertama!" Prim berteriak gembira saat memasuki kamar kami.

"Pagi Kat," Ayah mencium ujung kepalaku dan mengacak-acak rambutku. Aku tersenyum melihatnya duduk disampingku, "Pagi Yah. Sepertinya Prim bahagia dengan hari pertamanya. Bukankah dia dulu tidak mau pergi ke sekolah?"

"Kat, dulu kau juga seperti itu saat kau mengetahui namamu ada didaftar siswa baru S.H.I.E.L.D Academy." Ibu menimpali pembicaraanku. Aku tersipu malu. S.H.I.E.L.D Academy. Tahun lalu aku diterima di sebuah sekolah yang hanya menerima anak-anak yang mempunyai kelebihan. Aku masih berpikir bahwa aku adalah pengecualian, karena biasanya mereka menerima anak-anak dengan kekuatan super atau tingkat kecerdasan diluar rata-rata. Aku tidak mempunyai kekuatan super dan tingkat kecerdasanku hampir sama dengan rata-rata anak Amerika. Aku diterima karena sebuah alasan. Mereka mengatakan aku adalah seorang pejuang.

"Kat, tolong buka pintunya." Ayah menyuruhku membuka pintu ketika mendengar suara bel rumah kami berbunyi. "Halo Katniss." Orang ini merengtangkan kedua tangannya dan otomatis aku memeluknya. "Halo Paman Phil. Masuk, Ayah dan Ibu ada diruang makan."

Phil Coulson atau aku lebih suka memanggilnya Paman Phil adalah salah satu orang bekerja dengan ayah dan ibuku. Orangnya hangat dan ramah. Tidak terlalu tinggi dan sedikit botak. Dia adalah salah satu orang yang selalu memastikan bahwa keluargaku hidup.

"Clint. Tasha." Sapanya ketika memasuki ruang makan kami. Ibu memeluknya dan memberinya ciuman kecil dipipi Paman Phil dan Ayah hanya mengangkat gelasnya. "Jadi, ku dengar hari ini adalah hari pertama Prim masuk sekolah." Paman Phil duduk disampingku. "Terimakasih Tasha," tambahnya ketika Ibu memberinya segelas kopi.

"Ya. Waktu cepat berlalu. Bukankah begitu, sayang?" Ayah melirik kearah Ibu dan Ibu hanya tersenyum seperti biasanya. Ibuku, bukan tipe orang yang banyak tersenyum. Dia hanya tersenyum untuk ayah, untukku, dan Prim. Sejauh yang ku tahu, Ibu juga tidak banyak bicara. Dia bisa sangat lembut dan galak dalam waktu yang bersamaan. Menurut Ayah, itu karena Ibu sangat waspada. Tapi menurutku, Ibu mempunyai sensitifitas yang berlebihan.

Prim keluar dari kamar kami dengan wajah ceria. Dia mengenakan baju terusan selutut berwarna abu-abu dengan motif bunga-bunga kecil diseluruh bagiannya. Dia berusaha untuk mengikat tali bajunya dan Ibu turun tangan untuk membantunya. "Hai Prim. Bagaimana perasaanmu?" tanya Paman Phil pada Prim yang sedang ditata ulang penampilannya oleh Ibu.

"Keren. Aku benar-benar tidak sabar untuk menjadi siswa sekolah menengah pertama. Katniss mengatakan skuad cheerleaders sekolahku yang terbaik." Prim menjawab dengan antusias. "Cheerleaders. Tidak buruk" Komentar Paman Phil.

"Jadi, Coulson, apa yang membuatmu datang sepagi ini?" Tanya Ayah pada Paman Phil. Jika bukan hal yang penting Paman Phil tidak akan datang sendiri ke rumah kami. Biasanya Ayah dan Ibu mendapat tugas melalui telepon atau tayangan Paman Phil ditelevisi. "S.H.I.E.L.D mengadakan pesta kecil untuk membuka tahun ajaran baru di S.H.I.E.L.D Academy dan peresmian arena simulasi. Aku harap kalian sudah mendengarnya melalui Stark."

"Arena simulasi? Aku pikir semua akan selesai tahun depan." Ibu terlihat kaget ketika mendengarnya. "Tidak Tasha. Stark menyelesaikannya lebih cepat dari yang diperkirakan. Arena sudah diuji coba dan hasilnya memuaskan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Jelas Paman Phil. Arena Simulasi. Aku pernah mendengar itu. Itu adalah sebuah proyek besar S.H.i.E.L.D yang dibuat khusus untuk arena latihan agen-agen mereka. Agen-agen ditempatkan didalam sebuah keadaan dimana musuh menghancurkan keseimbangan dan perdamaian di bumi. Para calon agen tersebut akan bertarung melawan berbagai jenis mutan yang sedang dikembangkan beberapa tahun belakangan ini. Tentu saja ini tidak nyata dan mereka menamainya dengan Arena Simulasi. Namun, tahun lalu, kebijakan mengenai program ini diubah. Arena Simulasi tidak diperuntukan untuk agen-agen S.H.I.E.L.D namun, untuk calon agen S.H.I.E.L.D yang menempuh pendidikan di S.H.I.E.L.D Academy. Itu berarti, aku akan menjadi salah satu pesertanya.

"Nanti malam pukul 7 di Gedung Pertemuan S.H.I.E.L.D Academy." Paman Phil menyerahkan sebuah amplop berisikan 3 lembar undangan berwarna coklat muda dengan lambang S.H.I.E.L.D disebelah kanan atas. Tentu saja 3 lembar, aku murid S.H.I.E.L.D Academy tanpa undangan pun aku dapat menikmati pestanya. "Maaf aku tidak bisa berlama-lama disini. Aku harus membantu Stark dan tim persiapannya mempersiapkan acara nanti malam." Kata Paman Phil yang beranjak dari kursinya dan mengulurkan tangannya pada Ayah.

"Tidak Coulson. Terimakasih sudah mengantarkan undangan ini." Ayah menjabat tangan Paman Phil. Ibu juga memberinya pelukan. "Semoga berhasil Prim." Paman Phil memeluk Prim. "Sampai bertemu nanti malam Kat," Paman Phil juga memberiku pelukan dan keluar dari rumah kami.

"Oke semuanya. Kita juga harus bersiap-siap untuk berangkat. Katniss, perlengkapan memanahmu. Prim pastikan tidak ada yang tertinggal. Tasha, dimana jaketku?" Ayah beranjak dari kursinya dan menuju kamar tidurnya.

"Clint," panggil ibuku lembut. Seperi biasa, Ayah selalu mencari dimana jaketnya dan Ibu selalu menemukan serta memakaikannya. "Jarvis, perlengkapan memanahku." Kataku didepan tembok yang berada diujung lorong kamarku. Tembok itu perlahan membuka kearah luar dan mendorong keluar sebuah lemari besi yang ukurannya hampir sama dengan pigura lukisan monalisa.

"Ini dia, Nona Katniss." Sebuah busur berwarna perak dengan ukiran berwarna biru metalik dibagian lengkungannya dan sebuah tabung yang berisi anak panah yang kubutuhkan. "Terimakasih Jarvis." Aku mengambil busur dan tabung tersebut dengan senang hati. Selesai mengambil apa yang kubutuhkan, lemari tersebut kembali masuk kedalam dan tembok itu kembali menjadi tembok biasa. "Semoga berhasil Katniss, bersenang-senanglah."

Sejak Perang Dunia kedua meletus banyak negara yang ingin menjadi penguasa dunia tidak hanya wilayah tetapi juga teknologi. Mereka bersaing menciptakan senjata, obat-obatan, bahkan rekayasa genetika yang paling canggih di Bumi. Hingga saat ini persaingan itu masih ada. Tujuan mereka satu, mencari sebuah keseimbangan yang menurutku justru disitulah letak ketidakseimbangan.

Ayah dan Ibu selalu mengajariku banyak hal mengenai keseimbangan. Namun, bukan berarti sebuah keseimbangan berarti sebuah kesempurnaan. Ada beberapa pengecualian yang terkadang harus dipilih. Pilihan itu yang akan mengubah kemana arah hidupmu selanjutnya. Bukankah hidup itu penuh pilihan?

Sederhananya ketika Prim memutuskan untuk tidak mengikuti jejak Ayah dan Ibu. Walaupun dia tidak mempunyai kemampuan fisik yang kuat, tetapi Prim mempunyai otak yang cemerlang. Jika Prim mengikuti ujian masuk Akademi S.H.I.E.L.D aku yakin dia pasti lulus dengan nilai yang memuaskan. Sayangnya, Prim tidak tertarik. Prim lebih suka membantu orang lain dengan cara yang berbeda. Prim ingin menjadi dokter.

Keputusan Prim menjadi dokter tidak ditentang Ayah dan Ibu. Mereka mendukung Prim untuk melanjutkan apa yang diinginkannya. Menurut Ayah, sudah seharusnya salah satu dari anggota keluarga ini ada yang normal. Maksudku, bukan aku tidak normal, hanya saja, Prim benar-benar menjadi orang yang biasa. Aku menyukai pemikiran Ibu ketika Prim berkata dia tidak ingin menjadi seorang agen. Ibu hanya berkata, "Setidaknya Prim akan selalu menjadi alasan untuk kami tetap hidup." Aku tahu maksud Ibu. Ibu tidak bermaksud bahwa aku dan Ayah tidak bisa menjadi alasan untuk tetap hidup, Ibu tahu aku dan Ayah pasti dapat menjaga diri kami sendiri ketika kami sedang bertugas dan Ibu tidak terlalu khawatir untuk itu. Tetapi Prim tidak. Demi Prim, Ayah, Ibu, dan aku harus tetap hidup. Prim juga akan menjaga kami agar tetap hidup. Karena itulah tugasnya. Tugas yang dilakukan seorang dokter. Ini yang disebut Ayah dan Ibu sebagai keseimbangan.

"Hai, blackeye." Beberapa orang menyapaku dilorong akademi dan aku hanya tersenyum. Blackeye, secara harafiah memang mata hitam. Aku memang mempunyai mata berwarna hitam, tapi ini bukan tentang mata. Ini tentang aku. Apakah aku sudah cerita bahwa aku adalah anak dari dua orang agen top S.H.E.I.L.D? Ya itu aku dan tentu saja Prim. Ayahku adalah Clint Barton atau orang lebih mengenalnya dengan sebutan Hawkeye. Ya, Hawkeye yang itu. Agen top S.H.I.E.L.D dengan kemampuan 99,99% keakuratan dalam memanah dan akrobatik. Ibuku adalah mata-mata terbaik di S.H.I.E.L.D, salah satu hasil dari manusia bioteknologi, dan semua orang mengenalnya dengan Black Widow.

"Katniss!" Seseorang menepuk pundakku dan tiba-tiba panas menjalar disekujur lengan kananku. "Ouch! Panas!" aku langsung melepas jaketku dan menepuk-nepuk pundakku dengan harapan panas itu bisa hilang.

"Maaf Kat, aku tidak sengaja." Aku langsung memberikan lirikan tajam kearahnya.

"Setidaknya aku tidak membakar tabungmu," katanya sambil menepuk-nepuk archery quiver – tempat untuk membawa anak panah yang selalu ada dipunggungku. "Oke Johnny, kali ini kau beruntung. Aku tidak membawa beberapa anak panah Ayah. Jika iya, mungkin kau sudah meledakkan beberapa." Komentarku.

Johnny Storm. Human Torch yang terkenal playboy diantara playboy-playboy yang ku kenal. Salah satu agen S.H.I.E.L.D yang sering berada di ruang latihan bersama calon agen yang lain. Dia tidak mengajar. Tidak mengawas. Biasanya, dia berada di ruangan yang sama denganku karena ulahnya sendiri. Masa percobaan. Menurutku hukuman yang pantas untuk sikapnya yang kadang menjengkelkan.

"Jadi, ada kelas apa hari ini? Kau tidak akan melewatkan pesta nanti malam bukan?" tanyanya sembari menemaniku berjalan kearah ruang simulator. "Beberapa kelas simulator, strategi, dan yah kelas dengan Ayahku." Ya, Ayahku salah satu mentor disini. Tidak begitu sering mengajar. Biasanya kelas memanahku diisi oleh Bobbi. Tetapi, terkadang Ayah selalu menyempatkan diri untuk mengajar. Di akademi ini Ayah adalah mentor. Seorang agen yang mengajari agen lainnya. Tetapi dirumah Ayah tetaplah Ayah.

"Dan pestanya?"

"Ah ya, tentu saja aku akan datang. Pembukaan Arena Simulasi. Aku tak sabar ingin melihatnya. Sepertinya itu proyek besar yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan semua orang." Kami berhenti di depan ruang simulator pesawat. Johnny mengucapkan beberapa kata perpisahannya termasuk mengingatkanku untuk tampil cantik nanti malam. Pesta tetaplah pesta. Tidak peduli acaranya apa dan bagaimana.

Aku tidak menghabiskan banyak waktu di akademi karena aku sendiri tidak begitu betah berada didalam ruang simulator. Aku menyelesaikan semua pelajaranku dan kembali ke rumah untuk bersiap-siap. "Hai Jar, apakah ayah dan ibu sudah pulang?" tanyaku ketika melepas sepatu bot hitam yang ku pakai seharian ini.

"Belum Nona Katniss, tetapi Nona Prim sudah berada di kamar."

"Prim sudah pulang?"

"Ya, beberapa menit yang lalu. Oya Nona Katniss, tadi pagi ibumu sempat membuatkan kalian snack jika kalian lapar."

"Oh oke, terimakasih Jar."

Aku memeriksa lemari es yang berada diujung dapur. Aku hanya perlu menekan beberapa tombol untuk melihat isi lemari esku tanpa harus membukanya. List yang tertera dipintu lemari sudah cukup untukku mengetahui bahwa Ibu meninggalkan beberapa makanan ringan yang bisa ku panaskan di oven. Aku mengambil keripik kentang yang ada diatas meja dan berjalan menuju kamar.

"Hai Kat, kau sudah pulang?" Prim menyapaku dari balik bukunya. Dia sedang membaca buku dan duduk dengan nyamannya di sofa hijau. "Bagaimana hari pertamanya?"

"Tidak buruk. Seperti biasanya karangan ceritaku bagus sampai aku bercerita aku mempunyai seorang kakak perempuan yang bersekolah di S.H.I.E.L.D Academy." Prim menutup bukunya dan memperhatikanku membongkar semua barang yang hari ini ku bawa. "Kat, kau seharusnya menyimpan alat panahmu dulu sebelum masuk kamar." Prim menghela nafasnya ketika duduk dikasur kami tepat disebelah busur dan archery quiver-ku.

"Ada apa? Bukankah keren kau mempunyai seorang kakak perempuan yang bersekolah di S.H.I.E.L.D Academy?" Aku menggantung jaketku dan merapikan kembali semua barang-barangku ketempatnya.

"Ya, itu keren dan beberapa anak bertanya apakah aku pernah mencoba menjadi manusia bioteknologi."

"Oh ayolah Prim. Mereka hanya bercanda. Lagipula, menyenangkan bisa menjadi manusia bioteknologi. Lihat saja Ayah dan Ibu." Aku mengambil peralatan panahku, berjalan melewati Prim dan ia mengawasiku. "Apakah kau akan mencobanya kat?" tanyanya ragu.

Prim mengakui ada banyak hal yang bagus menjadi manusia bioteknologi. Tidak ada penuaan, tidak rentan penyakit, masa penyembuhan yang cepat, kekuatan diatas rata-rata manusia pada umumnya, namun ternyata Prim tidak berpikiran seperti itu. Jika semua manusia adalah manusia bioteknologi, maka, tidak ada gunanya dokter.

"Aku? Untuk apa? Bukankah kita terlahir dari dua orang manusia bioteknologi?" kataku saat mengembalikan peralatan memanahku kedalam lemari yang berada di dalam dinding.

"Menyempurnakan apa yang tidak kau punya mungkin. " Prim mengecilkan suaranya. Aku hanya tertawa. "Aku sempurna Prim. Aku sempurna dengan segala kelebihan dan kekurangan yang aku punya."

Aku naik ketempat tidurku dan menghempaskan diriku diatasnya. Mata Prim mengikutiku. Dia mengawasiku dengan awas, seperti akan terjadi sesuatu padaku. "Kau sebaiknya mandi Prim. Ayah dan Ibu sebentar lagi pasti pulang. Kau tidak ingin mandi ditempat lain bukan?" Prim menggeleng dan beranjak dari kasur ke kamar mandi.

"Jar, bangunkan aku ketika Prim sudah selesai mandi." Kataku sebelum benar-benar tertidur.

"Jaar! Beritahu aku juga jika Ayah dan Ibu pulang." Aku masih mendengar Prim berbicara saat memasuki kamar mandi sebelum akhirnya aku terlelap.

disclaimer Marvel dan Suzanne Collins