Summary : Sepintas langit biru memuai, melangkahi kelamnya senja; menuai darah sang psikopat apatis serta reminisensi pahit seorang gadis—AU, Gore/Cannibalisme.

Warn : Dark Fic, Gore, Semi-AU, Tema ringan—mungkin berat. Diksi berantakan dan slight Cannibalisme scene.

Disclaimer : Semua Hak Cipta atas anime Yu-Gi-Oh! Sudah sah diberikan pada Kazuki Takahashi-sensei.


.

.

.

In a nameless fable, speak of the sinners
Darkness, shade and fear
The demonic flock revives

[— Mind as Judgement, Faylan

Canaan Opening Theme—]

.

.

.


"Kau sudah siap, Shizuka-san?"

Iris kecokelatan itu melirik ke arah orang yang lebih dewasa di depannya kala hari itu. Gadis itu hanya bisa menganggukkan kepalanya sambil menjauhi tatapan khawatir dan kecemasan atasannya yang membuat hati Shizuka semakin bergema takut.

Sudut bibir Anzu Mazaki—atasannya yang mempunyai rambut berwarna tak jauh beda dengannya tersebut membentuk sebuah senyum lemah.

Wanita berumur 23 tahun itu mengenggam tangannya erat sembari bicara, "Kami mempercayaimu, Shizuka-san."

Shizuka tersenyum miris—terkesan dipaksakan, "Jangan khawatir, Anzu-senpai. Aku akan berusaha."

(Mungkin.)

"Kau tahu, Shizuka-san. Kami sebenarnya tidak ingin memberi pasien itu padamu." Mata Anzu menerawang entah kemana, "Tapi hampir semua psikolog maupun psikiater disini sudah angkat tangan menghadapinya."

Bahu Shizuka menegang.

"Jadi kami putuskan untuk menyerahkannya padamu." Ia berkata parau.

Gadis itu tersenyum lagi.

"Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin, Anzu-senpai."

(Dan ia baru menyadari bahwa suaranya turun 1 oktav.)


Menelan Remang

Chapter 1; repetisi anomali


"Ryou Bakura-san.. benar?"

Seorang remaja lelaki dengan rambut panjang seputih salju dan mata emas kecokelatan yang sedang menundukkan kepalanya—hanya bisa mengangguk pelan. Mereka berdua duduk di ruangan pribadi Shizuka—tempat dimana ia biasa menangani pasiennya.

Shizuka sedikit tersenyum tipis, ia bisa melihat laki-laki di depannya sepertinya berumur lebih tua darinya. Namun hal itu bukanlah yang seharusnya difikirkan sekarang. Tangannya lalu menurun ke atas meja dan mengambil beberapa kertas yang berisi pertanyaan.

Gadis itu berhenti memilah kertasnya saat ia teringat sesuatu. Ia menegakkan kepalanya, "Ah maaf, aku belum memperkenalkan diri ya?" Ia tertawa pelan, "Perkenalkan, namaku Shizuka Kawaii. Psikolog yang akan membantumu dari sekarang. Jadi kau tak perlu takut padaku."

Lelaki itu hanya terdiam. Ia lalu mengangkat kepalanya dan menatap gadis itu lama. Kedua iris kecokelatan mereka saling terkunci satu sama lain.

Badan Shizuka menegang.

(Atau mungkin sebenarnya dia yang ketakutan disini)

"Shizuka.." Bibir tipis itu terbuka memanggil namanya, "—san..?"

Ah, Shizuka mengutuk dirinya sendiri. Nada panggilan yang terucap keluar dari bibir lelaki itu terasa diliputi ketakutan, dan nada frustasi yang direpetisi.

"Ya.." Shizuka menelan ludahnya sendiri, ".. Baiklah, Ryou-san."

Gadis yang memakai jas putih itu mulai membacakan deretan kalimat di kertas pertama.

"Ryou-san.. apa benar bahwa kau telah membunuh 5 orang di dekat rumahmu?"

Lelaki bermata teduh itu menatap Shizuka, menggigit bibir penuh ketakutan.

"—Bukan." Ryou mulai mencengkram lengan sofa kecil yang didudukinya, "Bukan saya, Shizuka-san."

Shizuka mengangkat alis, kenapa lelaki ini formal sekali?

"Tidak perlu seformal itu, Ryou-san."

Ryou menyelipkan senyum lemah, "Tidak. Tidak apa-apa. Saya sudah terbiasa begini."

Gadis itu hanya terdiam sebelum akhirnya melanjutkan.

"Bisa kau jelaskan hal ini lebih lanjut?"

Dadanya terasa sesak, seperti ada seseorang yang memecut dan menjambak sel motorik di raganya.

Bibirnya bergetar, "Dia.. " Omongannya terputus-putus, "—Pelakunya."

"Dan siapa 'dia' yang kau maksud, Ryou-san?"

Mata Ryou melebar, dan pupilnya mengecil jika Shizuka teliti melihatnya. Shizuka sedikit mencengkram pulpen yang digunakannya untuk menulis jawaban Ryou. Lelaki itu menggesekkan giginya—seperti sedang menahan sesuatu.

"Dia.." Ryou lalu mulai mencakar kepalanya, namun segera ditahan oleh Shizuka yang berlari ke arahnya dan menurunkan kepalanya, "—Dia.. Dia ada didalam tubuh saya.. Shizuka-san."

'Alter-ego' Shizuka menghela nafas sambil berbisik dalam batinnya.

"Jadi.. maksud anda—" Entah kenapa kalimatnya menjadi formal, "Anda.. berkepribadian ganda.. benar kan?"

Ryou tidak berani menjawab.

"Ryou-san." Shizuka kembali ke tempat duduknya, "Katakan padaku—apa anda sadar saat dia melakukan itu dengan tubuh anda?"

Lelaki itu menarik nafas berat, "Hanya samar-samar aku bisa melihatnya." Ia melanjutkan, "Tapi aku tidak bisa menghentikannya."

Ini aneh, Shizuka mengatakannya dalam batinnya sendiri, sejak tadi ia berkata formal—lalu tidak formal.

(Ini gawat—sepertinya)

"Hmm.." Shizuka mulai menulis lagi di atas kertasnya, berpura-pura tenang lalu bertanya lagi, "Dan kenapa kau tidak bisa menghentikannya, Ryou-san?"

Lelaki itu menundukkan kepalanya, dan aura bisa terasa menggelap di sekitar mereka berdua.

"Karena aku lemah, Shizuka-san."

"Apa?" Shizuka mengerjapkan matanya. Apa lelaki ini sebegitu frustasinya sampai-sampai merendahkan dirinya seperti itu?

"Tidak—Maksud saya—" Nadanya tiba-tiba menjadi normal dan formal kembali, "Dia mengambil alih tubuh saya tanpa sadar—dan saya seperti dikunci di ruang hati saya sendiri."

Karena merasa tolol untuk gugup di ruangannya sendiri, Shizuka memutuskan untuk menginterogasi lelaki itu dengan formal.

(Karena sepertinya ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya)

"Ryou-san.." Nama itu terasa tergelincir lembut dari lidah Shizuka, "Kepribadian anda terpecah menjadi dua—dan untuk memastikan. Bisa anda menjelaskan apa yang anda ketahui tentang dia?"

"Dia—" Ryou berkata lambat, "Dia sangat menyukai kekerasan—apapun yang berhubungan dengan darah. Dia pembunuh berdarah dingin—dan egosentris."

"Kapan anda tahu bahwa anda mempunyai kepribadian ganda?"

Lelaki itu menyentuh keningnya dan mengusapnya, "Saya sebenarnya sudah menyadarinya sejak kecil—namun ia baru melakukan kegiatan brutalnya akhir-akhir ini."

Gadis yang cukup tinggi itu lalu menyesap tehnya.

"Maaf jika saya menanyakan hal ini, Ryou-san—" Shizuka lalu memandang Ryou, "—Apakah anda.. mengalami trauma di masa kecil?"

Ryou membuka mulutnya meskipun tenggorokannya terasa perih.

"Ya." Lelaki itu merasa kalimat di lidahnya terasa pahit, "Ibu dan adik saya meninggal karena kecelakaan. Ayah saya sibuk bekerja—sehingga saya hanya hidup sendiri. Saya pernah dibully—dan kemarahan itu saya pendam semuanya."

Jadi ini penyebabnya.

"Dan karena itu.."

Perlahan aura disekitar Shizuka kembali seperti tadi—begitu dingin dan mencekam.

"—Aku berbuat hal itu, Shizuka-san."

Berbuat hal apa?

"Shizuka-san? Kenapa diam saja?"

Gawat..

"Shizuka-san? Aku bertanya padamu, Shizuka-san."

Gawat.. ini benar-benar gawat.

"SHIZUKA-SAN?"

Shizuka tersentak ketika nada dari lelaki itu mulai meninggi namun raut wajahnya tersenyum lebar. Shizuka merasa bulu kuduknya mulai meremang melihat sesuatu yang berbeda di sana.

"Ah, maaf, Ryou-san—" Shizuka pura-pura bertanya dengan nada tenang, "Saya ingin anda.. menjawab pertanyaan ini."

Lelaki di depannya diam bergeming sambil menunjukkan matanya yang mulai menggelap.

"Ryou-san." Shizuka menarik nafas berat—

—Seolah ia ingin mati di detik kemudian.

"Anda.."

Gadis itu menggigit bibir sekeras-kerasnya bahkan sampai-sampai ia bisa merasakan darahnya sendiri.

"—Bukan Ryou-san, kan?"

DEG.

Hening.

Atmosfer hitam kelam mulai mendominasi, prediksi Shizuka kelihatannya benar.

"Heh.. hihi.. hihih..."

Tawa cekikikan memenuhi ruangan dan mulai menggila. Shizuka—meskipun ketakutan sudah melanda dan menjalar di pembuluh darahnya—ia tetap berusaha terlihat tenang.

Shizuka sudah bisa memprediksi hal ini akan terjadi.

Namun ia tidak lari.

(Ia tidak akan lari dari kenyataan lagi—)

Rambut salju lelaki itu terlihat sedikit berantakan dan lebih liar—matanya bahkan berubah menjadi merah kecokelatan.

Lelaki itu lalu memandang Shizuka tajam, dingin—

—Sedingin bongkahan es yang tak bisa mencair.

"Aku tidak menyangka wanita jalang sepertimu bisa membongkar identitasku dengan waktu secepat itu." Lelaki itu terkekeh kesetanan. Membuat Shizuka bergidik ngeri.

"Haruskah kita tepuk tangan?" Tanyanya sambil memiringkan kepalanya. Shizuka mengerjapkan matanya—merasa kagum pada lelaki yang dengan cepat bisa mengubah emosinya dan raut wajahnya dengan cepat.

(Tapi ini bukan saatnya untuk kagum, kan?)

"Hihihih.. hebat.. He..bat.." Ia bertepuk tangan sambil tertawa seperti seorang iblis, "Hihihih.. hahah.. heheh.."

Shizuka hanya bisa mematung.

"Eh.. Kenapa tidak tepuk tangan, Shizuka-san?" Ia kemudian mendekati kursi yang diduduki Shizuka sambil mengangkat dagu gadis itu, "Shizuka-san hebat, kan? Kenapa tidak tepuk tangan untuk dirimu sendiri?"

Gadis itu diam tanpa kata.

"Shizuka-san.. hihih..hi.." Shizuka tersentak ketika ia merasakan sebuah tangan yang cukup kuat dan menjambak rambutnya yang kemudian tangan itu memukulkan kepalanya ke meja berkali-kali—membuat dahi maupun pelipisnya terbentur meja berulang-ulang—dan terdengar benturan yang sangat keras.

Sudah lima kali lelaki itu membenturkan kepala Shizuka sambil tertawa keras—dan sepertinya terdengar ada yang patah di bagian wajah gadis itu. Darah kental mengucur dari bekas benturan dan Shizuka merasa nyeri sekali ketika kepalanya dibenturkan seperti itu—Hingga—

—Hingga lelaki itu berhenti.

Kepribadian ganda Ryou itu merubah raut wajahnya menjadi kaku—dan matanya menatap tajam ke arah mata Shizuka ketika ia menjambak rambut gadis itu untuk mengangkat kepalanya dan membuat si psikolog itu harus menatapnya.

Ia mencapit dagu gadis itu dengan keras dan ia membawa wajahnya untuk mendekat.

Ia memiringkan kepalanya.

"Kenapa kau tidak menjerit?" Nadanya terkesan dingin dan memerintah.

Shizuka memilih untuk tidak menjawab.

"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk tepuk tangan?"

Ia masih tidak menjawab.

"Jawab."

Kini kuku-kuku tajam yang bagaikan cakar itu menusuk kulit pucat Shizuka—hingga berdarah, namun gadis itu bertahan agar tidak menjerit.

Merasa kesal dengan kelakuan kaku gadis itu, akhirnya ia melakukannya dengan cara paksa—

—Dan hal itu membuat mata Shizuka melebar karena merasakan sesuatu yang tipis menyapu kasar bibirnya yang lembut—

(Bahkan seorang psikopat-pun mengerti hal yang dilakukan seperti di novel roman—

—Meskipun dengan caranya sendiri)


There is another me
who loves someone so much that it hurts

Well, which one of us
is a figment of imagination?

.

.

.

(Bersambung)

.


A/N : Ah, hari ini hari Valentine. Tapi malah saya balut dengan Fiksi Berdarah. Well, meskipun sebenarnya belum sampai ke sudut klimaksnya, hahah.

Terima kasih sudah membaca. Segala kritikan/fav/foll diterima disini.