Tittle : LOTTO (MEANIE FANFICTION)

Author: Hani Hwang

Casts: Jeon Wonwoo

Kim Mingyu

Genre: Romance, criminal *maybe* School life, Yaoi

Disclaimer: Plot ceritanya punya author, Wonwoo juga punya author

Rated: M

DONT LIKE DONT READ!

.

.

.

.

.

Bel makan siang baru saja berbunyi. Dan dalam hitungan detik, kantin sekolah itu sudah penuh sesak oleh siswa yang berhamburan meninggalkan kelas. Mengisi peru setelah berjam-jam berkutat dengan hafaln dan rumus. Terutama, siswa-siswa kelas tiga. Yang terlihat begitu lesu karena harus mengorbankan waktu lebih banyak untuk belajar, bahkan ketika makan siang seperti ini sekalipun.

Meski sebagian siswa memilih makan dikantin, ada juga beberapa yang memilih perpustakaan untuk menghabiskan waktu. Dan adapula yang bertahan dikelas. Dan diantaranya, adalah pemuda tampan bersurai pirang dengan tubuh jangkung itu.

Pemuda pirang itu berjalan sambil membawa dua kotak bekal dan sebotol air mineral. Dihampirinya sesosok bersurai hitam yang tengah merebahkan kepalanya dimeja, kelelahan.

"Wonu-ya, apa kau tak akan makan siang, hm?" Tanyanya, menarik kursi didepan sosok itu dan kemudian duduk disana sambil menyodorkan salah satu kotal bekalnya.

Wonwoo, mengangkat kepalanya. Menatap memelas orang didepannya. Lalu tersenyum tipis.

"Aku lelah sekali. Fisika, Kimia, belum lagi ulangan matematika. Huft. . . apa sesengsara ini mau lulus sekolah?" Tanya Wonwoo, meraih kotal bekal dan membukanya.

"Yah, mau bagaimana lagi. Kita memang harus berjuang, kan?" Tanya balik si pirang.

Wonwoo tersenyum. "Zuho-ya, kau baik sekali membawakanku makanan setiap hari." Ucap Wonwoo, dengan senyum yang semakin manis.

Zuho pura-pura menunduk menghindari senyuman menawan itu. "Hng, aku tahu kau takkan sempat karena begitu sibuk." Sahut Zuho kemudian.

"Wah, kau pengertian sekali." Ujar Wonwoo lagi. Seolah-olah sedang menggoda kebaikan Zuho.

'Shits!' Zuho mengumpat dalam hati. "Sudah, makan saja," Ucapnya pura-pura ketus.

Wonwoo tertawa, tapi kemudian tidak berkata apa-apa lagi. Dan keduanya mulai sibuk melahap makan siang mereka.

"Hei, hei. Jangan pacaran di kelas!" Interupsi sebuah suara. Membuat Wonwoo dan Zuho menoleh. Dan terlihatlah sosok bersurai pirang, Soonyoung.

"Kami tidak pacaran." Sahut Zuho ketus.

"Lagipula Baek Zuho bukan pacarku." Timpal Wonwoo, dan Zuho pura-pura sibuk memakan makanannya.

Soonyoung menghampiri setelah menaruh bukunya. "Tapi Zuho menyukaimu, Wonu-ya." Ucap Soonyoung, tersenyum mengejek kearah Zuho yang mengeratkan pegangan sumpitnya. Wonwoo menatap dengan wajah bingungnya yang polos.

"Jangan dengarkan curut bule ini, Wonu-ya." Geram Zuho kearah Soonyoung. Dan detik berikutnya, Soonyoung tertawa lepas merayakan kemenangannya mengejek Zuho.

"Haish, Soonyoung-ah, kau ini kenapa?" Bingung Wonwoo.

"Abaikan saja dia!" Suruh Zuho jengkel. Ini kesekian kalinya Soonyoung memberitahu Wonwoo kalau Zuho menyukai sosok bermarga Jeon didepannya itu.

"Maksudmu, kau menyuruh Wonu mengabaikanku seperti perasaanmu yang selama ini terabaikan? bhuahahaha!" Soonyoung kembali meledak dengan tawanya.

BRAK!

"Cukup, Kwon Soonyoung!" Zuho bangkit dengan wajah merah menghampiri Soonyoung yang tertawa sambil memegangi perutnya.

"Zu-Zuho-ya, sudahlah!" Wonwoo mencoba melerai saat Zuho menarik tangan Soonyoung hendak menyeretnya. Soonyoung menghentikan tawanya. Kemudian memasang wajah serius.

"Baiklah, baiklah. Aku tidak akan membercandaimu lagi, Baek Zuho." Ucap Soonyoung sungguh-sungguh. Tapi dari tatapannya, Zuho tahu Soonyoung masih mengejeknya.

Zuho kembali duduk, sedang Soonyoung sibuk dengan ponselnya. Dan Wonwoo kembali meneruskan makannya yang belum selesai.

Wonwoo mengunyah makanannya sambil menunduk, dari wajahnya terlihat ia sedang memikirkan sesuatu. Beberapa kali ia menggeleng sendiri. Zuho diam-diam memperhatikannya.

"Ada apa, Wonu-ya?" Tanya Zuho, acuh tak acuh menatap ponselnya.

Wonwoo gelagapan. "Hngg. . ." Gumamnya ragu.

"Kalau ada yang perlu dibicarakan, bicara saja." Ucap Zuho lagi. Wonwoo mengangkat wajahnya, menatap pemuda bermarga Baek didepannya itu dalam-dalam.

"Kalau difikir-fikir, Soonyoung sudah lebih dari sepuluh kali berkata begitu." Ucap Wonwoo kemudian.

"Sudah kubilang jangan difikirkan." Sahut Zuho cepat. Masih menatap ponselnya.

"Tapi. . . aku ingin tahu, apakah ucapan Soonyoung itu benar?"

UHUK!

Zuho tersedak, padahal ia sudah selesai makan sejak sepuluh menit yang lalu. Wajahnya memerah. Ia merasa seperti maling yang ketangkap basah mencuri.

"Apa benar, kau menyukaiku?" Tanya Wonwoo lagi, memperjelas pertanyaannya. Zuho bertambah merah.

Pemuda itu bangkit, mengangkat bahu lalu meninggalkan kelas. Menghindari tatapan Wonwoo yang kebingungan.

Wonwoo menunduk. "Mungkin aku saja yang terlalu berharap."

.

.

.

.

.

Sementara di sisi kota Seoul yang lain, gedung-gedung pencakar langit berjajar rapih memenuhi sudut-sudut kota. Berjajar rapih bagaikan tentara yang tengah berbaris. Sementara agak kesisi yang lebih damai, perumahan elit menghampar luas. Rumah-rumah mewah dengan pagar tinggi dan halaman yang luas. Salah satu rumah yang bergaya eropa klasik dengan cat putih gading yang didominasi cokelat, terlihat salah satu kamar dengan gorden yang masih tertutup rapat.

Didalam kamar mewah itu, dua orang bergelung dibalik selimut, saling membelakangi. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Tapi keduanya masih mendengkur dengan lelap.

Drt. . .drt. . .

Getar ponsel yang berada di meja nakas memecah keheningan kamar mewah itu. Salah satu dari dua orang itu terbangun. Rambutnya yang panjang tergerai melewati bahunya. Ia mengucak matanya. Tubuhnya tidak terbalut sehelai benangpun. Dengan wajah jengkel diraihnya ponsel itu, setelah diamati, ternyata ponsel itu bukan miliknya, melainkan milik pria bersurai biru yang tidur bersamanya.

"Mingyu, Kim Mingyu!" Jeonghan mengguncang tubuh kekar Mingyu yang lelap.

Yang dipanggil tak menyahut. Masih sibuk mendengkur halus.

"Ya! Kim Mingyu, ponselmu bunyi!" Seru Jeonghan, kali ini berteriak.

"Argh! matikan saja!" Sahut Mingyu jengkel, menutup telinganya dengan bantal lalu kembali terlelap.

"Yang meneleponnya Kim Taehyung." Ucap Jeonghan lagi. Akhirnya Mingyu bangkit dengan wajah memberenggut kesal, meraih ponselnya.

"Halo?"

Sementara Mingyu bicara ditelepon, Jeonghan turun dengan sprei menutupi tubuhnya, memunguti pakaiannya, kemudian masuk kedalam kamar mandi.

"Koleksi bagus?" Ucap Mingyu pada Taehyung diseberang sana.

"Waktu itu juga kau bilang bagus, tapi Choi Minki bahkan lebih ganas daripada harimau betina." Sahut Mingyu dengan agak jengkel.

"Ya, ya, ya. Kalau begitu kau bawa saja nanti malam. Ada jadwal permainan dengan Klub sebelah." Ujar Mingyu lagi.

"Baiklah, awas saja kalau tak sesuai kalimatmu." Ancam Mingyu, kemudian menutup teleponnya.

Mingyu merebahkan tubuhnya kembali. Menatap jam dinding yang menggantung didepannya. Jam Sembilan kurang sepuluh menit.

Jeonghan keluar dengan rambut basah dan pakaian lengkap yang sudah membalut tubuhnya. Berjalan mendekati meja rias dan mulai mengeringkan rambutnya dengan hairdryer.

Mingyu melirik Jeonghan yang sibuk mengeringkan rambut.

"Kau mau pulang sekarang?" Tanya Mingyu.

"Ya, hari ini Seungcheol kembali dari Australia." Sahut Jeonghan. Suaranya terdengar samar karena menyatu dengan deru pengering rambut.

"Ck, padahal aku masih ingin bermain denganmu." Keluh Mingyu.

Jeonghan terkikik. "Kan ada Minki, dia bahkan jauh lebih cantik dariku." Sahut Jeonghan lagi.

Mingyu berguling, kemudian menopang dagunya dengan tangan, mengamati Jeonghan dari jauh.

"Jelas saja, Minki itu makhluk paling cantik yang pernah ada. Aku bahkan berebut dengan sepuluh orang di klub untuk memilikinya." Jawab Mingyu, menimpali sahutan Jeonghan.

Jeonghan melirik Mingyu dengan ekor matanya. "Siapa yang mempertaruhkannya di klub?" Tanya Jeonghan lagi.

"Taehyung."

Jeonghan bergumam sambil mematikan hairdryernya. "Taehyung pemasok yang bagus?" Tanya Jeonghan lagi.

"Dari segi wajah, memang bagus semua. Tapi yang dibawa Taehyung itu ibarat harimau betina, cantik dan ganas." Jelas Mingu. Jeonghan tertawa mendengarnya.

"Kau menyamakan Minki dengan Harimau?" Tanya Jeonghan masih dengan sisa tawanya.

"Hng,, bukan hanya Minki, tapi juga Jihoon, Kibum, Kyungsoo, dan lainnya. Tapi tadi dia bilang, kali ini ia bawa kelinci." Mingyu kembali berguling, telentang. Mengamati langit-langit kamarnya. Membiarkan tubuh polosnya hanya terbalut selimut sebagian.

"Kelinci? berarti bagus, kan?" Tanya Jeonghan. Kali ini ia sudah selesai menyisir rambutnya dan sedang memakai sepatunya.

"Hmm, kalau ucapannya benar." Gumam Mingyu.

Hening kemudian. Jeonghan sudah selesai memakai sepatunya, ia juga sudah memasukkan barang-barangnya kedalam ransel kecilnya. Rambutnya sudah terikat rapih kebelakang.

"Ya sudah, aku pulang dulu." Pamit Jeonghan.

"Baiklah!" Sahut Mingyu acuh tak acuh. Terdengar suara pintu berdebum menandakan Jeonghan sudah meninggalkan rumah.

Mingyu bangkit, meraih handuk dan masuk kamar mandi.

.

.

.

.

Sementara di kamar sebelah, sesosok cantik berambut pirang sebahu tengah berdiri di dekat jendela. Ditangannya tergenggam sebuah kalender kecil. Matanya menatap kosong keluar jendela. Mengamati seorang pemuda dengan rambut dikuncir yang berjalan di teras dan masuk kedalam mobilnya, kemudian keluar meninggalkan halaman rumah yang luas itu. Sosok cantik itu kembali mengamati kalender ditangannya dengan tatapan sayu. Setetes air mata menglir melintasi pipinya, menetes dipermukaan kalender itu. Kalender yang hampir sebagian besar diberi tanda silang.

Terdengar derit pintu terbuka, dan juga derap langkah yang berdecit karena gesekan sandal rumah dengan lantai marmer itu.

"Kenapa melamun sepagi ini, hm?" Tanya seorang pria berambut biru yang basah, tubuhnya masih memakai bathrobe berwarna putih selutut.

"Mingyu, lepaskan aku." Ucap sosok cantik itu.

Mingyu melepas pelukan mereka. Kemudian berjalan menuju ranjang yang sudah rapih. "Kenapa kau menangis lagi?" Tanya Mingyu lagi.

"Aku ingin pulang, Mingyu." Ucap sosok cantik itu lagi.

"Minta yang lain saja, pasti kukabulkan." Sahut Mingyu dengan tarikan napas panjang.

"Aku hanya ingin pulang, Mingyu. Aku ingin menjalani kehidupanku yang dulu."

"Cukup, Choi Minki. Sudah berulang kali kukatakan, jangan merengek pulang padaku. Aku ini bukan ibumu!" Kesal Mingyu.

Minki menoleh dengan gerakan lambat bagai manekin, menatap Mingyu dengan mata cantiknya yang sembab.

"Kalau begitu, kembalikan aku pada Ibuku, Mingyu." Pinta Minki lagi.

Mingyu bangkit. Dengan wajah memberenggut diseretnya tangan Minki, sampai pemilik tangan itu meringis kesakitan. Dalam satu kali hentakan. Mingyu menghempas Minki keranjang besar yang terbalut sprei putih polos itu. Dan ketika Minki tersadar, Mingyu sudah menindihnya.

Mereka bertatapan.

"Kuperingatkanmu, jangan pernah minta pulang. Sampai kapanpun aku takkan melepasmu." Ucap Mingyu, merunduk.

Minki mendorong wajah Mingyu perlahan.

"Kau sudah melakukannya semalaman dengan Jeonghan, kenapa sekarang ingin melakukannya lagi?" Minki membuang wajahnya kesamping.

"Memangnya kenapa? kau keberatan, hah?" Tanya Mingyu agak membentak.

"Aku lelah, Mingyu."

"Lalu apa peduliku? kalau kumau, ya kau tak boleh menolak. Aku ini pemilikmu, Minki!" Geram Mingyu.

Minki mendongak, menatap pria yang ada diatasnya itu dengan pandangan sinis yang menusuk. "Kau bahkan mendapatkanku dengan cara yang hina, Kim Mingyu."

"Bukankah itu sesuai dengan dirimu yang sama hina-nya?" Balas Mingyu sengit.

Mata Minki memerah. "Brengsek." Geramnya.

"Cukup sudah." Mingyu kembali merundukkan wajahnya, kedua tangannya mencengkeram pergelangan tangan Minki sampai sosok cantik itu tak bisa bergerak. Mencumbu dengan paksa.

.

.

.

.

Jam pulang sekolah berdentang. Hari ini hari terakhir sekolah dalam pekan ini, jadi mereka dipulangkan cukup sore. Wajah-wajah lelah terlihat jelas diwajah pelajar sekolah menengah atas itu. Berhamburan keluar dari kelas mereka dan bergegas menuju gerbang untuk segera sampai rumah.

Wonwoo berjalan sendirian. Kaki-kakinya yang panjang dan kurus diayunkannya dengan gerakan sedang. Beberapa kali ia menoleh kekanan dan kekiri, mencari adiknya yang masih tingkat dua.

Drt. . . Drt. . .

Wonwoo meraih ponselnya, melihat ID si penelpon, Jeon Jungkook. Adiknya.

"Halo, Jungkook-ah, kau dimana?"

"Oh, begitu?"

"Tapi jangan pulang larut malam. Dan, lagipula aku belum mengenal temanmu itu."

"Ck, iya, iya, jangan keluyuran terlalu lama. Pukul tujuh kau sudah harus dirumah bersamaku untuk makan malam!"

"Tidak ada alasan!" Ucap Wonwoo tegas sambil mematikan sambungan telepon.

Wonwoo kembali berjalan, melintasi parkiran. Dan menuju keluar, Wonwoo berangkat sekolah dengan kendaran umum. Dan kadang-kadang, ia pulang jalan kaki.

"Wonu-ya!"

Wonwoo menoleh, dan mendapati Zuho dengan skuter matic-nya yang berwarna putih.

"Ayo naik, temani aku keperpustkaan kota!" Ajak Zuho. Wonwoo tersenyum, lalu naik kejok belakang skuter itu, tangannya berpegangan pada bahu Zuho.

"Pengangan yang erat." Ucap Zuho, kemudian melajukan kembali skuternya.

.

.

.

.

"Bagaimana? hyung-mu sudah memberi izin?" Tanya seorang pemuda tampan berkemeja hitam dengan celana putih panjang bersurai pirang.

Yang disebelahnya mengangguk, lalu tersenyum sambil menunjukkan gigi kelincinya. Surai cokelatnya bergoyang perlahan saat ia mengangguk. "Iya, Wonu hyung sudah setuju. Tapi kita harus pulang pukul tujuh." Sahut Jungkook, tapi ia agak cemberut diakhir kalimatnya.

"Pukul tujuh? itu bahkan masih terlalu sore, Kookie-ah." Sahut pemuda pirang.

"Habisnya Wonu-hyung belum mengenalmu, Tae-hyung~" Sahut Jungkook dengan suara lucu.

Taehyung gemas, diusaknya surai cokelat Jungkook sampai pemilik rambut itu bersemu malu.

"Yasudah, karena waktu kita sedikit, ayo kita cepat pergi."

Taehyung menstater mobilnya, kemudian melaju membelah jalan raya. Berlalu dengan kecepatan cukup tinggi.

.

.

.

.

Wonwoo menutup bukunya. Ia sudah lelah membaca sambil menulis mengerjakan tugas fisika-nya. Benar-benar membosankan. Baru saja ia bebas dari bimbel di sekolah, Zuho menyeretnya keperpustakaan kota untuk mengerjakan tugas Fisika. Padahal ini akhir pekan.

"Psst. . . psst. . . Zuho-ya." Wonwoo berbisik-bisik memanggil Zuho yang diseberangnya. Mereka dipisahkan oleh meja yang begitu lebar.

Zuho menoleh, mengangkat kepalanya. Mengangkat sebelah alisnya, mengisyaratkan, "Ada apa?"

"Aku lelah. Pulang, yuk. Kita pinjam saja bukunya. Nanti kerjakan lagi dirumah." Ucap Wonwoo dengan nada suara lirih, bahkan nyaris tak terdengar. Ia tak ingin kena omel penjaga perpustakaan kota yang galaknya terkenal keseluruh sudut kota itu.

Untungnya, Zuho mengerti gerakan bibir Wonwoo, maka ia pun tersenyum. Lalu mengangguk. Bangkit berdiri sambil mengemasi barang-barangnya. Kemudian meraih buku tebal itu dan buku tebal dihadapan Wonwoo, membawanya menuju penjaga perpustakaan untuk dipinjam.

Sementara Wonwoo menunggu sambil mengemasi barang-barangnya.

Tak sampai tiga menit, Zuho sudah kembali lagi dengan dua buku tebal ditangannya.

"Ayo pulang." Ajaknya, memasukkan satu buku tebal itu kedalam tasnya. Sedangkan Wonwoo meraih buku yang satunya lagi kedalam tasnya.

Zuho meraih tangan Wonwoo, menggandengnya meninggalkan perpustakaan kota yang ramai namun hening bagai pekuburan.

Ketika mereka sudah diatas skuter, Zuho bertanya,

"Kau lelah? mau makan tiramisu, tidak?" Tanya Zuho. Wonwoo mengangguk semangat.

"Hu'um!" Sahutnya cepat. Zuho tersenyum, lalu melajukan skuternya.

Melintasi jalanan sore Seoul yang padat. Sementara jingga dicakrawala menjadi background kebersamaan mereka.

Zuho membawa skuter matic nya kesebuah kafe yang ada di sekitar Hongdae. Memarkirnya ditempat yang sudah disediakan. Kemudian mengajak Wonwoo masuk.

"Ini kafe keluargamu, kan?" Tanya Wonwoo.

"Psst, kita cari yang gratisan." Sahut Zuho, mengedipkan sebelah matanya. Dan Wonwoo tertawa.

Baru saja mereka akan duduk, sebuah suara baritone menyapa pendengaran mereka.

"Oh, Baek Zuho is here!" Ucap sebuah suara.

Zuho menoleh, dan mendapati manejer kafe itu, pamannya sendiri.

"Baekho!"

Dan Zuho mendapat satu pukulan dikepalanya.

"Aku ini lebih tua darimu, walaupun wajahku seumuran denganmu. Panggil aku hyung!" Ucap Baekho.

Zuho cemberut sambil mengusap kepalanya yang dipukul. Baekho adalah adik bungsu ayahnya, yang dipercaya mengelola kafe keluarga mereka.

"Iya, Baekho hyung."

Baekho menatap sekeliling, dan mendapati Wonwoo yang duduk bersama Zuho.

"Oh, kau membawa pacar manismu kesini. Seleramu bagus juga." Ucap Baekho, mengamat-ngamati Wonwoo.

Wonwoo tercengang mendengarnya, dengan refleks ia menunjuk dirinya sendiri sambil berucap, "Pacar?"

"Ya! Hyung, dia temanku, kau ini apa-apaan!" Ucap Zuho, merasa tak enak pada Wonwoo.

"Hahahaha, aku hanya bercanda, jangan sekaku itu. Baiklah, aku tinggal dulu ya." Ucap Baekho, yang kemudian berlalu kebagian dalam kafe.

Zuho mengelus dada, kemudian menghampiri meja pesanan. Mengucapkan beberapa kata kemudian kembali dengan sebuah nampan.

Wonwoo menatap senang nampan yang diletakkan Zuho. Dua porsi tiramisu dan dua cangkir americano. Zuho benar-benar tahu seleranya.

"Makanlah, katanya ini resep baru. Harusnya lebih enak." Gumam Zuho, meraih sendoknya dan mulai menyendok americano itu.

.

.

.

.

Sementara di sisi lain, Taehyung membawa Jungkook kesebuah apartemen mewah dikawasan elit. Menggandeng pemuda berseragam itu menuju kesebuah kamar.

"Hyung, untuk apa kita disini?"

"Tunggulah sebentar, aku ada yang harus diselesaikan." Ucap Taehyung. Jungkook mengangguk. Kemudian didengarnya derap langkah Taehyung menuju ruangan lain.

Jungkook berdiri menatap jendela. Membelakangi Taehyung. Menatap pemandangan sore dari ketinggian.

Sampai kemudian, ia merasa tiba-tiba sebuah benda menghalangi pernapasannya dengan bau menyengat.

"Hmph! hmph!" Jungkook berontak, mencoba menyingkirkan benda itu.

Detik berikutnya, Jungkook tak sadarkan diri.

Dan sesosok yang tadi membiusnya itu menggendong pemuda itu, membawanya kesebuah ranjang.

.

.

.

.

Waktu bergulir begitu cepat mentari sudah tenggelam. Dan sekarang, Zuho mengantarkan Wonwoo pulang kerumahnya yang sederhana.

"Zuho-ya, terima kasih!"

"Untuk apa?" Tanya Zuho bingung.

"Untuk hari ini." Sahut Wonwoo malu-malu. Zuho gemas karenanya.

"Baiklah, aku pulang dulu. Selamat malam."

Wonwoo masih berdiri didepan gerbang rumahnya sampai Zuho menghilang ditikungan jalan. Wonwoo bergegas masuk. Tubuhnya lengket dan lelah sekali.

Begitu didalam, Wonwoo segera melepas tasnya, kemudian menyalakan lampu-lampu. Dan berjalan menuju kamar mandi.

Tak sampai sepuluh menit, Wonwoo sudah selesai mandi. Tubuhnya terbalut kaos putih polos dan celana hitam pendek selutut. Handuk kecil tersampir dipundaknya. Wonwoo berjalan menuju kulkas, mengamati isinya. Ia harus masak untuk makan malam.

"Ada baiknya kutanya Jungkook ia mau makan apa." gumam Wonwoo. Diliriknya jam dinding, pukul tujuh kurang. Harusnya sebentar lagi Jungkook pulang.

Wonwoo meraih ponselnya. Menelpon Jungkook. Panggilan tersambung, namun tak kunjung ada yang mengangkat.

"Halo, Jungkook-ah?"

"Hmph! hmph!"

Wonwoo tercengang, menatap layar ponselnya, memastikan ia panggil itu Jungkook. Dan benar.

"Jungkook-ah! ada apa?"

"Hmph!"

"Jungkook-ah, kau dimana?"

Tut tut tut

Wonwoo menatap panik ponselnya. Dengan cepat ia mendial nomor Jungkook. namun tak aktif. Berkali-kali. Hanya operator yang menyahuti panggilan itu.

"Jungkook-ah! kau dimana?!" Wonwoo mengusak rambutnya frustasi.

.

.

.

.

To be continued Or END/?

REVIEW PLEASE

Note: Huwaaa FF baru rilis. Tiati, ini mungkin gak jadi FF mingguan kaya GET DOWN :') Dan, Casts nya seger semua ya :'v saya lagi suka yang seger-seger, soalnya masih jarang yang make. Oh ya, readers suka SF9? bias author Zuho :') tapi tetep fandom saya mah gak berubah. Bias doang yang nambah :')

Oh ya, genrenya berubah. Pengen coba genre baru tapi masih tetep yaoi bdsm *dirajam* Jangan lupa buat review yah, gak review nyesel lho.

KECEPATAN UPDATE TERGANTUNG BANYAKNYA REVIEW