Manik hazel Cagalli tak bisa lepas dari sosok pemuda yang berjalan beberapa langkah di depannya. Pemuda itu baru saja menolongnya, menyelamatkannya dari kemungkinan terlibat perang mulut atau bahkan adu jotos, dan tengah mengantarnya untuk menemukan kakak kembarnya. Pemuda itu mengaku kepadanya sebagai teman saudaranya─sahabat baik yang sering Cagalli dengar namanya dari mulut saudaranya, Kira.
"Jadi, kau Athrun Zala?"
Pemuda itu menghentikan langkahnya dan berputar menghadap Cagalli. "Ya. Apa Kira pernah bercerita padamu tentangku?"
Cagalli mengangguk. "Hampir setiap kali kami bertemu dia menceritakan tentangmu."
"Kuharap Kira hanya menceritakan hal baik tentangku," kata Athrun.
"Selalu yang baik," ujar Cagalli, "dalam ceritanya kau terdengar sempurna. Siswa serba bisa yang tak memiliki kelemahan."
Athrun meringis. "Itu berlebihan. Pasti dia tidak menceritakan tentang aku yang membolos untuk pergi ke game center," ujarnya.
Mata Cagalli melebar. "Kau pernah melakukan itu?"
Athrun mengangguk sembari tertawa. "Itu hari yang sangat menyenangkan. Aku, Dearka, dan Yzak, bermain seharian, sayang Kira tidak mau ikut. Tapi dia beruntung karena tidak ikut dihukum keesokan harinya."
Cagalli tidak ikut tertawa, ia memelotori Athrun dan menegurnya, "seorang siswa teladan bersenang-senang saat membolos, itu tidak baik tahu."
Pemuda bermanik hijau itu menelengkan kepala. Cagalli seketika sadar bahwa ia sudah melakukan kesalahan dengan mengomeli orang yang baru dikenalnya. Kata maaf sudah siap meluncur dari bibirnya kala tawa Athrun kembali terdengar.
"Akhirnya aku melihat sendiri si cerewet yang sering diceritakan Kira."
"Apa?!" Cagalli hampir tak memercayai pendengarannya. "Siapa yang kausebut cerewet? Aku, hah?!"
"Selain cerewet, kau juga pemarah ternyata," goda Athrun.
Mata Cagalli menyipit, ia bersidekap. "Ternyata kau tidak sebaik yang diceritakan Kira," dengusnya.
"Memang," sahut Athrun hampir seketika, "aku punya banyak kekurangan, juga kelemahan." Athrun mengangkat bahu tak acuh. "Sama sekali tidak sempurna." Pemuda itu menutup kalimatnya dengan senyum.
Dan saat itu Cagalli yakin, pemuda itu sempurna untuk menjadi cinta pertamanya.
.*.
Disclaimer:
Gundam Seed/Destiny © Masatsugu Iwase, Yoshiyui Tomino, Hajime Yatate Sunrise
(saya hanya meminjam karakter di dalamnya)
*.*
My Precious
(Sekuel dari My Princess)
By
Ann
*.*
Peringatan : AU, OOC (Sesuai kebutuhan cerita), Typo(s), Gaje (Silakan berpendapat sendiri),
Tidak suka? Mungkin bisa tekan tombol 'Back' atau 'Close'
Dan untuk kalian yang berniat meneruskan membaca ...
selamat menikmati.
.*.
Chap 1
More than friend, less than lover.
.*.
Mungkin, aku harus menerima kenyataan bahwa selamanya aku akan terjebak dalam cinta satu arah kepadamu.
.*.
"Dadah, Miss Cagalli."
Gadis kecil berkepang dua itu melewati ambang pintu, berlari ke arah ibunya yang menunggu di depan pagar sekolah. Cagalli mengawasi kepergiannya dengan senyum, dan ketika ibu anak itu mengangguk padanya, ia pun melakukan yang sama. Gadis kecil itu berlalu, begitupun anak-anak di kelas matahari yang diampu Cagalli. Tugas mengajar hari ini sudah selesai, tetapi ia masih harus tinggal di sekolah sekitar satu jam lagi untuk merapikan ruang belajar dan menyiapkan materi untuk esok hari. Menemani anak-anak bermain sambil belajar sudah menjadi rutinitas hariannya. Mengajar anak-anak menyenangkan, tapi terkadang juga menyebalkan. Meski begitu Cagalli menyukai pekerjaannya, bahkan mencintainya.
Cagalli baru selesai merapikan rak buku di sudut kelas, ketika ia menyadari ada seseorang yang berdiri di depan kelas. Menunggunya. Seperti biasa pria itu selalu datang─jika pekerjaan kantor tidak sedang menyita waktunya─untuk menjemput Cagalli.
"Kau di sini? Bukannya kaubilang hari ini ada rapat?" tanya Cagalli sambil mengumpulkan peralatan mengajar dan menyimpannya di lemari.
Pria itu melangkah masuk ke dalam kelas, mengambil penghapus papan tulis, dan menyapukannya ke white board yang belum sempat Cagalli bersihkan.
"Klienku menunda rapat, tak ada yang bisa kukerjakan di kantor. Jadi, aku ke sini." Pria itu menjawab dengan santai.
Cagalli tertawa. "Seorang presdir tak punya kerjaan di kantor, itu aneh," tanggapnya.
"Tidak ada yang aneh dengan itu, seorang presdir bisa menentukan kapan dia akan bekerja, dan kapan dia akan bersantai," sahut pria berambut biru gelap itu.
"Ah, enak sekali. Kalau begitu aku juga mau." Cagalli mengambil buku-bukunya dari meja dan melangkah ke pintu. "Terima kasih sudah menghapus papan tulisnya, Pak Presdir," ucapnya ketika melewati pria yang tak lain adalah Athrun Zala, CEO dari Zala Corporation.
"Terima kasih kembali, Miss Cagalli," sahut Athrun, mengopi panggilan yang sering dipakai murid Cagalli.
Mereka melangkah keluar, berbicara banyak hal sambil melangkah di koridor. Setahun sudah berlalu sejak kecelakaan yang menimpa Cagalli. Ia sudah pulih dari semua cederanya, bahkan dokter sudah memastikan hal itu, namun kebiasaan Athrun untuk datang menjemputnya di waktu pulang kerja sama sekali tidak berubah. Pria itu selalu datang di waktu-waktu kosongnya untuk menjemput Cagalli. Seringkali Athrun langsung mengantar Cagalli pulang, tetapi tak jarang mereka pergi makan malam bersama atau sekadar jalan-jalan sebelum Cagalli diantar ke depan rumahnya. Segala hal yang terjadi membuat keduanya memiliki hubungan pertemanan yang erat, namun sayangnya tak pernah lebih dari itu. More than friend, less than lover.
Bentuk pertemanan yang ambigu ini seringkali membuat Cagalli berharap lebih. Ia berharap suatu hari Athrun akan memberikan tempat baginya di hati pria itu, bukan sebagai teman melainkan kekasih, seorang teman hidup. Karena sampai hari ini Cagalli masih menaruh hati pada pria yang sudah ia sukai sejak berusia enam belas tahun itu.
"Setelah ini apa kau sibuk?" tanya Athrun saat mereka melangkah bersisian ke mobil pria itu.
Cagalli mengamati wajah Athrun, ada yang aneh, sepertinya pria itu tengah menyembunyikan sesuatu. "Memangnya kenapa?" tanyanya kemudian.
"Ayo pergi makan malam," ajak Athrun.
"Di Happy Family?"
Athrun menggeleng. "Kita coba tempat lain," jawabnya.
"Asal bukan pasta aku mau," sahut Cagalli cepat.
"Yah, padahal aku berencana mengajakmu makan di restoran Italia." Athrun berpura-pura kecewa.
Cagalli memutar bola matanya. Athrun tahu pasti kalau ia paling tidak suka makanan Italia. Pria itu pernah berkeras mengajaknya makan di salah satu restoran Italia ternama, tapi akhirnya ia hanya makan sup jamur dan sesuap spaghetti spicy barbeque yang merupakan menu andalan restoran itu. Setelah itu Athrun tak pernah lagi mengajaknya makan di restoran Italia. "Lebih baik kau mengajakku makan kebab daripada pasta," ujarnya santai seraya masuk ke dalam mobil.
"Tidak bosan makan kebab melulu?" tanya Athrun saat mobil yang dikemudikannya mulai memasuki jalan raya.
"Tidak. Aku suka." Cagalli menjawab dengan cepat.
"Pasti enak jadi pacarmu, tak perlu keluar banyak uang saat mentraktirmu makan," ujar Athrun.
Wajah Cagalli memerah tanpa bisa dicegahnya, padahal Athrun hanya menyebut kata "pacar" bukannya berkata ingin jadi pacarnya.
"Sayangnya aku tak ingin punya pacar," kata Cagalli. Ia berusaha terlihat santai meski sebenarnya ia melirik spion atas untuk melihat reaksi Athrun. Cagalli sedikit kecewa saat melihat reaksi Athrun yang biasa saja.
Apa sebenarnya yang kauharapkan, Cagalli?
"Kenapa?" tanya Athrun.
Cagalli menghela napas. "Umurku sudah dua lapan, bukan saatnya pacar-pacaran lagi. Aku ingin punya suami," kata Cagalli mantap.
"Suami?!" Kali ini Athrun sedikit bereaksi, keningnya berkerut sedikit karena terkejut.
"Iya, suami." Cagalli mengangguk. "Kira saja sudah hampir menikah, masa aku─" ia menggantung kalimatnya ketika menyadari sudah memasuki topik pembicaraan berbahaya.
Memang waktu sudah berlalu lebih dari setahun, dan Athrun juga sudah mengatakan bahwa pria itu sudah merelakan Lacus untuk Kita, tetapi Cagalli tak pernah tahu bagaimana perasaan Athrun sebenarnya. Bisa saja Athrun sampai detik ini masih mencintai Lacus.
"Tak apa-apa, Cagalli," ujar Athrun. "Aku ikut senang jika mereka bahagia. Jadi, tanggal pernikahannya sudah ditentukan?"
"Bagaimana bisa aku menikah, calonnya saja belum ada," sahut Cagalli.
Athrun tertawa. "Yang kumaksud pernikahan Kira dan Lacus."
Wajah Cagalli menjadi semerah tomat. Ia membuang muka untuk menyembunyikannya. Memilih untuk mengamati pemandangan di luar jendela mobil. Dalam hati ia merutuki kebodohannya, yang sudah salah mengartikan pertanyaan Athrun. "Aku belum tahu kapan."
"Katakan saja kalau kalian membutuhkan bantuanku ya," kata Athrun.
Cagalli hanya mengangguk, masih tak berani memandang Athrun dengan wajahnya yang merah padam.
"Ah, itu juga berlaku untuk pencarian jodohmu, Cagalli."
Cagalli mendesah, jika Athrun memang ingin membantu pria itu cukup mencalonkan diri saja, dan semua masalah pencarian jodoh Cagalli akan terselesaikan dengan baik.
.*.
Akhirnya mereka memilih sebuah restoran yang menyajikan makanan Timur Tengah sebagai tempat persinggahan. Namun, kali ini Cagalli tidak memesan kebab seperti biasanya. Nasi briyani dan teh tarik menjadi pilihannya kali ini. Pilihan yang membuat Athrun menggodanya.
Seporsi nasi briyani dan teh tarik sudah berpindah ke dalam perut Cagalli, ketika Athrun berkata bahwa pria itu memerlukan bantuannya.
"Bantuan macam apa?" tanya Cagalli sembari mengamati Athrun yang duduk di hadapannya.
Pria itu menarik napas dalam berkali-kali sebelum akhirnya menjawab, "bantu aku bertemu seseorang."
Cagalli menelengkan kepala, jawaban Athrun benar-benar membuatnya bingung. "Siapa?"
"Meyrin Hawke."
Jantung Cagalli berdegup kencang kala mendengar nama seorang wanita keluar dari mulut Athrun. Seharusnya ia tidak merasa aneh dengan hal itu, sebab pria seperti Athrun pastinya mengenal dan berinteraksi dengan banyak orang setiap harinya. Namun, nama asing itu sepertinya memiliki arti lain sehingga harus disebutkan di dalam percakapan mereka, bahkan Athrun ingin ia menemuinya. "Dan siapa dia?" selidiknya. Ia berdoa dalam hati bahwa hubungan wanita itu dengan Athrun bukan jenis hubungan yang akan menyakitinya.
"Seorang model dari agency mamaku," jelas Athrun, "Mama mengenalkanku dengannya beberapa waktu lalu."
Cagalli bisa menduga akan ke mana arah pembicaraan ini berjalan. Andai saja bisa, ia ingin melesat pulang dan bersembunyi di kamarnya. Ia tak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Benar-benar tak ingin melakukannya. Namun, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang adalah melanjutkan pembicaraan ini. "Kenapa? Apa ada hubungannya dengan pekerjaan?"
Cagalli berharap Athrun memberi jawaban, "Iya". Tetapi Athrun menggeleng, "Mama ingin aku mencoba menjalin hubungan dengannya."
Cagalli hanya diam sementara Athrun meneruskan kalimatnya.
"Mama ingin aku move on dari Lacus dan coba menjalin hubungan baru. Jadi ia memaksaku berkenalan dengan Meyrin, dan─"
"Kau sudah lama kenal dengannya?" potong Cagalli.
"Ya, kira-kira sebulan. Aku sudah pergi dengannya tiga kali," jawab Athrun.
"Jadi, kau menyukainya?" tanya Cagalli lagi. Ia berharap mendapat jawaban: "Tidak", tetapi itu mustahil mengingat Athrun sudah pergi dengan Meyrin sebanyak tiga kali. Pria mana pun yang mau pergi dua kali dengan seorang wanita jelas menyukainya, apalagi jika tiga kali.
"Dia gadis yang baik," jawab Athrun diplomatis.
"Dan kau menyukainya," tembak Cagalli.
Athrun hanya mengangkat bahu. "Aku tak yakin dengan perasaanku, makanya aku memintamu untuk bertemu dengannya."
Cagalli menggigit bibir. Bagaimana bisa Athrun meminta bantuannya untuk menemui wanita yang ingin dipacari oleh pria itu, sementara yang Cagalli inginkan adalah berada di posisi wanita itu.
"Kenapa aku? Kurasa peran ini tidak cocok untukku. Kaulah yang akan menjalin hubungan, jadi kau sendiri yang harus menilainya."
Athrun menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Aku ingin tahu pendapatmu. Kau temanku, aku tak tahu harus meminta pendapat siapa lagi. Karena jujur saja, aku tidak memercayai penilaianku sendiri untuk hal-hal seperti ini. Jika menurutmu dia baik, maka─"
"Kau akan berhubungan serius dengannya?" Lagi-lagi Cagalli memotong kata-kata Athrun.
Athrun mengangguk. "Ya."
Rambut pirang sebahu Cagalli bergoyang ketika ia menggeleng. Ia tak habis pikir mengapa Athrun bisa memberinya kepercayaan yang begitu besar. "Tidak mungkin. Kenapa kau menyerahkan masalah sepenting ini padaku?"
"Aku percaya pada penilaianmu," Athrun menjawab dengan enteng.
"Yang benar saja! Kau yang akan menjalani hubungan dengannya, kenapa melibatkanku?!" Cagalli terdiam, menyadari suaranya yang meninggi.
"Kupikir kaubisa membantuku, selama ini kau selalu melakukan itu. Tapi kalau kau keberatan tak apa, anggap saja aku tak pernah memintanya." Athrun terdengar kecewa, dan Cagalli benar-benar tak bisa melihat kekecewaan di mata hijau pria itu.
"Maksudku bukan begitu, aku hanya─"
"Jadi kau mau?" Athrun tersenyum. Terlihat begitu senang padahal Cagalli belum mengiakan permintaannya. "Aku tahu kau akan bersedia. Karena kau adalah teman yang perhatian, Cagalli. Kau akan membantuku. Aku tahu itu."
Cagalli hanya bisa diam. Ingin sekali ia memprotes, namun tiba-tiba mulutnya terkunci. Lalu ketika Athrun mulai menyebutkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki Meyrin, Cagalli tahu bahwa ia harus memotong pohon harapan yang tumbuh di hatinya selama setahun ini.
.*.
Bersambung ...
.*.
Halo, ketemu lagi dengan saya. Nggak bosen kan?
Setelah lama berwara-wiri di fandom sebelah, saya sekarang mau ngabisin akhir tahun dengan main di fandom GS lagi juga. Hehe ...
Hum, bisa dibilang fanfik ini adalah sekuel dari fanfik saya My Princess, tapi kali ini saya akan fokus di hubungan Athrun dan Cagalli dengan tetap melibatkan Kira dan Lacus tentunya. Di akhir My Princess saya pernah menyebutkan akan membuat sekuel ini dalam bentuk oneshot, namun ternyata menulis kisah AsuCaga tak cukup hanya dalam satu OS saja, makanya saya membuat fanfik multichapter.
Akhir kata, terima kasih untuk kalian yang menyempatkan diri mampir di fanfik saya, dan maaf sekali jika di dalamnya masih terdapat begitu banyak kekurangan.
See ya,
Ann *-*
