Disclaimer : I don't own Naruto, all character belong to Masashi Kishimoto, but this story is mine.

Pairing : SasuSaku

Warning : AU, OOC, typo, etc. Terinspirasi dari novel Jodoh untuk Naina.

.

.

Kepalaku menunduk. Aku tidak berani menatap wajah Ayah, ataupun memotong perkataan Beliau. Hatiku gelisah dan bimbang setelah mendengar apa yang Ayah sampaikan tadi.

"Jadi bagaimana pendapatmu, Sakura?" Suara berat Ayah kembali menarik perhatianku yang sempat teralih. Aku masih bingung untuk menjawabnya. Aku tahu umurku yang sudah hampir masuk kepala tiga sudah tidak bisa dibilang muda lagi untuk menyandang status sebagai perempuan lajang, dan anggota keluargaku yang lain sudah lama mendesakku agar segera menentukan pilihan dan menikah. Supaya aku tidak dicap sebagai perawan-tua-tak-laku oleh sebagian warga kampung. Tapi untuk gadis kampung sepertiku, mendapatkan jodoh di usia dua puluh delapan tahun, dan dengan kondisi ekonomi keluarga Ayah yang mumpuni, tidaklah mudah.

Sahabatku Ino pernah bercerita,kalau para laki-laki di desa kami segan melamarku, karena aku adalah anak dari Pak Kizashi, salah satu Tuan Tanah terpandang di Desa Konoha. Para laki-laki itu takut, jika melamar dan memperistriku, aku akan menuntut hal—berkaitan dengan materi—yang macam-macam dari mereka.

"Sakura?" Ayah kembali menegur.

Aku menatap Ayah, "Iya Yah?"

"Kamu belum menjawab pertanyaan Ayah tadi," ucap Ayah kalem, "bagaimana pendapatmu tentang perjodohan ini, Sakura?"

Aku mendesah. Ayah masih bertanya padaku mengenai kesediaanku untuk dijodohkan dengan anak salah satu temannya dari Kota. Bukannya aku tidak bersyukur dengan perjodohan ini, aku hanya kaget. Dan menurutku ini terlalu mendadak. Dan lagi … apa laki-laki kota, anak teman Ayah itu bersedia dijodohkan dengan perempuan desa sepertiku? Setahuku, seperti yang kulihat di tivi-tivi perempuan kota memiliki paras yang jauh lebih cantik dari perempuan desa.

"Sakura terserah Ayah saja," hanya itu jawaban terbaik yang bisa kuucapkan. Lagipula aku percaya, Ayah tidak akan memilih calon suami yang buruk untukku, "Kalau menurut Ayah, dia laki-laki baik, Sakura bersedia," ucapku pelan.

Ayah tersenyum, "Dia laki-laki baik, Nak. Dia dewasa, bertanggung jawab,dan punya pekerjaan bagus. Ayah yakin dia bisa menjadi pemimpin rumah tangga yang baik untukmu."

"Apa Ayah pernah bertemu dengan dia?" Tanyaku lagi, sedikit ingin mendapat gambaran mengenai laki-laki yang ingin dijodohkan Ayah denganku.

"Tentu saja Nak. Malah kalian juga pernah bertemu."

Oh ya? Keningku berkerut mendengar perkataan Ayah. Aku dan laki-laki kota anak teman Ayah ini pernah bertemu? Mengalihkan pandangan dari wajah Ayah ke televisi yang menyala tanpa ditonton, di depan kami, aku memutar otak, coba mengingat beberapa anak teman Ayah yang pernah bertemu denganku.

"Waktu kalian kecil tapinya," Ayah terkekeh melihat raut wajah penasaranku berubah cemberut, "dia anaknya Paman Fugaku. Yang dulu tinggal di sebelah rumah Kakek Tazuna."

Jadi dulu Teman Ayah dan anaknya yang dari kota itu pernah tinggal di desa ini?

"Waktu kecil kamu paling takut sama Paman Fugaku, karena dia seorang Dokter gigi. Setiap kali ketemu Paman Fugaku, kamu selalu nangis dan kabur," nostalgia Ayah sambil tersenyum kecil. "Dan dua anaknya dulu sering main kemari. Yang sulung sepantaran dengan Kakakmu, Temari, dan yang bungsu seumuran dengan Abangmu, Kankurou."

Aku meringis masam,"Maaf Yah, Sakura nggak ingat." Aku sudah coba mengingat tentang Paman Fugaku ataupun kedua anaknya, tapi gagal. Mungkin karena sudah terlalu lama.

"Wajar kalau kamu nggak ingat Nak. Umur kamu waktu itu masih sekitar enam tahunan."

"Oh," Aku mengangguk, lalu keningku berkerut lagi saat menyadari sesuatu, "Tapi Ayah, aku akan dijodohkan dengan anak Paman Fugaku yang mana? Yang sulung, atau yang bungsu?" aku tidak tahu Paman Fugaku punya berapa anak, tapi tadi Ayah bilang ada si sulung dan si bungsu.

"Yang bungsu. Namanya Sasuke. Beda umur kalian hanya lima tahun, dan dia sekarang bekerja sebagai Dokter anak. Mengikuti jejak Ayahnya."

Aku mengangguk. Dan kemudian suasana hening. Ayah tampak kembali fokus menonton acara siaran berita favotirnya, sementara aku terhanyut dalam pikiranku lamunanku sendiri.

"Jadi Sakura? Bagaimana?" Ayah kembali menanyakan pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya di pagi ini.

Aku menarik napas sejenak, lalu menatap Ayah tepat di mata. "Karena menurut Ayah dia laki-laki baik, dan bisa menjadi calon kepala rumah tangga yang tepat untuk Sakura. Sakura bersedia menerima perjodohan ini," jawabku mantab.

Mata Ayah terbelalak, dan kemudian dia tersenyum senang. Dia berkata akan segera menelpon Paman Fugaku, untuk menyampaikan bahwa aku sudah setuju untuk dijodohkan dengan anaknya. Tapi tiba-tiba raut wajah Ayah berubah serius, dia seperti baru mengingat sesuatu.

"Tapi Sakura …," Ayah terlihat gelisah, "ada yang lupa Ayah beritahukan padamu."

"Apa itu Yah?"

"Tentang status laki-laki yang akan Ayah jodohkan denganmu."

"Ya?"

Ayah mendesah, "Dia seorang Duda. Memiliki satu anak laki-laki berusia lima tahun."

Mataku terbelalak mendengarnya. Ayah ingin menjodohkanku dengan seorang Duda?

"Jadi Nak, apa setelah tahu status calon jodohmu, kamu masih akan tetap memakai pendapat Ayah tentang pria itu sebagai pertimbangan?"

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Ayah, terdengar suara salam dari arah pintu depan. Itu Ibu dan Kak Temari yang baru pulang dari pasar.

.

.

Butuh waktu tiga hari bagiku untuk berpikir mengenai perjodohanku dengan anak bungsu Paman Fugaku. Aku tidak bermaksud jual mahal atau meremehkan statusnya sebagi duda satu anak, aku juga tidak bermaksud meragukan penilaian Ayahku terhadap laki-laki kota itu. Hanya saja, mendengar bahwa dia adalah duda yang memiliki anak membuatku … takut. Aku takut tidak bisa beradaptasi dengan anaknya, dan aku juga takut hubungan kami—jika menikah nanti—akan dihantui oleh bayang-bayang mantan istrinya.

Dari cerita Ayah, anak bungsu paman Fugaku bercerai setelah istrinya melahirkan. Si istri tampaknya tidak siap memiliki anak. Istrinya itu masih sangat muda, dia memiliki ambisi untuk mengejar karir, menjadi seorang sosialita (yang aku tidak mengerti apa manfaatnya), dia juga masih ingin bersenang-senang dan berplesiran kemana pun dia mau. Menurut perempuan itu, memiliki anak akan menghambat karir dan ambisinya. Jadi saat umur si anak belum mencapai seminggu, dia mengajukan gugatan cerai.

Kak Temari dan Ibu juga meyakinkanku kalau memiliki anak tiri tidaklah buruk. Kata Ibu, anak yang akan masuk ke dalam kehidupanku setelah menikah nanti adalah seorang malaikat kecil, yang bisa menceriakan hariku dan membuat ikatan hubunganku dengan Ayahnya jadi makin erat.

"Ayah sudah menelpon Paman Fugaku dan keluarganya," beritahu Ayah pada aku dan Ibu yang sore itu sedang menonton acara televisi di ruang keluarga. Beliau tampak sumringah. "Lusa mereka akan kemari untuk melamar."

Ibu tersenyum dan memelukku bahagia. Sementara aku hanya bisa menunduk malu-malu dengan jantung yang berdetak kencang.

.

.

Aku berkali-kali menghela napas gelisah. Kak Temari tersenyum melihatku yang tak bisa tenang.

"Ada apa Dik?" dia menghampiri, lalu ikut duduk di atas ranjang di sampingku. Malam ini dia menemaniku di dalam kamar, sementara Ayah, Ibu, Bang Kurou, Bang Shika dan Gaara, ada diluar untuk menyambut para tamu yang datang.

Malam ini rumah kami memang ramai oleh para tamu undangan dan keluarga calon besan, karena akan diadakan acara lamaran. Walau ini hanya sekedar acara basa-basi sebelum pernikahan, tapi Ayah dan Paman Fugaku bersikeras untuk mengadakannya. Karena menurut para orang tua itu adalah acara adat yang harus dilestarikan. Dan pernikahan kami akan dilaksanakan minggu depan, pukul delapan malam.

"Gugup Kak," sahutku pelan. Tanganku gemetar dan dahiku mulai berkeringat.

"Gugup itu wajar Dek." Kak Temari meraih tanganku, kemudian meremasnya lembut, coba untuk menenangkan, "Asal nggak keterusan sampai di depan calon mertuamu. Nanti Ayah dan Ibu bisa malu kalau kamu sampai pingsan di depan mereka," candanya.

Aku terkekeh. "Apa Kakak juga gugup sebelum menikah dengan Bang Shikamaru?"

"Di acara lamaran seperti ini?" tanyanya balik.

Aku mengangguk.

"Tentu saja gugup," jawab Kak Temari, "tapi Kakak bisa mengatasinya. Dan Kakak bahkan bisa membuat Bang Shikamaru juga seribu kali lebih gugup dari Kakak. Waktu kami pertama kali salaman, tangannya sangat dingin seperti es batu," ceritanya.

Kami berdua tertawa bersama.

Tak lama kemudian suara ketukan pintu terdengar, dan kami berdua berpaling pada pintu yang terbuka. Ibu tersenyum lebar menghampiri kami.

"Sudah waktunya calon pengantin keluar," kata Ibu sembari menuntunku bangun dengan dibantu Kak Temari.

Aku menghela napas gelisah, jantungku berdentum sangat kencang, dan perutku mendadak mulas saat menyadari kalau aku akan segera dipertemukan dengan keluarga calon suamiku. Aku harap mereka menyukaiku, dan aku harap anak Sasuke—calon anak tiriku—bisa menerimaku sebagai ibunya kelak.

Ibu membawaku ke ruang keluarga yang cukup luas, setelah beberapa perabotan seperti sofa dan meja disingkirkan ke gudang untuk sementara. Di sana sudah berkumpul para perempuan yang sebagian besar kukenal. Ada beberapa istri tetua desa, dan juga para bibi yang memiliki ikatan keluarga dengan ayah dan juga ibuku.

Seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik, dengan rambut legam dan mata sekelam malam, tiba-tiba menarikku dalam pelukannya. Beliau lalu memperkenalkan diri sebagai Uchiha Mikoto, Ibu dari Uchiha Sasuke, calon suamiku. Sambil tersenyum lembut, Ibu Mikoto berkata kalau aku cantik, dan dia berharap aku bisa menjaga anak dan cucunya dengan baik.

Kemudian aku berkenalan dengan Izumi, Kakak Ipar Sasuke. Dia perempuan yang sangat ramah dan humoris.

Keluarga Sasuke menyambutku dengan gembira dan ramah, mereka memperlakukanku seperti keluarga sendiri. Dan itu membuat rasa gugupku perlahan hilang.

Saat Ibu dan Ibu Mikoto sedang menasehatiku tentang pernikahan, kewajiban seorang istri, dan juga kebiasaan Sasuke, seorang laki-laki tegap berkemaja putih tiba-tiba datang dari arah ruang tamu, sambil menggendong seorang bocah laki-laki tampan berpipi gembul dengan rambut hitam jabrik. Bocah itu terlihat mengantuk, dia meringkuk nyaman dalam pelukan si laki-laki—yang kuakui—berparas rupawan mirip Ibu Mikoto itu.

"Maaf Ibu-ibu," dia tersenyum canggung menyapa para Ibu yang berkumpul di ruang keluarga. Matanya tampak mencari-cari, sebelum akhirnya tertuju pada Ibu Mikoto dan Kak Izumi. "Tobi mengantuk," beritahunya.

"Oh. Cucuku Sayang." Ibu Mikoto member isyarat pada Kak Izumi untuk mengambil cucunya dari gendongan laki-laki itu.

Setelah menyerahkan anak bernama Tobi pada Kak Izumi, laki-laki itu berpamitan pada ibu-ibu lain dan mengatakan bahwa dia akan kembali ke ruang tamu. Lalu dia menoleh ke arahku, dan tatapan kami bertemu. Dia kemudian tersenyum dan mengangguk, sebelum akhirnya kembali ke ruang keluarga.

"Nak Sakura tahu siapa laki-laki tadi?" tanya Ibu Mikoto sambil tersenyum-senyum. Dia sudah menimang sang cucu dalam pangkuannya.

Aku menggeleng.

"Dia Sasuke, Nak."

Mataku melebar.

"Dan yang ini Uchiha Obito, panggilannya Tobi, anak Sasuke dari pernikahan pertamanya," jelas Ibu Mikoto.

Oh ya ampun. Aku menatap takjub anak kecil yang ada dalam pelukan Ibu Mikoto. Tobi balas memandangku dengan mata mengantuknya.

Anak yang menggemaskan.

Dan ayah yang tampan.

.

.

TBC