Disclaimer:

Kuroshitsuji dan seluruh karakter beserta plot-nya adalah kepunyaan Yana Toboso. Saya hanya meminjam karakter miliknya untuk disertakan dalam plot milik saya.

Judul dari fic ini adalah judul lagu milik Azu, "I Will"

Warning :

AU, abal, OOC tingkat dewa, author ngaco, horror yang mungkin ga horror. (==,)

Sebastian POV! Check it out! Enjoy~


.

Karena di saat kita ingin bersatu, dunia tak pernah mengijinkan

Tetapi di tengah keputusasaan

Kita tetap berusaha untuk percaya pada sesuatu yang bernama cinta

Hanya demi harapan akan hari esok

.


I Will

Chapter 1 : The Orchestra

dedicated for Halloween day

.

by

Shigure Haruki

.

.

KREK!

Pintu masuk sedikit berderit seperti lama tak terurus ketika aku memasuki rumah ini. Rumah yang baru kubeli memang konon sudah berusia ratusan tahun, bergaya klasik abad XIX, dan sangat megah. Rumah ini terdiri dari empat lantai dengan cat hitam-kelabu dan warna tirai-tirai yang gelap. Berukiran indah seperti milik bangsawan dan dikelilingi pepohonan rindang.

Rumah ini terlihat sangat nyaman. Namun, tampaknya sedikit sekali penghuni yang bertahan lama di tempat ini. Mereka bilang rumah ini angker. Aku pun hanya tinggal di sini untuk menerima tantangan temanku, Undertaker, yang tergila-gila dengan hal mistis. Dan kurasa… tak ada salahnya mencoba.

Dua buah tangga melingkar berukiran emas putih terbentang di depan mataku tepat ketika pintu besar tadi terbuka. Di langit-langit bergantung lampu-lampu mewah yang berkilau jika menyala—terdiri dari kristal-kristal bening yang tampak mahal. Hanya dengan melihat lobby ini saja, aku sudah bisa menaksir harga rumah ini yang sebenarnya jika bukan karena predikatnya. Mungkin mencapai jutaan poundsterling? Tak hanya sampai di situ, aku menemukan banyak sekali fasilitas mewah, lukisan mahal, ukiran platina, kristal-kristal dan sutera yang menghiasi rumah. Rumah ini benar-benar 'Wah!'. Aku terus mengelilingi rumah ini sampai tak ingat sudah berapa banyak pujian yang telah kulontarkan untuknya.

Setelah selesai berkeliling, aku pun memutuskan untuk kembali ke kamarku sendiri—melanjutkan beres-beres yang tertunda karena aku terlalu kagum akan kemegahan rumah ini. Sampai aku sadar betapa sepinya rumah ini. Tanpa tetangga, tanpa penghuni lain. Benar-benar hanya aku sendiri. Maka kuputuskan untuk menghubungi temanku yang memberi tantangan ini—sambil berjalan kembali ke kamarku tentunya.

"Yo, Sebs! Ada apa menghubungiku? Kau sudah melihat rumahnya?" tanya suara Undertaker di ujung sana. Ia terkikik mengejek ketika menyebutkan kalimat terakhir.

"Yeah! Rumahnya, ya? Mm, menurutku rumah ini terlalu megah untuk harga segitu," Undertaker tertawa mendengar responku. Dapat kubayangkan sosok berambut perak itu tengah tertawa seperti orang gila.

"Kau benar! Tapi kau belum melihat 'semuanya', Sebastian! Kau akan mengerti harga rumah itu yang sebenarnya setelah melihat peristiwa-peristiwa menegangkan di dalamnya. Rumah itu hebat!" ujarnya antusias—berhubungan dengan mistis tentunya.

"Kau gila," desisku sambil setengah tertawa ketika Undertaker bercerita lebih banyak lagi tentang keanehan rumah ini. Ya, aku memang tak percaya pada hal gaib yang di luar akal sehat. Tetapi sepertinya ide ini menarik juga.

"Kapan-kapan aku dan yang lainnya akan menginap di sana. Kami juga penasaran dengan 'keunikan' rumah itu," Undertaker terdengar sangat senang, "Baiklah, nanti kuhubungi lagi. Sampai jumpa, Sebs! Hati-hati!"

Aku hanya menggumamkan kata 'ya' mendengar pesan sahabatku itu—bingung akan hal apa yang akan kulakukan selanjutnya di rumah besar ini sendirian. Saat itu kudapati diriku berada di tengah koridor lantai dua yang gelap karena cahaya tak dapat masuk dari jendela yang terhalang tirai-tirai hitam. Koridor ini suram sekali. Maka kuputuskan untuk menyibakkan tirai-tirai yang memblokir cahaya matahari itu.

Tak. Tuk. Tak.

Aku mendengar derap langkah ketika hendak menyibakkan tirai. Sontak saja aku memutar balik tubuhku untuk menghadap arah suara. Suara langkah-langkah itu membuatku mulai sedikit percaya pada pernyataan-pernyataan tak logis Undertaker tentang rumah ini.

"Siapa?" tanyaku lantang dengan nada suara yang tidak ramah. Seharusnya hanya ada aku sendiri di rumah ini, bukan? Jika bukan 'makhluk lain', orang yang akan muncul di hadapanku ini pastilah orang tak tahu diri yang berani menginjakkan kaki ke sini seperti pencuri. Ketika cahaya temaram lilin mulai mendekat dan sosok itu mulai terlihat, rasanya semua pemikiran burukku tadi ditarik paksa oleh sosok yang ditunjukkan takdir padaku.

Seorang remaja mungil berambut kelabu tengah berdiri dengan jubah tidur dan piyama di baliknya. Sebuah candelabra—tempat lilin-lilin—ia bawa di tangan kirinya yang pucat seperti mayat. Iris biru safirnya memantulkan cahaya yang minim itu dengan sangat indah. Dengan tatapan kosong ia menatapku sambil melangkah mendekat.

"Penghuni baru lagi, ya?" tanyanya ramah ketika kami berhadapan. Ia mengulurkan tangannya ke arahku sambil memperkenalkan diri, "Namaku Ciel, senang berkenalan denganmu."

"Aku Sebastian. Sebastian Michaelis," jawabku sambil meraih uluran tangannya dengan ragu. Hanya dengan satu senyuman, anak ini berhasil membuatku memujanya. Ia sangat manis. Keheningan pun menyeruak masuk ketika aku kehilangan kata-kata—menatapi wajah tersenyumnya dengan tangan yang masih tertaut.

"Kau penghuni rumah ini? Sepertinya agen telah menipuku," kataku berusaha membuka percakapan. Aku sedikit canggung ketika ia tertawa kecil—tawanya renyah dan sangat riang—entah kenapa membuatku tak bisa berpaling. Ciel orang pertama yang memikatku sampai seperti ini.

"Mereka juga bilang begitu," kata Ciel sambil mulai melepaskan jabatan tangan kami. Jauh di lubuk hati aku merasa sedikit kehilangan—seperti ingin menyentunya lagi, ia benar-benar halus!—tetapi untung saja senyum Ciel masih di sana.

"Mereka?" tanyaku mengulang sambil terus menatapi wajahnya. Ciel memejamkan mata sesaat sebelum kembali mentapku dengan kedua safir biru indah miliknya—ya, hanya miliknya.

"Penghuni sebelum Sebastian. Namun berbeda denganmu, mereka lebih sering menganggapku tidak ada," ucap Ciel dengan kesedihan yang ia tutupi. Sepintas, dapat kulihat senyumnya berubah menjadi pahit tetapi kemudian ia tersenyum manis lagi.

"Baiklah, kamarku ada di lantai teratas. Kamar yang paling besar. Kalau ada apa-apa datang saja," Ciel meregangkan tangan kanannya sejauh yang ia bisa, lalu berbalik pergi sambil mengucapkan salamnya. Sementara aku hanya bisa menatapnya seperti orang bodoh tanpa berusaha mengucapkan sesuatu apapun. Benar-benar idiot.

"Cantik," kata-kata itu meluncur dari bibirku begitu saja ketika sosok Ciel hilang ditelan gelapnya koridor.

Ya, bagiku sosok Ciel terlalu indah untuk dipandang. Aku jadi seperti berharap diam-diam agar bertemu lagi dengannya. Rasanya ganjil sekali.

.

.

Kalau semula aku tahu, mungkin aku akan takut berada di sisimu

Karena aku tak layak dan tak pantas untuk eksistensi seindah dirimu

Kalau semula aku mengerti, mungkin aku akan ragu untuk mencintaimu

Karena akan tiba hari di mana aku harus melangkah seorang diri

.

.

Pikiranku masih melayang-layang ketika mataku menangkap pintu besar di lantai tiga. Mungkinkah ini kamar Ciel? Kurasakan bulu kudukku berdiri sesaat ketika aku hendak mengetuk. Maka kuurungkan niatku lalu melangkah mundur menjauhi pintu itu. Seperti ada yang salah.

"Pintu itu terkunci," ucap sebuah suara yang baru saja kukenal, suara Ciel. Aku pun menoleh untuk mendapati sosoknya yang berdiri di ujung tangga. Ah, aku hampir lupa rumah ini terdiri dari empat lantai. Bodohnya.

"Ah, maaf. Kukira ini kamarmu," aku seperti salah tingkah di depan anak ini. Padahal biasanya yang lain bersikap kagum padaku. Tapi Ciel seperti meruntuhkan semuanya.

"Pintu ini tak pernah dibuka sejak bertahun-tahun yang lalu. Kuncinya pun entah di mana," Ciel melangkah mendekat lalu berhenti tepat di depan pintu—ia letakan salah satu tangannya ke atas daun pintu besar itu, lalu melanjutkan kata-katanya dengan tatapan sendu, "Terakhir kali, pintu ini dibuka ketika ayah dan ibu masih ada…."

Dapat kulihat seulas senyum terukir di wajah Ciel. Hanya saja itu bukan senyum yang ingin kulihat. Senyum itu begitu pahit dan sedih. Bagaimana mungkin aku sanggup melihtanya lebih lama?

Entah apa yang merasukiku, aku mengulurkan tanganku begitu saja untuk mengenggam tangan mungilnya, "Maaf sudah membuatmu mengingat hal yang tak kau inginkan."

Ciel tak menjawab, orb birunya menatapku heran. Ia terus memandangku hingga aku melepaskan genggaman tanganku—malu.

"Tak apa, Sebastian. Hal itu sudah lama sekali," katanya sambil tertawa tertahan melihatku—mungkin tepatnya mengingat perlakuanku barusan yang dianggapnya lucu, "Sepertinya akan turun hujan, lebih baik kita ke ruang baca. Ada perapian di sana. Biar kubuatkan teh."

Mataku membelalak ketika merasakan tangan yang lebih kecil mengamit tanganku. Ciel menggandengku—menuntunku menuju ruangan yang dimaksudkannya. Ya ampun! Kulitnya terasa halus dan… dingin? Hei, bukankah seharusnya suhu tubuh anak-anak itu panas? Sudah kuduga Ciel memang berbeda.

"Ciel, berapa umurmu?" tanyaku spontan sehingga Ciel menoleh bingung. Ia seperti berpikir sebelum menjawab. Apakah ia berniat berbohong? Atau pertanyaanku itu terkesan bodoh? Entahlah, aku tak tahu yang mana yang ia pikirkan.

"Menurutmu terlihat seperti umur berapa?" tanya Ciel sambil tertawa geli. Anak ini membuatku merasa ingin memeluknya. Hanya saja aku menahan diri. Kau tentu takkan mau dipeluk orang yang baru pertama kali kau jumpai, bukan?

"Hmm, mungkin sepuluh?" kataku sambil tersenyum jahil. Tepat dugaanku, Ciel merenggut sambil menoleh. Wajah kesalnya itu benar-benar lucu!

"Hei? Apa aku sependek itu sampai kau mengataiku begitu?" protesnya sambil melepaskan gengaman tanganku lalu berkacak pinggang dengan angkuhnya. Menakjubkan, bukannya takut Ciel marah, aku malah senang bisa melihat sisi lain dirinya dalam satu hari. Aku tertawa puas memandangnya.

"Tidak lucu, Sebastian!" desisnya dengan wajah memerah. Aku hanya menggumamkan kata 'maaf' sambil meraih tangannya—berjalan bersanding di sisinya.

"Baiklah, kalau begitu berapa?" tanyaku lagi. Anak ini memang membuatku penasaran sejak pertama kali melihatnya. Dia memiliki daya tarik yang berbeda.

"Aku lebih suka kau yang menebak," katanya riang sambil tersenyum. Rasa kesalnya tadi seperti menguap entah kemana. Yang pasti, rona kemerahan itu masih menghiasi pipinya—membuat wajah Ciel terlihat manis.

"Tiga belas?" tebakku dengan wajah berpikir yang kurasa akan ditertawai Ciel. Ya, dan dia tertawa.

"Kau boleh mengganggapnya begitu," kata Ciel ketika aku membantunya membuka pintu besar menuju ruang baca.

"Kau curang!" gumamku sambil mengacak rambut kelabunya sebelum ia berlari pergi meninggalkan ruangan—menyiapkan teh seperti yang dijanjikannya. Lagi-lagi aku menatapi sosoknya yang lenyap di ujung pandang sambil merasa kehilangan.

"Anak itu.. Ciel.. membuatku menginginkannya tetap di sisiku.. tanpa peduli waktu," lirihku entah pada siapa sambil menghenyakan diri ke sofa—tepat di depan perapian yang masih padam. Dan rasa lelah yang menggerogotiku itu menarikku ke dalam alam semu bernama mimpi, diiringi dengan turunnya hujan.

.

.

Akankah kudengar lagi, suatu hari nanti

Suaramu yang berdesir halus seperti buaian angin?

Akankah kulihat lagi, suatu saat nanti

Senyummu yang seperti fajar menyingkap malam?

.

.

"…tian.. Sebastian.."

Aku membuka setengah kedua kelopak mataku dengan berat—mendapati wajah Ciel yang hanya berjarak beberapa inchi dari wajahku. Aku pikir aku pastilah bermimpi mendapatinya sedekat ini. Karena ini mimpi, tak apa kan aku mengulurkan tangan untuk membelai wajahnya yang seperti ingin menangis itu?

"Ciel," gumamku tepat ketika jemariku merasakan lembut kulitnya. Wajah Ciel seperti berubah kaget, sebelum tersenyum. Dapat kurasakan tangannya yang tertangkup di atas punggung tanganku—kali ini terasa hangat. Maka tanpa sadar aku pun mulai menangkap wajahnya lalu menariknya mendekat—seperti akan membawanya ke dalam sebuah ciuman. Sampai panggilnya yang kedua menyentakku kembali ke dunia nyata.

"Sebastian!"

Kini kedua mataku benar-benar terbuka seluruhnya. Wajah Ciel di hadapanku memerah hebat. Aku sempat bingung sebelum mengingat hal apa yang aku coba lakukan sebelumnya.

"Ciel?" tanyaku meyakinkan kalau ini bukan mimpi. Aku benar-benar bodoh sudah membuatnya berwajah begitu. Ia benar-benar seperti ingin menangis sekarang. Tapi di luar dugaanku ia malah tersenyum manis.

"Siapa yang tadi kau pikirkan? Kekasihmu, ya?" godanya usil. Aku hanya mengalihkan pandangan sambil berusaha memikirkan alasan.

"Bukan," sangkalku pelan, "Belum."

Hah? Apa yang kukatakan barusan? 'Belum'? Jangan bercanda, Sebastian! Apa yang kau harapkan dari Ciel yang baru hari ini kau temui?

"Belum?" tanya Ciel memiringkan kepalanya. Aku semakin salah tingkah antara ingin lari dan ingin memeluknya. Andai tadi aku tetap melanjutkan perbuatanku, kira-kira apa yang terjadi, ya? Aku pasti takkan mempunyai muka untuk menatap wajahnya lagi.

"Lupakan soal itu," tepisku lembut—sambil mengalihkan pembicaraan, "Lebih baik kita minum teh saja. Kau membangunkanku untuk itu, kan?"

"Ah, kau benar. Aku hampir lupa," Ciel mengambil cangkir porselen berisi Ceylon yang semula ia letakkan di atas meja lalu menyerahkannya padaku, "Ini Seb—"

CTAAAR!

PRAAANG!

Bunyi petir yang menggelegar itu mengejutkan Ciel. Ia segera menutup kedua telinganya—menjatuhkan cangkir yang semula dibawanya hingga pecah berkeping-keping serta isinya tertumpah. Ya, wajarlah. Karena kerasnya petir itu pun membuatku kaget.

Petir-petir masih datang silih berganti dengan volume yang lebih kecil, tetapi Ciel tetap menutupi telinganya. Matanya terpejam dengan air mata yang bergantung di sudutnya. Tubuhnya gemetar hebat setelah terjatuh di atas lutut.

"Ciel? Kau kenapa?" tanyaku panik sambil ikut berlutut. Kurengkuh pelan tubuh mungilnya yang bergetar itu—makin lama makin erat, dengan harapan tubuhnya berhenti bergetar. Tetapi Ciel malah berteriak nyaring.

"AAAAAKH!"

Bertepatan dengan teriakan Ciel, terdengar suara penutup piano hitam dibuka paksa—piano hitam di ruang baca tempat kami berada. Lalu tanpa ada pemainnya, tuts-tuts putih-hitam itu mulai menekan dirinya masing-masing ke dalam, menghasilkan nada-nada yang tidak harmonis dan keras—berusaha menyaingi petir, membuat bulu kudukku berdiri tanpa sisa. Suara bising piano yang masih terus berpadu dengan meriahnya petir yang semakin keras disusul oleh dentingan harpa di sisi lain ruangan. Harpa yang sama hitamnya dengan piano itu mulai menghasilkan nada-nada yang lebih teratur namun mengerikan—tanpa ada pemainnya pula. Dapat kurasakan keringat dinginku mulai mengalir di pelipis menyaksikan semua kekacauan ini.

"Henti..kan," isak Ciel pelan dalam pelukku ketika semua kekacauan itu semakin menggila. Tetapi keadaan sama sekali tidak membaik malah disusul oleh beberapa benda yang mulai bergeser jatuh dari tempatnya dan pecah ketika beradu dengan lantai. Aku hanya bisa mengeratkan pelukanku lebih dan lebih lagi.

PRANG!

Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan kekacauan akan berakhir. Ruangan ini mulai tampak menyeramkan seperti yang diceritakan Undertaker sebelum kepindahanku ke sini. Hujan bak badai yang berusaha memecahkan kaca jendela besar dan petir yang menggelegar, suara barang-barang pecah dan alat musik yang berbunyi kacau, semua membuat tubuhku ikut bergetar seperti resonansi kegelapan karena orkestra yang tengah dimainkan iblis—orkestra kematian. Sementara itu, anak kecil dalam pelukku masih terus berteriak dengan tubuh yang mulai mendingin.

Akhirnya, kuputuskan untuk menjauhkan Ciel dari ruangan ini secepatnya. Sebelum semuanya semakin kacau….

.

.

Karena di dunia ini tak ada sesuatu yang pasti; tak ada sesuatu yang abadi

Yang ada hanya janji yang bagaikan ilusi

Sama seperti keberadaan kita

Hanya eksistensi yang dapat berlalu dalam hitungan detik

.

.

"Ciel?" kubuka pintu yang memisahkan koridor dengan kamarku sendiri dengan perlahan—mendapati sosok anak laki-laki berambut kelabu terbaring dengan isakan di atas tempat tidur mewah di tengah ruangan. Ya, setelah peristiwa mengerikan itu, aku membawa Ciel ke sini, berharap dapat melindunginya walau sedikit saja. Kekacauan bak poltergeist di ruang baca memang sudah berhenti, tapi sepertinya kondisi Ciel tak kunjung stabil. Maka, aku melangkah mendekat, lalu duduk di sisi tempat tidur untuk membelai rambutnya yang halus.

"Ciel," panggilku sekali lagi dan kini ia menoleh. Sepasang iris birunya terlihat lebih redup dan lebih suram dari semula. Ia seperti eksistensi tanpa kehidupan. Jauh di dalam hati, aku mengutuki rumah ini—berbagai prasangka muncul di benakku tentang apapun yang membuatnya begini.

Keadaan menjadi hening, kami hanya saling tatap dalam diam. Tak ada yang memulai percakapan baik aku maupun dia. Hanya ada hujan yang mulai kembali tenang tanpa petir. Ciel menatapku kosong seolah aku tak ada di hadapannya. Tahukah kau betapa sedih aku melihatnya begini?

"Sebastian…," panggilnya tiba-tiba masih dengan tatapan kosongnya.

"Ya, Ciel. Aku di sini," kataku sambil menggenggam lembut tangannya yang terasa sangat dingin. Dengan susah payah, Ciel bangkit dari tidurnya. Kini ia duduk di atas tempat tidur—masih dengan ekspresi yang sama.

"Kau tahu?" katanya lagi, "Aku benci malam berpetir. Karena malam itu, aku kehilangan segalanya."

Wajah Ciel terlihat begitu sedih. Aku tak tahu seberapa besar duka yang ditanggungnya dan seberapa dalam luka hatinya. Tapi, satu hal yang ku tahu, ia begitu menderita. Dapat kurasakan genggaman tangannya yang semakin erat pada tanganku.

"Ciel," lagi-lagi aku menariknya dalam pelukan ketika ia sudah berhenti bercerita. Tubuhnya begitu ringkih dalam pelukku—membuatku semakin ingin melindunginya.

Jarum jam terus berputar pada porosnya—mengubah malam seturut putarannya. Keadaan Ciel sepertinya sudah jauh lebih membaik sekarang setelah meminum segelas susu hangat yang kubuatkan. Kalian tak perlu bertanya bagaimana aku tahu mengenai dapur, karena aku pun sempat tersesat sekitar setengah jam ketika mencarinya. Hal itu bukan masalah jika akhirnya Ciel dapat tersenyum seperti ini.

"Kau pasti bercanda! Jadi kau datang ke tempat ini hanya karena tantangan temanmu? Aku tidak menyangka kau sekonyol itu, Sebastian," Ciel tertawa riang ketika ia mendengar ceritaku—cerita tentang tantangan Undertaker padaku.

"Hal itu sudah tak aneh, Ciel. Terakhir kali ia membuatku terjerumus ke dalam lubang hanya karena obsesinya menemukan elf di sebuah hutan yang terletak di perbatasan utara Norwegia," kataku lagi. Ciel mungkin tak menyadari, tetapi aku tak dapat berhenti menatapi wajah tertawanya dari tadi.

"Kau pria yang aneh," gumam Ciel sambil berusaha keras menahan tawa—dapat kulihat air mata bergantung di sudut matanya karena geli.

"Baiklah, kurasa sudah saatnya aku kembali ke kamarku sendiri," Ciel beranjak bangkit sambil menghapus ujung matanya "Hari sudah larut, sebaiknya kau pun beristirahat."

"Tunggu," cegahku tiba-tiba sambil menarik lengannya, "Apa tak apa-apa jika kau tidur sendiri malam ini? Hujan masih turun dan mungkin saja akan ada petir lagi. Kau bisa tidur di sini bila kau mau."

Aku tak tahu apa yang membuatku berkata begitu. Mungkinkah karena rasa simpati dan ingin melindungi yang berlebihan? Aku tidak tahu. Yang pasti, sekarang wajah Ciel sedikit memerah setelah mendengar pernyataanku.

"Terima kasih. Kedengarannya menyenangkan. Aku tidak pernah tidur selain dengan orang tuaku," katanya pelan, "Tetapi, kurasa kau pasti akan merasa terganggu bila harus tidur dengan anak kecil penakut sepertiku. Lebih baik aku tidur di kamarku saja."

"Tapi, Ciel—," entah kenapa aku merasa kecewa dan ingin menariknya agar ia tetap di sini, tetapi aku melihat ekspresi wajahnya yang membuatku tak tahu harus berpikir apa. Ia seperti orang salah tingkah.

"Itu.. aku tidak bisa…. Kita..," Ciel berusaha menyusun kata-katanya dengan baik, wajahnya masih memerah—yang kuduga karena malu. Ya, memang aneh kalau seorang pria berusia 20-an sepertiku mengajak anak seusianya tidur bersama. Saudara saja tidak akan menawarimu hal seperti itu bukan? Aku terdengar seperti seorang pedofil. Hei, tunggu! Darimana Ciel mendapat persepsi seperti itu di tengah usianya yang... mungkin bukan tiga belas.

"Ah, maaf. Bukan itu maksudku. Kalau kau mau kau bisa tidur di sini dan aku akan berjaga di sofa," aku berusaha membela diri—walaupun sepertinya tak perlu, Ciel sama sekali tak berprasangka buruk padaku. Ia malah tersenyum malu dan aku semakin bingung harus berbuat apa. Ah, bahkan aku baru menyadari barusan aku memperlakukannya seperti anak perempuan! Apakah ia akan marah?

"Terima kasih, Sebastian," kata Ciel sambil tersenyum—senyum yang membuatku selalu ingin melihat wajahnya, "Tapi, aku baik-baik saja. Selamat malam."

Aku sedikit ternganga melihat ekspresi dan kata-kata Ciel. Ia benar-benar manis. Akhirnya, aku hanya bisa mengucapkan satu kalimat sebagai akhir hari pertamaku di tempat ini.

"Ya, selamat malam."

Aku merasa bodoh.

.

.

Aku bahagia ketika tanganmu masih berada dalam jangkauanku

Dapat kuraih dan kugenggam; untuk kemudian kukecup dengan kasih

Tahukah kau bahwa aku tak pernah putus berharap

Agar hari-hari seperti ini tak pernah berlalu—ketika kau di sisiku?

.

.

Hari pertama di tempat ini kulalui dengan tersesat dan mendapat pengarahan dari Ciel mengenai ruangan-ruangan di rumah besar ini. Ditambah dengan kejadian aneh kemarin. Hari kedua kulalui dengan membersihkan rumah bersama dengan anak berambut kelabu itu. Dengan sedikit insiden di mana aku menangkap tubuh rampingnya yang hampir terjatuh ketika membantuku bersih-bersih. Hari ketiga kulalui dengan kunjungan mendadak Undertaker yang mengaku ingin menginap. Ia tampak gembira berkenalan dengan Ciel. Katanya Ciel takkan membuatku mati tua sendirian. Dasar orang kurang ajar.

Kini, tibalah hari keempat. Aku duduk di bangku taman belakang rumah dengan ditemani secarik surat kabar dan secangkir kopi. Hari masih sangat pagi, matahari bahkan belum menunjukkan wajahnya—hanya secercah sinar terang yang membias di langit abu-abu yang berawan.

"Sebastian," panggil Ciel tiba-tiba. Ya, siapa lagi kalau bukan Ciel? Hanya kami yang tinggal di rumah besar ini—tanpa pelayan maupun penjaga. Aku tak mengerti bagaimana Ciel bisa hidup sendirian seperti itu. Ia hanya bilang sepertinya semua orang membencinya. Setidaknya, aku tak termasuk di antara orang-orang itu.

"Ya?" aku menoleh ke belakang untuk mendapati Ciel berdiri di sana dengan Undertaker dan Ronald di belakangnya.

"Yo, Sebastian!" kata mereka bersamaan.

"Kenapa kalian ada di sini pagi-pagi buta begini?" tanyaku kesal. Baru saja aku merencanakan hal-hal yang ingin kulakukan berdua dengan Ciel. Tiba-tiba saja mereka datang menginterupsi semua rencanaku.

Tunggu? Kenapa aku harus kesal? Bukankah lebih enak jika bersenang-senang bersama? Kurasa Ciel pun akan menyukainya. Aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Kenapa? Bukankah Tacker sudah bilang kami ingin menginap?" sembur Ronald langsung pada topik.

"Tapi tidak perlu sepagi ini, kan? Lagipula aku belum membicarakan hal ini dengan Ciel" bantahku lagi.

"Kau tidak suka kami datang ke sini? Ciel tidak keberatan, kok. Atau kau merasa terganggu?" tanya Undertaker sambil melirik ke arah Ciel. Aku tahu maksudnya, tapi Ciel sepertinya tidak sadar. Ia hanya tertawa riang di sampingku.

"Ah, baiklah!" kataku jengkel, "Lakukan sesuka kalian!" Aku pun menarik tangan Ciel dan berjalan cepat memasuki rumah—menuju ruang tengah. Dapat kutangkap komentar Undertaker di saat terakhir.

"My, my. Tempramennya masih saja buruk. Padahal sudah kubilang kita tak akan mengganggu. Kita kan hanya ingin memeriksa rumah ini. Benar begitu, Knox?"

Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan. Aku tidak peduli.

"Kenapa, Sebastian? Kau tak suka mereka datang?" tanya Ciel ketika kami tiba di ruang tengah. Matanya terlihat berbinar. Aku tahu ia tidak keberatan.

"Bukan begitu, Ciel. Hanya saja ini rumahmu, namun mereka tiba-tiba saja datang dan menginap. Padahal kau bahkan belum mengatakan apakah kau tak keberatan bila aku tinggal—apalagi mereka?—kalau kau tak mau, aku bisa kembali ke rumah lamaku dan menyeret mereka," kataku cepat tanpa sela yang berarti. Ciel memiringkan kepalanya bingung.

"Apakah aku terihat seperti tidak suka?" tanyanya sambil menatapku lembut. Aku terdiam.

"Aku senang kau tinggal di sini, Sebastian. Aku selalu sendiri. Karena itu, ketika kau di sini semua terlihat lebih berwarna," Ciel tersenyum lagi entah untuk yang ke berapa kalinya. Ia terlihat lebih hidup dibandingkan dengan hari-hari pertama kedatanganku ke tempat ini.

"Aku senang kau berpikir begitu," aku membelai puncak kepalanya—Ciel hanya tertawa kecil.

"Nah, kalau begitu tunggu apa lagi? Undang mereka masuk ke dalam. Aku akan ke dapur dan menyiapkan teh terbaik yang kusembunyikan di lemari," katanya riang. Aku tak dapat membantah. Aku sudah terhanyut terlalu jauh.

"Baiklah," jawabku. Ciel pun berlari kecil meninggalkan ruangan lalu menuju dapur. Sementara aku—dengan berat hati—menyuruh Undertaker dan Ronald masuk ke dalam untuk bergabung dengan kami.

"Masuklah," kataku ketika kedua orang itu menoleh serentak ke arah kedatanganku, "Ciel yang meminta."

"Waah. Tak kusangka kau sebaik itu. Kupikir kau menganggap kami mengganggu," kata Tacker sambil melompat aneh. Keduanya berjalan mendekat.

"Kurasa ia sebenarnya keberatan, Tack. Ia tak mau diganggu. Namun, kau tak bisa melawan permintaan orang yang kau sukai, kan?" Ron mengodaku—ia menumpukan satu lengannya pada bahuku lalu menunjuk-nunjuk pipiku dengan jari telunjuknya yang menyebalkan.

"Berisik!" sergahku jengah. Keduanya malah tertawa. Aku baru saja mau mencaci ketika kudengar teriakan yang familiar bergema dari arah rumah—dapur! Hanya Ciel yang berada di sana.

"CIEL!" teriakku sambil berlari ke arah dapur sekuat tenaga. Aku tak mau hal yang sama terulang. Aku tak mau Ciel terluka lagi.

Banyak yang aneh dengan rumah ini, tepat seperti kata Undertaker. Perasaanku pun sudah ganjil sejak pertama kali menginjakkan kaki di pintu depan rumah ini. Dan apa yang ada di hadapanku saat ini adalah Ciel yang tengah berlutut ketakutan di tengah ruangan dengan dinding yang dipenuhi jejak kaki darah. Seolah-olah ada seseorang dengan kaki penuh darah berjalan-jalan menginjak dinding dan atap ruangan—meninggalkan jejak yang tak terhapus di sana.

"CIEL!" lagi-lagi aku berseru dalam kepanikan sambil berlari cepat ke arah anak berambut kelabu itu. Segera kudekap tubuhnya ketika jarak kami tinggal beberapa inchi lagi—kini aku ikut berlutut di tengah ruangan yang sudah tak seperti dapur itu. Ruangan itu begitu merah, seperti ada pembunuhan yang baru saja terjadi di sana. Dapat kurasakan getaran tubuh Ciel merambati tanganku.

"Ciel, kau tidak apa-apa? Kau tidak terluka, kan?" tanyaku menuntut. Ciel tidak menjawab, matanya nanar di balik telapak tangan yang menghalangi. Ia seperti tidak bisa menggunakan akalnya karena shock.

Dari sudut mataku dapat kulihat Tacker dan Ron menilik setiap sisi ruangan lalu berpandangan sesaat. Mereka mengangguk singkat ke arah satu sama lain sebelum bergegas meninggalkan ruangan lalu kembali dengan tas-tas besar. Kedua temanku itu mengeluarkan alat-alat occult yang kadang kulihat ketika berekspedisi bersama mereka. Namun, aku tak mau terlibat. Dengan isyarat sederhana, aku menyingkir dari ruangan dengan membawa serta Ciel bersamaku sementara kedua orang itu menelusuri jejak darah yang memenuhi dinding ruangan.

Well, ini gila bukan? Bagaimana bisa seseorang dengan kaki terluka melangkah di atas dinding dan atap serta meninggalkan jejak di sana? Akal sehat mana yang bisa menerimanya? Namun, itulah hal yang terjadi. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Ini kedua kalinya aku melihat hal-hal irrasional di rumah tua ini.

"Ciel!" aku mengguncang bahu Ciel ketika kami tiba di ruang tengah. Aku mendudukan Ciel di sofa. Tubuhnya lemas dan seperti tak bernyawa—ia benar-benar bagaikan boneka. Pandangan matanya yang nanar dan berkabut entah menatap ke mana—membuatku rindu melihat cahaya terpantul di kedua iris safirnya.

"Ciel...," lirihku sambil menangkupkan tangan ke wajahnya, berharap ia dapat mendengar suaraku. Namun, ia tidak bereaksi sama sekali—membuatku merasa pilu. Kugigit kuat bibir bawahku, berharap dapat menghilangkan penyesalanku.

"Sebas..tian...," akhirnya kudengar Ciel memanggil namaku. Suaranya begitu lemah, tubuhnya sedikit bergetar, dan tatapannya begitu nanar ketika ia menatap mataku. Ia terjatuh dalam pelukku dan mulai tak sadarkan diri.

.

.

.

To Be Continued

.


Author's Note :

Yo, Haru's here!

Saya bukannya mau ngajak perang dengan publish judul laen padahal banyak yang ketunda #plak

Hanya saja ini fic khusus untuk rangka Halloween—meski saya juga ga tau apa hubungannya, haha. Genre fic ini memang romance/horror. Tapi kayaknya horrornya abal banget, karena itu saya butuh pendapat dari pembaca mengenai fic ini. #haha

Tenang, akan tamat di chapter 2, kok.

Please review. The next chapter will be on October 31...

Sign,

Shigure—The Devil of Spring