A Love Story's Journey of Jimin

Casting: Yoongi, Jimin, Bts's member

Romance. Hurt/Comfort. Sad Romance.

Warning! It's genderswitch!

Don't like so don't bash. Don't like so don't read.

Just simple. I told you!

.

.

Summary: Park Jimin tidak mengenal cinta sejati. Sejak kecil ia selalu diabaikan oleh orang yang sangat dibutuhkannya. Dan ketika ayahnya pergi dengan taksi itu, Jimin telah berjanji untuk tidak memperdulikan apapun. Min Yoongi juga selalu menolak cinta. Hidupnya selalu dibawah bayang-bayang sebuah rahasia besar. Tidak mempunyai teman dan selalu menyendiri.

Ketika akhirnya Jimin dan Yoongi bertemu, mereka menyembunyikan perasaan mereka. Tapi takdir berkata lain untuk mereka. Cinta mulai tumbuh tanpa mereka pedulikan. Dan saat mereka menyerah, disanalah mereka berlabuh. Pada cinta mereka.

Setelah ribuan hari esok, mereka tetap saling mencintai. Tapi harus ada harga yang harus dibayar pada cinta mereka

.

.

.

.

Jimin kecil saat itu hanya mengerti makan dan bermain saja. Kegiatan sehari-harinya yaitu bangun di pagi hari, berangkat sekolah, bermain lalu tidur pada pukul tujuh malam. Jimin kecil selalu merasakan kasih sayang dari kedua orangtuanya, ia menyayangi keluarganya termasuk pada sang calon adik. Tidak pernah terpikirkan sekalipun oleh Jimin keadaan keluarganya, karena ia merasa semuanya sudah pas; sudah sempurna untuk keluarga kecil Jimin.

Ayahnya selalu memberika Jimin sebuah miniatur otomotif favoritnya ketika ia mendapatkan nilai sempurna di pelajarannya, atau ia akan mendapat tambahan makan malam jika ia membantu ibunya. Jimin termasuk anak yang cerdas di seusianya, selalu mendapat nilai sempurna dan menjadi kebanggaan keluarganya.

Jimin saat itu berusia enam tahun di pertengahan musim semi ketika sang adik lahir ke dunia. Adiknya perempuan, sangat cantik dengan pipi kemerahan dan kulitnya yang sangat putih sama seperti kulit Jimin. Jimin selalu memimpikan adiknya seorang laki-laki, sama sepertinya, agar ia bisa mengajak adiknya bermain sepak bola atau miniatur otomotif koleksinya. Tapi adiknya seorang perempuan. Ia sedih, ia tidak akan pernah bisa mengajak adiknya bermain sepak bola atau miniatur otomotifnya.

Ibu Jimin dengan segala ketenangan dan kewibawaannya, menasehati sang putra tertua untuk selalu mensyukuri apapun yang diberikan Tuhan kepada mereka, termasuk seorang adik perempuan. Dan sejak saat itu Jimin tidak pernah mengeluh lagi soal adiknya.

Ayah Jimin bekerja sebagai pelatih sepak bola di salah satu Universitas di kota mereka. Dulu ia adalah pemain penyerang di klub sepak bola kotanya. Setelah mengalami cidera patah tulang pada lututnya, ayah Jimin mengambil pensiun lebih awal dan sekarang menjadi pelatih.

Menjadi pelatih klub sepak bola kecil-kecilan tidak menjamin semua biaya hidup keluarga mereka. Jimin sudah mulai masuk sekolah dan adiknya butuh susu yang lebih mahal lagi. Sedangkan ibu Jimin tidak bekerja, suaminya yang melarangnya bekerja. Uang mereka mulai habis. Dan ayah Jimin merasa masa depannya semengerikan lututnya. Kalau sepak bola tidak dapat menjamin apa-apa, ia harus mencari pekerjaan lain.

Tapi ternyata mencari pekerjaan lain tidak semudah membalikan telapak tangan. Dengan kondisi ayah Jimin yang cidera pada kakinya, menyulitkannya untuk mendapat pekerjaan yang layak.

Ayah Jimin mulai frustasi. Tidak jarang setelah pulang melatih istrinya menemukan dirinya berjalan terhuyung-huyung dengan pandangan mengabur. Nafasnya sangat bau oleh alkohol. Setelahnya teriakan dan pecahan barang-barang terdengar sangat jelas. Jimin selalu mengurung diri di kamar bersama Jirin—adiknya ketika teriakan ayah dan ibunya terdengar. Jirin menangis kencang sedangkan Jimin sekuat tenaga melindungi adiknya supaya dia tidak mendengar apapun di bawah sana. Tangisan sang ibu selalu menjadi akhir dari perang teriakan itu.

Sudah sangat sering Jimin mendengar pertengkaran kedua orangtuanya. Hatinya sakit, telinganya sakit, seluruh tubuhnya sakit. Jimin hanya bisa merasakan sakit tanpa tahu apa alasannya. Jirin baru berusia satu tahun setengah, jadi ia tidak mengerti kenapa ibu dan ayahnya saling berteriak. Dia hanya menangis ketika teriakan itu terasa sangat menyeramkan di pendengarannya.

Awal musim panas menjadi pertengkaran terhebat dalam rumah tangga ibu dan ayah Jimin. Ibu Jimin menemukan foto Polaroid suaminya bersama seorang wanita di bar dan mereka saling berciuman. Ibu Jimin menangis sejadinya dan menghajar suaminya habis-habisan. Perselingkuhan adalah hal terakhir yang bisa ibu Jimin maafkan dari kelakuan ayah Jimin.

Ayah Jimin jadi kalut dan gelap mata, ia menampar dan mendorong istrinya hingga jatuh terjerembab. Ayah Jimin meludah kearah ibu Jimin lalu melepas cincin kawin mereka dan melemparnya asal.

"Semua sudah berakhir, Hyun Joo. Aku tidak mencintaimu lagi."

Suara tangisan Jirin terdengar, pelan dan monoton. Suara tangisan khas anak berusia satu setengah tahun. Hyun Joo menengok keatas, mengikuti asal suara tersebut. Lalu ia menatap suaminya lagi.

"Ini semua karena kau, Jisook." Hyun Joo berdiri lalu berderap menuju tangga. Langkahnya terhenti ketika ia melihat Jimin diujung tangga. Jimin memandang orangtuanya dengan tatapan yang sangat mengerikan yang bisa dilakukan anak berumur tujuh tahun. Jimin membawa Jirin yang masih menangis dalam gendongannya. Hyun Joo cepat-cepat menaiki tangga lalu membawa Jimin beserta Jirin kedalam kamar.

"Jimin, tolong jaga adikmu dulu. Biarkan ia tidur dan tenang, setelahnya ibu akan kembali padamu."

"Ibu,"

Hyun Joo memberikan kecupan di kening Jimin dan bergegas keluar dari kamar. Jimin bisa mendengar teriakan lagi setelah ibunya menutup pintu. Jimin sudah tidak tahan, kenapa ia harus selalu mendengar teriakan-teriakan itu. Jirin terlelap karena lelah menangis, setelah menyelimuti adiknya, Jimin berderap menuju lantai bawah.

Jimin terkejut luar biasa saat melihat ayahnya sudah berada di ambang pintu bersama dengan beberapa tas besar. Ibunya sedang berlutut di bawah kaki ayahnya sambil menangis. Jimin bingung dan ikut menangis.

"Ayah, tunggu!" Jimin berlari keluar mengikuti ayahnya. Di depan gerbang rumah mereka sudah ada taksi yang menunggu. Jimin berlari lagi lalu menarik ujung baju ayahnya. "Ayah mau pergi kemana?"

Jisook terlihat ragu-ragu untuk menjawab, matanya menatap Jimin, "Kau tidak perlu tahu, nak"

"Tapi ayah—kapan ayah pulang?" Jimin masih memegang ujung baju ayahnya. Jisook melepas tangan Jimin lalu memegang pundak kecilnya. "Tidak akan." Jisook menatap Hyun Joo yang masih menangis lalu menatap Jimin lagi.

"Jaga ibu dan adikmu baik-baik, nak. Ayah tidak akan kembali." Jisook sudah naik ke bagian penumpang, ketika ia ingin menutup pintu Jimin menahannya. "Tapi ayah, ayah janji ingin mengajakku menonton pertandingan bola minggu depan. Ayah ingat?" anak itu ketakutan mengatakan setiap ucapannya.

Ayah Jimin menutup pintunya.

"Tunggu!" Hyun Joo berjalan tanpa alas kaki melintasi rumput basah ke arah taksi. Hyun Joo mengacungkan tangannya ke udara, "Kau tak bisa pergi sekarang, Jisook. Putramu sedang berbicara denganmu."

Jisook hanya memandang mereka lewat kaca jendela. Jimin memandang ayahnya lalu ibunya kemudian ayahnya lagi. "Apa yang terjadi? ayah mau pergi kemana?" Jisook menghela napas kemudian mengangguk kepada Jimin. "Sampai jumpa, nak."

"Baiklah!" Hyun Joo berteriak, suaranya melengking dan napasnya memburu. "Pergi saja kalau begitu." Bahunya bergetar dan ia menunduk, airmata sudah membanjiri wajahnya. "Silahkan pergi saja. Tapi kalau kau pergi sekarang jangan pernah kembali. Jangan pernah!"

"Apa?" mata Jimin membelalak menatap ibunya yang sudah menangis lagi. Kepalanya pening dan dunianya berputar-putar diatas kepalanya. "Jangan seperti itu bu, jangan katakan pada ayah kalau ia tidak boleh kembali. Ayah pasti kembali!"

Mata Hyun Joo tidak pernah lepas dari Jisook. "Jangan ikut campur, Jimi. Kalau dia tidak membutuhkan kita lagi, dia bisa pergi." Suara Hyun Joo meninggi lagi, "Kau dengar itu Jisook. Jangan pernah kembali lagi!"

Ayah Jimin sekali lagi memandang mereka berdua yang berdiri di halaman, kemudian taksi itu berjalan.

"Ayah!" Jimin meneriakan nama ayahnya dan berlari mengejar taksinya.

Suara tangis Jimin terdengar lagi, Hyun Joo menatap jendela kamar Jimin yang berada di lantai dua. Dia menggigit bibirnya kemudian menatap Jimin yang masih mengejar taksi. "Jimin kembali!" Hyun Joo berteriak sekencang mungkin tapi Jimin tidak mendengarkannya. Hyun Joo mulai panik sedangkan Jirin semakin kencang menangis. Akhirnya Hyun Joo pergi ke dalam dan menemui Jirin.

Taksi itu tidak berhenti sama sekali tapi Jimin tetap saja mengejar. "Ayah tunggu! Ayah!" Lima rumah terlewati, tujuh, sepuluh, tapi taksinya tetap tidak berhenti. "Ayah kumohon berhentilah!" Kini suara Jimin bercampur bersama isakan. Hyun Joo yang sudah kembali dari rumah, berlari mengejar Jimin bersama Jirin dalam gendongannya. "Jirin kembali!"

Tapi Jimin tidak mau mendengarkan ibunya, dan tidak mau berhenti berlari. Di sepanjang hingga ke ujung blok, dengan kecepatan berlari yang didapat dari sang ayah, dia berlari hingga taksi itu menghilang dari pandangan. Jimin berhenti, isakan kecil masih keluar dari bibir mungilnya. Kemudian selama sepuluh menit ia tetap berdiri disana. Anak lelaki berusia tujuh tahun itu berdiri di sudut jalan menatapi sebuah taksi yang tidak akan kembali.

Hyun Joo nyaris senang mendapati Jisook telah pergi.

Beberapa saat yang lalu ia mencoba mempertahankan pernikahannya. Sesuatu yang harus ia jaga sampai mati. Tetapi lelaki sialan yang menjadi suaminya itu malah pergi. Ia sendiri yang menginginkan pergi. Hyun Joo baru mengerti sekarang seorang Jisook. Tidak pernah ada seorang ayah yang tega meninggalkan anaknya sendiri. Tapi Jisook melakukannya. Kalau Park Jisook tidak mencintai kedua anaknya, maka ia tidak akan melakukan itu. Untuk dirinya dan untuk Jimin juga Jirin.

Dan ia juga tidak menyangka pernikahannya telah berakhir.

.

.

.

.

Hyun Joo memfokuskan diri pada Jimin lagi, bahu bocah kecil itu lunglai ketika dia menunggu menatap jalanan yang kosong tempat taksi tadi menghilang. Jimin menangis, itu tidak diragukan lagi. Hyun Joo masih bisa melihat air mata yang mencoreng wajah anak lelakinya dan tatapan sedih. Apa Jimin juga merasakan apa yang ia rasakan? Dihianati? Ditinggalkan? Dikecewakan?

Pikiran aneh itu melintas di pikirannya dan mendadak ia menjadi takut.

Hyun Joo yakin ia akan baik-baik saja tanpa Jisook, begitupun dengan Jirin. Tapi Jimin? Anak itu terlalu mengagumi ayahnya. Dan kalau bahu lunglai Jimin merupakan pertanda, kemungkinan Jimin tidak kembali baik-baik saja seperti dia dan Jirin.

Sebaliknya, Jiminn kemungkinan tidak akan seperti dulu lagi.

.

.

.

To be continued.

.

.

.

.

Well, ini adalah fanfiction lama punyaku yang dulu aku sempat publish di fandom sebelah. Karena masalah internal dengan artis dari fandom itu, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan cerita ini lagi di fandom itu.

Tapi cerita ini sudah mendekati akhir ketika aku membuatnya. Jadi, daripada aku sia-siakan lebih baik aku mem-publish ulang cerita ini di fandom ini.

Jadi bagi kalian yang merasa familiar dengan cerita ini aku mohon jangan ada bashing. Aku sudah memperingatkan sebelumnya diatas. Jadi berhati-hati ya.

Dan ini genderswitch, aku ga tahu bagaimana menjelaskan tapi salah satu karakter member BTS aku buat menjadi perempuan. Karena cerita ini memang mengharuskan ada peran wanitanya. Jadi kalau ada yang tidak suka sama genderswitch, aku mohon jangan di bashing lagi ya. Authornya, jalan ceritanya maupun karakternya. Jadilah pembaca yang baik dan mentaati aturan.

Author juga mengharapkan satu review dari kalian karena akhir-akhir ini author tidak semangat mengerjakan cerita karena para pembaca gelap yang tidak mau meninggalkan satu reviewnya buat authornya.

Dan, terima kasih sudah mau membaca ceritaku.