Naruto

© Masashi Kishimoto

.

.

.

Bukan Cinderella

© sachavega-2529

.

.

.

Pernahkah kau mendengar tentang Cinderella—dimana seorang anak disiksa habis-habisan oleh ibu dan kedua saudara tirinya? Jika tidak, pernahkah terbesit di pikiranmu untuk bertanya kepada Haruno Sakura tentangnya? Urungkan niatmu. Karena Haruno Sakura adalah sang ibu tiri, bukan Cinderella. Bukan ibu tiri yang menyiksa, tetapi ibu tiri yang tersiksa...

.

.

.


ZRASSHH...

Gerakan roda-roda yang berputar pada sedan hitam itu mampu membikin genangan air hujan meloncat kesana-kemari. Membuat genangan tersebut mengutuk si pengendara sedan. Namun kutukan itu urung dilayangkannya tatkala menangkap bayangan emerald dari balik kaca sang sedan. Indah, menawan, redup. Redup.

Benar. Sang emerald redup. Baru saja kehilangan cahayanya. Tanya 'kenapa'? Tidak. Aku takkan menjawabnya. Hal itu sama saja menggoreskan luka kedua dengan belati yang sama pada pemilik emerald ini. Lupakan genangan air yang terpesona dengan emerald ini, kita ganti obyek perbincangan kita dengan emerald yang terkurung dalam kaca sedan ini.

Sepasang emerald tersebut masih kukuh mengamati titk-titik air yang singgah di balik kaca mobil mewah sampai kemudian sepasang kelopak menutup aksesnya untuk melanjutkan kegiatan tersebut. Helaan nafas kecil seorang gadis menjadi gantinya. Ya, pemilik sepasang emerald ini adalah seorang gadis dengan rambut merah muda yang menjuntai lurus sampai pinggang, dahi yang—ehm—agak lebar, sepasang iris emerald, hidung mancung, bibir tipis sewarna sakura, dan wajah tirus. Haruno Sakura—sakura di musim semi, itulah namanya.

Sakura membuka kembali kelopak matanya—kembali mengamati titik-titik air hujan yang masih menempel di balik kaca mobil tersebut. Satu tangannya bergerak menopang dagunya. Ia memejamkan matanya kembali, mengingat momen-momen sebelum ia duduk di atas jok mewah nan nyaman ini.

'Sakura...'

'Ya?'

'Kau tahu kan, kami ini orang tua angkatmu?'

'Tentu, Ibu'

'Kami yang membesarkanmu...'

'Ya, tentu saja...'

'Kami yang mendidikmu...'

'Iya...'

'Kami yang membuatmu jadi seperti ini...'

'Hm...'

'Bolehkah kami minta satu hal?'

'Tentu, Ibu'

'Menikahlah dengan Orochimaru-sama...'

CTARR!

Sakura tersentak. Seketika itu ia membuka kelopak matanya. Petir. Di saat seperti ini. Begitu... menyindirnya. Ia memijat kepalanya perlahan. Emerald-nya kembali mencuri pandang untuk mengamati titik-titik air hujan yang masih setia menempel di sana.

"Nyonya?"

"Aku baik-baik saja, Kabuto," Sakura melirik Kabuto—sang supir, lalu kembali mengamati titik-titik air itu.

'Apa?'

'Menikahlah dengan Orochimaru-sama...'

'Tapi aku masih enam belas tahun, Bu!'

'Kumohon, Sakura... Demi melunasi hutang ayahmu!'

'Aku tak bisa, Bu! Aku masih punya cita-cita! Aku masih ingin bebas!'

PLAKK

'Anak tak tahu diuntung!'

'Ayah, jangan pukul Sakura!'

'Biarkan saja, Bu! Anak ini pantas diberi pelajaran!'

'Heh, anak tak tahu diuntung! Apa ini balasan setelah kami merawatmu?'

'Jawab!'

'Ayah!'

'Hiks...'

'Jangan hanya menangis, bodoh! Kau mau aku dipenjara, hah?'

'Ayah, hentikan!'

'Aku tak mau tahu, sekarang ikut aku!'

'Ayah, ampun! Aku masih ingin sekolah, Ayah!'

'Ikut aku!'

'Ayah, lepas!'

'Kau harus menurut!'

'Lepaskan Sakura, Ayah!'

'Ayah!'

Sakura memejamkan matanya—entah sedari kapan. Ia menunduk ke arah kaca mobil. Helai-helai rambutnya berjatuhan ke depan. Keningnya berkerut. Tangan kanannya menopang dahinya. Tangan kirinya mengepal erat. Entah secara sadar atau tidak, setetes bulir bening jatuh dari celah-celah katupan kelopaknya. Deras. Tetesan itu semakin deras begitu ia mengingat kembali momen-momen menyakitkan itu. Citanya, hidupnya, bahagianya kandas sudah. Karena sebuah perkawinan, sebuah paksaan, sebuah dilema, kandas sudah...

Tangan kirinya tak lagi mengepal, melainkan ikut ambil bagian dengan menutup mulutnya agar isaknya tak terdengar sepasang kuping Kabuto. Yah, meskipun di luar hujan masih turun dengan deras tetap tak menjamin untuk lolos dari pendengarannya, bukan?

Kenapa?

Kenapa Tuhan begitu tega?

Orang tuaku mati!

Orang tua angkatku menikahkanku paksa!

Cita-cita hanya angan kosong!

Hidup hanya penjara!

Kebebasan hanya mimpi!

Mengapa tak sekalian Ia membuangku ke laut?

Tenggelam di dasar!

Atau sekalian dikoyak hiu!

Hanya itu yang bisa ia lakukan kini. Mengumpat. Mengumpat Tuhan. Mengumpat Tuhan atas segala takdir yang digoreskannya. Andai saja ia boleh memutar waktu di mana ia masih berupa janin. Ia akan memohon kepada Tuhan untuk tak dilahirkan. Ia akan memohon kepada Tuhan untuk langsung dikirim ke surga. Tapi itu tak adil, bukan?

Sakura tersenyum miris memikirkannya. Sungguh bodoh khayalannya barusan. Benar-benar bodoh.

Ia menghapus garis-garis air matanya. Ia menghirup nafas sejenak, "Berapa lama lagi, Kabuto?" tanyanya.

"Sekitar sepuluh menit lagi, Nyonya. Anda baik-baik saja?" pria berkacamata tersebut melirik Sakura melalui cermin di atasnya. Dua detik kemudian ia melihat cermin diri Sakura yang mengangguk kecil sembari tetap memperhatikan titik-titik air di kaca mobil. Menit-menit berikutnya hanya hening yang menemani perjalanan mereka.


Sedan hitam yang ditumpangi Sakura berhenti tepat sebelum menabrak bagian belakang sedan hitam lain di depannya. Kedua mobil tersebut kini berada di pelataran sebuah rumah yang cukup mewah. Sakura melihat sebuah siluet turun dari sedan hitam di depan sedan yang ditumpanginya.

"Kita sudah sampai, Nyonya."

"Oh," Sakura melangkah turun melalui pintu yang dibukakan Kabuto untuknya.

"Sakura, kau-kah itu?" sebuah suara hinggap di gendang telinganya.

"Benar, Orochimaru-sama," Kabuto membungkukkan badannya—memberi hormat kepada sosok bernama Orochimaru tersebut.

"Orochimaru-sama," Sakura ikut menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat pada pria tersebut.

"Tak usah seformal itu, Sakura. Bagaimana pun aku ini suamimu," Orochimaru menampilkan sedikit senyumnya kepada Sakura. Ingin rasanya Sakura memohon agar Orochimaru tak mengucapkan salah satu kata menyakitkan itu untuknya.

"Gomen," Sakura menunduk.

"Ah, sudahlah. Ayo kita masuk," Orochimaru meraih pundak Sakura dan membawa gadis pink itu masuk ke dalam rumah mewah di depannya.

Belum sempat Orochimaru membuka pintu besar dihadapannya, sepasang pintu itu tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok gadis berambut merah menyala sepunggung yang dikuncir kuda dengan kacamata yang bertengger manis di hdung mancungnya. Seragam sekolah menengah atas masih melekat di tubuhnya.

"AYAH!" ia melompat ke arah Orochimaru, memeluk pria itu.

"Hei, hei, Karin. Bagaimana kabarmu?" Orochimaru mengacak lembut rambut gadis bernama Karin di depannya.

"Baik, Ayah. Ano, Ayah... siapa dia?" Karin membenarkan letak kacamatanya sambil mengamati sosok Sakura di belakang ayahnya yang terkesan gugup dan kikuk. Kedua tangannya ia lipat di dada. Pandangannya menyorotkan makna tak suka.

"Ah, ya... Sakura, kenalkan ini Karin. Dia putri semata wayangku. Dan dia seumuran denganmu," terang Orochimaru. Sakura terkejut. Yang benar saja dia seumuran dengan gadis ini. Seumuran dengan anak tirinya. Oh, God!

"Dan Karin... ini Sakura. Dia... ibu tirimu," Orochimaru mendengus kecil setelah mengucapkan kalimat barusan.

"APA?" teriakan Karin sukses menyadarkan Sakura bahwa mentalnya akan ditantang habis-habisan mulai hari ini.


Yuhuu~

Sacha di sini membawa fic Naruto kedua~

Ada yang gak suka Saku dikawinin Oro? Tenang aja, pair aslinya bukan itu kok, hehe

Akhir kata, review bisa menambah pahala dan flame bisa membuat masuk neraka lho~

*PLAKK*

sacha-vega2529