Bleach

© Tite Kubo

.

.

.

Between Us

© sacha-vega2529

.

.

.

"Kami hanya saudara tiri, kan? Sah-sah saja jika kami menjalin hubungan." Nyatanya, mereka benar-benar tak seharusnya seperti ini karena sebuah kenyataan pahit menanti untuk menyambut mereka...

.

.

.


Soi, ke kampus, please...

Soifon memutar bola matanya kesal setelah membaca pesan singkat yang dikirim kakak tirinya. Ya, gadis bermata kelabu dengan rambut biru berkepang ini adalah Shaolin Fon Luisenbarn, cucu kedua serta tiri dari Barragan Luisenbarn, sang pengusaha kedua terkaya di Jepang setelah Byakuya Kuchiki.

Ia melangkahkan kakinya menuju mobil sedan hitam yang terparkir manis di depan mansion Luisenbarn. Dihempaskan tubuhnya pada jok depan sebelah kiri. Detik selanjutnya sedan hitam itu melaju dengan kecepatan 80km/jam.

Drrtt drrtt…

Cepetan dong, Soi. Nanti imbalannya kutambah deh!

Soifon meningkatkan laju mobilnya sampai 100km/jam. "Baka aniki, makannya jadi cowok jangan kegantengan, dong," Soifon menggerutu setelah membaca pesan kedua yang dikirim kakak tirinya.

Ciitt

Soifon menghentikan laju mobilnya tepat di depan kampus Ggio. Pintu mobil ditutupnya kasar keras-keras. Rusak? Bodo amat. Yang dipikirkannya sekarang adalah kak—cecunguk bernama Ggio Vega Luisenbarn yang berani mengganggu waktu luangnya yang begitu berharga.

Soifon melangkah terburu di koridor. Ekor matanya mencari-cari kerumunan mahasiswi di tengah lalu-lalang warga Universitas Karakura, setidaknya untuk mencari sang kakak ia harus mencari kerumunan tersebut karena—

"Ggio!"—karena para mahasiswi itu pasti mengerumuni sang Ggio Vega Luisenbarn.

"Minggir! Minggir semuanya!" Soifon menyeruak ke dalam kerumunan itu. Tak peduli dengan jejeritan—yang menurutnya mengerikan—'Ggio-sama' atau 'Ggio-kun' di sana-sini. Prioritasnya hanyalah menarik keluar si Ggio Vega Luisenbarn lalu menghajarnya sebagai hukuman mengganggu waktu istirahatnya dan mengambil sebagian isi dompetnya atas bayaran 'misi penyelamatan' dirinya.

" Memangnya kau siapa, hah?" tanya sinis seorang gadis rambut olive-green.

"Penting-kah?" balas Soifon tak kalah sinis, lalu kembali menyeruak dalam kerumunan itu.

"Rupanya dia minta pelajaran, Sunsun," seorang gadis bertubuh err—seksi menghampiri si olive-green yang dipanggil Sunsun.

"Ya, Mila Rose. Ajak Apache."


Soifon menarik lengan orang yang sedari tadi dicarinya. Sedangkan yang ditarik segera mengerti dan balas berpegangan pada Soifon—menarik dirinya keluar dari kerumunan itu.

"Sankyu, Soi. Ayo lari," pemuda yang dicari Soifon—Ggio mengambil alih komando.

PLETAK! BUGH!

"Apanya yang 'ayo lari'? Kau sudah menghabiskan waktu istirahatku, Ggio," ujar Soifon.

"Aduh... Sakit tahu! Lagian kan nanti kau juga bakal kuberi upah!" Ggio mengelus-elus belakang kepalanya yang dijitak Soifon, lalu beralih ke bagian punggungnya yang ditinju sekuat tenaga.

"GGIO-SAMA!"

"Shit! Ayo, Soi!" Ggio menarik lengan mungil Soifon. Mereka berlari menyusuri koridor disusul kerumunan mahasiswi tadi.

"Berhenti!" tiba-tiba Sunsun dan dua temannya muncul di depan Soifon dan Ggio.

"Sunsun-sama?" tanya gadis-gadis itu.

"Ggio, siapa dia?" tanyanya sengit sambil bersedekap.

"Dia?" Ggio melirik Soifon, "Dia katamu?"

"Siapa lagi, Ggio Luisenbarn?" tanya gadis tegap di belakang Sunsun.

"Gebetanmu yang lain? Kulihat dia sering menjemputmu dari mereka ya," tanya si seksi sambil mengarahkan pandangan sengit ke arah Soifon.

Rasanya Soifon ingin muntah mendengar tanya itu. Tunggu, 'yang lain'? Ia melirik sang kakak, sebenarnya berapa gadis yang berstatus pacarnya?

Oke lah, Ggio terkenal akan keceriaannya, ketampanannya, kekayaannya, dan kecerdasannya. Jadi siapa yang tak tergila-gila padanya? Karena itulah tiap jam kuliah usai, ia selalu jadi rebutan. Dan saat itulah sebuah pesan akan terpampang di layar handphone Soifon dengan nama Ggio tertera di sana beserta permohonan pertolongan sebagai isinya. Detik berikutnya, Soifon akan melajukan mobilnya sambil menggerutu dan mengumpat kakak tersayangnya.

"Gebetan? Aku dan dia?" Soifon menusuk hidung Ggio dengan kukunya yang tajam. "Dunia bakal kiamat, tahu!"

Aha! Sebuah ide muncul di benak Ggio. "Tapi kau memang pacarku kan, Soi-chan?" tanya Ggio sambil memandang Soifon dengan tatapan puppy eyes-nya.

"Apa?" tanya Soifon.

Sejurus kemudian, Ggio meraih wajah mungil Soifon lalu dikecupnya pipi tirus milik si iris kelabu.

Ggio Vega Luisenbarn, aku bersumpah akan mencincangmu! Soifon membatin.

"Lihat kan, Mila Rose?" tanyanya sarkastik pada Mila Rose.

"GGIO! Apa yang kau lakukan? Kau mencium gadis lain di depan pacarmu?" Sunsun benar-benar marah rupanya.

"Menciumnya lah. Hah? Pacarku?" Ggio berpura-pura tak mendengarnya.

"Ya, kau pacarku, Luisenbarn," Sunsun menekankan kata pacar dalam kalimatnya.

"Cih, aku tidak merasa." Ggio malah mengedarkan pandangannya ke sekeliling, bertindak masa bodo.

Soifon melihat sekelilingnya dengan tatapan bingung. Sedangkan Sunsun sudah siap untuk meledak.

"Oh iya, kuberitahu satu hal, ya. Si Apache yang di sebelahmu itu kemarin menyatakan perasaannya padaku, lho," ujar Ggio innocent.

"Apa?" Sunsun melirik gadis tegap bernama Apache di sebelahnya. "Benar, Apache?" tanyanya getir. Sedangkan yang ditanya hanya menunduk.

"Kalian berdua jahat. Aku bersumpah, kalian akan mendapat karmanya!" Sunsun berlari meninggalkan koridor.

"Oh, whatever," komentar Ggio.

"Ggio, dia siapa, sih?" tanya Soifon penasaran.

"Orang yang gila karena narsis dan cinta yang baru saja kabur dari rumah sakit jiwa. Lagian ngapain kau mengurusi dia? Ayo pulang," Ggio menggeret tubuh mungil Soifon menuju tempat parkir.


Soifon melempar kunci mobilnya kepada Ggio. "Setir," ujarnya, lalu masuk ke jok penumpang. Sedangkan Ggio hanya mengangkat bahu dan mulai memposisikan tubuh tegapnya di atas jok pengemudi yang empuk. Tak menunggu waktu lama, mobil itu sudah melaju dengan cepatnya.

"Kau kenapa, Soi?" tanyanya setelah melihat wajah ditekuk Soifon.

"Heran."

"Atas?"

"Kau."

"He?"

"Bagaimana kau bisa terus hidup kalau tiap hari dikejar dengan maniak brutal seperti itu?" tanya Soifon sok polos.

"Kau berharap aku cepat mati, hah?" tanya Ggio balik.

"Menurutmu?"

"Ah, sudahlah. Ini upahmu," kata Ggio sambil memberi Soifon beberapa lembar uang.

"Aku tidak mau," Soifon mengarahkan iris kelabunya ke luar jendela.

"Benarkah? Ah, akhirnya adik tiriku ini mau menolongku dengan tulus," kata Ggio bangga.

"Bayarannya kurang," komentar Soifon.

"Apa?"

"Aku yakin telingamu normal," sindirnya.

"Bukannya biasanya segitu, Soi?" Ggio memutar setirnya ke kiri.

"Tapi kau tadi sempat mencium pipiku, mengaku sebagai pacarku lagi. Maaf ya, tapi pengakuan palsumu itu bisa bikin pasaranku turun, Ggio," kini iris kelabu itu mengarah pada sosok berambut hitam di sebelahnya.

"What? Harusnya kau bersyukur diakui seperti itu oleh cowok sekeren aku, Soi. Dasar adik durhaka," Ggio merogoh saku celananya dengan tangan kiri dan segera melempar dompet yang ia dapatkan dari sakunya ke arah Soifon. "Ambil."

Soifon menangkap dompet itu dan segera mengobrak-abrik isinya. Diambilnya sebagian lalu diletakkannya dompet itu di dashboard. Ggio mengehentikan mobilnya mendadak. "Ada apa, sih?" tanya Soifon heran.

"Mengecek dompetku, aku khawatir," kalimat Ggio barusan hanya dibalas 'cih' dari Soifon.

"APA? KAU MENGAMBIL SETENGAH DARI UANGKU?" respon si iris emas ini.

"Daripada kartu kreditmu, masih mending aku mengambil uangmu, kan?" komentar Soifon datar.

"Ah, kau memang adik durhaka!" Ggio kembali melajukan mobilnya dengan merengut.


Sruutt

BRAKK!

Ggio terjungkal dari ranjang king size-nya, sepasang permatanya mengerjap mencari-cari sosok yang dengan bengis menarik paksa selimut hangat di tubuhnya—pencipta event tak elit ini.

"Kau mau aku amnesia, Soi?" gerutunya, mengusap dengan penuh sayang dahinya yang memerah terbentur lantai.

"Kalau takdirnya begitu, mau bagaimana lagi?" tanya Soifon balik. "Cepat mandi, kakek menunggu di meja makan," lanjutnya kemudian.

"Che."

Dengan kemeja kuning kotak-kotak hitam—yang terkancing tak karuan serta bagian lengan dilipat kasar sampai siku, celana jeans, serta rambut acak-acakan, Ggio melangkah malas menuju meja makan. "Ohayou," sapanya malas.

"Ohayou, Ggio. Kenapa dahimu?" Barragan Luisenbarn balas menyapa, memandang Ggio sekilas. Lalu kembali fokus pada koran di tangannya.

"Terbentur," jawab Ggio malas sambil melirik Soifon, lalu mulai menyantap sarapannya.

"Ne, Ggio-nii, bisakah kau mengantarku hari ini? Mobilku harus ke bengkel gara-gara ulahmu," Soifon bertanya sambil merapikan peralatan makannya—sukses membikin Ggio tersedak atas "Ggio-nii" yang diucapkannya.

"Daijobu ka, Ggio?" Barragan meletakkan korannya, tangannya bergerak menepuk punggung Ggio.

"Aku—uhuk—tak—uhuk—a—uhuk—apa," jawab Ggio di sela batuknya.

Soifon menghela nafas, sebegitu burukkah efeknya jika ia memanggil Ggio dengan embel-embel 'nii'? Oke, ini pertama kalinya ia memanggil Ggio dengan sebutan itu setelah tahun lalu kembali dari Seireitei karena Barragan sedang ada di mansion Luisenbarn. Coba kalau kakek kesayangannya sedang berada di luar negeri, pastilah dipanggilnya Ggio dengan embel-embel 'baka' atau 'Ggio' saja, menurutnya 'nii' terlalu tak pantas dengan sifat Ggio.

Soifon mengambil segelas air, diberikannya pada Ggio, "Minumlah."

"Sankyu," ucap Ggio setelah meneguk habis air tersebut. Barragan meletakkan kembali gelasnya.

"Jadi? Bisa kan mengantarku?" tanya ulang Soifon.

"Minta tolong supir saja, aku buru-buru," Ggio segera menyambar tas selempangnya, bisa repot kalau harus mengantar Soifon ke sekolah atau tepatnya terlihat oleh teman-teman Soifon yang sebagian berstatus fans Ggio. Ah, pesona Luisenbarn satu ini memang tak pernah pudar.

"Ggio—" suara beraura hitam Barragan menghentikan langkah Ggio, "—antar adikmu."

Ggio tertunduk lesu sedangkan Soifon hanya menyeringai kecil.

"Ayo naik," kata Ggio sambil melempar helm berwarna putih ke arah Soifon.

"Naik motor?" tanya Soifon.

"Iya lah. Ban mobilku bocor," Ggio naik ke atas motor.

"Kau mau ku antar nggak sih?" tanya Ggio begitu melihat sang adik yang lebih muda tiga tahun darinya masih berdiri dengan helm di tangan, sepasang kakinya gemetar. Oh ayolah, Soifon terlalu takut untuk naik motor setelah jatuh saat berlatih mengendarainya bersama Ggio. Maka dari itu, mobil adalah andalan sehari-harinya. Kau tahu itu kan, Ggio?

"Kau tahu kan aku alergi dengan itu?" Soifon menunjuk motor putih bergaya sporty milik Ggio.

"Lalu? Kalau kau tidak mau, aku berangkat sendiri saja," deru motor Ggio mulai memenuhi halaman garasi.

"Oke, oke, tapi jangan main kebut!" Soifon menaiki motor Ggio lalu memakai helmnya.

Ggio menyeringai kecil, rasakan pembalasan atas dahiku! batinnya, "Pegangan, Soi! Yaa~Haa!" dan motor itu pun melaju dengan kecepatan yang tak bisa diperkirakan keselamatannya.

"GGIO!" pekik Soifon, reflek mencengkeram kuat-kuat pinggang kakaknya. Ggio hanya menyeringai senang.


Sacha is back, yo! XD

Kali ini dengan GgioSoi, cikiciw (?)

Fic ini merupakan request dari Yumi-san atau yuminozomi si penggila GgioSoi *dilempar Yumi-san*, ampun kakak! XD

Tahukah readers sekalian apa yang diucapkannya waktu itu?

"Aku request GgioSoi, tapi yang incest, ya! Tidak ada penolakan."

Mak JLEB!

Saya tepar. Bercanda, ding! Saya tewas mengenaskan kok *geplaked*. Oke, oke, saya jejeritan 'I-IN-ICEST?' waktu itu -"

Tapi ternyata setelah konfirmasi dia cuma minta lope-lopenya ajah, pinter amat bikin orang jantungan ==" *ditendang Yumi-san*

Maaf, kakak! XD

Berhubung saya udah terinspirasi dari kata INCEST, sekalian aja deh saya bikin Ggio sama Soifon sodaraan, hiahahaha

Akhir kata, orang yang mereview fic orang lain niscaya akan mendapatkan pahala XDD