"OURS"
by
Harada Kiyoshi
.
Naruto © Masashi Kishimoto
.
Pairing: Naruto x Hinata
.
Cover Image by Angywis More Like This
.
Warning: Judul ga nyambung, Possibly OOC, terlanjur nista dan ngga jelas
.
.
.
Mozaik 1
Siang hari yang mendekati sempurna. Biru dengan gradiasi putih kapas berfusi dengan kuning cerah matahari yang memanjat naik lebih tinggi.
"Benar-benar hari yang sempurna-ttebayo! Aku akan segera bertemu dengan cintaku…"
Lelaki dengan pakaian serba oranye memulai celotehannya mengenai 'cintanya'. Entah makhluk apa yang ia sebut 'cintanya' itu, tetapi kedengarannya makhluk itu begitu sempurna sehingga mampu menambah kesempurnaan siang hari Konoha yang nyaris sempurna ini.
Lelaki itu tak henti-hentinya tersenyum membayangkan bagaimana indahnya pertemuan pertamanya dengan 'cintanya' setelah tak bertemu cukup lama, sangat lama malah. Sekarang, detik ini, ia tak lagi mampu menahan gejolak rindunya. Ia harus menemui 'cintanya' sekarang juga. Harus!
"Naruto nii-chan!"
Arah barat! Merasa seseorang meneriaki namanya, lelaki itu memutar arah, mencari-cari sosok bersuara tak merdu itu.
"Oi, Konohamaru!" Balasnya berteriak, tak kalah tak merdunya dengan bocah bernama Konohamaru itu. Tak lupa senyum cerah yang mampu menandingi cerahnya matahari siang ini menghiasi wajahnya. Ditambah dengan cengiran lima jari kebanggaannya, ia melambaikan tangan. Terlihat bersemangat sekali Naruto ini walaupun lebam dan beberapa luka masih terlihat belum sembuh, juga perban yang membalut bagian atas kepalanya dan semakin menegaskan bahwa pria bersurai kuning cerah ini tidak sedang baik-baik saja.
"Ceritakan padaku bagaimana musuh di medan perang! Kudengar dari Iruka-sensei, kau menghadapi musuh yang sangat hebat di medan perang. Naruto nii-chan benar-benar hebat-kore!" Bocah bernama konohamaru berujar dengan semangat menggebu-gebu.
Namun wajah bersemangat itu luntur seketika beriringan dengan beberapa kalimat yang Naruto lontarkan. "Gomen, Konohamaru. Aku sedang ada kepentingan mendadak. Lain kali akan kuceritakan padamu. Aku juga akan mengajarkan padamu Rasengan super besar yang sangat keren".
Sedetik kemudian, semangat yang tadinya luntur kini kembali utuh karena ia mendengar dengan telinganya sendiri bahwa Naruto—guru sekaligus shinobi yang sangat diidolakannya—akan mengajarkan Rasengan super besar. Ia tak henti-hentinya tersenyum saat membayangkan Rasengan super besar itu ia gunakan untuk menghabisi musuh. Pasti sangat keren, batinnya. Rasengan biasa saja bisa membuat Moegi berdecak kagum, apalagi Rasengan yang sup—
"Yosh! Aku pergi dulu. Jaa, Konohomaru!" Naruto kembali melambaikan tangannya sebelum berbalik arah dan meninggalkan Konohamaru yang hanya menjawabnya dengan anggukan bersemangat.
Naruto kembali menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan wanita bersurai indigo. Tak hanya Naruto, wanita itu juga melakukan hal yang sama. Sedetik, manik safir milik Naruto bertemu dengan manik lavender pucat milik wanita itu. Hanya sedetik sebelum akhirnya wanita itu menundukkan kepala dan memainkan kedua telunjuknya, tanda ia gugup.
Tanpa sadar Naruto tersenyum melihat sosok yang ia yakini sekarang tengah menyembunyikan semburat merah muda di pipinya. Naruto hapal betul dengan apa yang akan dilakukan wanita itu saat bertemu dengannya. Semburat merah yang kadang terlihat berlebihan, bicara yang mendadak gagap, jatuh pingsan, bertingkah aneh, selalu seperti itu. Hanya beberapa kali Naruto melihat wanita itu begitu percaya diri tanpa menunjukkan sifat pemalunya yang alami, pertama kali saat ingin melindungi Naruto dari—
"Oh ya, Hinata," Naruto membuka percakapan saat mulai menyadari senjang senyap yang ada. Ah, tidak, sesungguhnya bukan hanya itu yang Naruto sadari, ada hal penting lain yang telah ia abaikan cukup lama.
"Soal penyataan cin—" Naruto berhenti mendadak saat menyadari ada aura aneh, semacam perpaduan antara aura mistik dan aura dingin.
"Naruto, kau kabur dari rumah sakit lagi. Hokage-sama memerintahkan kami untuk membawamu kembali ke rumah sakit dalam keadaan sadar maupun pingsan."
Naruto langsung berbalik saat menyadari suara itu berasal dari arah belakangnya.
"Kami-sama!" Naruto kaget bukan main saat mendapati dua orang anbu telah berdiri di belakangnya. Yang satu, ia tahu pasti, itu adalah—
"Ya-Yamato taichou.. Berhenti muncul sesuka hatimu! Kau mengagetkanku-ttebayo!" Naruto murka. Walaupun ini bukan pertama kalinya Yamato muncul mendadak, Naruto tetap tak bisa membohongi dirinya kalau ia benar-benar takut dengan Yamato, bahkan saat Yamato menyembunyikan wajahnya dibalik topeng anbu.
"Tsk!"
Suara itu—
"Te-Teme? Sasuke Teme, kaukah itu?" Pertanyaan itu jelas ditujukan Naruto untuk anbu satunya yang berdiri di sebelah Yamato dengan tangan terlipat di dada dan bersurai dark-blue model chicken butt.
"Hn." Dua kata yang mampu menjawab pertanyaan dengan sempurna.
Hinata? Bagaimana dengan Hinata? Naruto mulai melupakannya, lagi.
"Jangan banyak bicara!" Keduanya berujar bersamaan dan masing-masing menarik paksa tangan Naruto.
Tak usah pertanyakan apa yang dilakukan Naruto, tentu saja ia melakukan perlawanan yang sia-sia di mata pengguna mokuton dan si bungsu Uchiha.
"Lepaskan! Lepaskan aku-ttebayo! Aku ingin bertemu dengan cintaku! Lepaskan, Teme! Sialan kau!"
Satu detik. Dua detik. Tiga detik…
"NANI?! Ci-cintamu?" ujar mereka bersamaan (lagi).
"Cinta? Maksudmu— Maksudmu Hinata? Kau dan Hinata— cinta— Maksudku— jadi gosip itu benar?" tambah Yamato. Pria bersurai dark-blue hanya bisa memasang tampang tak mengerti di balik topeng anbu-nya. Maklum saja, ia sudah lama meninggalkan Konoha.
"Maksudku Ram— Ah! Hinata! Mana Hinata?" Naruto mendadak panik saat menyadari Hinata tak ada di dekatnya.
"Hinata!" Ia mulai berlari meninggalkan dua anbu berbeda aura itu saat melihat Hinata yang tengah tergolek pingsan di tengah-tengah jalanan dari kejauhan.
Kedua anbu itu hanya saling beradu pandang dengan tanda tanya besar melayang-layang di atas kepala mereka.
"Cinta?"
.
.
.
Mozaik 2
Matahari sudah menggantung rendah di langit barat. Lemabayung senja yang indah bagi kebanyakan orang, namun tidak bagi pahlawan Konoha yang satu ini.
Ia memutar kenop pintu ruangan Hokage setelah sebelumnya mengucapkan kata 'jaa' pada Tsunade yang malah di jawab dengan berbagai bentakan mengusir. Naruto menggelengkan kepalanya frustasi. Baiklah, kata-kata kasar dan segala macam bentakan Tsunade bukan lagi hal baru baginya. Tapi untuk kali ini, seharusnya bukan dia yang menerima berbagai makian dan kata-kata kasar itu. Salahkan Kakashi atas hobi terlambatnya dalam segala bidang dan salahkan Naruto atas kebodohannya yang mau saja menerima permintaan Kakashi untuk menyerahkan hasil laporan misi perdana tim 7 lengkap dengan Sasuke setelah perang berakhir yang sangat amat ter-lam-bat.
"Berapa lama aku meninggalkan desa?" Pertanyaan yang jelas-jelas Naruto lontarkan pada dirinya sendiri, karena sekarang ia memang tengah sendiri, berjalan menuju rumahnya yang berantakan.
"Lima bulan atau mungkin enam bulan," batinnya. Ia meletakkan kedua tanggannya di bagian belakang kepalanya, seperti biasa, berjalan santai sambil sesekali menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya.
"Sebenarnya aku malas pulang ke rumah. Bagaimana kalau keliling desa seben— Ah, itu Teme!" Naruto yang menangkap sosok sang sahabat tercinta tengah membawa sekantong belanjaan langsung berbinar.
"Teme, aku menantangmu untuk berta—"
"Aku lelah."
"Oh, ayolah, Teme!"
"Tidak."
"Teme…"
"Hn."
"Sialan kau, Sasuke!" Naruto berteriak kesal saat yang diajak berbicara malah meninggalkannya seenak jidatnya.
Merasa seseorang meneriaki namanya, ia berbalik, melemparkan deathglare paling mematikannya pada pria bersurai kuning cerah itu. "Hah, iya, baiklah. Aku tahu kau lelah."
Tak bisa mengajak Sasuke, Naruto kembali melanjutkan langkahnya. Mungkin saja nanti ia akan bertemu dengan temannya yang lain yang mungkin bisa sekedar diajak bermain kartu atau makan ramen.
"Oi, Shikamaru!" Naruto berbinar.
"Mendokusai."
"Choji, kutraktir ramen, ya?"
"Gomen, Naruto. Aku tak ingin melewatkan menu makan malam ibuku."
"Kiba, mau bertarung denganku?"
"Gomen. Aku akan pergi ke pemandian air panas bersama Akamaru. Bukankah begitu, Akamaru?"
"Guk!"
"Shino, maukah kau—"
"Kau tak mengajakku dalam misi pengejaran Sasuke. Kau tak mengingat wajahku saat kau baru kembali ke desa bersama Jiraiya-sama."
"Shi-Shino…"
"Aku tak ada waktu untukmu."
Naruto mengembuskan napas berat. Ternyata teman-temannya yang berpapasan dengannya sudah mempunyai kesibukan masing-masing, kecuali Shino yang masih terus mengingat kesalahan Naruto padanya dimasa lalu. Ia kembali berbinar saat melihat hijau-hijau dari kejauhan.
"Alis tebal!" teriaknya.
"Yo, Naruto! Maaf aku sedang latihan berlari mengelilingi desa seribu kali."
Habis sudah harapan Naruto. Kalau saja Neji masih ada, batinnya.
Tunggu! Ada yang salah dengan cara berpikir Naruto. Kalau saja Neji masih ada, mungkin dia juga akan menolak permintaan Naruto mentah-mentah. Mungkin sedikit lebih kejam dari penolakan Shino.
Senja makin redup saat Naruto melewati danau, sebentar lagi akan gelap. Tadinya Naruto berniat kembali saja ke rumahnya setelah frustasi tak ada seorangpun temannya yang mau berbagi waktu dengannya, tetapi ia mengurungkan niatnya saat manik safirnya tak sengaja menangkap sosok bersurai indigo tengah berdiri di pinggiran danau. Tanpa basa-basi ia langsung menghampiri sosok itu.
"Hinata…" panggilnya.
Yang dipanggil langsung menoleh ke belakang dan menemukan pria yang saat ini tengah memenuhi pikirannya. Hening beberapa detik, keduanya hanya beradu pandang dan membeku di tempat. Kesunyian menusuk dari segala penjuru.
Entah apa yang sebenarnya terjadi, bulir-bulir air mata mulai mengalir dari sudut mata gadis bermarga Hyuuga itu. Lalu ia berlari sekencang yang ia mampu.
Menuju Naruto.
Memeluknya.
Tak ada penolakan seperti saat Sakura memeluknya, ia malah membalas pelukan Hinata dan mengusap lembut rambut panjang Hinata. Juga tak ada raut terkejut di sana, tak seperti saat Sakura memeluknya.
"Aku— A-aku merindukan Naruto-kun. Aku tak sedetikpun melihat Naruto-kun beberapa bulan ini. Aku tak tahu kalau Naruto-kun sedang dalam misi. Aku— aku—"
"Aku mencintai Hinata."
Blush!
"Kau tak perlu bertanya kenapa, karena aku sendiri tak tahu harus menjawab seperti apa. Selama ini aku hanya terus memikirkan Sakura, karena hanya dia satu-satunya wanita yang sering kutemui sejak di akademi. Sejujurnya aku menyadari kau sering memperhatikanku, tetapi saat aku ingin menghampirimu, kau malah kabur dan terkadang pingsan. Jadi kupikir apa yang kulihat selama ini salah. Saat Pain menyakitimu, aku benar-benar marah. Aku tidak terima dia menyakitimu. Saat perang kau telah menyadarkanku. Tanpa kusadari, sesungguhnya kau selalu ada disaat aku membutuhkan seseorang. Saat dalam misi mengawal Sakura ke Kirigakure, aku terus memikirkan ini semua. Kupikir perasaanku pada Sakura hanya sebatas kagum, bukan cinta. Aku tak tahu apa alasannya, tetapi sekarang aku tahu kalau aku mencintaimu, Hinata."
Hening.
Angin pergantian musim mulai berhembus, menerbangkan dedaunan kering dalam gema ketenangan senja. Hinata masih bergeming. Menatap intens pria bersurai kuning cerah yang kelihatan lebih tinggi darinya. Wajah jahil itu tidak terlihat sedang bercanda.
"Naruto-kun…" Hinata mulai bersuara. "K-katakan padaku ini mimpi."
"Tidak, Hinata. Kau tidak sedang bermimpi."
"Na-Naru-Naruto—"
Brukk!
Jawaban Naruto barusan benar-benar membuatnya melayang. Melayang dalam arti sesungguhnya.
Rohnya melayang entah kemana untuk sementara, meninggalkan jasadnya yang tergolek di hadapan Naruto dengan wajah semerah tomat kesukaan Sasuke.
Naruto sedikit merasa bingung harus melakukan apa. Haruskah ia menertawai gadis Hyuuga ini? Oh, tidak. Itu bukan pilihan yang bijaksana. Yakinlah Neji akan mengirimkan Juuken mematikan untuknya kalau ia menertawai adik sepupu kesayangannya ini.
Membawa pulang Hinata adalah pilihan terbaik.
Tunggu! Apa yang harus ia katakan pada Hiashi saat membawa putrinya pulang dalam keadaan pingsan?
"Hinata, ini bukan fatamorgana yang selama ini ada dalam pikiranmu. Ini kenyataan. Aku bersungguh-sungguh, percayalah…"
.
.
.
Mozaik 3
Memasuki musim gugur, semakin banyak angin yang berhembus di tambah langit cerah tanpa awan. Uzumaki Naruto—ninja paling tak terduga nomor wahid menurut Kakashi—tak mungkin melewati saat-saat seperti ini, terlebih hari ini ia tak ada misi.
Tadinya ia ingin mengajak Sasuke, tetapi saat baru mengetuk pintu rumahnya, ia sudah di usir. Beberapa waktu lalu Naruto tak sengaja mengintip dari jendela kamar Sasuke karena ia penasaran kenapa Sasuke tak pernah mau ia ajak keluar. Ternyata Sasuke tengah melatih Ametarasu miliknya di kamarnya. Yah, tentu saja dengan meng-ametarasu-kan berbagai benda di kamarnya. Sesekali ia terlihat panik saat tak berhasil memadamkan api Ametarasu miliknya.
Ternyata seorang Uchiha jenius bisa bertindak bodoh juga, batin Naruto. Pantas saja Sasuke tidak mengijinkan Naruto masuk kamarnya, tentu karena barang-barang di kamar Sasuke banyak yang terbakar Ametarasu.
Saat ingin mengajak Sakura, Sakura terlihat sangat sibuk di rumah sakit.
Yang jelas, saat ini, detik ini, ia tengah menikmati musim gugur bersama Hinata di padang rumput Konoha, di temani angin musim gugur tentunya.
Naruto merebahkan tubuhnya di rerumputan, menatap langit biru cerah dengan manik safir miliknya yang tak kalah cerah dengan hari ini. Sedangkan Hinata duduk di sebelah Naruto yang tengah berbaring, sesekali rambut panjangnya yang selalu di gerai menari-nari di bawah panduan angin.
"Hinata, tak ada misi hari ini?" Naruto membuka percakapan.
Hinata hanya menggeleng sebagai jawaban tidak, lalu menanyakan pertanyaan yang sama pada Naruto.
"Aku juga. Kalau kita sama-sama tidak ada misi, kita bisa lebih lama lagi di sini."
Gadis Hyuuga itu hanya menjawab dengan 'baik' kecil, namun masih bisa didengar Naruto. Terlihat jelas ia masih sangat gugup ada di dekat Naruto, hanya berdua.
"Na-Naruto-kun, bo-bolehkah aku— a-ku bertanya sesuatu?"
"Tentu saja boleh."
"A-ano… a-apa yang Naruto-kun pikirkan tentang masa depan?"
Hening sejenak. Naruto terlihat berpikir, wajahnya yang tak biasa menunjukkan raut seorang ninja tengah berpikir keras sekarang tengah menunjukkan itu. Ia berpikir, untuk menjawab pertanyaan Hinata tentunya.
"Masa depan, ya? Tanpa adanya perang lagi, kupikir masa depan akan baik-baik saja. Aku tak bisa meramalkan seperti apa masa depanku nanti, yang jelas terlihat hanya kematian, seperti kata Kakashi-sensei. Menurutmu, Hinata?"
"Eh?" Hinata terlihat kaget saat Naruto memergokinya tengah memandangi Naruto yang sedang berbicara serius, semburat merah muda mulai terlihat di pipinya. "E-etto… Ma-masa depan… Kalau menurut Naruto-kun masa depan adalah kematian, aku berharap aku mati saat melindungi Naruto-kun. Dengan begitu, masa depanku akan sangat menyenangkan."
"Menye… nangkan?"
"Iya. Saat melindungi Naruto-kun, aku tidak takut mati sama sekali. Kalaupun aku mati saat melindungi Naruto-kun, aku akan sangat bahagia karena Naruto-kun tidak terluka. Seperti saat Naruto-kun melindungi seluruh pasukan aliansi dengan chakra Kyuubi, Naruto-kun tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada Naruto-kun. Seperti itu juga aku, aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi padaku, yang terpenting bagiku Naruto-kun baik-baik saja."
Naruto tersenyum puas mendengar jawaban Hinata. "Tetapi aku tidak akan baik-baik saja saat seseorang melukaimu," ujarnya membuat semburat merah muda di pipi Hinata semakin jelas terlihat.
"Kaa-chan meninggal saat ingin melindungiku dan Tou-chan meninggal saat ingin melindungi Kaa-chan. Pada akhirnya mereka berdua meninggal bersama-sama karena melindungiku dari serangan Kyuubi. Aku juga ingin seperti itu, mati saat melindungi seseorang yang kucintai, mungkin Hinata, atau Sasuke, atau Sakura, atau Kakashi-sensei, atau Iruka-sensei, atau teman-temanku yang lain. Atau mungkin anak-anakku nanti, seperti yang dilakukan Kaa-chan dan Tou-chan."
Naruto menghela napas berat sebelum akhirnya kembali melanjutkan ucapannya. "Berbicara masa depan membuatku pusing-ttebayo. Yang jelas aku ingin kau menungguku di sana kalau kau
mati lebih dan aku akan menunggumu dengan dua mangkuk ramen kalau aku mati lebih dulu, lalu kita akan makan ramen bersama. Menyenangkan-ttebayo!" Naruto tertawa lepas dan Hinata tersenyum mendengar pernyataan terakhirnya.
"Aku mencintai Naruto-kun, sampai kapanpun…"
To be continue
