Summary: Haruskah dirimu senang karena penantianmu berbuah manis? Ia yang telah pergi menghilang entah kemana kini datang dengan membawa pernyataan yang kau tunggu bertahun-tahun yang lalu. Ia datang setelah kau berusaha mengubur perasaan yang dulu kau perjuangkan. Jadi, haruskah dirimu tetap tinggal demi orang yang mungkin masih kau cintai itu?

Cast:
Cho Kyuhyun (F)
Choi Siwon (M)
Kim Kibum (M)

Support cast:
Lee Sungmin (F)

Pair: WonKyu, KiHyun

Warning: OOC, Typo(s), BL, yaoi.

Genre: Romance, Angst, Hurt.

Rated: T/PG-13.

Don't like? Don't read!

Still Love You?

Dan masih bolehkah aku berharap itu kamu?

Kamu yang datang setelah pergi entah kemana,

Kamu yang menghampiriku setelah hilang entah dimana,

Masih bolehkah aku berharap seperti itu?

Setelah takdir mempermainkan semua harapanku,

'Tap… tap… tap' terdengar suara langkah tergesa di sepanjang lorong bangunan perpustakaan dua lantai itu. Beberapa pengunjung perpustakaan yang berada di dalam menoleh ke luar, melihat siapa yang menganggu ketenangan waktu membaca mereka.

Seorang yeoja dengan kemeja merah kota-kotak dirangkap jaket tengah berlari. Nafasnya yang sudah terengah-engah tak menghentikan niatnya untuk menemui seseorang yang penting. Dan kini, kakinya tengah menaiki tangga dengan tergesa-gesa.

"Kyu!" baru saja kau menutup pintu keluar kaca perpustakaan ketika sebuah suara yang amat kau kenal tertangkap indera pendengaranmu.

"Ssstt!" langsung saja kau beri isyarat diam pada yeoja yang baru saja memanggilmu dengan volume yang cukup kencang. Kau tersenyum kaku kepada beberapa orang yang melihatmu, merasa malu karena namamu dipanggil cukup keras.

'Plak' sebuah buku yang cukup tebal menghampiri kepala yeoja yang baru saja memanggilmu.

"Aw! Kau kenapa sih Kyu?! Aku bela-belain lari dari kampus langsung ke perpus cuma buat kamu, berterima kasih dulu kek…"

"Tapi eonni enggak perlu manggil namaku keras-keras, kan? Telingaku masih normal, eonni," kau berlalu, meninggalkan yeoja yang masih sibuk mengatur nafasnya itu.

"Kyu!" lagi-lagi ia memanggilmu dengan suara yang lumayan keras. Langkahmu terhenti tepat di tengah-tengah tangga, lalu berbalik.

"Eonni, udah aku bilang jangan teriak-teriak, ini perpustakaan,".

"Aku juga sudah tahu ini perpustakaan Kyu… Yah, yah, kok ditinggal sih?" dan kau sudah berlalu, melanjutkan langkahmu menuruni tangga dan meninggalkan yeoja bergigi kelinci yang tengah mengurucutkan bibirnya karena kesal..

"Eonni tumben kesini, ada apa?" tanyamu ketika yeoja tadi berhasil menyejajari langkahmu.

Kau mulai membuka buku yang kau pinjam tadi, membacanya sambil membiarkan kakimu melangkah melewati lorong perpustakaan lantai bawah yang sudah lumayan sepi.

"Hot news!" yeoja itu masih setia mengikuti langkahmu.

"Bad news?" alismu sedikit terangkat.

"Good news!" jawabnya semangat.

"Hhmmm… Apaan?"

"Dengerin dong Kyu~," rengeknya, memperlihatkan jurus aegyo-nya yang terkenal.

"Iya, ini juga lagi dengerin," jawabmu tanpa mengalihkan fokusmu pada buku.

"Kyu~,"

"Iya, iya..." kau mengalah, menutup bukumu dan mengalihkan wajahmu, mengamati Sungmin baik-baik. Beberapa saat menunggu namun yeoja itu tak jua membuka mulut, hanya ada senyuman yang tak dapat diartikan, yang menampilkan gigi kelincinya.

"Eonni, jadi ngomong gak sih?"

"Coba liat depan deh," kau memutar matamu bosan, bingung dengan kelakuan sahabatmu yang umurnya beberapa bulan diatasmu itu.

"Ada a…," bibirmu langsung terkunci begitu melihat sosok yang tak jauh di depanmu.

Sosok itu... Sosok yang nyata tapi terasa maya olehmu. Sosok yang ada namun hilang dari kehidupanmu. Sosok yang buatmu terbang melayang tinggi namun jatuh terhempas saat itu juga. Sosok yang selalu dapat mengalihkan duniamu, menjerat pandanganmu dan membawamu larut dalam tatapan dalamnya.

Deg

Sosok itu makin mendekat, dan kau masih belum dapat mengalihkan pandanganmu. Senyumnya, tawanya, sinar matanya, masih sama seperti yang dulu. Ya, tak ada yang berubah dari sosoknya.

Matanya menangkap sosokmu, manik caramel-mu bertemu dengan manik obsidian miliknya. Kau hanyut, jatuh dalam pesona matanya. Mata yang selalu memandang dengan tajam, tatapan menyelidik seolah kau melakukan suatu kebohongan pada mata itu. Sekilas memang terlihat tak berperasaan namun hangat dan penuh perhatian di saat bersamaan.

"Kyu!" sebuah pelukan dari belakang menyadarkanmu ke alam nyata. Sejenak kau masih menatap namja itu namun kemudian mengalihkan perhatian pada lengan yang sudah melingkar di lehermu.

"Oppa~," kau berusaha melepas kungkungan lengan itu, namun lengan itu justru semakin erat berada di pundakmu.

"Kamu seminggu ini kemana aja sih? Oppa kangen banget sama kamu,"

"Bummie Oppa, banyak orang…,"

"Just a few minutes," namja itu masih enggan melepas lengannya di pundakmu. Kau diam, membiarkan namja itu melakukan apa yang ia mau-mengacak rambutmu dan kemudian memelukmu erat lagi-sementara kau sendiri hanya diam.

"Kalian tidak menganggapku, hah?" Sungmin cemberut melihat aksi Kibum yang masih memelukmu. Kau meringis sesaat dan berusaha melepaskan pelukan hangat dari Kibum meskipun sang pelaku tampak tak rela melepas pelukannya.

"Kamu kemana aja seminggu ini?"

"Penelitian ilmiah,"

"Lagi?!" kau tertawa melihat ekspresi terkejutnya yang menurutmu lucu. "Sudah kubilang jangan terlalu ambil banyak kegiatan, kamu juga butuh waktu istirahat. Jaga makan, banyak istirahat, jangan kebanyakan lembur,"

"Oppa, aku bukan anak kecil lagi,"

"But you always be my baby," dan pipimu memerah, malu mendengar Kibum (untuk kesekian kalinya) menganggapmu seperti anak kecil.

"Oppa hari ini tidak ada jadwal kuliah, kan? Kenapa bisa di kampus?"

"Nyari kamu. Ini, titipan dari umma," kau melihat sebuah kotak merah kecil layaknya kotak cincin terulur dari tangan putihnya.

Ragu, kau menerimanya.

"Ini…,"

"Umma memutuskan memberikan cincin itu ke kamu, beliau benar-benar ingin kamu jadi anaknya," kau masih mengamati cincin berhiaskan berlian kecil yang tampak sederhana namun anggun itu. Cincin yang pernah terpasang di jemari seorang yeoja yang pernah menjadi bagian penting dari hidup seorang Kim Kibum.

Kau memandang sosok yang memberikan cincin itu padamu, berterima kasih namun juga meminta maaf.

"Jangan tolak lagi cincin itu, berjanjilah kau akan menjaganya. Aku sudah membicarakan alasanmu kemarin, umma tak keberatan. Umma memintamu untuk sering-sering main ke rumah," kau tersenyum mendengar jawabannya. Itu berarti, kau tak kehilangan 2 wanita yang kau cintai. Umma-mu dan umma Kibum yang sudah kau anggap sebagai umma-mu sendiri.

"Oh iya, bagaimana keadaan umma?"

"Umma kangen banget sama kamu, katanya kamu janji mau bikin kue bareng,"

"Oh iya, aku lupa. Nanti aku langsung ke rumah oppa deh,"

"Masih ada jadwal?"

"2 jadwal lagi,"

"Kalau begitu nanti aku jemput, jangan kemana-mana sebelum aku datang. Arra?" ia memberikan killer smile-nya padamu, buatmu ikut tersenyum. Ia berbalik, melambai dan pergi dengan mobil audi putih kesayangannya.

"Kalian udah mesra kayak sepasang kekasih," Sungmin beranjak, pura-pura ngambek karena sejak tadi diacuhkan.

"Maaf deh. Eonni, jangan marah ya…," kau berlari, memeluk sahabatmu erat sambil tak hentinya tersenyum.

Namun sedetik kemudian, senyuman itu luntur tak bersisa. Matamu menangkap sosok yang tadi buatmu sekejap terpaku.

Kau mengalihkan pandanganmu dari sosoknya, mencoba meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Meyakinkan bahwa kau masih dapat bertahan, melewati sosoknya yang kini juga tengah berjalan ke arahmu.

Langkahmu kian terasa berat dan semua tak dapat dicegah.

Lima

Empat

Tiga

Dua...

Dan semua berlalu begitu saja, entah bagaimana. Kau masih belum dapat memproses apa yang baru saja terjadi. Dalam sedetik yang cepat tadi, dapat kau tangkap senyum di bibirnya. Kepada dirimukah namja itu tersenyum?

Kau ragu harus bersikap bagaimana. Apakah kau harus membalasnya? Apakah kau harus menyapanya? Ataukah kau harus senang? Atau mungkin sebaliknya?

Dan kaupun juga ragu, apakah hatimu akan kembali bersama dirinya yang telah kembali? Hati yang dulu hilang bersama kepergiannya…

Namun sama seperti keraguanmu yang lain, kau ragu rasa itu akan terbalas setelah sekian lama, sekian lama penantian yang buatmu ragu akan semuanya…

Jujur, kau sendiri lelah. Berada di tengah ketidakpastian selama bertahun-tahun. Harapanmu seperti terkumpul pada sebuah botol yang terombang-ambing di tengah lautan. Ia tak kunjung mencapai darat ataupun ditemukan kapal yang lewat. Namun ia juga tak dapat tenggelam, tetap terapung menerjang derasnya ombak.

.

.

Kau tersenyum, menghampiri sosok yang dijuluki snow white itu yang kini tengah berdiri di samping mobil audi putihnya.

"How is your day, baby?"

"Fine," ia mengacak rambutmu.

"Ini, untukmu..." kau menerima amplop biru muda itu dan membacanya sekilas. Alismu terangkat, undangan dinner di Amaze Restaurant yang terkenal mahal itu?

"Yakin buat aku?"

"Tentulah, buat BabyKyu tersayang apa sih yang enggak…," ia mengacak rambutmu lagi dengan penuh sayang, membuatmu tersenyum dengan kelakuannya. "Jadi, hari ini jadwal kita sangat padat. Pertama, kita harus membeli pakaian untuk dinner nanti malam. Kedua, umma memberikan banyak catatan bahan-bahan untuk membuat kuenya. Kita harus cepat karena Appa tidak ingin kita terlambat hanya karena sebuah kue,"

"Appa sudah pulang dari Australia?"

"Kamu kira dinner keluarga nanti malam untuk apa kalau bukan untuk menyambut Appa?"

"Jadi, nanti malam…,"

"Appa sama Umma ingin memperkenalkan kamu sebagai bagian dari keluarga kami di hadapan kolega-kolega Appa. Appa sama Umma kamu sudah tahu dan sudah mengizinkan, tadi Umma sudah telepon kerumahmu,"

"Kalau begitu, ayo berangkat!" kau masuk ke dalam mobil tanpa ragu. Tak sadar, sepasang manik hitam mengamatimu sosokmu tajam sejak beberapa saat yang lalu. Bukan, lebih tepatnya sejak tadi pagi, sejak ia pertama kali melihat bayangmu setelah bertahun-tahun menghilang.

.

.

Bulan tengah bersinar terang, menambah indah suasana dinner di Amaze Restaurant. Namun kau enggan masuk ke dalam, melanjutkan acara dengan menyapa para tamu. Sudah cukup bagimu diperkenalkan di hadapan para tamu di awal acara sebagai anak perempuan dari pasangan yang menyelenggarakan dinner itu. Ahjumma dan ahjussi yang sudah kau anggap seperti orang tuamu sendiri pun tak keberatan dengan sikapmu. Bagi mereka, kau ada di tengah-tengah mereka itu lebih dari cukup.

Jadi, disinilah dirimu, di taman restaurant, duduk di atas ayunan sambil menikmati alunan musik dari I-podmu. Sebuah tangan melepas sebelah headset di telinga kirimu, "Bummie Oppa,"

"Kabur dari pesta?" Kibum duduk di ayunan sebelah kananmu, memasang headset yang tadi diambilnya ke telinga kirinya.

"Oppa tahu kan aku tidak suka keramaian,"

"Kamu jadi ambil beasiswa ke luar?"

"Iya. Bulan depan aku berangkat, kenapa?"

"Bakal sepi kalau kamu pergi," kau tersenyum mendengar jawabnya.

"Kan ada Umma, Appa, sama yang lain,"

"Gak bisa dibatalin ya? Di Seoul banyak universitas bagus,"

"Oppa…"

"Atau mungkin di Jepang, kau bisa kuliah disana kan? Gak harus jauh-jauh ke Inggris kan?"

"Oppa, kita udah ngomongin ini berkali-kali kan? Aku kesana cuma sekitar 3-4 tahun, tidak untuk selamanya. Aku bakal balik tiap bulan kalau oppa minta,"

"…" tak ada jawaban, Kibum mengambil nafas panjang.

"Oppa?"

"Aku takut kamu gak akan balik lagi, seperti Ryewook," ucapan itu nyaris tak terdengar. Namja itu menundukkan kepalanya, mencegah agar kau tak melihatnya jika suatu saat ia tak bisa menahan butiran bening di matanya.

"Oppa…," kau merasa bersalah baru menyadari hal ini sekarang.

Namja disampingmu itu tengah ketakutan, takut kehilangan untuk kedua kalinya. Ia telah kehilangan adiknya, Ryewook, karena sebuah kecelakaan pesawat ketika namja itu akan mengunjugi saudara mereka di Inggris. Ya, Inggris, entah ini hanyalah suatu kebetulan atau bagaimana.

Kau tahu, amat tahu bagaimana hancurnya namja itu ketika melihat raga adik perempuan satu-satunya diturunkan ke liang. Dan sejak saat itulah, kau bertekad untuk lebih memperhatikannya dan berusaha menghilangkan kesedihannya.

Usahamu tak sia-sia, namja itu kini sudah mulai bisa menerima kenyataan yang ada. Ia menganggapmu sebagai pengganti adiknya, menjadikanmu sebagai orang yang berharga di hidupnya. Melindungi dan bersikap possessive padamu, walau menurutmu terkadang ia berlebihan. Dan bahkan, ia mengizinkanmu -memintamu- untuk memakai cincin kesayangan Ryewook di jari manismu.

"Kemanapun, asal jangan Inggris,"

"…" cukup lama kau terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Di sudut hatimu yang terdalam, kau tak sanggup melihat keadaannya seperti ini. Kau yang dulu berusaha keras membuatnya kembali bangkit dari masa lalunya, sekarang kau malah membuatnya kembali mengingat kenangan pedih itu.

"Kamu tahu kan Siwon pulang?" sebuah pertanyaan yang tiba-tiba terlontar itu mampu membungkam mulutmu yang baru saja akan membuka. Kali ini Kibum memandangmu dengan tatapan penuh harapan, "Tidakkah hal itu membuatmu berpikir ulang?"

"It doesn't matter for me again," kata-katamu terdengar dingin, namun hatimu remuk di dalam.

"Siwon sudah kembali. Itu artinya, kamu dapat meminta kejelasan dari dia,"

"Semuanya sudah jelas oppa. Dari awal, aku yang salah karena terlalu berharap padanya. Dan kini, sudah saatnya aku berhenti dan sadar kalau semua ini hanya sia-sia,"

"Belum. Masih banyak hal yang harus kau lakukan dan kau jelaskan. Memang kau sudah tahu pasti perasaan Siwon?"

"Ia tak mungkin tertarik padaku, Oppa," kau tertawa, mengkasihani dirimu sendiri.

"Tak ada yang tak mungkin, Kyu,"

"Sudahlah, Oppa. Tak perlu membahas masalah itu lagi. Bukankah Oppa yang dulu memintaku untuk melupakannya, Oppa lupa?"

"Tapi itu dulu, Kyu,"

"Lalu apa bedanya dengan sekarang?"

"Dulu dia tidak memberi kamu kejelasan. Tiba-tiba menghilang begitu saja dan tidak memberi kamu kabar,"

"Lalu apa bedanya, Oppa? Dia masih sama…"

"Setidaknya dia sudah kembali,"

"Itu tidak akan merubah apapun, Oppa..."

"Tapi kau masih memiliki perasaan padanya kan?!" kau terdiam lagi, tak dapat mengelak kebenarannya. "Kalau begitu kenapa tidak kau perjuangkan. Mana Kyu yang dulu? Kyu yang tidak pantang menyerah?"

"Semuanya akan berakhir sama, sia-sia dan hanya menambah luka, Oppa"

"Ini bukan..."

"Cukup, Oppa. Kyu tidak mau dengar apa-apa lagi tentang Siwon. Oppa tidak pernah tahu bagaimana sakitnya Kyu setiap melihat Siwon, kan?!" tanpa sadar suaramu meninggi. Kau lelah membicarakannya, hanya akan menguras emosimu.

"Kau juga tidak pernah tahu bagaimana perihnya kehilangan kan…" kalimat lemah itu buatmu menyesal sempat membentak Kibum.

Namja itu berdiri dari ayunannya, memandangmu dengan tatapan yang sulit diartikan sebelum akhirnya membuka suara, "Jika ia membalas perasaanmu, apa hal itu dapat untuk membatalkan kepergianmu?" dan cukup satu kata itu untuk membuatmu terdiam.

Pertanyaan itu terngiang di kepalamu. Kau mencoba menemukan jawaban yang tepat dari hatimu sementara matamu terus menghindari tatapan Kibum, mencegah sepupumu itu membaca hatimu lebih dalam dan membuatmu semakin tak dapat berkutik.

.

.

"Kyu!" sebuah suara yang amat kau kenal mengejutkanmu yang tengah membaca buku di rerumputan depan perpustakaan. Kau menutup bukumu, menatap Sungmin yang sudah duduk nyaman disampingmu dengan setumpuk buku.

"Buku sebanyak itu buat apa?"

"Oh ini, tadi dikasih sama sunbae yang udah lulus. Buat nambah belajar,"

"Oh,"

"Mukamu pucat banget, belum sarapan ya? Tadi malam tidur jam berapa?"

"Ntar makan di kantin deh," kau membaringkan tubuhmu di rerumputan, mencoba meredam rasa sakit yang tiba-tiba menyerang kepalamu. Silaunya matahari terhalang oleh pepohonan, meneduhkan tampat kalian duduk saat ini. Rasa sakit itu menyerangmu lagi, kepalamu terasa berat, buatmu semakin ingin segera pulang dan berbaring di tempat tidur.

"Akh! Aku lupa datanya belum diserahin!" sekejap saja kau sudah duduk lagi, mengaduk-aduk isi tas. Kau bernafas lega, menemukan flash diantara peralatan-peralatan tulis di kotak pensilmu. Kau berdiri dan rasa sakit itu menyerangmu seketika itu juga, sempat kau terhuyung namun beruntung tak sampai jatuh. Sejenak, kau memejamkan mata, mencoba mengurangi rasa sakit yang ada.

"Kyu? Kamu gak pa-pa kan?"

"Oh, enggak. Aku nitip tas bentar ya," kau segera beranjak dari situ agar Sungmin tak curiga. Langkahmu semakin memelan seiring bertambahnya rasa sakit di kepalamu. Tanganmu mencengkeram batang salah satu pohon yang paling dekat ketika keseimbangan badanmu mulai goyah.

"Kyu!" seseorang menahan badanmu agar tidak bertubrukan dengan kerasnya tanah saat kedua kakimu tak mampu lagi menahan beban tubuhmu yang semakin terasa berat.

Rasa sakit itu menyerang hebat, buatmu tak dapat memproses dengan baik apa yang terjadi. Yang kau lihat adalah Sungmin yang tengah berdiri di hadapanmu dengan tatapan khawatir dan seseorang yang tengah menahan tubuhmu, "Siwon…"

Kau tak dapat menolak ataupun bertindak ketika seseorang mengangkat tubuhmu. Dan disinilah dirimu, dalam gendongan seseorang yang mengalirkan kehangatan tersendiri ditubuhmu. Kau mencoba meredam sakit di kepalamu, menyandarkan kepalamu di dada orang yang menggendongmu sebelum semuanya terlihat gelap olehmu.

Bisakah seperti ini sebentar saja?

Bisakah ia berharap waktu berhenti untuk sementara sebelum berputar kembali dan membawanya pergi jauh?

Bisakah ia bersandar pada seseorang yang buatnya merasakan kehangatan walau hanya untuk sebentar saja?

.

.

"Kyu…," kau mendengar seseorang memanggilmu. Seberkas cahaya masuk ke dalam matamu sebelum akhirnya kau dapat melihat putihnya langit-langit sebuah ruangan.

"Akhirnya kamu sadar juga, baby," kau memandang seseorang yang tengah berdiri di samping tempat tidur ruang kesehatan.

"Bummie Oppa…"

"I'm here, baby,"

"Oppa kenapa disini?"

"Tadi Sungmin telpon oppa, katanya kamu pingsan di dekat perpus. Kebetulan oppa sudah selesai jadwal kuliahnya jadi langsung kesini. Katanya Siwon, Sungmin ada kelas sampai sore jadi minta maaf gak bisa nemenin kamu,"

"Siwon?"

"Iya, tadi Siwon yang gendong kamu sampai sini sama nungguin kamu karena Sungmin keburu ada kelas. Tapi Siwon langsung balik begitu oppa sampai sini, katanya ada kelas," kau terdiam mendengar penjelasan dari Kibum.

Otakmu mencoba memutar ulang memori terakhir yang kau ingat. Mencoba mengingat perasaan nyaman yang muncul setelah beberapa tahun yang lalu menghilang. Mencoba merasakan sisa-sisa kehangatan tubuh Siwon yang masih terasa di tubuhmu. Mencoba menuntaskan dan mengakhiri kerinduan-kerinduan tentangnya.

"Kita pulang oppa,"

Masih dengan setengah jiwa yang entah pergi kemana, kau turun dari tempat tidur dibantu Kibum. Kibum menggenggam tanganmu erat, memastikan dirimu tak akan terjatuh. Benar saja, kau terhuyung begitu Kibum sedikit melonggarkan pegangannya.

"Hati-hati," dengan sigap sepupumu itu menahan tubuhmu. Dapat kau cium aroma tubuh Kibum. Memorimu berputar ulang, kembali mengingat bagaimana ketika Siwon menahan tubuhmu. Ia memang menyukai aroma tubuh ini, tapi aroma ini berbeda dengan aroma tubuh yang menahanmu sebelumnya.

Keperihan dan kerinduan itu datang lagi, menyiksamu kembali. Terlalu egoiskah dirimu jika menginginkan seseorang yang menahanmu kali ini adalah Siwon lagi?

"Oppa…," dan butiran bening itu tak dapat lagi kau tahan. Kau menangis dalam pelukannya, menumpahkan segala perasaaanmu di dadanya. Segala kerinduan yang memuncak, keputusasaanmu, keperihanmu, dan harapanmu.

Dengan lembut Kibum mengusap rambutmu, berusaha menenangkanmu. Ia memakaikan sebuah jaket hitam padamu, tak lupa memakaikan penutup kepalanya untuk melindungi wajahmu yang kacau dari orang-orang.

Kau terus berjalan sambil menunduk, menyembunyikan isakanmu. Tak kau sadari, sepasang mata menatapmu tajam. Sinar kekhawatiran terpancar dari mata itu, membuat pandangannya terlihat melembut dibanding biasanya. Namun didalamnya pun terpancar kekecewaan dan penyesalan yang mendalam.

.

.

Kau termenung, menatap tiket pesawat yang sedari tadi kau pegang. Masih terbayang di wajahmu bagaimana wajah terluka Kibum tadi malam.

Kau sendiri, kau marah pada dirimu sendiri yang tak bisa mengabulkan permintaan namja yang sudah menempati ruang tersendiri di dalam hatimu.

Kau kesal pada dirimu karena menambah penderitaan dari laki-laki yang amat kau sayangi itu. Tapi, kau pun juga tak bisa melawan kehendak hatimu. Kau tak bisa menghentikan mimpi dan citamu.

Semuanya semakin terasa sulit disini. Dan semakin terasa lebih menyakitkan ketika sosok itu datang mengusiknya kembali.

Kau menghapus setetes air mata yang jatuh, mencoba meyakinkan pada dirimu sendiri bahwa inilah yang kau inginkan saat ini meski di suatu sudut di hatimu ada keinginan akan harapan yang terus coba kau pendam.

Ya, ini mungkin bisa disebut sebagai melarikan diri dari masalah. Tapi saat ini, ketenanganlah yang kau butuhkan. Penantian bertahun-tahun membuatmu lelah. Kau ingin istirahat atau mungkin berhenti, melupakannya dari hidupmu.

Pengecut

Kau tersenyum sinis, prihatin pada dirimu sendiri.

Kau bangkit, menarik koper untuk segera naik ke pesawat. Ya, kau harus segera naik sebelum hatimu merubah jalan pikiranmu. Akan kau tinggalkan dunia di belakangmu, melupakan masa lalu yang buatmu merasakan perih tiap mengingatnya.

Kau tak ingin lagi melihat ke belakang, menumbuhkan harapan baru setelah begitu banyak harapanmu yang terhempas di tengah jalan. Kau tak ingin berharap lebih, meski kenyataannya kau tak dapat mencegah dirimu untuk itu. Kau tak ingin terluka lebih dalam, meski kenyataannya ini akan semakin melukaimu.

Ya, kau tak mau mengerti apa yang akan terjadi nanti. Yang kau inginkan saat ini hanya menjauh. Menjauh dari harapan kosong, keperihan hati, dan seseorang yang buatmu mengorbankan perasaanmu selama bertahun-tahun.

.

.

Sekelebat bayangan itu tiba-tiba berdiri di depanmu tepat sebelum kau masuk ke dalam pemeriksaan tiket, membentuk sosok yang sangat kau kenal. Nafasnya memburu, peluh membasahi dahinya.

Tak cukup dengan kedatangannya yang tiba-tiba, tindakannya yang tiba-tiba memelukmu buat tubuhmu semakin membeku.

"Jangan pergi, aku mohon…," ia memelukmu erat, membuatmu nyaris tak bisa bernafas.

Jantungmu berdebar amat kencang, serasa akan keluar saat itu juga. Kau mencoba mengontrol tubuh dan pikiranmu yang masih membeku karenanya.

"Siwon…," kau berusaha melepas pelukannya, tapi ia justru memelukmu semakin erat.

"Aku mencintaimu," dan satu kata itu sanggup buatmu bungkam. Otakmu kosong, tak tahu apa yang harus kau lakukan.

Haruskah dirimu senang karena penantianmu berbuah manis? Haruskah dirimu terlonjak bahagia karena perasaanmu terbalas?

Ataukah sebaliknya?

Ia telah pergi menghilang entah kemana, lama tak ada kabar. Dan kini, ia datang dengan membawa sebuah pernyataan yang kau tunggu bertahun-tahun yang lalu. Ia datang setelah kau berusaha mengubur perasaan yang dulu kau perjuangkan.

Kau tak dapat menampik bahwa rasa itu masih ada. Namun kaupun tak dapat menampik bahwa banyak luka yang menyelimuti perasaanmu. Luka hati yang kini buatmu bimbang, masihkah hatimu menginginkan dirinya?

Masihkah dirimu berharap memilikinya setelah sekian banyak keperihan yang kau rasakan? Karena tak menutup kemungkinan kau akan terluka lagi… dan karena kau telah lelah dengan semua luka yang telah kau rasakan sampai saat ini…

Jadi, haruskah dirimu tetap tinggal demi orang yang -mungkin- masih kau cintai itu? Tapi, bukankah cinta tak harus memiliki?

END

Hei, hei...

Salam kenal. Maaf jika masih jelek, gak jelas, ataupun banyak kesalahan dan kekurangan yang lain… maklum, masih pemula… :D

Lama jadi SR sekarang akhirnya berani tampil membawa sebuah FF percobaan pertama. Hehehe...

#bungkukin badan ke author yang biasanya tak baca...

Maaf juga kalau selama ini jadi SR dan enggak review karena buka lewat HP terus... (pulsa internet mahal)...

Pengennya saya buat 3 POV… kalau ini, POV dari Kyu… pengen tambah POV dari Kibum sama Siwon…

Tapi, masih dilema... _

Read and review please...

Merci…