The Almighty's Weakness

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: Possibly out-of-character, typos, the fuck with this shit? Why so serious?

.

.

.

Setelah kebakaran mengerikan yang meraup habis apartemen tempatnya menetap, ayahnya mengatakan kalau Hinata sebaiknya tinggal untuk beberapa waktu dengan anak temannya. Sementara kakak sepupunya, Neji ikut membantu mencarikan tempat tinggal yang baru.

Hinata tak bisa menolak. Tepatnya, ia hanya tak berani mengatakan 'tidak' pada sosok sang ayah. Lagipula, siapa yang senekat itu melawan perkataan pria yang diamnya saja mengerikan. Kecuali mereka yang bosan hidup dan lebih memilih mati tanpa ada embel-embel bunuh diri.

Bukannya mustahil juga ia pulang ke rumah dan tinggal saja di sana. Tapi, Hinata tak mau merepotkan Neji lagi karena sibuk mengantar jemput Hanabi dan dirinya, padahal kakak sepupunya itu juga punya pekerjaan menumpuk di perusahaan ayahnya sebagai calon pewaris Hyuuga Zaibatsu nanti. Terlebih, ia tak mungkin menghabiskan waktu lama di perjalanan ke tempat kuliahnya, meskipun menggunakan kendaraan umum seperti kereta api atau bis sekalipun.

Sederhananya, Hinata tidak punya pilihan lain.

Mau tak mau, suka tak suka (jika Hinata boleh berkata jujur, ia tidak mau dan tidak suka), Hinata akhirnya setuju saja―setelah perdebatan batin yang ia alami berakhir dengan dramatis.

Maka, di sinilah ia berdiri. Di depan pintu putih sambil membawa koper dan tas besar berisi baju beserta buku-buku pelajarannya. Bibirnya digigit cukup keras, Hinata yakin pasti ada bekas. Hinata tidak peduli. Ia ingin sekali pergi dan bersimpuh di hadapan ayahnya untuk menetap di tempat lain saja. Sayangnya, hal itu mustahil. Hinata tidak mungkin menarik kata-katanya lagi. Ia sudah menyanggupi, dan tinggal melaksanakan saja. Apa susahnya? Hanya tinggal di sana paling lama satu bulan―semoga kurang, membantu sedikit pekerjaan rumah, dan mungkin mengobrol mempererat pertemanan?

Benar, kan? Apa susahnya?

Kecuali kalau anak teman ayah yang dimaksud Hizashi adalah si bungsu Uchiha, maka yang terakhir perlu Hinata eliminasi. Jangan sampai ada pikiran seperti itu lagi, sebisa mungkin.

Iya, benar. Si bungsu Uchiha. Anak paling bontot dari Fugaku dan Mikoto yang merupakan teman dekat ayah dan mendiang ibunya. Adik kandung dari Itachi, sahabat kakak sepupunya. Dan teman sekolahnya sejak kecil, Uchiha ... Sasuke.

Teman. Satu kata dengan arti sebatas rekan sekelas saja, tidak lebih. Dan Hinata sendiri tidak mau melebih-lebihkan. Justru, ia tidak ingin ada kata teman di antara namanya dengan pria yang dimaksud. Tidak, sama sekali tidak mau.

Tangannya memencet ulang bel di samping pintu, bergetar. Hinata takut, sungguh, ia tidak bohong. Kakinya saja tidak mau berhenti gemetar, dan ia ingin menangis sambil berlari ke makam ibunya kalau perlu.

Sejak ia masih menggunakan popok, ibunya dan nyonya Uchiha sudah mengenalkan Sasuke pada dirinya. Dan itu bukan awal pertemanan yang menyenangkan, percayalah. Hinata masih tak mau mengingat kejadian di mana si Sasuke sialan itu melempar kodok ke arahnya―terserah, Hinata tidak peduli dari mana dan sejak kapan bayi Uchiha itu memegang kodok di tangannnya. Kemudian, pertama menginjak taman kanak-kanak, Sasuke memasukkan setoples kecoak ke dalam tasnya sebelum berangkat. Lagi-lagi Hinata tidak mau tahu dari mana Sasuke mendapatkannya. Lalu, saat masuk sekolah dasar, ia menemukan ular di dalam sepatunya. Kecil, tapi sukses membuat Hinata tak mau ke luar rumah seminggu penuh dari kamar. Sungguh, Hinata heran bagaimana si Uchiha kurang ajar itu menyimpan makhluk-makhluk menjijikkan tersebut.

Perlu disebutkan lagi beberapa kelakuan antik Sasuke yang membuat Hinata semakin membencinya? Kira-kira Hinata membutuhkan waktu enam jam penuh dan dua jam tambahan untuk acara tangis-menangis yang memilukan.

Hinata sempat mendengar di seberang telepon Neji mengamuk setelah tahu dengan siapa ia harus tinggal. Yang benar saja? Seorang gadis tinggal bersama dengan laki-laki yang kelakuannya sulit ditebak seperti Sasuke? Hanya berdua? Dalam satu rumah? Ia sudah menimbang untuk ikut saja menumpang di apartemen Sakura yang tidak terlalu jauh dari universitasnya. Tapi, gadis permen karet itu sudah membagi ruangan dengan sahabatnya, Ino. Hinata juga tak enak kalau harus menjadi benalu bagi mereka. Terlebih, Hizashi sudah memandatkan kalau ia harus tinggal dengan Sasuke. Titik. Neji saja langsung membungkam mulutnya, apalagi Hinata.

Kalau saja kecelakaan itu tidak terjadi, Hinata pasti tidak usah susah-susah ke sini mencari mati. Ini semua gara-gara tetangganya tak sengaja meledakkan petasan di dalam kamar dan menghanguskan hampir setengah bangunan. Hinata tidak tahu untuk apa semua petasan-petasan itu, dan Hinata juga tidak berani bertanya. Tidak kalau tetangga yang dimaksud adalah pria dengan bekas jahitan di kedua lengan dan selalu terlihat menyengir lebar cenderung maniak. Tapi, mau bagaimana lagi. Untungnya tidak ada korban jiwa, ia hanya harus mengganti semua kerugian saja.

Tinggal satu pertanyaan yang tersisa, siapkah Hinata untuk memaksa masuk ke dalam dunia kecil Sasuke yang dikenal penyendiri, egois, dan keras kepala itu?

Dan jawabannya juga hanya satu; tidak.

.

.

.

Sasuke mendengarnya jelas. Suara bel yang bergema di dalam apartemennya tiga kali berturut-turut. Juga bunyi ketukan pintu lemah beberapa kali sebelum hening. Hanya saja, Sasuke bukan tipe orang penyabar. Kalau dianalogikan, urat kesabarannya itu sependek korek api, mungkin kurang. Ia tidak pernah, dan tidak akan pernah membiarkan orang lain masuk ke hidupnya. Minimal dunia kecilnya saja, seperti rumah ini misalnya. Sekarang ia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan, kesunyian dan kesendirian tanpa ada usikan orang lain yang menyebalkan. Ini adalah mimpinya sejak dulu, jauh dari ibunya yang cerewet, ayahnya yang pengatur, dan kakak laki-lakinya yang jahil.

Tapi tetap saja, gerak-geriknya masih dalam pengawasan orangtuanya. Intinya, mereka masih mempunyai hak untuk menetapkan apa yang harus dan apa yang tidak dalam hidup Sasuke. Sekali pernah terlintas untuk memberontak, berpindah haluan menjadi anak durhaka sejenak, tapi pasti akan sangat berakibat fatal bagi uang jajannya―dan Fugaku tidak bercanda saat ia bilang akan menarik paksa seluruh tabungannya.

Maka, Sasuke tak punya pilihan lain selain mengangkat telepon atau membalas pesan mereka dengan gumaman berarti setuju namun kentara terpaksa tentang apa saja yang mereka suruh padanya.

Berbicara tentang telepon, ia baru saja mendapat panggilan dari ibunya untuk meminjamkan ruangan kosong di apartemennya bagi tempat tinggal Hinata sementara.

Kalimat pertama yang terlintas di benaknya adalah, "Siapa Hinata?" Setelah Mikoto tertawa gemas dan menjawab pertanyaannya, sedikit demi sedikit memori Sasuke terbuka. Oh, gadis cengeng yang takut kodok itu. Kerutan di keningnya semakin ke bawah. Pertanda tidak suka. Bukan hanya karena ia dipaksa membagi ruangannya dengan orang lain, tapi Sasuke juga tak mau berinteraksi apapun dengan siapapun, apalagi harus setiap hari sampai 'sementara waktu' itu berakhir.

Sudah menjadi rahasia umum kalau Sasuke tidak pernah mempunyai teman. Karena bagi Sasuke, seorang teman hanyalah manusia keji yang menginginkan dirinya untuk kepentingan pribadi saja. Bahkan saat Mikoto mengatakan kalau Hinata bukan tipe orang yang akan membobol isi lemarinya dan mencuri semua perhiasan miliknya di sana, Sasuke tidak peduli. Mau apapun alasannya, ia tidak mau ada orang lain di dalam hidupnya.

Tapi sekali lagi, ingat saja kalau Sasuke bukanlah anak yang durhaka. Karena tahu akan seburuk apa akibatnya kalau ia membantah perintah ayah dan ibunya, Sasuke pun dihadapkan pada jalan buntu. Satu-satunya jalan keluar yang ada hanya menjawab, "Hn."

Tetap saja, ia keras kepala. Batinnya masih bersikeras kalau ia tidak mau membagi ruangan dengan orang lain. Maka itulah, kenapa pintu masih saja tertutup rapat.

Sebenarnya, Sasuke sudah lama berdiri di sana. Diam-diam menunggu kedatangan tamu tak diundang tersebut melalui lubang kecil di pintu, menyipitkan sebelah mata sambil mengintip halaman depan apartemennya itu. Ketika Hinata sudah berada di seberang pintu dan membunyikan bel sekali, Sasuke menyilangkan tangan di depan dadanya, menggertakkan giginya dengan kesal, dan mendengus kasar. Mungkin berpura-pura tuli akan membuat Hinata pergi pada akhirnya. Tapi, tiga puluh menit berlalu Hinata masih saja diam di tempatnya dengan wajah memelas yang sekilas terlihat oleh Sasuke. Kemudian, tiga puluh menit berikutnya Hinata sudah menyandarkan diri pada dinding balkon sambil mencuri pandang pada jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Lalu, tiga puluh menit berikutnya Hinata kembali mengetuk pintu dengan sabar. Tiga puluh menit selanjutnya gadis itu sudah berjongkok di depan pintu.

"Kenapa dia belum pulang-pulang?" Sasuke menggumam sambil menggaruk kasar rambut hitamnya. Ia jadi kesal sendiri. Kalau saja orang lain yang sekarang berada di posisinya, pasti akan luluh karena kasihan melihat Hinata di luar sana berkail-kali mengusap pelupuk matanya yang hampir membiarkan air mata mengalir dan agak memeluk badannya yang bergetar.

Di luar dingin dan hampir malam. Tapi, Sasuke tetap bertindak egois dan keras kepala, meskipun ia tidak menyadari sifatnya yang menyebalkan itu. Bagi Sasuke, ini adalah strategi agar Hinata cepat pergi, jauh-jauh kalau perlu. Jika ia berhasil membuat gadis indigo itu menyingkir karena tidak pernah dibukakan pintu, artinya Sasuke menang. Namun, kalau Hinata masih teguh untuk berdiri diam di sana, berarti Sasuke tidak punya pilihan lain selain membiarkan Hinata masuk ke dalam (ia tidak mau mengaku kalah). Dan semisalnya Sasuke memenangkan pertaruhan ini, ia hanya akan mengatakan kalau sejak awal Hinata tidak pernah datang ke apartemennya. Hinata mungkin akan menyangkal pernyataannya, tapi tak akan ada yang tahu siapa yang jujur dan siapa yang berbohong.

Mudah, bukan?

Sayangnya, Hinata tak beranjak satu meter pun dari tempatnya berpijak. Meski ini sudah jam delapan malam, gadis itu masih mencengkram erat bagian bawah cardigan biru mudanya, menunggu pintu dibukakan agar ia bisa segera menghangatkan diri di dalam. Dan kalau Sasuke tetap keras kepala begini, perutnya tidak akan tahan. Sialnya, kulkas hari ini kosong tanpa ada bahan makanan, Sasuke butuh asupan makan malam sekarang juga.

Dan tiga puluh menit terakhir, Sasuke menyerah.

Dengan berat hati, Sasuke akhirnya membukakan pintu, "Iya, iya! Masuklah."

Hinata menatapnya dengan mulut terbuka dan mata melebar, bertanya setengah berbisik, "Sa-Sasuke-kun di-di rumah?" Tentu saja gadis itu akan penasaran. Orang gila mana yang membiarkan tamu menunggu lima jam di luar?

"Tidak, aku baru pulang tapi kau tak melihatku masuk ke rumah," ucap Sasuke sekenanya, sebelum menambahkan, "Aku ketiduran."

Dan, ya, Sasuke adalah orang gila itu.

"Be-begitu? Ma-maaf kalau membangunkan Sasuke-kun."

"Terserah. Cepat masuk dan buat makan malam."

Mendengar permintaan―tepatnya paksaan―Sasuke, Hinata mendongakkan kepalanya dan menautkan alisnya, bingung. "Sa-Sasuke-kun belum makan?" tanyanya hati-hati.

Sasuke memutar kepalanya tak mau menatap Hinata. Apa iya Sasuke harus bilang kalau dia menunggu Hinata enyah dari depan apartemennya agar bisa membeli bahan makanan untuk perutnya yang mengamuk sejak tadi? Tidak. Kalau Sasuke bisa berpura-pura tuli, itu berarti ia juga bisa berpura-pura punya hati. "Hn," adalah jawaban Sasuke, seperti biasanya.

"Ka-kalau begitu, aku... a-aku rapihkan dulu barang-barangku se-sebentar."

Sasuke menyingkir memberi akses masuk untuk sang gadis. Ia membiarkan Hinata berjalan duluan ke ruang tengah, sementara Sasuke mengunci pintu terlebih dahulu. Pemuda raven itu baru menyusul Hinata kemudian setelah memastikan pintu tertutup rapat.

"Ruanganmu di sebelah kamarku," kata Sasuke sambil menunjuk ruangan yang masih ditutup di sebelah kanan tempat mereka berdiri. Hinata mengangguk pelan, menarik kopernya, dan bersiap-siap membuka pintu, tapi tangannya tertahan karena Sasuke tiba-tiba menambahkan, "Bukanya pelan-pelan."

Hinata memiringkan kepalanya bingung, tapi mematuhi peringatan Sasuke. Knop pintu ditariknya penuh hati-hati, seakan ia sedang menahan sebuah telur di ujung jari. Dan saat pintu terbuka, bersamaan dengan pekikan terkejut Hinata, Sasuke menyeringai puas.

"I-i-ini... i-ini ka-kamarku?"

"Iya, kecuali kau mau tidur di atas sofa, ruangan di dalam adalah sepenuhnya milikmu, tuan putri," ucap Sasuke dengan nada menyindir dan berlalu begitu saja ke atas sofa di ruang tengah sambil menekan tombol untuk menyalakan televisi.

Hinata ingin menangis. Tidak, Hinata sudah menangis... dalam hatinya. Ia sudah membulatkan tekad kalau dia bukanlah Hinata yang dulu, yang cengeng. Tapi, tetap saja berbeda kalau yang dihadapinya sekarang adalah sebuah kamar dengan penerangan minim, dus-dus berserakan di pojok, gitar rusak yang tergeletak di tengah ruangan, belasan sarang laba-laba menggantung di atas, kecoa yang berkeliaran, dan... apa itu celana dalam?

"Sa-Sasuke-kun," Hinata menghampiri Sasuke yang masih menikmati tayangan di hadapannya, "I-itu gudang?"

"Hn."

"Sa-Sasuke-kun ingin aku tidur di gu-gudang?"

"Hn."

"... A-apa aku terlihat se-seperti sampah bagi Sasuke-kun?"

Kini Sasuke menoleh. Pemandangan pertama yang menyapanya adalah Hinata yang sudah berderai air mata. Mendecih kesal, Sasuke menghampiri gadis yang lebih mungil darinya itu dan membungkuk untuk mensejajarkan diri di hadapannya. Ujung-ujung bibirnya perlahan tertarik ke samping, membentuk seringaian seperti sebelumnya.

Gadis lain mungkin menganggapnya sangat menarik atau seksi, menggugah hati, memabukkan akal sehat, tapi bagi Hinata, itu adalah penghinaan terbesar terhadapnya.

"Kalau kau tidak suka, pintu rumahku selalu terbuka, ohime-sama."

Hinata meneguk ludahnya susah payah. Tangannya terangkat untuk mengusap bercak basah yang tertinggal di pipi. Sasuke masih berjarak satu jengkal dari wajahnya, dan percayalah, Sasuke harus sangat berterima kasih karena Hinata adalah gadis dengan hati terbersih sedunia. Kalau Hinata adalah Sakura, mungkin Sasuke sudah dihajarnya dengan jurus judo andalannya―dengan catatan Sasuke harus diganti orang lain, Sakura pasti akan langsung luluh jika lawannya setampan Sasuke. Atau, kalau Hinata adalah Neji, sudah sedari tadi wajah itu diludahinya. Sayang―atau mungkin untungnya bagi seorang Sasuke, Hinata tak pernah punya niatan sekejam itu. Jangankan Sasuke, semut saja tidak tega ia injak.

Biarlah, ia pasti bisa tegar menghadapi semua cobaan dalam berbentuk Sasuke ini. Hinata tak mungkin menarik kata-katanya lagi. Hinata gadis pemberani yang tidak cengeng lagi. Hinata pasti bisa. Semangat! Karena ini adalah jalan ninjanya.

... eh.

.

.

.

TBC

(A/N: Saya rindu pairing ini. Sudah berapa lama? Lima tahun? ;u;

-nju)