Déchirer

.

.

Pairing:

Jung YunHo X Shim ChangMin a.k.a HoMin –TVXQ!

MinWoo X MiMi –MiMi

Genre:

Romance, Drama(?)

Warning(s):

YAOI, TYPO(s), OOC, OC, AU, DLDR! HoMin! aneh, ide yang begitu absurd, susunan bahasa yang kurang, kosakata tidak memadai, beberapa kekeliruan, etc.

Author's Note:

Memutuskan untuk tidak jadi hengkang –labil

Mempersembahkan FF yang dibuat berabad-abad yang lalu.

Diharapkan dapat menyentuh kalbu walau sebegitu anehnya FF ini.

.

.

Happy Reading! ^^

.

.

"Jung Yunho!"

"Hmm.."

"Kau mabuk lagi?"

".."

"Hei! Lihat aku! Jung!"

"Bisakah kau diam, Changmin!"

"Tidak! Jung Yunho, sudah berulang kali kubilang, jangan pernah kau pulang dalam keadaan mabuk begini!"

"Bukan urusanmu! Jangan menghalangi jalanku, pabbo!"

"YAH! JUNG YUNHO! KAU TIDUR DI SOFA MALAM INI!"

Blam!

Buk!

Ia menutup buku tebal yang tengah dibacanya dengan agak keras. Napasnya memburu dan tatapannya menajam, menuju pada langit-langit kamar dengan warna catnya yang putih pucat. Sangat tajam, sehingga bisa saja membuat langit-langit itu berlubang seketika. Kedua orang tuanya bertengkar lagi. Seperti biasa. Ia menggigit daging bagian dalam pipinya, berusaha keras mengontrol emosi yang sedang meluap dalam tubuh, hendak membuncah keluar rasanya. Sebenarnya ia kesal, mungkin bisa dibilang sangat kesal, namun perasaan khawatir mengalahkan kesalnya. Perasaan yang selalu muncul ketika teriakan-teriakan itu terdengar. Dihempaskannya dengan keras buku tebal tadi ke permukaan lantai beralas karpet, menciptakan suara debaman yang teredam. Wajahnya tak memasang ekspresi apapun walau sebenarnya ia kacau setengah mati.

Akhirnya, ia memaksakan diri bangun dari tempatnya berbaring, dengan decakan. Dirinya hendak menginjakkan kaki keluar dari ruangan, namun belum sempat ia melangkah, matanya terlebih dahulu menangkap wujud seonggok buku tebal yang tadi ia jadikan pelampiasan, sedang tergeletak payah di lantai. Memutar bola mata, Jung Minwoo, dirinya, mengambil buku itu, dan langsung saja ia hampiri sebuah rak dari kayu berukuran sedang, meletakkan si buku malang ke tempatnya semula. Ia menghela napas. Tak bisa ia melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sesuatu yang berantakan.

Jemari lentiknya menyapu kulit beberapa buku yang memang sudah beristirahat disana, menyingkirkan debu yang menempel. Ia tersenyum kecil. Hal ini–maksudnya bersih-bersih, cukup menenangkan dirinya dan memadamkan sebagian emosi yang terus bergejolak dalam tubuh. Ia merupakan seorang yang mengidap apalah-itu-namanya, 'Neat-freak'. Yang pasti, ia akan merasa sangat bahagia, sangat bersemangat, saat sedang merapikan sesuatu. Dan bisa sangat terganggu ketika melihat sesuatu yang tidak tertata rapi.

Tentunya, 'penyakit' itu ia dapat dari sang Eomma.

Minwoo beranjak dari rak buku, kini berjalan menuju pintu kamar dan memutar kenopnya. Ia melangkah keluar dengan senandung kecil yang sangat merdu walau dengan volume sebegitu rendahnya. Ia terus menuruni tangga dan berjalan lagi. Sampailah ia pada ruangan kotak berukuran sedang. Orang-orang menyebutnya dapur, namun menurutnya, ruangan itulah tempat dimana harta karun dapat ditemukan dan atau dihasilkan. Harta karun berupa makanan maksudnya. Cinta pertamanya. Tak dapat diragukan lagi jika ruangan itu menjadi ruangan favoritnya di urutan pertama, bahkan kamar nyamannya saja kalah.

Ketika sampai di meja makan, meliriklah ia sejenak melalui ekor mata pada sesosok pria berusia tiga puluhan. Pria yang terduduk di salah satu dari enam kursi. Tanpa ada sedikitpun rasa peduli, ia menghidangkan dirinya sendiri sekotak susu putih yang ia ambil dari dalam lemari es. Tak melupakan pandangan bagai bertemu kembali dengan pasangan setelah bertahun-tahun berpisah yang ia lontarkan pada lemari es tersebut. Diteguknya si cairan berwarna putih segelintir, lalu segera menutup pintu lemari pendingin. Setelahnya, ia mendudukkan bokong pada kursi, tepat sekali di samping kanan sang pria yang masih menyembunyikan wajah di dalam lipatan tangan. Pria itu, ayahnya.

"Okaeri, Appa," bisiknya pelan, meneguk susunya sekali lagi. Matanya tak melirik sang ayah. Tak menginginkan balasan pula. Ia saja tidak tahu menahu orang itu masih sadar atau sudah tenggelam tertelan bunga tidur.

"Hmm.." gumam ayahnya sebagai balasan.

Ia mendengus. Masih sadar rupanya.

"Ugh.. aku.. sangat lelah," Jung Yunho, si pria tiga puluhan itu, menolehkan kepala ke arah anak semata wayangnya yang duduk tenang di sampingnya. Ia mengulas senyum simpul. Wajahnya nampak memerah, entah karena pantulan warna kain taplak meja atau karena mabuk. Kalau keduanya, sungguh sangat sempurna merahnya. "Tidak.. bisa.." ia terbatuk, menutup mata kembali. "Tidur nyenyak,"

Minwoo menatap wajah ayahnya dengan iba. Ia mengulurkan tangan perlahan, meraih pelipis sang ayah dengan jemari, lalu memijat lembut, menciptakan lenguhan lega dari bibir Yunho. Ia membentuk seringaian. Dasar si ayah bodoh. Sangat keras kepala. Kalau saja pria tua ini tidak pulang dalam keadaan seperti ini, pasti pria tua yang satunya lagi akan dengan senang hati memijat suaminya, mengucap kata gombal-gembel mesra, menghangatkan tempat tidur sampai keduanya terlelap. "Pabbo, Appa.." bisiknya sangat pelan, mengumpat halus.

Dan seketika itu, ia pun mendecak jijik saat air liur keluar perlahan dari belahan bibir Yunho yang terbuka, dan lebih geli lagi ketika pria itu mengelap liur dengan lengan kemeja. Jorok sekali. Setelahnya, karena merasa sama sekali tidak salah, toh, memang menurutnya ia tidak salah, Yunho kembali menikmati pijatan lembut dari anaknya.

"Yah! Appa! Kau jorok sekali!" umpat Minwoo. Bukan salahnya yang suka sekali mengumpat orang tua, memang orang itu yang sepertinya bangga sekali mengoleksi umpatan.

Yunho hanya cengengesan dengan mata tertutup. Meracau tidak jelas. Alkohol masih mendominasi. Ketika membuka mata, cengengesannya hilang, ekspresi terganti dengan bibir yang membentuk rengutan. Ia memajukan bibir, agak konyol. "Minwoo-ya,"

"Hm?" Minwoo hanya menggumam. Bahkan pemuda itu tak tahu ayahnya memanggilnya sungguhan atau hanya merupakan racauan tanpa makna orang-orang yang otaknya terenggut kuasa alkohol.

"Eomma-mu itu jahat sekali," Yunho makin memajukan bibirnya, otaknya memutar wajah marah Changmin yang walaupun terlihat seksi namun mematikan. "Dengan sangat tega membiarkan suaminya yang kelelahan seperti ini untuk tidur di luar.. tanpa dekapan.. tanpa kehangatan.. hmmp,"

Minwoo menyentil mulut Yunho yang maju dengan sangat tidak elit, lalu berakhir dengan karma karena ia jadi terkena liur ayahnya yang menjijikkan, pekat berbau alkohol. "Yah! Itu salahmu sendiri, kan,"

Yunho yang mabuk nampaknya tidak sadar telah disentil oleh anaknya sendiri. Mungkin kalau ia dalam kondisi sepenuhnya sadar, ia akan menghukum Minwoo dengan menyembunyikan peralatan gambarnya selama sebulan, bahkan lebih, karena telah melanggar norma dan adat anak pada orang tuanya. Ia menepis tangan Minwoo yang masih bertengger di pelipisnya –yang sedang memijat, mengisyaratkan anak itu untuk menghentikan kegiatannya. "Aku hanya mabuk sedikit,"

Minwoo memutar bola mata. 'Apanya yang sedikit?' batinnya. "Sama saja, kan?"

"Pokoknya hanya sedikit, Minwoo-ya.. Eomma-mu itu sangat berlebihan," Yunho menguap. Matanya sudah sangat merah. Ia kembali menyembunyikan wajah di dalam lipatan tangan, menutup mata rapat-rapat. "Padahal dirinya juga sering mabuk-mabukkan. Kau tahu, kan, kalau dia itu peminum handal? Dasar kau, Changdol! Akan kutandingi kekuatan minummu suatu saat nanti! Lebih dari saat aku mengalahkanmu di ranjang! Akh.. Betapa menyebalkannya kau, Changminnie..." mulai meracau lagi, memberi jeda. "Hngh.. But, I looove you so much, Changmin-aaah..." lenguhnya teredam, sebelum akhirnya yang keluar dari mulutnya adalah dengkuran keras.

Memutar bola mata sekali lagi, Minwoo terkekeh geli atas tingkah aneh ayahnya. Ia terheran pada Yunho yang masih sempat mengucap kata cinta sebelum tak sadarkan diri. Ia yakin ayahnya memang sangat mencintai Changmin, ayahnya yang satu lagi (namun ia lebih menyukai memanggil pria itu dengan sebutan 'Eomma').

Sekonyong-konyong ia teringat akan susunya yang terbengkalai, Minwoo langsung meneguk cairan dalam bungkus kotak itu sampai tetes terakhir. Saat hendak mengusap noda susu putih yang tercipta di sekitar bibirnya, sebuah suara familiar yang tiba-tiba menggelegar langsung menggetarkan dadanya.

"Jangan usap mulut kotormu dengan lengan baju, Jung Minwoo!" suara itu berkata.

Kepala Minwoo menoleh ke asal suara, dari ruang tengah. Itu Changmin, eomma-nya. Ia menggaruk belakang kepala gugup sembari tersenyum kikuk. Hampir saja. "M-maafkan aku, Eomma.. takkan terulang," sumpahnya.

Ia merinding merasakan sepasang mata Bambi Changmin menatapnya tajam. Tatapan mata yang seakan menusuk jantungnya. Tak elak ia terkejut saat pria itu meraih selembar tisu dari meja makan, berjalan mendekatinya untuk mengelap mulutnya yang bercecer susu dengan agak kasar, namun masih sarat akan perhatian dan kasih. Umurnya hendak memasuki tujuh belas dan masih diperlakukan seperti ini. Ia ingin protes, tapi merasa maklum dengan perhatian Changmin.

"Kalau kau mengulanginya, nasibmu akan sama seperti 'beruang' yang satu itu!" seru Changmin dengan nada penuh ancaman. Ia mengalihkan pandangan dari Minwoo menuju suaminya, yang walau semenyebalkan apapun orang itu, takkan pernah bisa ia benci. "Aigo," serunya frustasi menatap Yunho yang tertidur dengan sangat berantakan tersebut. "Pantas saja kucari kau di ruang tengah tidak nampak. Ternyata di sini. Dasar orang bodoh!" umpatnya dengan decakan, berkacak pinggang.

"Ia sudah seperti itu sejak tadi," ungkap Minwoo, mengangkat bahu. Ia melempar karton susunya ke tempat sampah terdekat. Kotak yang mendarat sempurna ke dalamnya.

Changmin menurunkan 'barang bawaan' yang ia genggam sedari tadi dengan satu tangan. Barang bawaan yang berupa sebuah bantal dan sehelai selimut tebal. Ia mendekati Yunho yang tak menampakkan wajah. "Sudah tidur?" tanyanya pada Minwoo sembari menunjuk kepala Yunho.

Minwoo hanya mengangguk. Lagi-lagi ia tidak tahu.

"Mendokusei," pria berparas manis itu mengacak helaian surai legam Yunho. "Aku kan bilang tidur di sofa, bukan di meja makan, hyung," ia berbincang pada Yunho yang tentu saja hanya menjawab dengan dengkuran. "Kalau seperti ini kau bisa menyakiti tubuhmu. Hei! Hei, hyung! Bangunlah sebentar.." Changmin menyenggol-nyenggol lengan atas Yunho dengan tangannya, sedikit menggoyangnya.

"Tiga puluh menit lagi, sayang,"

Changmin dan Minwoo memutar bola mata berbarengan.

"Tidak, sayang. Ayo cepat bangun! Mari.. kuantar kau ke sofa,"

Akhirnya Yunho melepaskan wajahdari lipatan tangan, membuka mata. Ia melongok Changmin yang menatapnya "Aigo, masih berlakukah hukumanku?" tanyanya dengan mata sepertiga terbuka, merengut. Masih ingat dengan hukumannya ternyata. Setelahnya, ia kembali menutup wajah dan mata. Malas bangkit.

"Tentu saja!" Changmin meninggikan nada bicara. Kali ini, ia mencoba mengangkat berat tubuh Yunho dengan sekuat tenaga, namun badan lemas Yunho sungguh membuatnya tidak berdaya untuk menggerakkan badan tersebut barang satu inchi. Bukannya tidak kuat, hanya saja sepertinya Yunho tak ingin pindah. "Hyuuung.. ayolah," pintanya.

Mata Yunho masih menutup. Lalu dengan tiba-tiba dan tanpa peringatan, ia berdiri sambil mengangguk, entah sadar atau tidak. Namun bukannya berjalan ke ruang tengah untuk tidur di sofa sebagai pelaksanaan hukuman, ia malah menangkap tubuh Changmin yang berada di sampingnya, mendekap dengan sangat erat.

"Yah! Lepaskan aku!" protes Changmin yang terkejut. Ia berusaha mendorong tubuh Yunho untuk menjauh, juga melempar tatapan permintaan tolong pada anaknya yang sejak tadi hanya terduduk sembari memperhatikan pertunjukkan yang diperankan olehnya dan Yunho.

Minwoo hanya mengangkat bahu. Ia mengabaikan Changmin yang sepertinya akan menjadi santapan sang ayah. Malas sekali jika harus berurusan dengan Yunho itu.

"Minwoo-ya! Bantu Eomma-mu ini! Hei! S-sialan kau! Jung Yunho!"

"I love you, Changminnie. Maafkan aku, ya?" gumam Yunho yang sepertinya setengah sadar. Ia melonggarkan dekapannya pada Changmin hanya untuk meraih dagu pria manis itu, menariknya hingga bibirnya bertemu dengan bibir ranum sang pujaan hati. Ia mencumbu dua belah bibir itu dengan hikmad, menempel penuh bagai bongkah puzzle yang bertemu pasangannya.

Changmin terperangah tentu saja. Ciuman orang itu memang memabukkan. Ia saja hanyut seketika, tak ingin lepas, ingin membalas. Namun pahit memang, ia sadar saat ini mereka bukan di tempat yang tepat. Bukan pula di waktu yang tepat. Pun ingatannya yang berbisik akan eksistensi anak semata wayangnya yang sedang memperhatikan mereka, menjadi penonton, membuatnya kian tertohok. Ia mencoba melepaskan diri dari cengkraman Yunho, apa daya ia gagal. Ia merutuk dalam hati pada dirinya, menahan malu sudah memberikan pertunjukkan tidak senonoh pada mata polos anaknya.

Wajah Minwoo boleh saja bersemu, namun tetap saja ia menonton dua sejoli yang mengumbar adegan tidak sehat di hadapannya itu. Melihat orang tuanya berinteraksi adalah sesuatu yang menyenangkan baginya, termasuk berinteraksi dengan cara seperti yang satu itu. Ia sangat tahu pula melihat, apalagi menonton orang tuanya sendiri berciuman bibir adalah hal yang aneh, namun terus saja ia membuka mata lebar-lebar. Lucu juga. Lagipula hanya berciuman. Saat dirinya berusia tiga belas, ia bahkan pernah melihat orang tuanya melakukan hal yang lebih dari itu. Secara tidak sengaja tentunya. Memang dasar orang tua ceroboh yang saking kalapnya oleh napsu sampai-sampai melakukan hal 'itu' di sofa ruang tamu, tanpa sadar anak semata wayang mereka yang baru turun tangga untuk mengambil segelas air menatap polos di balik gorden dengan wajah merah, mata membelalak, mulut menganga lebar, dan seluruh raga yang membeku total. Malam sial baginya.

"A-aahh.." Changmin mendesah secara refleks, akibat ulah dari tangan kurang ajar Yunho yang meremas kedua bongkahan bokongnya tepat setelah ciuman mereka terlepas. Ia langsung menutup mulutnya dengan wajah merah maksimal. Dalam hati ia merutuk lagi, dengan gamblangnya memperdengarkan anaknya yang masih polos itu suara desahannya. Dan jangan lupa semerta merta merutuki suaminya yang membuatnya mengeluarkan suara terlarang tersebut. Pun merutuki Minwoo pula yang nyatanya masih setia duduk di kursi meja makan, menonton dengan mata Bambi yang mengedip polos menerawang. Takutlah ia sifat mesumnya dan Yunho menurun pada anak itu.

Minwoo terbatuk. Tersedak saliva sendiri. Seketika tersadar telinganya telah ternodai suara desahan eomma sendiri, dan otaknya pun sudah dapat memprediksikan sesuatu yang sangat tidak ia harapkan akan terjadi jika ia tidak segera angkat kaki dan mengurung diri di kamar dengan Headphone bervolume penuh di telinga.

"Minwoo-ya,"

Ia mendengar suara Changmin yang memilukan, memanggilnya sebelum sempat ia menggerakkan kaki. Menolehlah ia, untuk mendapati Changmin yang masih berada dalam cengkraman maut Yunho yang anehnya hanya diam dalam posisinya. Kapan pertunjukkan dengan level selanjutnya akan dimulai. "Hmm?"

Changmin melingkarkan tangannya yang kini bebas pada tubuh besar Yunho, kemudian tersenyum kikuk pada Minwoo, gelagatnya seperti sedang menahan beban. "Bisa kau bantu aku? Appa-mu pingsan di tubuhku dan sekarang aku tidak bisa bergerak tanpa menjatuhkan 'beruang tidur' ini.." ucap Changmin dengan senyum masam.

Entah sudah keberapa kalinya ia memutar bola mata malam ini. Yang jelas, ia turut bangkit dan membantu Eomma tercinta menggotong Yunho sampai ke ruang tengah untuk dibaringkan ke sofa. Setelah mengerahkan tenaga, ia pun berdiri mematung dengan melipat kedua tangan di depan dada, kembali memperhatikan orang tuanya. Kali ini, seorang Changmin sedang membenarkan posisi tidur Yunho sampai sebenar-benarnya, menata tangan dan tungkai serta leher sampai dalam posisi nyaman agar tidurnya nyenyak dan esok pagi tak ada keluhan 'salah tidur'. Setelahnya, Changmin beranjak sebentar menuju dapur –teringat sesuatu, saat pria semampai itu kembali, sebuah bantal dan sehelai selimut yang tadi ia bawa sudah berada dalam dekapan. Dengan sepenuh hati menempatkan dua benda empuk itu pada Yunho yang tak sadarkan diri.

"Nah! Akhirnya, bisa juga menaklukan sang 'beruang," ujar Changmin bangga, mengecup hidung Yunho.

Minwoo terdiam. Mengapa kedua orang tuanya ini senang sekali memanggil satu sama lain dengan nama binatang.

Changmin kini menatap Minwoo yang menatapnya balik. Senyuman lembut penuh kasih sayang terlontar. Ia mendekati anaknya, mengulurkan tangan untuk mengacak surai madu di kepala Minwoo yang ternyata tingginya sudah mencapai dada walau usianya baru enam belas. Anak itu menepis tangannya dengan bibir yang dimajukan. Changmin tertawa. Ia paham betul Minwoo tak ingin diperlakukan seperti anak kecil. Namun rasa gemas pada sang anak tak ayal membuatnya selalu memperlakukannya seperti sewaktu Minwoo masih berumur tak lebih dari lima tahun. Dikecupnya pipi gembil anak itu. Singkat, namun meninggalkan jejak basah. Terkikiklah ia melihat sang anak yang langsung mengelap pipi bekas kecupannya.

"Oyasuminasai, Minwoo. Tidurlah.. besok eomma belikan alat gambar karena telah membantu eomma malam ini, oke?"

Minwoo mengangguk antusias dengan mata berbinar. Dan setelahnya sadar ternyata memang dirinya masih seperti anak kecil.

.

.

"Minwoo! Sarapan sudah siap!"

Minwoo membuka mata sedikit ketika teriakan bernada tinggi milik Changmin merasuk gendang telinga. Langsung ia singkap gelungan selimut tebal yang membalut tubuh. Ia terduduk, mengerjapkan mata untuk mencari fokus sekaligus mengumpulkan nyawa.

"Coming, mom!" teriaknya membalas Changmin. Ia beranjak segera dari ranjang dengan tak lupa merapikannya terlebih dahulu. Setelah semua rapi, ia berlari kecil menuju dapur yang berada di lantai bawah.

Minwoo menatap punggung eomma-nya yang tengah membasuh peralatan masak di wastafel. Ingin sekali ia mendekat ke arah orang itu, memerangkap pinggang ramping Changmin dalam sebuah pelukan hangat, sekadar melampiaskan rasa cinta pada sang eomma berkat jasa yang telah pria itu limpahkan padanya selama ini. Namun ia mengurungkan niat. Otak di kepala batunya menuntut untuk tak melakukan. Ia sudah besar dan menjaga gengsi jika harus melakukan hal itu pada Changmin. Tak ingin ia dicerca godaan sepanjang hari dari Changmin.

Sadar akan kehadiran seseorang, Changmin mematikan keran dan menoleh ke belakang. Alisnya naik satu ketika melihat anaknya yang tengah terbengong dengan wajah berkerut menatap punggungnya. Ia terkekeh. "Hei, Minnie!" sahutnya, seketika membangunkan Minwoo dari entah apa yang sedang ia pikirkan. "Kenapa bengong begitu? Duduk dan makan. Sekolahmu dimulai satu setengah jam lagi dan aku yakin kau belum menyiapkan segalanya, bukan?" jelasnya, kembali memutar keran air, melanjutkan kegiatan mencucinya yang sempat tertunda.

Minwoo terkesiap. Benar sekali kata Changmin. Belum sempat ia menyiapkan segala apa yang akan ia bawa ke sekolah. Ia menghela napas, segera menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Dihirupnya aroma masakan buatan tangan terampil Changmin yang tersaji. Omelet sayur, tak lupa segelas susu yang selalu hadir di saat sarapan. Tak dapat diragukan lagi mengapa tingginya bisa diatas rata-rata tinggi anak seumurannya. Ia tersenyum kecil. Selalu dirinya menyukai masakan Changmin walau sesederhana apapun masakan itu.

Changmin mendengus, mematikan keran setelah selesai mencuci. Ia mengelap tangan di selembar serbet, berjalan ke arah Minwoo yang sudah mulai makan dengan lahap. Sangat lahap. Ia mengernyit. "Dasar. Sama saja kau dengan ayahmu itu. Hei, pelan-pelan saja, nanti tersedak," ia mengomel sembari mengacak surai madu Minwoo.

Minwoo mengangguk pelan, mendengus risih, menepis tangan Changmin di kepalanya.

"Ohayou gozaimasu!" seru seseorang dari luar dapur.

Changmin dan Minwoo mengangkat kepala. Jung Yunho dengan hanya mengenakan celana panjangnya, tanpa sehelai benang di bagian atas tubuh, berjalan gontai menuju meja makan. Senyum sumringah menghiasi wajah bangun tidur sang pria tampan itu kendati tangannya memijat kepala sendiri. Ia duduk dengan tenang di kursi yang berada di samping Minwoo tanpa mempedulikan tatapan tajam dari Changmin dan tatapan jijik dari Minwoo.

"Astaga, Yunho. Jangan telanjang begitu!" Changmin meneriaki si Jung senior.

Yunho menatapnya memelas. "Oh ayolah, aku baru bangun dengan pening di kepala dan kau malah meneriakiku? Jahat sekali kau, yeobo," ia merengut.

Dengan kesal, Changmin mencubit pipi Yunho, menarik kulit elastis itu sampai keregangan maksimal. "Kau merusak pemandangan, kau tahu itu, huh?"

"Aduh, aduh! Min-ah! Maafkan aku. Hei! Lepaskan cubitanmu! Sakit sekali!"

Changmin menyeringai, segera melepaskan cubitannya di pipi Yunho, mengganti dengan kecupan. Ia tergelak ketika melihat pipi si Jung senior itu memerah, karena cubitan. "Terserahmu, lah," ia yang sedari tadi berdiri langsung mengambil posisi setelah suaminya datang, mendudukkan diri di kursi makan yang letaknya tepat berhadapan dengan Yunho.

Cengiran kekanakkan merekah indah di mulut Yunho walau nyeri terasa menyengat di pipi. Ia bangkit dari duduknya untuk meraih tangan Changmin yang hendak mengambil sendok, mendekatkan wajah menuju wajah Changmin dengan susah payah karena terhalang meja, membalas kecupan Changmin tadi. Namun bedanya, ia membalas dengan kecupan di bibir. Menambah embel-embel 'morning kiss' ketika Changmin menggeram murka. Dan tiba-tiba, keduanya tertawa lepas begitu saja.

Minwoo memutar bola mata menyaksikan kebodohan kedua orang tuanya.

.

.

"Minwoo-ya?"

Seorang Jung Minwoo terpaksa mengangkat wajah. Ia meraung sebal ketika matanya bertemu dengan sepasang mata milik seseorang. Mata yang sangat familiar. Mata bulat dengan sinarnya yang polos. Mata dengan empu seorang gadis yang menurutnya sangat menyebalkan. Saking menyebalkan, Minwoo sampai tak ingin menatap mata itu barang tiga detik. Ia dengan acuh melanjutkan kegiatannya menggores permukaan putih kertas dengan ujung pensilnya yang teraut sempurna.

"Hei, Minwoo-ya!" suara lengkingan gadis itu hampir membuat gendang telinganya pecah.

Ia mendecak, tetap mengacuhkan gadis lugu itu.

"Minwoo-ya.." sang gadis mengalah, merengut lucu. Ia mengambil tempat duduk di samping Minwoo. "Kau tahu? Aku sangat merindukanmu.." ucapnya dengan bibir dimajukan yang dapat membuat para pria luluh, pengecualian untuk Minwoo. Dirinya bergelayut manja di lengan Minwoo, membuat sang pemilik berteriak histeris karena sketsanya yang hampir selesai kini tercoret.

"Astaga! Mimi-ya! Menjauh dariku! Kau sudah membuat tanganku mencoret sketsaku sendiri!" seru Minwoo panik. Agak berlebihan. Untung saja kelas sudah usai.

Park Mimi, si gadis tersebut, memutar bola matanya. "Apakah kau sudah mengetahui produk baru berupa sebuah benda kecil yang terbuat dari karet bernama 'penghapus', Minwoo-ya?" tanyanya penuh sarkas pada Minwoo, mendecak. "Produk itu sudah mendunia sekarang. Bahkan, koperasi sekolah kita pun sudah menyetok barang itu. Kau mau aku membelikannya untukmu?" ia menatap Minwoo dengan pandangannya yang oh-sangat-tak-berdosa.

Minwoo mendelik. "Tidak, Mimi-ya, terimakasih," ucapnya, tersenyum kecut. "Aku sudah punya. Taadaa!" ia meraih sebuah penghapus, menggoyangkan benda berbentuk balok tersebut di depan wajah Mimi yang bertambah jengkel. Ia lalu menghapus coretan akibat tersenggol Mimi tadi.

"Baiklah kalau begitu," Mimi menghela napas, bersandar pada sandaran kursi. Beberapa menit berlalu dengan hening, ia pun memajukan bibir kembali karena diacuhkan oleh Minwoo yang nampak sibuk sekali dengan sketsanya, mungkin menganggapnya seperti angin lewat. Atau sama sekali tak sadar bahwa ia ada. Tak tahan, ia pun menyenggol lengan Minwoo lagi. Bibir merahnya mengembang sempurna mendengar Minwoo yang kembali memprotes.

"Kenapa kau senang sekali menggangguku, sih?" decak Minwoo frustasi. Akhirnya, ia menghentikan kegiatannya. Mood melayang sudah. Disingkirkannya barang-barang menggambar kesayangan miliknya. Ia menatap sang gadis yang sedang tersenyum tanpa alasan di sampingnya dengan pandangan sangat menghakimi.

"Karena aku ingin kau memperhatikanku, Minwoo-ya!" jawab sang gadis tanpa keraguan. "Aku menyukaimu!"

Pipi Minwoo bersemu. Gadis itu dengan gamblangnya menyatakan perasaan, membuatnya malu tanpa sebab. Ia menghela napas, mengusap wajah. "Terserah apa katamu. Sebenarnya kau mau apa mendatangiku di jam ini? Kau tahu sendiri ini sudah jam pulang, pun sekolah sudah sepi. Mengapa tidak pulang saja?"

Tawa kecil keluar dari bibir mungil Mimi. Terlihat sumringah."Tentu saja aku menunggumu, Minwoo-ya! Ayo kita pulang bersama!"

Minwoo menghembuskan napas sekali lagi. Dasar gadis aneh. Ada saja murid seperti ini di sekolahnya. Terpaksa, ia harus menuruti pinta gadis mungil yang walaupun lugu namun sangat keras kepala itu. Segera ia merapikan barang-barangnya, memasukkan semua ke dalam tas tanpa secuil pun tertinggal. Ketika ia melongok jendela, ternyata sudah gelap sekali dan matahari hampir tumbang. Dalam hati ia mendecak kagum pada gadis itu yang sudah menunggunya. Bayangkan saja, dari bel pulang sekolah sampai sekarang itu bukan waktu yang sebentar. "Baiklah, mari biarkan aku mengantarmu pulang. Karena aku laki-laki yang cukup baik dan gentle untuk tidak membiarkan seorang gadis polos nan bodoh seperti dirimu untuk pulang larut sendirian. Itu sangat berbahaya,"

Tanpa mengindahkan kata 'bodoh', Mimi berseru riang. "Yay! Terimakasih, 'oppa'!"

Minwoo merenggut jemari Mimi, menarik –atau lebih tepatnya menyeret, gadis itu langsung menuju keluar kelas. Tak lupa ia mematikan pendingin ruangan dan lampu-lampu yang tadinya menyala sebelum ditinggalkan. Di sepanjang perjalanan mereka di koridor yang agak mencekam, Mimi berusaha membuat lelucon-lelucon untuk membuatnya tertawa, namun sepertinya gagal karena pada akhirnya hanya gadis itu yang tertawa-tawa mendengar leluconnya sendiri.

"Kenapa kau tidak tertawa, Minwoo-ya?!" protes Mimi. Tak rela Minwoo tidak memberikan apresiasi terhadap leluconnya yang susah payah ia persiapkan. Mendengar pun sepertinya tidak.

"Apakah aku harus tertawa?" tanya Minwoo malas. Dirinya terlalu lelah untuk sekadar mengucapkan satu patah kata pun.

"Hei! Bahkan teman-temanku semua tertawa akan lelucon yang tadi kuceritakan padamu!"

Minwoo mengernyit. "Ha-ha-ha,"

Mimi memajukan bibir. Memang sangat sulit mendapatkan perhatian dari Sang Raja Es, Jung Minwoo ini. Ia jadi bertanya-tanya sikap dingin Minwoo ini didapat orang itu dari mana. Orang tua Minwoo, Jung Yunho dan Jung Changmin seingatnya nampak sangat ramah dan sering sekali tersenyum semerta-merta tertawa lepas ketika ia mengunjungi rumah Minwoo tanpa sepengetahuan pemuda itu. Ia hanya berniat mengembalikan buku sketsa Minwoo yang tertinggal saat itu. Dan ia sangat terkejut mendapati kedua orang tua Minwoo yang ternyata pria. Namun sungguh ia tidak peduli. Mereka sangat ramah, terlihat pula saling mencintai satu sama lain, membuat hatinya yang sensitif meleleh seketika. Dirinya dan Changmin juga cepat sekali akrab karena obrolan singkat mereka yang menyangkut fashion. Tidak, ia tak begitu mendalami fashion, tapi sebagai seorang wanita pastilah ia harus tahu menahu menyangkut hal tersebut. Sebelumnya dirinya tidak tahu pemuda pendiam itu memiliki seorang ayah merangkap posisi ibu yang merupakan designer sekaligus model ternama di Jepang, tentu keahlian Minwoo menggambar didapat dari ayahnya itu. Ia selalu mengapresiasi semua karya-karya Changmin yang orang itu tunjukkan padanya dengan senang hati. Orang itu juga memiliki wajah yang manis, tampan dan cantik sekaligus. Gayanya anggun sekali. Matanya seperti tokoh Bambi dan bibirnya berbentuk unik, sama persis dengan milik Minwoo. Rasanya, Mimi akan jatuh cinta pada ayah dari Minwoo itu dan melupakan perasaannya pada si pemuda begitu saja, itu bisa saja terjadi kalau ayah Minwoo yang satu lagi tidak datang dengan mata elang yang menatap tajam. Walau sedikit takut, tapi ternyata ayah yang posisinya benar-benar sebagai ayah dari Minwoo itu memiliki hati emas juga. Jung Yunho dan Jung Changmin adalah orang tua impian. Sepertinya hidupnya akan bahagia jika ia menikah dengan Minwoo dan memiliki mertua seperti mereka. Masih saja ia berharap pada pemuda itu.

Dahi Minwoo berkerut, sedari tadi ia memerhatikan Mimi yang terbengong. Entah tenggelam dalam khayalan macam apa. Ia hanya berharap khayalan liar sang gadis bukan menyangkut dirinya. Ia menghentikan langkahnya tiba-tiba, dan seperti yang ia duga, Mimi yang tidak sadar terus berjalan tanpa sadar ia meninggalkan Minwoo di belakang.

Minwoo menahan tawa, tetap membiarkan Mimi yang belum sadar sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Hei, Mimi-ya!" serunya ketika dirasa Mimi sudah berjalan jauh. Tidak sadar jua gadis itu.

Mimi terlonjak. Seketika terpelanting dari alam bawah sadar. Ia melihat sekeliling, tidak menemukan Minwoo. Paniklah ia. Sepertinya dirinya melamun terlalu lama. Bodoh sekali. Ketika ia menoleh ke belakang, ternyata pemuda itu sedang berdiri, jaraknya sangat jauh di belakang dari tempatnya berdiri. "Astaga! Minwoo-ya!" ia segera berbalik, berlari-lari kecil menghampiri pujaan hatinya.

Minwoo mendengus. "Dasar bodoh,"

"Astaga, aku melamun, ya?" Mimi memukuli kepalanya sendiri.

"Sudahlah jangan kau pukuli kepalamu itu, nanti tambah bodoh,"

"Hei! Jangan mengataiku! Aku peringkat dua setelahmu di satu angkatan, tahu!"

Minwoo menggaet tangan Mimi, merasa tak ada guna bertengkar di bawah sinar mentari yang sudah pudar. Tanpa terasa mereka sudah melintasi pagar sekolah, kini berada di luar bangunan tersebut. Ia menarik Mimi untuk segera berjalan lagi. Tak peduli dengan pekikan girang gadis itu yang senang sekali ditarik-tarik olehnya. Sebenarnya rumah mereka tak sepenuhnya searah, sebentar lagi mereka akan berpisah di persimpangan.

Dalam keheningan, Mimi sekonyong-konyong bertanya dengan wajah bersinar. "Minwoo-ya.. bagaimana keadaan Yunho-ahjusshi dan Changmin-ahjusshi?"

Minwoo mendelik. "Hmm. Baik," jawabnya singkat. Pikirannya langsung menerawang saat ia mendapati gadis itu berada di rumahnya, bercengkrama asik dengan orang tuanya tanpa sepengetahuan dirinya. Sepertinya Mimi penguntit sejati. Namun sudahlah, pada akhirnya ia berterima kasih pada Mimi karena telah mengantar buku sketsanya yang tertinggal.

Mimi menyenggol lengannya. "Oh ayolah.. apa mereka romantis seperti biasanya?" tanyanya lagi, dengan kerlingan.

"Huh? Seperti biasanya? Kau hanya melihat mereka sekali, kan, Mimi-ya?"

"Uhm.. benar. Tapi, aku yakin mereka selalu seperti itu, bukan? Selalu manis dan romantis. Mereka itu pasangan yang sempurna dan sangat cocok sekali. Membuat iri," Mimi sudah bertingkah seperti penggemar wanita penuh fanatisme.

"Ah.. tidak juga,"

"Benarkah?"

Minwoo tidak yakin akan menceritakannya, namun ia yakin Mimi bukan tipe orang yang buruk, yang suka mengumbar-umbar sesuatu. Walau hanya segelintir, nampaknya Minwoo sudah dapat menaruh kepercayaan pada gadis mungil itu. Ia mengantongkan kedua tangan, mata menatap lurus ke depan. "Mereka itu selalu bertengkar. Sering sekali,"

Mata Mimi terbelalak. "Wow.. aku tidak percaya itu! Mereka terlihat seperti pasangan akur yang tidak pernah bertengkar, sekadar berkata kasar saja mustahil. Pun aku yakin saat mereka 'membuatmu', pasti penuh tebaran cinta dan kasih di dalam ruangan, jadilah yang tercipta adalah masterpiece seperti dirimu,"

Tangan Minwoo dengan mudahnya mendorong lengan Mimi, sedikit tak percaya gadis polos itu berkata hal yang sama sekali tidak polos. "Percayalah.. mereka sangat sering bertengkar,"

Mimi terdiam, menunggu Minwoo mengeluarkan suaranya lagi.

"Ehm.. aku jadi agak takut,"

Mimi mendongak mencoba mencari mata Minwoo. "Takut apa?"

Senyuman tidak nyaman tergores di bibir Minwoo. "Takut.. Takut jika suatu saat nanti.. mereka akan berpisah,"

Mimi terkesiap. "..bercerai, maksudmu?"

Minwoo mengangguk.

Mimi tersenyum simpul, kemudian menepuk punggung Minwoo agak keras. "Aku yakin mereka tidak akan berpisah. Mereka tak mampu! Kau hidup dengan mereka, bukan? Apa kau pernah memperhatikan cara mereka memandang satu sama lain? Ya Tuhan, Minwoo. Orang tuamu itu sungguh sangat mencintai satu sama lain! Percayalah padaku mereka takkan pernah berpisah!"

Minwoo menghela napas. "Ya, kuharap begitu,"

"Minwoo-ya,"

"Hm?"

"Namun jikalau suatu saat nanti, dan sungguh demi apapun kuharap saat itu takkan pernah ada.. mereka mencapai batas mereka dan tak dapat berpikir rasional. Lalu hendak bergerak menuju pengadilan untuk menuntut sebuah perceraian.. apa yang akan kau lakukan?"

Minwoo nampak menerawang, tak ingin membayangkan hal yang ia benci. "Hmm.. tentu saja aku akan menjadikanmu kekasihku,"

"A-apa?"

Tawa Minwoo terlotar, dengan sedikit air mata. "Karena saat itu takkan pernah ada,"

Pipi Mimi bersemu karena kesal bercampur malu. "Ya! Jangan mempermainkanku! Aku serius!"

Minwoo menerawang sekali lagi. "Siapa yang mau hal buruk yang selalu dibenci seorang anak itu terjadi pada orang tuanya? Tentu saja dengan cara apapun, bagaimana pun, aku akan mencegah mereka. Takkan kumaafkan diriku sendiri jika mereka berhasil memotong tali yang mereka ikat sendiri pada satu sama lain,"

Mimi hanya tersenyum kecil sebagai balasan.

Dan Minwoo sekali lagi berharap saat itu takkan pernah ada.

.

.

Minwoo berdiri terpaku di depan pintu apartemennya sendiri. Terkunci. Ia mengangkat tangan untuk mengetuk, namun takut kalau sang Eomma sedang beristirahat dan akhirnya ia jadi pengganggu. Langit sudah gelap sekarang. Mungkin saat ini pukul delapan. Ia memutuskan untuk mengantar Mimi kerumahnya terlebih dahulu tadi karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan pada gadis itu. Tak menyangka dirinya akhirnya menjadi korban tarikkan dari ibunda sang gadis untuk makan malam. Ia sudah menghubungi Changmin, meminta ijin dan mengirim pesan untuk tidak menungguinya. Ia teringat sesuatu, mengeluarkan kunci cadangan rumah dari sakunya. Secara perlahan, dimasukkannya kunci tersebut ke lubang, memutar kenop pintu dan berjalan pelan ke dalam. Seperti biasa, selalu sepi.

Ketika melewati ruang tengah, ia mendapati sang Eomma yang tengah tertidur. Benar saja. Changmin dengan kepala bertengger di atas meja dan terduduk lemas di lantai. Ia mendekati sosok itu, mengangguk mengerti, tahu betul Changmin sedang merancang busana project-nya sebelum akhirnya terlelap. Karena ia lelah, akhirnya ia hanya bisa menyelimuti Changmin dengan selimut tipis, tanpa merapikan meja yang sangat berantakan. Tak tega jika ia membangunkan orang itu, bisa-bisa Changmin malah menolak untuk tidur kembali, lebih memilih bergadang sampai pagi berkutat dengan pensil dan kertas. Ia tersenyum kecil, mengecup pipi Changmin, kemudian berjalan menuju kamarnya sendiri. Ia segera membersihkan badan sekelebat lalu turun lagi menuju dapur, menghampiri lemari pendingin untuk mengambil sekotak susu. Ia duduk santai di kursi meja makan, meneguk susunya sembari membaca novel yang berada di tangan. Suatu alasan yang menyebabkan pertumbuhannya sangat cepat adalah susu ini.

"Tadaima!"

Minwoo mengangkat kepala dari novelnya ketika mendengar suara ayahnya yang sepertinya baru pulang. Dari nada suaranya, sepertinya tidak terkontaminasi alkohol. Baru saja ia hendak membalas, tiba-tiba Changmin mendahuluinya dengan gertakan.

"Aigo! Lepas sepatumu, Jung Yunho!"

Sejak kapan Changmin bangun.

"Ah.. maaf, maaf, aku lupa," ucap Yunho.

"Selalu saja begitu. Padahal kemarin-kemarin kau kan sudah terbiasa. Hei, hei, jangan letakkan begitu saja di sana, taruh sepatumu di rak!"

"Ya, ya.. saat ini aku sedang lelah,"

"Aish.. dasar kau ini,"

Suara sesuatu yang terhempas serta deritan sofa terdengar. Sepertinya Yunho ambruk di sofa. Minwoo mencoba bangkit dari duduknya. Merasa bodoh, ia mengintip orang tua mereka dari balik dinding. Firasatnya menyuruhnya untuk tidak langsung menghampiri kedua orang itu, entah mengapa.

Dirinya lamat-lamat tersenyum melihat Changmin menghampiri Yunho yang sesuai dugaannya, sedang terbaring di atas sofa. Lelaki manis itu pun duduk di sofa, menempati ruang yang masih kosong. Sengaja keluarganya membeli sofa ukuran jumbo karena tinggi mereka semuadi atas rata-rata. Ia mengangkat kepala Yunho dengan lembut dan meletakkannya di paha. Diusapnya dengan lembut helaian rambut legam Yunho dengan jemari lentiknya.

"Bisa tidur di kamar, kan?" bisik Changmin.

"Terlalu malas,"

"Ayolah.."

Yunho menggigit bibir. "Changminnie.."

"Hmm,"

"Aku.. ingin bicara,"

Changmin nampak menegang. Sepertinya otaknya mulai memikirkan hal negatif. Apakah ia telah melakukan sesuatu yang salah. Pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan. Tak satu pun yang baik. Entah karena faktor apa, mungkin karena ia lelah dan tidurnya tadi tidak sempurna karena terpaksa bangun oleh sahutan Yunho. Ia ikut menggigit bibir, menatap Yunho. Suaminya terlihat terlalu serius dan itu membuatnya sedikit takut. Akhirnya, ia mengangguk, melanjutkan usapan halusnya pada rambut Yunho yang sempat terhenti. "Bicara.. apa?"

"Min-ah.. sebelumnya, kumohon maafkah aku. Tapi aku tak dapat berbuat apa-apa.. sekali lagi, perusahaan ingin membeli butikmu di Jepang,"

Dan kini Changmin benar-benar menegang. Ketakutannya berganti amarah. Aura gelap mulai menguar dari tubuhnya.

Minwoo mengernyit. Ia mencoba menguping lebih dalam, tak ingin melewati satu bisikan pun.

"Apa?!" Changmin setengah berteriak. Namun, ia teringat anaknya yang mungkin saja sedang tertidur.

"Maafkan aku. Aku tidak bisa menahannya. Kumohon.. berikan butikmu padaku,"

Seketika, Changmin menghempas kepala Yunho, mendorong orang itu sampai hampir terjungkal. Sialan. Yunho tidak berada di pihaknya rupanya. "Atas dasar apa kau ingin membeli butikku kembali? Sudah berkali-kali kubilang aku takkan menjualnya sampai kapanpun. Apa kau tidak puas dengan banyaknya cabang-cabang dari Jung Corp kebanggan keluargamu itu? Aku tak ingin jatuh untuk kedua kalinya, di lubang yang sama!"

"M-Min.. sshhh," Yunho menempelkan telunjuk pada bibirnya, mengisyaratkan Changmin untuk sedikit mengecilkan volume suara.

Sepertinya, sugesti Yunho tidak dapat diterima oleh Changmin. Changmin lebih mengeraskan suaranya. "Kau tahu aku sudah susah payah membangun butik itu, Jung! Aku membangunnya kembali dari titik nol dengan bantingan tulangku, Yunho! Tentu kau masih ingat itu, bukan? Hak cipta tetap lekat pada keluargaku. Takkan kuberikan lagi pada perusahaanmu yang sudah membuat kami jatuh,"

"Minnie.. dengan aku membelinya, perusahaanku akan melebarkan sayap butikmu. Kita perbaiki kesalahan ayahku terdahulu. Sekarang akulah yang memimpin,"

"Tidak akan!"

"Min-ah.."

"TIDAK! APA KAU DENGAR ITU, TUAN? TIDAK AKAN!" Changmin benar-benar tak dapat berpikir jernih. Dan ia yakin Yunho lebih tidak dapat berpikir jernih. Otak udang keluarga Jung selalu kotor dengan uang. Tak percaya dirinya jika suaminya juga termasuk.

"Changmin.. kita sudah menikah! Kita sudah terikat! Kenapa kau selalu menolak bantuanku? Kerja sama ini menguntungkan. Keluargamu adalah keluargaku juga! Aku sudah punya rencana besar agar kesalahan kemarin tidak terulang lagi. Caraku lebih matang agar kita sama-sama dalam keuntungan,"

"TIDAK!"

"Changminnie.. tapi Jung Corp sudah.."

"Aku tidak butuh uangmu, Jung! Aku tidak butuh uang! Aku juga tidak butuh ketenaran.. Tidak butuh pandangan orang.." Changmin menitikkan air mata. "Tidak butuh bantuanmu untuk membangun milikku sendiri, impianku sendiri. Apa kau mau jika keadaan terbalik dan akulah yang membeli Jung Corp kebanggaanmu itu, huh?"

Yunho menggigit bibir. Ini salah.

"Sekalipun butik milikku dan Eomma bangkrut lagi juga aku takkan segan menyerahkannya untukmu. Dasar kau, bajing–hmmp!"

Yunho tidak tahan lagi. Ia menyegel bibir sensual yang terus mengeluarkan cerocosan itu dengan bibirnya, tepat sebelum Changmin sempat mengeluarkan kata tidak senonoh itu secara lengkap. Ia tidak akan mampu mendengar belahan hatinya, belahan jiwanya mengeluarkan kata yang sedemikian kotor itu untuk dirinya. Walau ia tahu ia pantas disebut begitu karena tindakkan kurang ajarnya. Ia mengulum bibir itu, seakan ingin menghapus sebutan kotor itu dari bibir Changmin, menghisap dan melumat sampai habis tak tersisa. Tangan kekarnya menopang tubuh lemas Changmin yang hendak jatuh.

Secara refleks, Changmin mengulurkan kedua tangan, mengalungkannya di leher Yunho. Semarah apapun ia, selalu saja belaian Yunho dapat meredamnya. Tak bisa dipungkiri godaan Yunho selalu membuatnya luluh. Tak kuasa ia yang selalu hanyut untuk orang itu, selalu dapat memaafkan walau seberat apapun kesalahan. Ia kesal. Sangat kesal oleh sifat Yunho. Meski air mata terus meleleh, ia tak hentinya membalas ciuman demi ciuman yang Yunho paparkan ke bibirnya yang kian membengkak. Keduanya mengerti bahwa semakin agresif dirinya, semerta-merta semakin besar rasa kesal yang ingin ia tumpahkan ke dalam ciuman.

"Hnggh.." Changmin melenguh tertahan. Lidah siap tempur milik Yunho menyeruak masuk ke dalam goa hangat miliknya. Lidah penasaran yang terus menerus menelusur sudut-sudut goa itu, walau ia sendiri sudah hapal betul. Sebelum akhirnya, lidah itu bertemu dengan sang jodoh, mengajak untuk menari dan menuntun untuk sekadar bermain. Changmin melenguh lagi, lebih keras kini. Tangan Yunho yang tadi menopangnya kini mulai berpetualang, meremas bokong kenyal yang menjadi candunya.

"Aahh.." desah Changmin agak kecewa ketika tautan bibir mereka terlepas.

Changmin menginginkannya. Ia menginginkan mulut itu lagi untuk mendominasi mulutnya, namun nampaknya mulut itu telah berpindah teritorial dengan menelusuri lehernya. Ia tak keberatan. Membiarkan saja. Menyecap dan menghisap, menggigit dan menjilat. Changmin mengangkat kepala, menyuguhkan Yunho leher jenjangnya yang siap santap. "Yunh.. nghh.." ia mendesah merasakan betapa liarnya mulut Yunho itu, meninggalkan jejak di mana-mana. Ia menggigit bibir kuat-kuat saat mulut nakal itu bermain dengan jakunnya yang naik turun.

Sekonyong-konyong kesadaran Changmin menguasai ketika jemari Yunho mulai bertengger di resleting celana panjangnya. Ia menyingkirkan kepala Yunho dari lehernya. "Tunggu dulu.. kumohon berhenti, Yun," katanya dengan wajah memerah dan napas tersenggal.

Yunho tidak tahan. Bukit kecil yang mulai terbentuk di antara pangkal pahanya menolak permintaan Changmin. Ia meraung, meminta Changmin menyuruhnya untuk melanjutkan kembali kegiatan mereka.

"Yun.." Changmin mengingat pembicaraan mereka tadi, menjadi agak sensitif dan hilang mood. "Kau.. tak akan membeli butikku, kan?" tanyanya ragu.

Dan Yunho pun kembali teringat jua. Sial memang. Sedikit lagi ia dan Changmin-nya akan mencapai puncak, berangsur melupakan pembicaraan mereka yang menimbulkan konflik. Ia menggigit bibir payah, tak berani menatap sang pasangan hidup yang terlihat frustasi. "Aku.." jeda. "Min.. aku hanya ingin membantu.."

Kembali Changmin mendorong Yunho. Sudah malas ia. "Sudah kuduga! Tidak.. aku sungguh tak membutuhkan bantuanmu. Kalau aku mau mengembangkan usahaku, aku punya cara tersendiri tanpa mencemari pemberian turun temurun dengan nama keluargamu, hyung,"

Yunho ingin merengkuh Changmin. Sangat ingin.

"Diamlah di sana. Cukup. Kita sudahilah saja,"

Yunho pun diam. Ia membiarkan bukit kecil di celananya bersemayam kembali.

Changmin menahan napas. Ia menggigit bibir, kali ini berusaha merendahkan volume suara sekecil-kecilnya. Tatapannya jatuh dari manik hitam Yunho menuju ke lantai. "Aku lebih baik bercerai denganmu daripada membiarkanmu menodai kerja kerasku dengan namamu, Jung Yunho.." Changmin mendecih, ia mulai berjalan ke kamar miliknya dan Yunho. "Kau tidur di sofa lagi malam ini. Maaf. Jangan sentuh aku karena tidak lama lagi namaku akan kembali menjadi 'Shim'," ia masuk ke dalam kamarnya. "Dan.. jangan biarkan Minwoo tahu akan hal ini,"

Blam!

Kali ini Yunho menggeram. Ia berjalan gontai menuju sofa, menjatuhkan badannya di sana. Ia menutup wajah dengan bantal sofa, berteriak frustasi di sana dengan kencangnya. Ia hanya berharap ini mimpi. Mimpi buruk yang akan hilang setelah ia terbangun, berharap Changmin memberikannya kecupan selamat tidur seperti biasanya. Ia mendengus, tertawa masam. Lebih baik ia menutup mata. Tak baik terlalu banyak berharap. Karena lelah yang amat sangat, kantuknya segera menyergap kesadaran, menghantarkan dirinya ke masuk dalam pintu mimpi sampai dengkuran keras terdengar.

Dan Minwoo..

Wajahnya sudah tak menampakkan eksistensi darah. Ia pucat. Mematung. Otak jeniusnya tak dapat memikirkan apa-apa. Seringai kosong tampil indah di bibirnya.

"Saat itu takkan pernah ada.."

Dan tekadnya..

"Aku takkan pernah memaafkan diriku jika mereka benar-benar berpisah.."

Untuk menyatukan Jung Yunho dan Jung Changmin kembali sebelum perceraian benar-benar merobek segalanya.

.

.

TBC(?)

.

.

Aduh Tuhan..

Terima kasih yang sudah menyempatkan baca apalagi sampai review *bow

Ini entah FF saya buat kapan, yang pasti waktu sedang galau-galaunya -_-

Belum sempat membuat FF baru saat ini karena sibuk, jadi kerjaan saya hanya edit sana edit sini TT^TT

Chap 2 sedang dalam proses, karena sebelumnya FF ini terbengkalai dan tak ada niat buat lanjut, akhirnya ngetik lagi :D

Silahkan ditunggu kalau anda mau, kalau tidak yasudah tidak apa-apa :'D

Terima kasih sekali lagi *kiss

Don't forget to review!