Disclaimer:
Vocaloid yang bukan punya saya
Tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya bukan punya saya
Ceritanya punya saya, selalu
Note:
OOC, OOT, bahasa gak baku, alur kecepetan, gajelas, typo, de el el
Enjoy!
Shiro-nyan
A LenxRin story
by reynyah
Normal POV
Rin duduk di kursi tempatnya biasa "bersemedi" setelah pulang sekolah. Lebih tepatnya, sebuah kursi panjang di bawah pohon sakura yang anehnya, selalu berbunga di tiap musim. Rin menyukai tempat itu. Sebenarnya tidak hanya Rin, hampir semua murid di SMA Voca menyukai tempat itu. Tapi hari ini, tidak ada siapapun selain Rin yang duduk di bawah naungan pohon tersebut. Aneh. Biasanya Rin selalu berdesak-desakan dengan Miku, sahabatnya, atau dengan Neru, teman sebangkunya. Tapi hari ini tidak.
Orang-orang pada ke mana, ya... pikir Rin heran. Gak mungkin semuanya mendadak benci sama ini pohon. Pohon keramat kayak gini pasti banyak penggemarnya…
Tak lama setelah pemikiran Rin yang satu itu, sahabatnya, Miku, menghampiri Rin sambil membawa sebuah majalah. Ah, kini Rin tahu kenapa orang-orang menghilang dari pohon sakura keramat yang satu ini.
Hari ini adalah waktu terbitnya majalah dua mingguan SMA Voca, yaitu "Triple Voca". Rin yang pada dasarnya tidak pernah berminat untuk membeli majalah yang satu itu jelas tidak pernah peduli dengan jadwal terbitnya. Berbeda dengan penghuni SMA Voca lainnya yang sangat mengidolakan majalah satu itu. Melihat reaksi orang-orang, Rin jadi heran sendiri. Sebenarnya siapa yang salah? Dirinya atau murid-murid lain? Kenapa dia begitu membenci majalah sekolahnya?
"Oi, Rin!" seru Miku sambil memukulkan majalahnya ke punggung Rin. "Bengong mulu kerjaan!"
Rin menatap Miku hampa. "Gue bingung, tau! Udah hampir setengah jam gue di sini dan kaga ada orang lain yang dateng. Wajar dong, kalo gue panik dan malah jadi bengong kayak tadi."
Miku tertawa ngakak lalu duduk di sebelah Rin. "Alesan aja lu."
"Apa kata lo, deh," balas Rin. "Triple Voca udah terbit, ya? Tumben banget lu beli itu majalah."
"Ada berita gaul, Rin! Lo gak akan nyangka!"
Rin yang terlalu malas mendengar berita gaul a.k.a gosip yang dikatakan Miku itu hanya menyahut, "Oh, gitu?"
"Lu gak mau denger beritanya?"
"Males."
"Ah, payah," ejek Miku. "Bodo amat, deh! Gue bacain aja! Jadi, minggu depan bakal ada anak baru di kelas sebelah kita, Rin."
"Terus kenapa?"
"Gaulnya, anak baru ini cowok, terus gosipnya dia ganteng banget, loh!"
Rin mengangguk-angguk cuek. "Terus?"
"Dia pewaris tunggal Kagamine Corporation."
"Tajir, ya?"
Miku mengangguk semangat. "Kayaknya mata lo langsung besar kalo denger duit."
Rin mendengus. "Itu sih, elo."
Miku terkikik. "Gue sih, udah gak perlu ditanya," kata Miku santai. "Lo gak tertarik sama cowok ini, Rin? Gosipnya lagi ya, dia bakal ditunjuk jadi pemimpin redaksi Triple Voca! Ngegantiin Meiko-senpai yang galaknya minta ampun!"
Rin tertawa. "Meiko-senpai gak galak, kali. Lo aja yang sirik soalnya dia bisa jadian sama Kaito-senpai!"
"Tau aja lo," balas Miku sambil mendengus sebal. "Duh, kapan ya, gue ditembak Kaito-senpai?"
"Teruslah bermimpi, Nak," ucap Rin sok bijak sambil menepuk pelan pundak Miku. "Cowok rambut biru itu gak akan ngelirik elo, suwer."
Miku menatap Rin sebal. "Lo apain senpai kita satu itu sampai lo tau kalo dia gak akan ngelirik gue?"
"Fans club-nya bejibun kali, Mik," balas Rin. "Isinya cewek cantik semua. Udahlah, kalo lo emang gak bisa dapetin dia, jangan dipaksa."
Miku mendengus. "Gue kan, boleh bermimpi, Rin."
"Yah, lo gak akan dapetin dia," ucap Rin. "Makanya, mending lu move on."
"Lo jahat amat sih, bukannya ngedukung temen sendiri."
"Justru gue nyuruh move on karena gue peduli ama elu."
Miku meringis. "Iya, sih," ucapnya pelan. "Tapi… sebagai sahabat, lo juga dukung gue biar bisa jadian sama dia, dong. Siapa yang tau sih, kalo tiba-tiba dia ngelirik gue?"
Rin tertawa. "Oke deh, sobat sehidup sematiku, gue dukung elo."
"Beneran, ya?!"
"Nggak."
"Jahat lu!" seru Miku sambil menggelitik pinggang Rin.
Rin tertawa ngakak… bukan karena reaksi Miku! Pinggang adalah bagian tubuhnya yang paling sensitif jika disentuh. Dia berusaha menyingkirkan tangan Miku dari tubuhnya. Uh, sialan si Miku, pikirnya sebal. Mentang-mentang udah kenal lama, jadi tau kelemahan gue. Cih.
"Udah, Mik!" seru Rin sambil menahan tangan Miku yang hendak menyerangnya lagi. "Iya deh, gue dukung elo. Beneran kali ini."
"Bener, ya?!"
"Iya, iya," jawab Rin sebal. "Udah, jangan nanya lagi."
"Iya, deh," balas Miku. "Rin…"
"Apa?"
"Lo… gak suka sama Kaito-senpai, kan?"
Rin tertegun lalu menggeleng. "Nggak, gue gak suka dia."
"Sip, deh," ucap Miku senang. "Kalo gitu kan, gue bisa tenang. Jadi kalo gue jadian sama dia, lo rela, kan?"
Rin tertawa. "Ya iyalah, buat apa juga gue gak rela?"
"Mungkin aja, kan?" balas Miku sambil terkikik ria. "Udah, ah! Pulang, yuk! Gue udah bosen di sini."
"Ya udah. Ayo."
Rin POV
Setelah berpisah dengan Miku di pertigaan jalan, aku berjalan terus ke arah rumah keluarga Kagami yang merupakan rumahku juga. Sambil berjalan, aku merenungi sesuatu. Soal Miku dan… Kaito-senpai.
Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatiku yang terdalam dan tak terjangkau, aku suka Kaito-senpai. Habis… siapa yang gak suka dia? Dia ganteng, senior, punya kekuasaan di sekolah, badannya tegap, atletis, dan ngerti soal cewek. Pokoknya, tipikal cowok idaman bagi para cewek di SMA Voca. Satu kekurangannya. Dia cinta banget sama yang namanya es krim. Uh, bukan sifat cowok banget, menurutku. Sumpah, minatnya yang satu itu benar-benar menghancurkan imej "cowok macho"-nya. Itu yang bikin aku ilfil sama dia. Makanya, aku memutuskan untuk say goodbye padanya. Cowok yang lebih macho masih banyak, kok.
Tiba-tiba seekor kucing putih berbulu lebat lewat di depanku. Aku yang terlalu terkejut akhirnya memutuskan untuk jatuh sedangkan kucing tadi malah berbalik arah dan duduk di pangkuanku. Aku tersenyum kecil lalu mengelus punggungnya penuh kasih sayang.
"Kamu dari mana, kucing kecil?" tanyaku pada kucing itu. "Hmm… kamu punya keluarga, ya? Ada kalungnya. Jangan-jangan kamu kabur dari rumah?"
Kucing itu hanya memejamkan matanya, menikmati nyamannya elusan tanganku di punggungnya. Aku mendesah pelan. Apa yang sebaiknya kulakukan?
"Asalmu dari mana?" tanyaku lagi. "Kamu harus pulang, kucing kecil. Aku gak mungkin memeliharamu di rumah…"
Kucing itu mengeong pelan. Aku kembali mendesah.
"Oke, aku akan cari rumahmu."
Aku berdiri sambil memeluk kucing tadi. Kalau dia bersikeras tidak memberitahuku di mana rumahnya, biar aku yang mencarinya sendiri. Aku baru melihat kucing ini di sini, kesimpulannya, aku punya tetangga baru yang memelihara kucing ini. Mungkin kucing ini tersesat ketika dibawa jalan-jalan.
Aku mulai berjalan.
Len POV
Di rumah, aku sibuk menjelajahi kardus-kardus yang mulai kosong karena isinya sudah dikeluarkan sebagian. Aku tidak bisa menemukan Shiro-chan di mana pun. Padahal aku sudah mencarinya hampir ke seluruh penjuru rumah. Dia hilang begitu saja? Aneh.
Eh, jadi, kejadiannya begini, aku sedang membereskan kamarku yang berantakan. Wajar dong, aku baru saja pindah, jadi seluruh isi rumahku masih berantakan. Aku menaruh Shiro-chan di atas ranjangku yang posisinya tepat di sebelah jendela. Kebetulan jendela itu sedang kubuka untuk memperlancar sirkulasi udara. Aku meninggalkannya selama beberapa menit dan ketika aku menoleh, Shiro-chan sudah hilang. Aku panik dan mulai mencari ke seluruh penjuru rumah, tapi aku tidak menemukannya di mana pun. Aku bisa frustasi kalau Shiro-chan sampai hilang.
Aku mendesah lalu menatap halaman rumah lewat jendela kamarku. Tiba-tiba, kulihat seorang cewek berambut pendek warna kuning madu melewati rumahku. Dia membawa ransel dan memakai seragam sekolah; kaus putih lengan pendek, terusan tanpa lengan bermotif kotak-kotak merah selutut, stocking putih, serta sepatu hitam mengilap. Dapat dipastikan kalau dia baru saja pulang dari sekolah. Anehnya, ada satu hal yang tidak seharusnya ada padanya. Sesuatu berbentuk seperti bola bulu warna putih yang ada di pelukannya saat ini. Apa ya, itu?
Aku mengerjap satu kali. Dua kali. Cih, pikirku. Buat apa gue mikirin cewek yang cuma lewat depan rumah? Gak penting.
Anehnya, cewek itu justru berjalan memasuki pekarangan rumahku. Aku yang masih penasaran diam saja. Seorang pelayanku yang sedang sibuk di depan menghampirinya. Mereka mengobrol sebentar sebelum akhirnya pelayanku itu masuk dan menemuiku.
"Tuan Muda, ada yang ingin bertemu dengan Tuan."
"Siapa?"
"Gadis kecil yang tampaknya seumuran dengan Tuan."
"Apa aku mengenalnya?"
"Sa-saya tidak tahu, Tuan."
"Apa dia mengenalku?"
"Saya juga tidak tahu, Tuan."
Aku mendecak. "Apa keperluannya?"
"Katanya… ada hubungannya dengan kucing."
Kucing? Shiro-chan? pikirku heran. "Baiklah, antar aku menemuinya."
"Segera, Tuan Muda."
Normal POV
Rin masih berdiri sambil memeluk kucing putih yang tadi ditemukannya. Tak lama setelah pelayan tadi masuk, seorang cowok berambut kuning madu sama sepertinya keluar. Wajahnya tampak dingin, tidak bersahabat. Tapi… sorot matanya kesepian. Tampaknya, dia tinggal sendirian di rumah besar ini.
"Hai," sapa Rin sambil tersenyum kecil. "Namaku Kagami Rin."
"Kagamine Len."
Rin manggut-manggut. "Apa kau memelihara kucing?"
Len mengernyit mendengar pertanyaan itu. Menurutnya, itu adalah pertanyaan aneh yang tidak pantas ditanyakan ketika seseorang bertamu ke rumah tetangganya. "Ya, kenapa?"
"Sekarang kucingnya hilang?"
Len mengangguk lagi. Apa-apaan sih, cewek ini?
"Warna kucingnya putih, ya?"
Len mengangguk lagi, tapi kali ini tidak bisa menahan rasa kesal dan penasarannya. "Apaan, sih? Dari tadi nanya-nanya soal kucing, emangnya Shiro-chan kenapa?!"
"Ooh… ternyata namanya Shiro-chan," kata Rin setengah menggumam. Kemudian, Rin menyerahkan kucing yang sedari tadi ada di pelukannya pada Len. "Ini Shiro-chan punya Len, bukan?"
Mata Len membelalak. Ia buru-buru merebut Shiro dari tangan Rin. "Kamu dapet Shiro-chan dari mana?"
"Dia ada di jalanan, kok," jawab Rin. "Kayaknya kabur, ya? Kamu baru pindahan, kan? Aku baru liat kamu di daerah ini."
Mata Len membelalak lagi. "Kenapa bisa tau aku baru pindah?"
"Kardus banyak," ucap Rin sambil menunjuk dus-dus yang ada di belakang Len. "Terus… halaman berantakan, lantai masih berdebu, lampu belum dipasang, banyak orang mondar-mandir, ditambah ada container buat angkut barang."
"Oh…"
"Mm… kamu pewaris tunggal Kagamine Corporation, ya?"
Mata Len lagi-lagi membelalak. "Kenapa tau?!"
"Tadi kamu bilang namamu Kagamine Len, kan," jelas Rin. "Terus, aku baru dapet kabar kalo pewaris Kagamine Corporation itu tunggal. Yah, dengan kata lain, itu pasti kamu."
"Marga Kagamine kan, gak cuma aku."
"Pewaris tunggal Kagamine itu kan, bakal jadi murid baru di sekolahku," ucap Rin. "Pasti rumahnya gak akan jauh dari sekolah. Ternyata, rumah keluarga Kagamine deket rumahku. Yah, udah jelas."
Len menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hebat, lo bisa tau siapa gue cuma dengan lihat keadaan."
Rin tersenyum kecil. "Kalo gitu, aku permisi dulu."
"Loh? Mau ke mana?"
"Pulang…"
"Jangan!" cegah Len. "Lo… gue mau bilang makasih karena udah nganter Shiro pulang."
Rin tersenyum. "Sama-sama," jawabnya. "Udah, kan? Aku harus pulang."
Len menggeleng. "Gue harus balas budi."
"Gak perlu," ucap Rin. "Aku ikhlas kok, nganter Shiro."
Len menggeleng lagi lalu menarik tangan Rin. "Lo bener-bener keras kepala, gue suka itu. Oh ya, lo gak keberatan kan, kalo gue cuma suguhin es jeruk dan pai buah?"
Mata Rin membelalak. "Apaan…? Disuguhin…?"
"Ya iyalah, gue harus balas budi. Gue cuma nyuguhin makanan saat ini."
"Gak perlu repot-repot, deh."
"Udah, lo masuk aja," paksa Len. Akhirnya, Rin menyerah dan mengikuti Len masuk. "Ngomong-ngomong, maaf ya, ini masih berantakan banget."
"Gak apa-apa, kok. Justru aku yang ngerasa bikin repot."
Len mendecak. "Gak ada yang ngerasa repot gara-gara elo di sini. Pelayan!"
Seorang pelayan menghampiri Len dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Tuan Muda?"
Rin mengernyit. Tuan Muda katanya? Oh, yang bener aja…
"Es jeruk dan pai buah buat Nona ini," kata Len dengan nada memerintah. "Bahan-bahan makanan udah beres semua, kan?"
"Sudah, Tuan Muda. Baiklah, akan segera saya buat," kata sang pelayan. Setelah itu, si pelayan segera menghilang dari pandangan mereka berdua. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam.
"Mm… gue bener-bener udah harus pulang," ucap Rin dengan nada ragu.
"Sebentar aja," pinta Len. "Lima menit? Atau sepuluh menit?"
Rin meringis. "Gak bisa kurang?"
Len menggeleng. "Udah gue bilang kalo gue mau balas budi."
"Ta-tapi…" Rin menatap kedua sepatunya yang mengilap. "Gue harus pulang…"
"Nanti gue ikut lo pulang, deh."
"Hah? Buat apa?"
"Kasih penjelasan ke keluarga lo kalo tadi gue yang nahan lo di sini," jawab Len. "Walau anak orang kaya, gak berarti gue manja, kali. Gak usah natap gue kayak gitu."
Rin terkikik. "Oke deh, asal jangan lama-lama."
"Iya, iya, gue tau, kok."
Rin tersenyum kecil. Cowok yang satu ini memang menyebalkan tiada dua.
Tapi di sisi lain… dia juga manis, pikir Rin sambil tertawa dalam hati. Ngomong-ngomong, buat apa juga mikirin dia? Kami-sama… gue kenapa?
Bersambung…
Penasaran dengan kisah Rin dan Len yang selanjutnya? Setelah makan es jeruk dan pai buah tadi, Rin bakal gimana, ya? Apa yang terjadi setelah Rin pulang nantinya? Silakan tunggu di chapter berikutnya! Sayounara! ( ^o^)/
