Couple Cracks

.

.

.

NARUTO MILIK MASASHI KISHIMOTO

IDE CERITA MILIK SHANAZAWA YANG OTAKNYA LAGI LESU

.

.

.

.

OC, OOC, TYPO, ALUR CEPAT, IDE PASARAN, SINETRON SEJATI, DAN MASIH BANYAK LAGI.

.

.

.

Lanjutannya kapan-kapan (viss)

.

.

.

Summary :

Hari ini Tsunade senju menang undian puluhan juta yen. Ini tidak baik! Kemalangan akan menimpa keluarganya. Tunggu, dia hanya tinggal dengan cucunya, Uzumaki Naruto. Cucunya memang malang, sudah tua masih perjaka. Hahaha bikin author ketawa guling-guling karenanya.

Ccarcks

Naruto Uzumaki, 26 Tahun. Guru olahraga. Tidak suka yang pahit. Cinta lolicon (coret). Tidak mahir dalam pekerjaan rumah. Masih tinggal dengan Nenek. Manja.

Wajahnya nampak syok melihat tumpukan surat menjejali loker gurunya, salah satu surat melayang jatuh.

Sensei aku mencintaimu, muaaach (dengan gambar bibir monroe. Dicap dan ditanda tangani dengan nama jelas) muridmu tercinta.

HUEK! Rasanya Naruto ingin pindah mengajar saja seperti ke akademi khusus laki-laki, setiap hari lokernya dijejali surat cinta dan makanan yang tidak ada habisnya. Dimata muridnya dia mungkin keren tapi dimata orang dewasa, dia pengecut! Boro-boro punya banyak mantan, ikut kencan buta saja dia selalu ditolak. Bagi muridnya mungkin dia keren, tapi bagi wanita dewasa dia selayaknya sampah.

Sesi tanya jawab dengan teman kencan hasil dari biro perjodohan.

"Apa masih tinggal dengan orang tua?"

"Hai"

"Tidak bisa mencuci pakaian sendiri?"

"Aku hanya tidak bisa masak"

"Kau punya pengalaman dengan wanita"

"Tidak"

Dan suara tawa menyusul kemudian,

'Aku jadi tidak berniat menikah. Aku akan hidup melajang seumur hidupku, wanita itu merepotkan. Sama dengan nenek tua itu.' Batin Naruto

"Apa katamu bocah?" teriak Tsunade melemparkan botol sake kearah Naruto, "Dengar titahku, hari ini aku mendapat firasat baik dengan memenangkan sebuah perjudian"

"Biasanya firasat buruk"

"DIAM! Gara-gara kau lajang dan jadi perjaka tua, aku mendapat firasat itu."

"Hai hai aku akan mandi dulu"

PRANG! Kali ini sebuah piring melayang dan hanya meleset sedikit dari wajah Naruto kemudian menghantam dinding. "Bocah, mau mati?" tanya Tsunade horror.

"Ha~ i aku mendengarkan" ucap Naruto segera duduk manis dihadapan sang nenek.

"berputar"

"AKU BUKAN ANJING!"

"Hehe,"

'Kampret malah ketawa'

Ccracks

Hinata Hyuuga, 25 tahun. Pemalu tingkat dewa. Lulusan akademi keperawatan namun tidak suka suntikan, darah, luka dan mayat, hanya kamisama yang tahu kenapa Hinata bisa lulus dari sana. Karena alasan tersebut, dia masih pengangguran. Benci memasak dan perut buncit. Pengalaman cinta nol besar.

Sesi wawancara dengan rumah sakit.

"Maaf Nona, kau seorang perawat, jika kau takut dengan darah, suntikan, luka dan mayat bagaimana anda bisa lulus?"

"Hehe"

Dan langsung saja, formulir Hinata dicap dengan stempel tidak lulus berwarna merah. Hinata memandang rumah sakit dengan mata berkaca-kaca, ini rumah sakit yang kesekian kalinya menolak Hinata.

"Coba melamar menjadi perawat di sekolah" usul sang ayah.

"Yosh besok aku akan melamar ke setiap sekolah"

Wawancara di sekolahpun tidak semudah yang Hinata bayangkan, dia memandang sekolah putri ternama dengan berurai air mata, 'Ayah, aku menyedihkan' batin Hinata pilu.

Ringtone yo ringtone, hape lu bunyi, buruan angkat! ( Nada dering yang terpasang diponsel Hinata)

"Moshi- moshi, Hinata desu"

"Hinata, lamaranmu diterima."

"Eh? Eeeeeh? Tunggu sebentar, lamaran yang mana?"

Satu tahun yang lalu Hinata memasukan datanya ke sebuah situs perjodohan karena titah sang ayah yang melihat Hinata bakal jadi perawan tua kalau tidak kunjung menikah. Titah = pemaksaan = harus dilaksanakan.

Sepertinya karena skill dan biodata Hinata yang sedikit nganggur, Hinata luput dari mata jeli para calon mertua yang meneteskan liur untuk sang anak. Melamar saja sering ditolak. Apalagi menunggu lamaran yang tak pasti. Hasilnya sudah jelas : GAGAL

"Lamaran kerja disebuah akademi dan lamaranmu disitus barang bekas"

"Bukan barang bekas, Ayah" HUHUHU nilai Hinata begitu rendah.

Ccracks

Jas putih. Aula. Tamu. Rambut disisir ala david beckham. Postif, hari ini ada pernikahan dengan Naruto yang menggunakan jas putih, itu berarti.

"Khhh" Naruto tiba-tiba saja sesak nafas. "Ne-nek"

"Aku terlalu bahagia mengingat cucuku akan menikah hari ini, saking senangnya sepertinya aku akan menikah lagi.. hahahaha hanya bercanda"

"Nenek, aku tidak bisa bernafas khhh dasinya" pinta Naruto hampir tak bisa merasakan aliran darah ke kepalanya.

"Gawat kalau kau mati sekarang" panik Tsunade melepaskan tangannya dari dasi yang melingkari leher Naruto.

'Aku memilih mati' batin Naruto sembari bernafas sebanyak mungkin. "Tunggu dulu nenek! Aku bahkan belum melihat calon istriku kan?" protes Naruto.

"Ara? Ayahnya mirip sekali dengan calon istrimu.. tenang saja, dia humoris bukan?"

'Humoris apanya! Dia itu hanya menatapku selama dua jam tanpa bicara, aku yakin matanya juga tak berkedip sedikitpun padaku. Saat aku bertanya dia malah menggumamkan kata Hn seperti si Teme sialan itu. Tidak! Tidak! Bagaimana bisa anaknya sama dengan ayahnya?! Bencana' Naruto menggeleng keras untuk menjawab pertanyaan tsunade.

"Tapi dia bersemangat sekali saat bicara denganku?"

'Dia itu penjahat kelamin!'

"Ya sudahlah, harus bagaimana lagi... hahahaha ayo!"

PLAK! Tangan Tsunade menghantam punggung Naruto bukan hanya sekali tapi berkali-kali.

Naruto menyerah sajalah. Toh mereka hanya memenuhi tugas negara untuk menjalin sebuah pernikahan. Kau harus mengerti, jepang sedang mengalami krisis penurunan jumlah penduduk sekarang, dengan Naruto menikah dan eto... bagaimana kalau Hinata tidak ingin punya anak? Eh? Berarti Naruto gagal menjalankan tugas negara?

Tunggu dulu! Kenapa Naruto sangat yakin Hinata mau bersanding dengannya tanpa mau tahu seperti apa Naruto? Bukankah itu hal tergila yang pernah Naruto maupun Hinata lakukan? Tidak! Fikiran Naruto mulai ngelantur kemana-mana.

"HOI BOCAH! Apa yang kau lakukan, Hinata sudah berdiri dihadapanmu!" teriak Tsunade.

"Ah, Hai!" jawab Naruto dengan wajah memerah, tanpa sempat memandang Hinata dia segera menyambar tangan Hinata dan mengikat janji dengannya.

'Gaun ini berat, dan rasanya kepalaku mau copot' keluh Hinata.

Dandanan berjam-jam ini, membuat Hinata kehilagan rasa senangnya. Hinata melirik sekilas Naruto yang sedang menanda tangani surat pernikahan mereka, wajahnya bersemu merah, apa sebahagia itu rasanya menikah? Hinata bahkan sudah tidak bersemangat. Dia itu bodoh atau bagaimana? Begitu saja setuju hanya dengan bertemu dengan ayah Hinata.

"CIUM DIA BOCAH!"

Hinata tersentak kaget mendengar teriakan halilintar Tsunade. 'Tuhan, apa Naruto juga bersuara sebesar itu?' Hinata mengerjapkan matanya dengan cepat.

"KAU MABUK NENEK, TIDAK!" teriak Naruto. Dia malu sekali, apalagi sudah setua ini Naruto belum pernah mencium bibir seorang wanita masalahnya ini didepan umum!

Hinata ingin menangis, tamatlah riwayat Hinata. Dia akan berakhir dipemakaman lebih cepat dari prediksi dokter.

"Kau mau menentangku, hah?!" sewot Tsunade berdiri dari kursinya namun segera ditahan beberapa kerabat Naruto.

"B-Baik" jawab Naruto. Untung saja dia memakai sarung tangan, kalau tidak semua orang akan tahu kalau Naruto super gugup. Dibandingkan dengan ketegangan dilapangan tempat dia melatih anak didiknya, ini jauh lebih menengangkan.

Naruto menghadap tubuh Hinata dan meraba dagunya, matanya bahkan tak mau memandang lebih keatas hanya untuk melihat wajah istrinya, kemudian untuk menutupi rasa gugupnya, Naruto memejamkan mata dan perlahan mengecup bibirnya.

Tangan Hinata tidak bergerak padahal dia ingin kabur dari situasi ini, namun Naruto mencengkram bahu Hinata yang membuatnya semakin membeku. Naruto sedang mengancamnya tanpa kata-kata. Mata itu bahkan tidak menatap matanya, dia sepertinya tidak mau membuat Hinata jatuh pingsan dengan intimidasi matanya.

Menelan sedikit ludah, Hinata ingin segera pingsan. Tapi kesadarannya masih terus bertahan, rambut Naruto jatuh diatas dahinya. Kulitnya tan, bibirnya penuh dengan kharisma, dan garis dipipinya, apa dia melakukan pekerjaan gangster? Naruto sama sekali tidak terlihat gugup, dia pasti sering berciuman sebelumnya.

Abaikan fakta itu, toh akhirnya Hinata yang Naruto permainkan dalam permainan rumah tangga dan harus Hinata akui kalau.. kalau Naruto lebih tampan dari si botak anime tetangga. Wajah Hinata langsung matang sepenuhnya, Naruto melepaskan ciumannya saat suara tepuk tangan terdengar. Hinata sangat malu, dia sampai menyembunyikan setengah wajahnya dengan tangan mungilnya. Fikiran mesum macam apa itu?

'Ada apa dengannya? Apa dia tidak suka? Kau harus mengerti, nenekku lebih menakutkan dari apapun' batin Naruto melihat reaksi Hinata. Mata Hinata menyipit memandang Naruto, apa itu tatapan marah?

Naruto kaget bukan main, Hinata benar-benar mirip ayahnya. Matanya, alisnya, dan tatapannya. Dia seperti miniatur dari mertuanya itu, ah kuso!

Ccracks

"Nenek, cutiku hanya sebentar, kami tidak akan bulan madu" keluh Naruto melihat neneknya memasukan barang-barangnya kedalam koper. Bukan hanya hampir semua pakaiannya bahkan neneknya memasukan bikini-bikini berwarna mencolok dan bermotif aneh kedalam kopernya.

"Nenek jangan buat aku malu" teriak Naruto mengeluarkan bikini dari dalam kopernya.

"Bukan bikini, bocah. Itu namanya lingerie, buat istrimu di malam pertama. Hehe"

"Dia tidak mungkin menggunakan semuanya!" protes Naruto. Kemudian wajahnya merah sempurna.

"Bawa satu kalau begitu" ucap Tsunade memasukan buntelan kain dua segitiga dengan tali dan sebuah kain persegi panjang dengan tali di masing-masing ujungnya. "Kau benar-benar bukan laki-laki romantis, Naruto. Aku kasihan pada istrimu yang harus malam pertama hanya di apartemen"

"Dia pasti akan malu memakainya" ratap Naruto mengabaikan perkataan vulgar Tsunade.

"Hahaha mana mungkin istrimu malu" ucap Tsunade.

PLAK! PLAK! Lagi, Tsunade menepuk punggung Naruto.

"GYAAA!" teriak Naruto merasakan panas yang menjalar dari bekas tepukan sang nenek.

"Oh, jangan lupa jemput istrimu" ucap Tsunade mengabaikan teriakan Naruto.

Airmata mengalir dari mata Naruto, sembari mengangguk dan menyeret kopernya ke dalam mobil. "Nenek tidak menangis untukku?" tanya Naruto menurunkan kaca jendela mobilnya.

"Mana mungkin aku menangis, bocah!" marah Tsunade namun akhirnya tersenyum bangga. Kali ini Tsunade menepuk pelan bahu Naruto. " Ada apa dengan ekspresi takut itu? Aku senang kau akhirnya menjadi seorang pria" ucapnya.

"Nenek~"

"Aku terhindar dari rasa malu menghadap orang tuamu nanti! Hahahaha"

Naruto hanya mengangkat bahu, dia hampir percaya dengan perkataan neneknya, namun bagaimanapun dia telah menjadi orang tua Naruto, dia pasti akan menangis saat Naruto sudah pergi. "Yah, jangan lupa siapkan tisu yang banyak dan aku tidak keberatan nenek menikah lagi" ucap Naruto sembari menggas mobilnya menghindari amukan Tsunade.

Naruto memperhatikan GPSnya, harusnya rumahnya ada di jalan lurus tanpa hambatan dan sepi ini. Naruto melihat wanita bersurai gelap berdiri di tepi jalan, lengkap dengan beberapa koper di sampingnya. 'Gawat, dia seperti sadako eh salah seperti mertuaku' umpat Naruto.

Hinat melihat mobil yang memberi klakson padanya, tangannya segera melambai. Sekali lagi matanya melihat rumah yang sudah dia huni sejak dia kecil. Hanabi mengintip dari balik pagar.

"Hana-chan, kau tidak mau mengucapkan selamat tinggal padaku?" tanya Hinata berjongkok ditempat Hanabi mengintip.

"Kakak, dia orang jahat yang telah membawa kakak dari rumah ini." Jawab Hanabi.

Naruto tergelak, dia baru saja sampai dan sebuah ancaman sudah dia terima. Hinata hanya tesenyum canggung. "Nanti juga Hana-chan akan mengerti" ucap Hinata.

"Kakak jangan pergi.. Hiks" ucap Hanabi membuka pagar dan memeluk Hinata.

"Hana-chan" Hinata juga ingin bilang kalau dia tidak mau pergi, tapi dia harus pergi.

"Hanabi"

Suara itu membuat Naruto segera berdiri tegap, dari nada dan auranya, ini pasti mertuanya yang muncul. Darimana dia datang? Apa perlu Naruto antar jika dia ingin pergi?! 'Gyaahaaa dia bukan jelangkung!'

"O-O-O-Ohayou ayah" ucap Naruto gugup, kakinya seperti kaki pinguin menempel erat saat berbalik.

"Hm"

'Hiy, dingin sekali tanggapannya' batin Naruto, wajahnya sudah pucat pasi hanya berdiri beberapa menit saja dihadapan mertuanya.

"Hanabi, katakan sampai jumpa pada Kakakmu." Perintah Hizashi.

Hanabi semakin berkaca-kaca melihat Hinata. "Sampai jumpa Kakak." Ucap Hanabi.

"Bagus."

Hinata melepaskan tangannya dari Hanabi. Dia harus mati-matian menahan airmatanya yang berlomba mencapai ujung matanya. Hinata melambaikan tangannya pada Hanabi yang bersembunyi dibalik tubuh Hizashi sebelum masuk kedalam mobil.

"Huaaaa!"

Naruto tersentak kaget mendengar suara tangisan pecah dari Hinata, suraianya bergerak maju menutupi wajahnya, benarkan dia Sadako. Dia pasti menyesal menikah dengan Naruto, dia masih ingin bermanja-manja dengan adik dan Ayahnya.

"Jangan menangis!" ucap Naruto.

Hinata semakin menangis, Naruto baru saja membentaknya, dia akan membunuh Hinata pelan-pelan. Hinata tidak menghentikan tangisannya, tapi Hinata meredam isakannya dengan mengigit pergelangan tangannya.

'Heh? Apa Naruto terlalu kasar tadi? Wajar saja wanita menangis dengan hal beginian kan, mereka itu makhluk merepotkan' batin Naruto. Naruto terdiam lama, apa yang harus dia perbuat dengan wanita yang menangis? Kalau pria marah, biasanya mereka tidak mau diganggu dengan obrolan dan hanya ingin ketenangan.

'Naruto pasti sangat kesal karena aku menangis, hiks aku harus kuat' batin Hinata.

Naruto memarkirkan mobilnya disamping apartemennya, lama dia terdiam. Harusnya Hinata sudah tenang sekarang. "Kita sudah sampai" ucap Naruto membuka pintu mobilnya.

"Ha-Hai" cicit Hinata.

"Apa?!" tanya Naruto dengan suara cukup keras.

"H-Hai" jawab Hinata semakin pelan.

"Oh" ucap Naruto baru mengerti, Hinata hanya bilang Hai.

Naruto menurunkan semua koper mereka. Besok, sisa barang mereka akan dikirimkan lewat paket. Tangan Hinata tergelincir saat menutup pintu mobil, menyebabkan pintu mobil tertutup dengan suara keras.

Naruto meloncat kaget, dia ingin marah pada Hinata namun wajahnya yang menunduk dan terlihat kilatan merah dari kedua matanya membuat nyalinya ciut seketika. Sepertinya Hinata marah padanya.

Tangan Hinata mengigil ketakutan, dia tak berani melihat wajah Naruto. Dengan cepat disambarnya dua koper dan melangkah masuk duluan kedalam lift. Kalau jauh mungkin suara kemarahan Naruto tidak akan sekencang ketika dia berdiri disampingnya.

'Dia benar-benar marah padaku' batin Naruto mengikuti Hinata masuk kedalam lift, suasana lift sungguh mencekam, disampingnya aura Sadako dari Hinata membuat bulu kuduk Naruto merinding sekujur tubuh. Gawat, kalau sampai setiap pagi Naruto melihat penampakan.

'Ayolah, cepat sampai' batin Hinata cemas, meski tahu Naruto itu eksotis beserta tampan, tapi sikapnya membuat nyali Hinata mencicit seperti kuman yang siap dibasmi. Naruto juga nampak menahan amarahnya, Hinata pasti sudah merusak mobil Naruto tanpa sengaja.

Naruto berjalan terlebih dahulu keluar lift sembari membawa koper-koper Hinata. Hinata mengigit bibirnya, bukan hanya soal mobil yang membuat Naruto marah, tapi soal koper-kopernya juga. Pantas saja, koper yang dibawa Hinata terasa lebih ringan.

"Cantiknya" ucap Hinata melangkahkan kakinya masuk kedalam apartemen mereka, sudah lama rasanya Hinata ingin tinggal di rumahnya sendiri, Hinata swetdrop, ini bukan hanya rumah Hinata. Saat ayah mengijinkannya mandiri ternyata mandiri bersama seorang suami.

"Kamarmu disana" tunjuk Naruto saat Hinata mengekorinya masuk ke dalam kamar.

"Maaf." Cicit Hinata berbalik,

"Kau tidur disana dan aku akan tidur dikamar yang lain" jawab Naruto.

"Tapi bukankah harusnya kita sekamar?"

Naruto menimang-nimang apa yang harus dia jawab. Kalau dia jawab jujur tentang pengalamannya dengan wanita itu nol besar, dia pasti akan ditertawakan. Dia harus mencari referensi dahulu sebelum bisa sekamar dengan Hinata. "Kau baru saja mengenalku. Kufikir kau akan malu langsung satu kamar denganku. Apa tak masalah?"

Hinata menggeleng, pengalaman Hinata juga nol besar soal cinta, setidaknya biarkan dulu Naruto menjadi bagian baru dalam kehidupan sehari-harinya kemudian naik setingkat demi setingkat sampai adegan xxx.

'Bagus dia mengerti' batin Naruto tersenyum lega.

Hinata masuk ke kamarnya, kamar itu tidak jauh beda ukurannya namun, sengaja dicat lebih girly. Sudah ada tempat tidur, lemari dan beberapa pajangan. Hinata segera membuka kopernya, "eh? Ini kopernya Naruto"

Psss! Wajah Hinata terbakar saat matanya melihat lingerie super seksi yang pernah dia lihat di toko pakaian dalam, jujur saja Hinata sempat mengagumi keindahan lingerie itu, tapi toh dibeli juga untuk apa? Lingerie indah itu kalau dipakai tanpa penutup. Tapi untuk apa Naruto membelinya? Jangan-jangan Naruto punya banyak yang seperti ini dan mengoleksinya? Uuuh sepertinya itu alasan kenapa mereka tidak satu kamar. Menunggu Hinata terbiasa dengan hobi aneh suaminya.

BRAK! Naruto terengah mendobrak kamar Hinata. Wajahnya langsung malu, apalagi Hinata tengah mengangkat lingerie yang diberikan padanya (ralat) istrinya.

"Itu milikku" ucap Naruto spontan, mengambil lingerie pembuat malu itu dan segera memasukannya ke dalam koper. Hinata sampai terperangah melihat reaksi Naruto. Syok berat. Naruto juga memakai lingerie?!

Ccracks

Naruto mematikan ponselnya, belum juga pagi dirinnya dikirimi ratusan pesan dan panggilan dari para manusia haus kemesuman menanyakan bagaimana malam pertamanya? Malam pertama apanya? Dia hanya ditemani guling yang tidak bisa membantunya menyelesaikan tugas negara.

Naruto menguap lebar dengan mata setengah menyipit. Dia sudah benar dengan memisah kamarnya dan kamar Hinata. Dapat Naruto bayangkan ketika bangun dia melihat surai gelap Hinata yang dapat membuatnya menjerit-jerit seperti perempuan.

Lalu bagaimana dengan tugas negara yang dia tanggung? Setelah negara benar-benar memerlukan tugasnya, Naruto baru akan mendiskusikannya dengan Hinata.

Desahan Naruto tertahan saat masuk kedalam kamar mandi, kakinya bersiap mengambil langkah seribu. Di kamar mandi sesosok tubuh dengan piama putih bersurai panjang tengah menyikat gigi. Teriakan Naruto tertahan sampai membuat kerongkongannya menciut. 'Dia bukan Sadako! Dia Hinata, istrimu Naruto' batin Naruto bergulat.

"Kau sudah selesai belum?" tanya Naruto setelah berhasil menenangkan dirinya.

Hinata tersentak kaget, dirinya segera melihat kedalam pantulan cermin, Naruto sedang berkacak pinggang, tak sabaran mengantri dikamar mandi, busa putih memenuhi mulutnya. "Sye...ben..ta...r la...gi.." ucap Hinata.

'Belum cukupkah syadako? Sekarang dia syadako rabies?' fikir Naruto, kepalanya berkerut tajam, lelucon mengerikan.

Hinata mendekap sikat giginya erat, Naruto menatapnya dengan dahi berkerut, dia pasti sudah terlalu lama. Buru-buru Hinata menyelesaikan ritualnya dan segera keluar kamar mandi.

"Selamat!" gumam Hinata, etoo dia hari ini sudah bisa memulai bekerja, makanya dia meminta pada Naruto lewat ayahnya untuk tidak terlalu lama mengambil cuti. Kaki Hinata bergerak ke dapur.

Tangannya dengan gemetaran memegang pisau dapur, dia sudah belajar walaupun kebanyakan dari para senseinya menyerah untuk mengajari Hinata sampai akhir dan mengembalikan uang kursusnya.

"Aku memang tidak berbakat, tapi aku bisa memasak sayur paprika yang lezat. Selain itu nenek Tsunade bilang Naruto suka sekali paprika" ucap Hinata segera mengambil sebanyak mungkin paprika dan mulai memasak.

Naruto sudah berstelan rapi, siap kembali bekerja. Dilihatnya Hinata juga baru menyelesaikan masakanya. "Tidak buruk" gumam Naruto duduk diatas kursi kemudian batinnya menjerit-jerit minta diampuni.

Paprika, paprika dan paprika. Semuanya tentang paprika dan terbuat dari bahan paprika, wajan terkontaminasi paprika, warna mengerikan paprika, siapapun akan yakin, paprika adalah pembunuh nomor 1 dalam hal pencernaan Naruto. Naruto benci paprika sejak kecil, namun apapun yang dimasak tsunade harus dia makan habis, jadi meskipun paprika membuatnya mulas seharian dia akan makan satu gigit kemudian sisanya diselundupkan keluar rumah sampai tong sampah di taman.

Hinata pasti ingin membunuh Naruto. Diambilnya selembar roti kemudian diolesi selai dan memakannya dengan cepat sebelum ketahuan Hinata. "Maaf, ini bekal makan siangnya" ucap Hinata menyodorkan bentonya.

Naruto berfikir keras untuk menolaknya, dia sering mendapat jatah makan siang dari para murid-muridnya, akan mubajir jika dia membawa bekal dan pastinya Hinata akan sedih kalau tahu bentonya tak disentuh sama sekali isinya. Dan itu isinya 1000% paprika. "Tidak, terima kasih" ucap Naruto singkat. "Kau akan pergi bekerja jugakan? Aku akan mengantarmu sampai tempat kerja" tambah Naruto.

"Iya" jawab Hinata sembari meletakan bentonya diatas meja, sekilas dia melihat meja makannya, Naruto bahkan tak menyentuh masakannya sama sekali. Dia pasti mencicipi sedikit, dan rasanya pasti super aneh. Hinata sampai depresi seperti ini padahal dia biasanya juga gagal.

Serta bentonya.. Hinata sudah siapkan Sushi, serta sosis setengah gosong. Dia juga menolaknya. Apa yang bisa menyenangkan pria itu huh? Hinata segera menganti setelan pakaiannya. Setelan turtle neck serta rok selutut, Hinata tidak lupa membawa jas putihnya. Padahal dia hanya perawat saja, tapi semuanya harus sempurna. Hari pertama adalah kesan pertama untuk membangun imeznya.

Sepatu hitam Hinata beradu dengan lantai, rambutnya diikat hampir diujung terjauh pangkal rambutnya. Naruto segera bergegas keluar apartemen dan menyalakan mobilnya.

Naruto kembali menguap lebar. Hari sekolah akan kembali dimulai, dan dia tahu gosip tentangnya akan segera menyebar. Bagaimana dia menjawab, lalu soal malam pertama?

"Naruto. Berhenti! Itu sekolah tempatku bekerja" ucap Hinata menghentikan lamunan Naruto.

"KUSO!? Tidak mungkin!" pekik Naruto.

Itu adalah akademi Konoha, sekolah setingkat High school. Dan tempat Naruto mengajar pelajaran olahraga. Sementara Hinata Syok mendengar Naruto mengumpat.

.

.

.

TBC :*

.

.

.

Fic ini terinspirasi dari otak yang sedang rehat dari konflik batin.