Hi! Hi! Hiiiiiii! Fro publish cerita lagi nih hahahaha #dor #lgsgdikeroyok #RRapdetpls #uhuk
Ini ff uda lama banget mendem dalam lepi, jadi fro putusin sekalian aja dikeluarin semua hahaha xD
fro dapet ide ini dari ff final fantasy pair CloudxVincent punya si Esama, judulnya Ultima, bagus lohhh, kalo mau baca coba cari aja di AO3, tp bhsnya eng #kedip2
ini cerita tentang Alpha beta omega, eittttss! Tapi tunggu dulu, jgn langsung mikir alpha beta omega itu yg pake mpreg2an, ini beda lagi! alpha beta omega bukan jenis kelamin disini! inget loh, bukan jenis kelamin! pokoknya beda! lebih lanjut silahkan baca dulu dehhhh xD
Warning : Yaoi, BL, MxM, sexual content, explicit, mature content, blood, gore, OOC, dark!Naru (?), Alternatif universe - A/B/O, Kasta Sosial, power different, cerita rumit, butuh kesabaran dlm memahami, Dom/Sub, Alpha dan Dom itu berbeda, bingung silahkan tanya di review
Disclaimer : seperti biasa meskipun uda tamat, Naruto masih punya Om Kishi :v
Silahkan membaca ^_^
Chapter 1. The Awakening
JEDEERRR!
Petir menyambar begitu keras. Membelah langit dengan cahaya bercabang menyilaukan. Berlomba-lomba menyuarakan suara nyaringnya dengan menggelegar.
Langit bergemuruh.
Hitam kelam dipenuhi dengan awan gelap. Padahal seharusnya langit masih sangat terang pagi ini. Tapi entah dari mana datangnya, badai tiba-tiba memburu. Hujan deras turun tak ada hentinya, bahkan disertai angin topan yang membuat pohon-pohon tumbang tak berdaya.
Langit seakan sedang marah. Atau sedang memberikan peringatan bahwa hal buruk akan segera terjadi.
Sebuah pondok kecil terlihat berdiri di atas bukit hijau. Terbuat dari kayu, namun terlihat kokoh karena pondok itu masih bisa bertahan meskipun badan hujan menyerangnya. Pondok yang memang dibangun terpencil di dalam hutan itu, terlihat semakin menyeramkan dengan suasana horor sang badai.
Di dalamnya terlihat sebuah ruangan bertirai. Dengan meja kecil berkain merah terletak di tengah ruangan itu. Di atasnya terpajang sebuah bola kaca besar yang memancarkan cahaya aneh.
PRANG!
PRANG!
PRANG!
Barang kaca-beling dalam ruangan itu tiba-tiba saja pecah berantakan satu per satu tanpa sebab. Lampu lilin yang menjadi penerang ruangan itu berkedap kedip menyala seperti sedang mengejek.
"Tidak…"
"...tidak mungkin!"
"Ini tidak mungkin…!"
Terdengar suara komat-kamit panik. Seorang wanita tua duduk bersimpuh di depan meja berkain merah itu. Keringat dingin menetes deras dari pelipisnya, bahkan membasahi rambut panjangnya yang sudah sangat beruban.
Kedua tangan wanita tua itu bergemetaran kuat. Bergerak tremor di depan bola kacanya yang terus-menerus mengeluarkan cahaya aneh. Dari hitam berubah merah, lalu bercampur ungu, berkilat seperti petir, terus beraduk-aduk sesekali memperlihat kilasan gambar yang hanya wanita tua itu yang bisa melihatnya.
"Tidak—!"
Bola mata wanita tua itu terbelalak. Retakan-retakan mulai muncul pada bola kaca itu seolah kekuatan sihir di dalamnya tak lagi mampu ditampung.
"Ini tidak boleh terjadi—!"
Wanita itu mengoceh ketakutan. Bola matanya melihat sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilihat.
"Ini bencana!"
Sebuah ramalan.
"Raja iblis—!"
Sebuah ramalan yang datang setelah empat ratus tahun berlalu.
"Raja iblis—
"RAJA IBLIS AKAN BANGKIT LAGI—!"
PRAANG!
.
.
.
.
.
.
Tap!
Tap!
Tap!
Langkah kaki cepat terdengar menggebu-gebu lantai sebelum kemudian sebuah pintu kayu dibuka cepat.
"Niisan!"
Sasuke memanggil kakaknya dengan terengah-engah. Napasnya naik turun bukti bahwa ia sudah berlari tergesa-gesa ke dalam ruangan itu.
Seorang pemuda berambut hitam kuncir kuda yang dipanggil 'kakak' itu pun menoleh. Lalu dengan segera sebuah senyum hangat melumer di bibirnya seketika dia melihat sosok adiknya datang. "Sasuke." panggilnya sayang.
"Ada apa, otoutou?"
Sasuke memelankan napasnya lalu berjalan mendekat pada sang kakak. "Niisan! Apa itu benar?!"
"—soal ramalan itu?!"
Itachi terdiam. Mengalihkan pandangannya dari sang adik lalu menghela kecil. "Kau sudah mendengarnya?"
"Katakan padaku, Niisan! Apa ramalan itu benar?!"
Sasuke memaksa jawaban. Menatap kakaknya penuh harap agar pertanyaannya terjawab. Sang bungsu Uchiha ini langsung berlari menemui kakaknya segera setelah ia mendengar rumor tentang ramalan sang raja iblis.
Wajar saja. Sudah empat ratus tahun berlalu sejak sang raja iblis muncul di dunia manusia.
Dunia sedang gempar.
Hanya karena satu ramalan.
"Ramalan itu benar." sang Uchiha sulung memberi kepastian. "Alpha sedang mendiskusikannya dengan para Zeta." Itachi meletakan kertas gulungan yang tadi dibacanya ke rak. Lalu membalikan tubuhnya untuk menatap adiknya langsung.
"Pagi ini kita mendapat pesan dari negara aliansi shinobi bahwa mereka mendapatkan ramalan yang sama." ucapnya serius.
Bibirnya membuat garis rapat, dan dua oniksnya memancar dingin bahwa ia sedang tak main-main.
"Raja iblis akan bangkit lagi di dunia manusia."
Sasuke melebarkan bola matanya. Jantungnya berpacu cepat bersamaan adrenalinnya yang meningkat. Kedua tangannya dikepalkan erat. Pemuda raven itu bahkan tak bisa menyembunyikan bibirnya yang ingin menyeringai. Ia menatap kakaknya dengan yakin dan berkata "Niisan, aku—
"Tidak."
Sela Itachi dingin.
Secepat itulah semangat Sasuke dipatahkan. Sang adik membelalakan matanya dengan kecewa. "Tapi aku—"
"Tidak, otoutou." Sela Itachi tak peduli. "Kemampuanmu masih belum cukup."
"Kenapa?!" kekesalan sang bungsu meledak. "Biarkan aku ikut serta dalam penyerbuan iblis!" pintanya tak ingin kalah. "Aku juga dominant dari klan Uchiha! Aku seorang alpha! Aku bisa memimpin pasukan dan ikut serta dalam penyerangan, Niisan!"
Itachi menghela napas. Sebenarnya, ia sudah sering mendengar adiknya mengatakan hal ini. Ia akui, adiknya itu memang seorang dominant yang kuat. Ia yakin nantinya Sasuke akan menjadi salah satu alpha kuat di desa Konoha. Bahkan memiliki potensi untuk menjadi kage. Tapi itu nanti.
Bukan sekarang.
"Sasuke…" ia memulai.
"Tidak, Niisan!" kini giliran Sasuke yang menyela. "Biarkan aku ikut! Aku tak mau terus-terusan berada dalam klan sedangkan kalian bertarung melawan iblis! Aku juga ingin melawan mereka!"
Itachi merapatkan bibirnya. Sasuke menatapnya dengan percaya diri yang sangat tinggi. Salah satu bukti bahwa ia memiliki potensi menjadi alpha yang kuat. Berani menatapnya yang memiliki ranking lebih tinggi.
Itachi sadar kalau sejak kecil Sasuke sudah sangat terobsesi dengan kekuatan. Apalagi setelah mendengar tentang kemenangan manusia melawan raja iblis empat ratus tahun yang lalu. Sasuke langsung mengatakan bahwa ia ingin menjadi alpha terkuat seperti pahlawan yang mengalahkan raja iblis ratusan tahun lalu.
Sasuke ingin menjadi pahlawan yang diakui semua orang.
Karena itu adiknya sangat terobsesi untuk mengalahkan raja iblis.
Sang sulung pun akhirnya menghela napas. "Baiklah. Tapi…" ucapnya dengan segera menyela ekspresi senang dari sang adik.
"Tapi kau harus lulus ujian chuunin bulan ini." Lanjut Itachi. "Dengan begitu rankingmu akan naik. Alpha akan mengakui kemampuanmu sebagai salah satu shinobi yang pantas ikut serta dalam penyerangan."
Sasuke pun menyeringai senang. Kesempatannya untuk unjuk diri akhirnya datang. "Tentu saja. Niisan. Aku akan lulus dengan nilai tertinggi."
Itachi tersenyum tipis, menyentukan jari telunjuknya pada dahi adik kesayangannya. Ia tahu adiknya akan bisa dengan mudah lulus ujian. Ia bahkan tak ragu jika kemampuan adiknya mungkin bisa menyamai jounin.
"Ah, otoutou." Panggil Itachi saat melihat adiknya hendak meninggalkan ruangannya.
"Hn?"
"Kau lupa sesuatu." Itachi menatapnya serius. Pandangan oniksnya berubah menjadi tak suka.
Tubuh Sasuke pun merasakan sensasi merinding seketika.
"Sasuke." Panggil Itachi dingin. "Aku bisa mengerti karena kita adalah kakak adik. Tapi aku harap kau tak melakukan kesalahan yang sama saat berhadapan dengan petinggi yang lain." Tuturnya menasehati.
Sasuke melebarkan matanya. Ia tak mengerti kesalahan apa yang sudah ia lakukan hingga kakaknya menatapnya seperti itu. "Apa maksud—"
"Berlutut."
Dalam sekejap, tenaga pada kakinya lenyap. Lutut dengan cepat menyentuh tanah. Sesuatu yang berat seolah tiba-tiba dijatuhkan pada pundaknya. Gravitasi seakan menariknya untuk jatuh ke lantai. Sensasi itu tak bisa dijelaskan. Rasanya seperti seseorang baru saja memotong kakinya dan memutus otot saraf di lututnya. Kakinya tiba-tiba menjadi lemas dan ingin berlutut.
Sisi dominannya pun langsung berteriak menolak. Sebagai Uchiha, Sasuke lahir untuk menjadi seorang Alpha. Berlutut dengan submissive sama sekali bertentangan dengan sisi dominannya. Kedua tangannya pun terkepal erat. Mencoba melawan perintah itu. Namun pada akhirnya ia tak mampu mengalahkan kakaknya.
Lutut dan tangannya pun menyentuh lantai. Kepalanya menunduk. Tubuhnya dengan perlahan berelaksasi. Dan saat itulah sensasi menjadi submissive segera ia rasakan. Perasaan dimana ia di bawah kekuasaan seseorang. Kekuasaan kakaknya.
Perintah Itachi selalu terasa sangat menyejukan. Sensasi menenangkan yang entah dari mana datangnya memenuhi pikirannya. Ia merasa seperti terbaring di tengah padang rumput. Sejuk dan menenangkan. Seperti tak memiliki beban. Namun terdapat perasaan kuat yang membuatmu merasa sangat aman di bawah perintah itu. Kuat dan tenang. Seperti itulah Itachi.
Itachi tersenyum puas melihat adiknya akhirnya menunduk di bawah perintahnya. Keinginan untuk mendominasi memang sudah salah satu ciri seorang alpha. Sikap adiknya yang berdarah panas membuatnya terkadang lupa dimana posisinya berada. Karena itu Itachi merasa harus melakukan penegasan.
"Bangun." Perintahnya lagi.
Sasuke pun memaksa kakinya untuk berdiri. Meskipun dua kakinya terasa linu dan lemas. Ia mendelik kesal pada kakaknya. "Niisan curang." Ucapnya merengut. Oh, bukan. Salah, Uchiha tak merengut.
"Well, kau harus belajar." Sang beta dari para alpha desa konoha itu menyeringai tipis.
.
.
.
.
.
Empat ratus tahun yang lalu.
Iblis tiba-tiba muncul dan menyerang dunia manusia. Perang besar pun terjadi. Manusia dengan kemampuan shinobinya berhasil bertahan. Menyerang balik dengan kuat demi mempertahankan dunia tempat tinggalnya.
Raja iblis datang dan memporak-porandakan dunia manusia. Menghancurkan dan merebut wilayah manusia sedikit demi sedikit. Bahkan setelah lima negara besar di dunia menggabungkan kekuatan untuk melawan, kaum iblis masih memimpin peperangan.
Hingga suatu ketika muncul seorang alpha yang sangat kuat. Tak ada yang tahu dengan pasti dari mana alpha itu berasal. Namun ia mampu mendominasi seluruh pasukan manusia di bawah perintahnya. Dengan pimpinannya, manusia berhasil menyerang balik.
Sang alpha menantang langsung sang raja iblis. Dua dominant itu bertarung satu sama lain. Pertarungan yang akan menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam peperangan itu.
Setelah bertahun-tahun terjepit, manusia akhirnya mendapatkan cahayanya kembali. Sang alpha berhasil mengalahkan sang raja iblis. Manusia pun memenangkan peperangan.
Dunia kembali ke tangan manusia.
Namun sang pahlawan yang telah memenangkan perang itu menghilang. Setelah perang berakhir, tak ada yang tahu kemana sang pahlawan pergi. Ia seperti hilang ditelan bumi.
Ada yang mengatakan bahwa ia telah mati setelah mengalahkan raja iblis. Namun ada juga yang mengatakan bahwa sang pahlawan masih hidup namun memilih untuk mengasingkan diri dari keramaian.
Yang manapun itu, baik sang alpha itu masih hidup atau tidak, jasanya tak akan pernah dilupakan oleh manusia. Dia adalah seorang pahlawan. Seorang alpha terkuat yang pernah ada. Mereka menyebutnya dengan Kesatria Perang.
"Bullshit! Tentu saja dia sudah mati! Ini sudah lewat 400 tahun bodoh! 400 tahun!" gerumbel Kotetsu dengan menguap. Ia menggaruk kepalanya dengan sangat tak elegan dan menguap lagi.
Di sampingnya Izumo memutar bola matanya. Tak heran lagi dengan tingkah partnernya yang sesama Gamma. Meskipun mereka berdua adalah jounin, namun keengganan mereka untuk ikut serta dalam kepemimpinan membuat mereka memilih untuk menjadi Gamma.
Mereka sudah bertahun-tahun menjadi shinobi, cerita tentang pahlawan dan iblis sudah seperti dongeng anak kecil bagi mereka. Bukan satu dua kali lagi mereka pernah mendengar orang tua menceritakan dengan bangga kisah pahlawan mereka pada anak-anaknya.
Yah, menjadi penjaga desa sehari-hari membuat cerita itu sudah seperti nyanyian burung.
Orang-orang berlalu lalang bercerita ini itu tentang pahlawan. Bahkan Konoha memiliki monumen tersendiri untuk mengenang jasa sang Kesatria Perang.
"Idiot. Bukan itu yang jadi masalah kan." Balas Izumo berdecak. "Orang lain juga tahu kalau kesatria perang pasti sudah mati ratusan tahun yang lalu. Dia kan juga manusia seperti kita." Ucapnya bosan.
"Lagipula, yang orang kenang itu bukan karena sang pahlawan itu hidup atau tidak. Yang terpenting itu jasanya tahu."
"Berisik. Aku hanya bosan mendengar mereka mendongeng-dongengkan cerita pahlawan." Kotetsu masih menggerumbel. Meskipun Izumo tahu bahwa Kotetsu sendiri sebenarnya salah satu orang yang menganggumi sang alpha.
"Hey, ngomong-ngomong, mereka bilang sang pahlawan adalah alpha yang paling kuat. Kau pikir ada alpha yang bisa mengalahkannya sekarang?" Izumo bertanya-tanya.
Kotetsu mengendikan bahunya. "Well, walaupun aku tak bisa membandingkannya. Aku yakin kalau alpha kita yang paling kuat sekarang dibandingkan dengan kage negara lain."
"Benarkah?" balas Izumo memandang ke langit dengan bertanya-tanya.
"Oh, lihat." Kotetsu menunduk dari pos jaganya di menara utara. "Apa itu rekrut baru kita?"
Dari atas dia bisa melihat segerombol pasukan berjalan menuju tempat latihan di sisi utara. "Kelihatan lemah." Ucapnya meremehkan. "Aku ragu diantara mereka ada yang bisa menjadi alpha."
"Well, kita tak akan tahu kan." Balas Izumo tak begitu peduli, meskipun bola matanya memperhatikan para shinobi baru itu dengan seksama.
.
.
.
.
Ibiki mendesah pasrah. Ia tak habis pikir kenapa ia yang harus menjadi 'Alpha' untuk para rekrut baru. Jujur saja, ia merasa tak pantas menjadi pelatih. Seharusnya Anko saja yang terbiasa menjadi guru. Kalau tidak Kurenai, Iruka, atau Kakashi mungkin?
Kalau masalah selidik menyelidik, menginterogasi kriminal sih dia ahlinya, tapi melatih shinobi baru?
'Sigh' Ibiki menghela napas untuk yang sekian kalinya. Namun tentu saja, keluhannya itu sama sekali tak terlihat. Wajah angkernya saja sudah cukup membuat rekrut baru ketakutan melihatnya. Mereka tak cukup jeli untuk bisa membaca raut wajahnya. Ninja-ninja baru itu sudah keburu ngeri sebelum bahkan menatap matanya.
Heh, mereka bahkan masih belum pantas untuk disebut ninja, apalagi genin. Di hadapannya sekarang hanyalah sekelompok remaja yang baru saja lulus dari akademi ninja. Yang mengaku-ngaku ingin menjadi bagian dari tingkatan Shinobi.
Jika harus dibandingkan dengan atasannya, bocah-bocah di depannya sih hanya sekumpulan omega. Ya, mereka tak ada apa-apanya. Dirinya bahkan hanya mampu menempati posisi Gamma. Di atasnya masih ada para Beta dan Alpha.
Meskipun begitu, Ibiki tak bisa diremehkan. Ia adalah seorang Gamma, itu jika ia dibandingkan dengan Superior Alpha yang memimpin desa ini. Ibiki juga pernah menjadi Alpha beberapa kali dalam memimpin pasukan saat penyerangan iblis.
Ibiki melirik barisan genin yang berjalan di belakangnya. Deretan pertama terdiri dari tiga orang. Ibiki bisa langsung melihat kalau tiga orang itu yang memimpin barisan. Mereka terlihat percaya diri dan berkemampuan.
Alpha potensial sangat mudah ditebak. Mereka adalah gerombolan dominant sangat percaya diri, angkuh, dan sombong. Sering menjadi kelompok pemimpin dalam lingkaran sosial mereka. Mudah sekali ditebak dari cara mereka berjalan tegak tanpa rasa takut. Sedangkan para beta biasanya akan berjalan mengikuti di belakang para alpha. Berjalan percaya diri dan penuh kemampuan, namun menahan diri agar tak terlalu terlihat melebihi sang alpha. Mereka berusaha menjadi kaki tangan yang terpercaya. Sedangkan sisa barisan di belakangnya sulit ditebak. Pada akhirnya hanya waktu yang akan menunjukan siapa yang sebenarnya alpha atau beta di antara mereka. Seseorang yang awalnya sangat lemah dan tak kelihatan bisa saja menjadi alpha yang sangat kuat di masa depan.
Ibiki berhenti berjalan setelah sampai di tengah lapangan, lalu berbalik menatap satu per satu anak dalam barisan itu. Kedua tangan dilipat di belakang pinggang. Menunjukan bahwa ia sedang santai. Yah hanya untuk penampilan. Disini ia akan bertindak sebagai alpha, ia tak bisa begitu saja menunjukan tangan kosongnya di hadapan bocah-bocah puber yang hanya akan melihatnya sebagai tantangan.
Ibiki berdehem keras untuk menarik perhatian barisan di depannya sebelum bicara. "Namaku Ibiki Morino. Mulai sekarang aku akan menjadi alpha kalian selama pelatihan ini berlangsung." Ucapnya memulai. "Itu berarti tak ada satu orang pun dari kalian yang bisa menjadi alpha lagi sekarang." Tambahnya yang segera menuai reaksi.
Beberapa dari mereka mengeluarkan suara protes. Ada yang mendelik tak suka, memasamkan wajahnya tanda bahwa mereka tak menerima keputusan itu. Meskipun begitu, tak ada yang membuat pergerakan. Sepertinya bocah-bocah itu tahu, bahwa peringkat jounin itu bukanlah kemampuan yang main-main.
"Aku tak akan banyak bicara. Jadi langsung saja aku jelaskan disini. Mulai dari sini kalian akan dilatih untuk menjadi pasukan shinobi yang kuat. Kalian akan dibagi menjadi 9 tim yang terdiri dari 4 anggota. Pembagian ini akan menentukan kekuatan dan posisi kalian. Karena itu…" Ibiki melirik pemuda dengan tubuh tertinggi dalam barisan. "Hey, kau." Panggilnya.
Pemuda yang dimaksud sedikit tersentak. Sepertinya ini pertama kalinya ia tampil terdepan. Yah, berbadan tinggi bukan berarti ia adalah seorang alpha. Kemampuannya itu akan harus ia tunjukan sekarang.
"Tegaskan." Perintah Ibiki tanpa basa basi.
"Um?" Pemuda itu menatap bingung, seolah tak mengerti apa yang baru diperintahkan untuknya.
"Apa? Kau tidak tahu caranya menegaskan?" ejek Ibiki meremehkan.
Pemuda itu menoleh ke kanan dan kirinya dengan canggung. Lalu membusungkan dadanya dengan tinggi untuk menunjukan bahwa ia seorang pemimpin. Ia menarik napas kuat sebelum membentakan suara. "Berlutut!"
Zreegg!
Hampir semua anak dalam barisan berhasil ia tundukan. Hanya tersisa beberapa anak yang tak mempan oleh pengaruh assert-nya. Ya, Assert.
Itu yang harus dilakukan seorang alpha untuk menegaskan pada bawahannya kalau ia adalah sang pemimpin. Sebuah penegasan.
Pemuda berbadan tinggi itu menyeringai puas. Ini pertama kalinya ia melakukan penegasan. Biasanya ia hanya seorang beta. Namun setelah mencoba, hasilnya tak terlalu buruk. Ia berhasil membuat lebih dari setengah dari barisan itu berlutut padanya.
Ibiki mengangguk kecil melihat usaha pemuda tinggi itu. Lalu melirik ke barisan. "Bagi kalian yang tak berlutut segera pindah ke sisi kanan bocah itu." Perintahnya mengatur ulang barisan itu. Dengan begitu anak yang lebih kuat akan pindah ke samping kanan. "Baiklah, kau yang paling kanan," tunjuknya pada bocah gendut berambut coklat.
"Lakukan penegasan."
Dan mereka pun mulai satu persatu melakukan penegasan. Yang lebih kuat akan pindah ke samping kanan. Lalu dilanjutkan penegasan lain hingga semuanya mendapat jatah menegaskan. Barisan itu pun akhirnya terbentuk dari yang paling kanan merupakan yang paling kuat, sedang yang paling kiri merupakan yang paling lemah, yang tidak lain adalah calon omega.
"Kau tak perlu melakukan penegasan." Perintah Ibiki pada seorang pemuda kecil berambut pirang jabrik dengan mata biru. Di kedua pipinya terdapat tiga garis bekas luka seperti kumis.
Pemuda pirang itu berkedip gugup, lalu mengangguk cepat.
Apa boleh buat, dari sekian anak dalam barisan, hanya pirang itulah yang berlutut ke semua penegasan yang teman-temannya lakukan. Bahkan ia juga berlutut pada bocah terakhir yang melakukan penegasan. Sudah jelas sekali kalau pemuda pirang itu adalah yang paling lemah. Bukan, tepatnya seorang omega yang paling lemah.
Akan sangat memalukan jika bocah pirang itu harus tetap melakukan penegasan namun tak ada yang berlutut padanya kan?
Beberapa anak di sebelah kanan bahkan mulai menertawainya.
Barisan itu lalu dibagi menjadi sembilan tim dengan empat anggota. Dengan Ibiki sebagai Alpha, maka setiap tim terdiri dari Beta, Gamma, Delta, dan Omega. Sang Beta dalam tim lah yang akan menjadi pemimpin saat Ibiki tak ada.
"Tim ini akan berlaku selama pelatihan. Peringkat kalian akan terus berganti sesuai dengan kemampuan masing-masing. Karena itu aku minta kalian melakukan penegasan setiap pagi untuk melihat perkembangan kemampuan kalian." Ucap Ibiki menjelaskan.
"Baiklah. Instruksi latihan akan dijelaskan nanti. Jika ada pertanyaan, ataupun masalah, datanglah padaku. Apa kalian mengerti?"
Ibiki menyipitkan matanya saat balasan yang ia dapat adalah gerutuan dan gumaman. "Saat alpha bertanya, kalian harus menjawabnya dengan 'Ya, Alpha', 'Tidak, Alpha', mengerti?" ucapnya dengan penekanan.
Serempak, barisan itu pun langsung menjawab dengan "Ya, Alpha."
"Bagus." Ibiki mengangguk puas. "Sekarang, kalian semua…" ia memberi penekanan keras dalam suaranya sebelum berkata "Berlutut!"
Barisan lima tim itu pun tersentak kaget. Bunyi debaman keras dengan serempak terdengar saat lutut mereka jatuh bersamaan menempel tanah. Efeknya cukup kuat. Semuanya membelalakan mata dengan ngeri. Berjengit menahan sakit pada lutut mereka. Beberapa terlihat shok karena merasakan tekanan menakutkan dari perintahnya.
Well, sudah lama ia tak menjadi alpha. Tidak buruk.
.
.
.
.
.
.
Sasuke meletakan buku tebal berisi sejarah perang dunia itu kembali ke dalam rak. Ia sudah selesai membacanya ulang. Kaca kuncinya adalah 'ulang'. Itu artinya ia sudah pernah membaca buku itu, dan mengulanginya lagi.
Buku itu berisi tentang bagaimana perang antara manusia melawan iblis empat ratus tahun yang lalu. Meskipun ada banyak buku yang sudah diadaptasi isinya, bahkan ada yang isinya sudah banyak dirubah. Sasuke tetap akan membacanya.
Ia menyukai hal-hal yang berbau iblis.
Pemuda raven ini sangat tertarik dengan para makhluk berwujud buruk rupa itu. Sejujurnya, Sasuke tak mengerti apa yang sebenarnya membuatnya begitu tertarik dengan dunia iblis. Ada sesuatu yang membuatnya ingin mempelajari kaum kejam itu. Sasuke tak tahu.
Ia merasa harus mempelajarinya. Memahaminya.
Saat Sasuke sadar, ia sudah menjadi begitu terobsesi dengan klan iblis.
Kakaknya mengira, ia hanya terobsesi untuk menjadi yang terkuat. Yah mungkin benar. Sasuke memang ingin mengalahkan klan iblis. Mengalahkan sang raja iblis. Dengan mengalahkan mereka, Sasuke akan menjadi yang terkuat. Menjadi pahlawan yang diakui semua orang. Itu adalah keinginannya.
Sesuatu yang seharusnya menjadi obsesinya.
Tapi, salahkah jika Sasuke berpikir bahwa ia juga ingin…. mengenal mereka… ?
Mereka, para iblis yang pernah menghancurkan dunia manusia…
Sasuke menggelengkan kepala, menghilangkan pikiran itu dari kepalanya. Ia menghela napas. Lalu berjalan keluar dari perpustakaan.
Angin malam segera menyerbu saat ia berjalan keluar melewati koridor. Sasuke menerawang ke atas langit. Terdiam sebentar sebelum memantapkan pikirannya.
Ia berjalan ke kamar untuk mengambil kusanagi, lalu keluar lagi untuk meninggalkan pemukiman klan Uchiha. Ia berjalan menuju menara hokage, namun berjalan melewatinya hingga sampai di tebing patung hokage. Ia menaikinya hingga berada di atas tebing.
Tak jauh dari sana, terdapat sebuah monumen. Sebuah patung batu berdiri kokoh di tengah. Patung itu berbentuk manusia. Tidak, tepatnya berbentuk seorang pemuda. Seorang shinobi. Di tangan kanannya terdapat sebuah pedang panjang, mengacung ke atas dengan gagah seperti seorang kesatria yang sedang memimpin. Patung itu memiliki rambut panjang bergaya sedikit berantakan, wajah yang tampan, dan mata yang tajam. Memakai kimono berjubah warna putih.
Ialah sang pahlawan.
Sang Kesatria Perang yang telah memenangkan perang melawan iblis.
Sasuke sangat mengagumi sosok itu. Meskipun ia hanyalah sebuah patung sekarang. Namun patung itu adalah simbol kemenangan manusia melawan iblis.
Terkadang Sasuke merasa iri. Ia ingin menjadi seperti pahlawan itu.
Hanya sang pahlawan lah, satu-satunya orang yang pernah melihat sosok raja iblis, bahkan berhasil mengalahkannya.
Raja iblis akan bangkit lagi di dunia manusia. Itu hal yang dikatakan ramalan.
Bukannya takut, Sasuke justru merasa senang. Sebentar lagi ia akan mendapat kesempatan untuk berhadapan dengan raja iblis. Kesempatannya untuk menjadi seperti sang pahlawan.
Sebuah pergerakan kecil tiba-tiba tertangkap oleh sudut matanya. Sasuke menoleh pada sumber gerakan itu. Berjalan mendekati hingga akhirnya ia bisa melihat jelas pemandangan disana.
Dua mata oniksnya menyipit saat menangkap sosok seseorang yang sedang berdiri di depan patung. Sosok seorang pemuda. Ia berambut pirang berantakan yang memanjang sampai ke punggung. Memakai kimono berjubah putih. Sasuke tak bisa melihat jelas wajahnya karena syal merah yang menutupi setengah wajah pemuda itu.
Pemuda itu menatap lurus pada patung di depannya. Hanya berdiri diam disana seperti sedang melihat sang pahlawan dengan seksama.
Sasuke pun mengernyit. Ada aura misterius yang datang dari pemuda itu. Sesuatu yang tak lazim. Sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sekali lihat pun Sasuke dapat mengetahui kalau pemuda itu seorang dominant. Seorang dominant dengan aura yang sangat aneh. Sangat kuat, namun berbeda.
Sasuke tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok itu.
Lagipula siapa yang akan keluar selarut ini hanya untuk menatap patung selain dirinya? Tempat ini adalah tempat favoritnya. Sasuke selalu kemari hampir setiap malam. Namun ini pertama kalinya ia melihat sosok pemuda itu.
Kenapa? Apa yang dilakukannya disini?
Belum sempat menanyakan hal itu, pemuda pirang itu tiba-tiba bergerak pergi. Dengan refleks, Sasuke langsung berjalan mengikuti. Namun sosok itu bergerak sangat cepat. Dalam sekejap sudah menghilang menuruni tebing. Sasuke pun terpaksa berlari mengejar.
"Tunggu!"
Pemuda raven itu menambah kecepatan. Ia menoleh kesana kemari mencari sosok misterius itu. Namun sepertinya keberuntungan sedang tak berpihak padanya. Sasuke kehilangan jejak pemuda itu setelah turun dari tebing. Tak ingin menyerah ia terus berlari, mengikuti jejak-jejak yang tersisa. Ia melompat ke atas atap sebuah rumah. Melihat jauh dari atas untuk mencari sosok itu.
Sebuah pergerakan kecil tertangkap oleh matanya. Dengan cepat ia pun turun dari atap dan mengejarnya. Tak memakan waktu lama, Sasuke berhasil mengejarnya. Ia menarik pundak sosok yang ia kejar lalu membalikannya. Mendorongnya ke dinding hingga mereka berhadapan satu sama lain.
"Kau—"
Apapun yang ingin dikatakan Uchiha bungsu itu terhenti saat menyadari sosok yang ia tangkap sekarang berbeda dari yang ia kejar. Pemuda itu seharusnya bertubuh tinggi, berambut pirang panjang dan memakai kimono putih. Tapi di depannya sekarang…
Sasuke menatap sosok di depannya dengan kernyitan. Seorang pemuda yang juga berambut pirang. Namun pemuda di depannya ini bertubuh pendek dan kecil. Tingginya bahkan hanya sampai pundak Sasuke. Rambut pirangnya juga tak panjang, melainkan pendek dan jabrik berantakan. Terdapat tiga garis bekas luka di masing-masing pipinya.
Sasuke melepas cengkeraman tangannya dari pundak pemuda atau bocah (?) pirang di depannya, lalu berjalan mundur untuk menjaga jarak. Ia mendelik, merasa kesal karena pencariannya berakhir gagal dan malah menemui bocah cebol yang entah siapa. Ia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu namun terhenti saat dua mata shappire bocah pirang itu menatap oniksnya.
Degh.
Sasuke menekan dadanya dengan bingung. Sesaat, ia merasa detak jantungnya berhenti. Hanya sesaat. Satu dua detik. Entah, ia bahkan tak yakin. Sasuke mengernyit semakin bingung saat bola mata shappire itu melebar terkejut. Lalu bibir pemuda itu mulai terbuka dan mengeluarkan suara—
"Sasuke…"
Sasuke membelalakan matanya.
"Bagaimana kau tahu namaku?!" desis pemuda raven itu curiga. "Apa—Siapa kau sebenarnya?!"
Pemuda pirang itu hendak membuka mulutnya lagi, namun berhenti dan merapatkannya kembali. Ia berjalan mendekati sang raven. Mengulurkan tangan kanannya untuk menyentuh wajah sang raven seolah ingin memastikan.
"Sasuke…" panggilnya lagi dengan suara lirih.
Sasuke menampar tangan itu. Berjalan mundur menjauh dan menjaga jarak. "Apa yang kau inginkan?!"
Dua shappire itu lalu berubah sendu. Pemuda pirang itu terdiam. Kemudian tiba-tiba menoleh ke samping seolah mendengar sesuatu.
"Ada orang yang sedang berjalan kemari." Ucapnya pelan.
"Huh? Aku sedang bertanya denganmu, dobe." tuntut Sasuke tak terima. Ia meletakan satu tangannya pada pinggang. Menunjukan bahwa ialah sang alpha di antara mereka. Sasuke bisa menebak kalau pemuda pendek di depannya hanyalah seorang submissive, tak mungkin statusnya melebihi gamma. Ia bisa memanfaatkan posisinya sebagai dominant untuk menarik informasi dari pemuda di depannya.
Bukannya menjawab, pemuda pirang itu justru menampilkan senyum. Senyum yang sangat tipis. Namun Sasuke yakin sudah melihatnya.
Lalu entah apa yang terjadi, Sasuke tiba-tiba merasa matanya menjadi sangat berat. Kantuk seolah menyerangnya. Tubuhnya menjadi lemas dan tak bertenanga. Sasuke tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Yang ia ingat hanyalah syal merah tak asing yang dipakai pemuda di depannya. Sebelum selanjutnya semua pandangannya menjadi gelap.
.
.
.
.
.
"Hah!"
Sasuke bangun dengan tersentak. Napasnya tersengal-sengal dan keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia seperti baru saja mengalami mimpi buruk. Padahal sebenarnya ia sama sekali tak bermimpi. Aneh.
Pemuda raven itu menoleh ke sekelilingnya, menemukan dirinya berada di atas futon. Di dalam kamarnya sendiri. Mata oniksnya membelalak saat menyadari sesuatu yang ganjil. Tunggu semalam—!
Apa yang sudah terjadi semalam…?!
Sasuke ingat ia pergi ke monumen pahlawan. Lalu melihat sosok pemuda berpenampilan misterius yang tiba-tiba muncul disana. Ia ingat sudah mengejarnya sampai ke bawah tebing. Tapi setelah itu…
Setelah itu apa yang terjadi?
Bagaimana caranya ia kembali kemari?
Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan dalam kepalanya.
Sasuke segera beranjak dari futon tidurnya. Ia mengernyit saat melihat bajunya masih sama seperti yang ia pakai semalam. Aneh. Ia selalu mengganti bajunya menjadi kimono tidur sebelum tidur. Itu berarti kalau Sasuke tak tidur karena keinginannya sendiri. Seseorang sudah membawanya kemari…
Tanpa membuang waktu, Sasuke segera berganti baju, mencuci muka dan membersihkan diri sebelum keluar kamar dan berjalan menuju ruangan kakaknya. Disana, sang kakak sudah memegang berkas laporan seperti yang ia duga.
"Selamat pagi, Niisan." Sapanya pada sang kakak.
"Otoutou." Itachi mengangguk kecil dan tersenyum. Menaikkan satu alis saat menangkap gerak gerik aneh dari adiknya. "Apa terjadi sesuatu, Sasuke?"
"Niisan, semalam—" Sasuke menghentikan kalimatnya saat menyadari sesuatu. Ia tak bisa memberi tahu kakaknya begitu saja kalau semalam ia sudah pergi ke monumen. Kakaknya akan menanyai apa sebenarnya yang ia lakukan disana.
Tapi bagaimana jika memang kakaknya yang sudah memindahkannya dari monumen kemari?
Tidak. Itu tidak mungkin. Kemungkinannya terlalu kecil. Kakaknya bukan orang yang suka pergi saat malam hari, apalagi selarut itu. Lalu siapa yang sudah melakukannya?
"Otoutou?" Itachi menatap kediaman adiknya dengan heran.
"Tidak, Niisan. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja" putusnya menjawab dengan senyuman kecil.
"Baiklah… jika kau bilang begitu, otoutou." Itachi menatapnya selidik. Sasuke tahu kakaknya tak akan semudah itu percaya. Tapi untuk sekarang, ia terpaksa membiarkannya.
"Bagaimana ujiannya? Kau sudah melakukan persiapan?" tanya Itachi membuka pembicaraan.
"Oh, iya. Ujiannya minggu depan. Neji dan Kiba juga akan ikut." Balas sang adik. "Kami janji bertemu hari ini, kurasa sebaiknya aku pergi sekarang." Lanjutnya lagi.
"Sampai nanti, Niisan." Sasuke menurunkan pandangannya sedikit pada kakaknya, lalu mendongak lagi, sebelum ia berbalik dan meninggalkan ruangan itu.
Berbeda dengan yang ia katakan, ia tak pergi menemui Neji dan Kiba. Ia sudah berbohong soal janji itu.
Sasuke berjalan menuju monumen pahlawan. Berniat memeriksa tempat itu sekali lagi. Namun sepertinya memang hanya berhasil percuma. Ia tak menemukan jejak apapun disana.
Pemuda yang ia lihat semalam sangat asing. Ia belum pernah melihatnya sebelumnya di desa konoha. Jelas sekali pemuda itu bukan orang Konoha. Tidak mungkin itu seorang penyusup kan?
Penjagaan di Konoha cukup ketat. Siapapun yang masuk kemari harus menjapat ijin langsung dari alpha. Jadi seharusnya penjaga sudah tahu tentang kedatangan pemuda misterius itu. Mungkin sebaiknya ia melihat data perijinan keluar masuk desa.
"Oii Sasuke!"
Sasuke menoleh pada suara yang memanggilnya. Neji dan Kiba berjalan berdampingan ke arahnya. Di belakangnya juga terlihat Shikamaru yang juga berjalan mengikuti sambil menguap. Tak lupa Akamaru yang juga langsung berlari ke arahnya.
Pemuda raven itu membalas sapaan mereka dengan seringaian kecil. "Apa yang kalian lakukan disini?"
"Bagaimana denganmu?" Neji membalas seringainya. "Kami mau latihan bersama untuk ujian."
"Yeah! Kau mau ikut? Jangan seperti Shika! Aku harus menyeretnya dulu baru dia mau gerak." Oceh Kiba dengan mencibir pada sang rambut nanas.
"Mendokusai…" Shikamaru hanya menggerutu kecil. Terlihat sekali dia sangat malas untuk latihan.
Sasuke menatap teman-temannya sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan seringai kecil.
"Oke."
.
.
.
Tak sampai sepuluh menit mereka sudah sampai di hutan tempat mereka biasa berlatih. Namun sepertinya mereka lupa kalau rekrut baru sudah mulai latihan mereka. Jadi hampir semua tempat latihan sudah dipakai.
Akamaru saja mulai menggonggong keras memberi tahu mereka bahwa hutan yang mereka datangi sudah ditempati orang.
"Tunggu, kita harus lihat ini." Cegah Kiba tiba-tiba, menyeret teman-temannya untuk berteduh di bawah sebuah pohon rindang. Dari pohon itu mereka bisa mengamati para rekrut baru yang sedang berlatih tak jauh dari sana. "Aku ingin lihat bagaimana para junior kita."
"Mendokusai…" Shikamaru dengan mata kantuknya menggerumbel. Dia tanpa buang waktu langsung berbaring menyenderkan diri pada batang pohon lalu menutup matanya. Tentu saja, bagi pemuda nanas itu tidur adalah yang nomor satu.
"Tidak ada yang terlihat istimewa dari mereka." Komentar Neji dengan nada meremehkan. Dia melipat kedua tangannya di depan dada lalu menyenderkan punggungnya pada batang pohon.
Sedang Sasuke tak mengatakan apapun. Ia hanya berdiri di sisi pohon. Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana dan mata oniksnya mengamati satu per satu wajah para shinobi baru itu. Pemuda raven itu sedang mencari sosok pemuda misterius yang ia lihat di depan patung semalam. Tapi tak ada satu pun dari ninja di depannya yang memiliki ciri-ciri yang sama.
"Kyaaaaaaa!" teriakan melengking dan memekikan telinga tiba-tiba terdengar, menarik perhatian empat pemuda itu. Dua orang gadis berlari mendekati mereka. Memasang ekspresi yang Sasuke yakin akan membawa hal yang sangat merepotkan.
"Sasuke-kun! Kau adalah Uchiha Sasuke-kun kannn?" suara mereka dengan segera melengking lagi.
Damn. Sudah ia duga bakal seperti ini. Pemuda raven itu merutuk dalam hati.
"Hn."
"Apaaa? Untuk apa kalian kemari?" Kiba langsung menyela dengan nada mencibir. Di sampingnya Neji terkekeh dengan nada mengejek.
Dua gadis itu tak menghiraukan Kiba, malah semakin bertingkah genit dengan menempelkan diri di sisi tangan Sasuke. Satu memiliki rambut pirang panjang yang diikat kuda, sedang satunya lagi memiliki rambut merah muda pendek sebahu.
"Sasuke-kun! Ini pasti takdir kita bisa bertemu disini! Namaku Sakura—
"Berisik, dahi lebar! Sasuke-kun, abaikan saja dahi lebar itu. Kau hanya boleh mendengarkanku. Namaku Ino—
"Shut up Ino-pig! Sasuke-kun adalah milikku—
"Apa kau bilang?! Sasu—
"Berisik."
Sensasi merinding segera menyebar ke seluruh tubuh dua gadis itu saat suara berat itu terdengar. Sakura dan Ino mematung. Dua mata mereka terbelalak ngeri.
Mereka tersentak saat tangan yang mereka gantungi dari tadi tiba-tiba menyingkirkan tubuh mereka dengan kasar.
"Menjauh dariku."
Sasuke menatap dua gadis itu dengan tajam. Lalu mengusap-usap tubuhnya seolah sedang mnyingkirkan sesuatu yang menjijikan karena ditempeli dua gadis itu barusan.
"Apa yang kalian tunggu? Aku bilang menjauh dariku." Perintah Sasuke penuh penekanan.
"T-tapi—"
"Pergi."
Degh.
Sesuatu yang berat seperti ditumpahkan pada tubuh dua gadis itu. Tubuh mereka merinding dan terasa berat. Muka mereka pun langsung merah padam karena malu. Perintah dari Sasuke membuat tubuh mereka seperti tak berfungsi. Mereka tak bisa menolak saat tubuh mereka diperintahkan untuk pergi menjauh dari Sasuke. Bergerak sendiri melawan keinginan mereka. Mereka tak ingin melakukannya. Tapi perintah itu seperti hipnotis. Saat tubuhnya akhirnya menuruti perintah itu. Ada sensasi puas tersendiri yang muncul karena sudah menuruti perintah sang dominant di depan mereka. Sangat berlawanan keinginan awal mereka yang ingin tetap berada disana.
"B-baik..." ucap dua gadis itu dengan terbata seraya berjalan pergi.
Kiba tergelak melihat tingkah bodoh dua gadis barusan. "Bitch!" ejeknya dengan menyeringai.
"Submissive rendahan. Mereka hanya bisa menyebar feromon kemana-mana." Decak Sasuke tak suka.
"Mereka omega." Komentar Neji menyeringai. "Mereka cuma bisa cari muka dengan menempel pada alpha." Ucapnya dengan nada mengejek.
"Kalau begitu kenapa tidak kau saja yang menerima mereka, Neji?" ucap Kiba dengan terkekeh. "Bukankah kebanyakan submissive berkualitas itu berasal dari omega?"
"Jangan bercanda." Ucap Neji bergidik. "Aku masih punya batasan. Hyuuga tak akan memilih submissive rendahan."
"Mereka menjijikan." Tambah Sasuke dengan ekspresi jijik.
"Gadis berambut pink itu… dia bukan seorang omega dalam kelompoknya kau tahu." Shikamaru yang dari tadi diam tiba-tiba berbicara.
"Huh? Apa maksudmu, Shika?"
"Lihat." Shikamaru menudingkan kepalanya ke arah kelompok yang ia maksud.
Dalam kelompok itu ada empat orang bergerombol. Pemuda yang berdiri paling depan memiliki rambut hitam pendek yang terlihat klimis. Kulitnya putih pucat. Dia memakai kaos hitam nanggung yang tak sampai menutupi pusarnya. Dari keempat orang itu, pemuda inilah yang terlihat menjadi pemimpin. Ia berdiri tegak dan percaya diri. Sesekali memberi perintah pada tiga orang lainnya.
Selanjutnya ada pemuda yang terlihat lebih muda dari ketiga temannya. Rambutnya pendek jabrik berwarna coklat. Dia memakai syal biru di lehernya. Dari gerak-geriknya terlihat bahwa pemuda ini adalah orang nomor dua dalam kelompoknya.
Lalu yang ketiga justru adalah gadis berambut merah muda barusan. Sakura menempati posisi delta dalam kelompok itu. Tugasnya memang mengikuti perintah sang alpha. Namun bukan dia yang paling lemah dan memiliki tugas paling banyak dalam kelompok itu.
Sang omega dalam kelompok itu adalah pemuda berikutnya. Tubuhnya paling kecil di antara ketiga yang lainnya. Rambutnya pirang, bergaya pendek jabrik yang berantakan. Di dua pipinya terdapat tiga garis seperti bekas luka yang mirip kumis rubah. Dan matanya…
Sasuke tersentak saat mata oniksnya tiba-tiba bertabrakan dengan dua mata shappire. Pemuda pirang itu tiba-tiba menoleh ke arahnya. Seperti sadar bahwa dirinya sedang diamati. Mata biru pemuda pirang itu bertemu langsung dengannya. Namun bukannya menunduk seperti yang seharusnya dilakukan oleh submissive pada umumnya, pemuda pirang itu justru terus menatap Sasuke.
Sasuke menekan dadanya. Kernyitan muncul di dahinya saat perasaan aneh muncul dalam dadanya. Apa ini?
Apa-apaan mata biru itu?
Mata biru itu… rasanya tak asing.
Dimana Sasuke pernah melihatnya?
Dimana?! Sasuke yakin pernah melihatnya. Mata biru itu…
"Huh? Sasuke?!"
Kiba tersentak saat pemuda raven di sampingnya tiba-tiba saja bergerak menuju kelompok yang sedang mereka amati. Merasa bingung, ia pun berlari mengejar temannya. Neji pun menaikan alis heran, namun akhirnya memutuskan untuk mengikuti mereka.
Sasuke berhenti tepat di depan pemuda pirang yang masih menatapnya itu. Ia mencengkeram kerah jaket oranye sang pirang dan menatapnya tajam. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" desisnya.
Pemuda pirang itu berkedip lucu, lalu menjawab dengan tampang polos yang membuat kernyitan di dahi Sasuke bertambah. "Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan." Jawabnya dengan nada tak bersalah.
"Jangan pura-pura bodoh." Desis Sasuke. Namun pemuda raven itu masih menahan nada suaranya. Ia melepas cengkeraman tangannya dan menjaga jarak. Sebagai dominant, ia harus tetap bersikap tenang. "Kau, apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Ah?" Pemuda pirang itu memiringkan kepalanya dengan bingung. "Seingatku ini pertama kalinya kita bertemu, umm…"
"Uchiha Sasuke." Sasuke menyelesaikan kalimat sang pirang. Dua mata oniksnya kini menyipit dengan curiga.
"Ah, ya, Uchiha-san." Pemuda pirang itu memasang cengiran. Tiga garis di dua pipinya langsung mengkerucut lucu karenanya. "Kurasa memang ini pertama kalinya kita bertemu heheheh…" ia menggaruk belakang kepalanya dengan malu.
"Lalu kenapa barusan kau menatapku seperti itu?" tanya Sasuke masih tak mempercayainya.
Semu merah tiba-tiba muncul dari ujung telinga pemuda pirang itu lalu menyebar memenuhi wajahnya.
"U-umm, maaf barusan aku hanya…"
Blush.
Pemuda pirang itu mengalihkan pandangannya dengan malu.
Sasuke menatap takjub perubahan sangat drastis warna muka pemuda pirang itu. Kini wajahnya merah padam seperti tomat. Kenapa dia…
"Wow, manis sekali." Celetuk Kiba tiba-tiba dari sampingnya.
What?
Manis? Pemuda ini?!
"Kurasa dia menatapmu karena jatuh cinta denganmu, Uchiha." Ejek Neji dengan kekehan kecil.
"Hn." Sasuke memutar bola matanya ke samping. Ia melirik lagi pemuda itu, lalu melihat wajahnya dengan seksama. Well...
"Siapa namamu?"
"E-eh..." Pemuda pirang itu sedikit tersentak. Seperti tak menyangka akan ditanyai namanya. "N-naruto. Namaku Naruto."
"Naruto." Sasuke memanggil nama itu dengan pelan seolah sedang mencoba rasanya. Dia lalu menyeringai. "Oke, sampai ketemu lagi, Naruto."
"Y-ya." Jawab Naruto dengan pipi yang kembali bersemu merah.
Dia menatap Sasuke dan teman-temannya sampai benar-benar pergi. Lalu setelah sosok mereka benar-benar lenyap, semu merah di pipinya langsung menghilang seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.
Mata shappirenya meredup. Cahaya disana menghilang menjadi sendu. Lalu bibirnya merapat membentuk garis datar.
"…sampai ketemu lagi… huh?"
Pemuda pirang itu berdecih.
.
.
.
.
.
Warna merah kekuningan mulai muncul menghiasi langit sebelah barat. Dari timur warna gelap sudah mulai menyelimuti. Malam akan segera tiba.
Di sebuah apartemen sederharna, seorang pemuda terlihat berjalan dengan terburu-buru menaiki tangga. Pemuda itu berhenti di depan sebuah kamar apartemen, lalu membukanya cepat. Ia berjalan masuk dan segera mengunci pintunya kembali.
Kamar apartemen itu berukuran kecil, hanya terdiri dari satu ruangan yang berisi tempat tidur, meja, dapur kecil, satu lemari es, satu kloset, tanpa tv ataupun peralatan mewah lain. Lalu tak lupa juga kamar mandi yang berada di dekat pintu depan. Terdapat juga satu jendela di samping tempat tidur, namun tertutup dengan tirai biru. Kamar itu sangat sederharna.
Pemuda itu berambut pirang jabrik, dengan asal melepas jaket oranyenya lalu membuangnya ke lantai. Ia melepas juga kaos hitam yang membungkus tubuh rampingnya, dan membuangnya lagi ke lantai. Setelah itu, celana panjang berwarna oranyenya juga ikut menyusul. Kini pemuda itu berdiri di tengah ruangan hanya dengan mengenakan celana boxer.
Dia menghela napas panjang.
Kemudian berjalan menuju kamar mandi, dan menyalakan shower. Air hangat segera mengguyur deras tubuhnya. Ia melepas boxer yang dipakainya lalu mulai membersihkan diri.
"Ah." Dia bergumam tiba-tiba. "Lebih lambat dari biasanya."
Pemuda pirang itu menyingkir dari shower, lalu berjalan menuju cermin besar dalam kamar mandi itu. Dia berdiri tepat di depan cermin. Mengusapkan telapak tangannya pada cermin untuk menyingkirkan bekas uap air dari sana.
Hal yang pertama kali ia lihat dalam pantulan cermin adalah dua mata shappire yang menatapnya balik. Ia mengusap seluruh bagian cermin, sehingga ia bisa melihat lebih jelas pantulan tubuhnya.
Tiga garis di dua pipinya menajam. Terlihat seperti bertambah tebal dan menyala. Mata shappirenya lalu berubah menjadi merah. Dengan perlahan ia bisa merasakan energi kekuatan di tubuhnya meningkat sedikit demi sedikit.
Tangannya yang kecil dan ramping mulai membesar. Bahunya melebar, otot di tubuhnya mulai membentuk, dan yang paling terlihat perubahannya adalah tinggi badannya. Pemuda yang tadinya hanya memiliki tinggi badan sekitar 150 cm itu kini membesar sampai 20 inci. Tubuhnya kini mencapai 190 cm. Lalu rambut pirangnya yang pendek dan jabrik mulai tumbuh. Terus memanjang hingga ke punggung.
Pemuda pirang itu mendesah pelan. Setelah seluruh perubahan tubuhnya selesai, barulah ia merasa relaks. Mata merahnya dengan perlahan kembali menjadi biru terang.
Biru kembali bertemu pantulan biru. Namun pandangan itu menerawang jauh. Jauh ke dalam ingatan masa lalunya.
Lalu sebuah senyuman terulas di bibirnya. Senyum yang sendu, namun penuh dengan nostalgia.
Ia berkata.
"Akhirnya aku bisa menemukanmu, Sasuke…"
.
.
.
.
.
to be continued...
Gimana paham ga? hahahaha xD
ceritanya bikin penasaran gak? bosenin gak? maap cuma 6k, karena fro capek kebanyakan word wkwkwk, jd mau mendekin chapter di bawah 10k, chap 2 tunggu minggu depan yak, fro nyelesein revisi RR dulu
Jangan lupa review! ^_^
