A Short Journey

.

.

.

Main Cast : Sehun (Shixeun), Kris, Luhan, Chen, Suho

Other Cast : You'll find out *plak

Genre : Family, Angst, Tragedy

Rated : T

WARNING : Typo(s) | OOC | a little bit Yaoi | DLDR!

.

Disclaimer : EXO are belongs to themselves!

Summary : Kisah persaudaraan dan persahabatan yang manis. Namun, berbalut luka dan berbayang dendam tersembunyi.


Luhan keluar dari pintu belakang Luo-Chen Restaurant sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku jaket. Ia menghembuskan napas. Gumpalan udara putih tipis keluar dari mulut dan hidungnya. Chen menyusulnya keluar sambil mengunci pintu.

"Ayo pulang, ge," Chen juga langsung memasukkan kedua tangannya di saku jaket tebalnya begitu selesai mengunci pintu. Luhan mengangguk dan mengeluarkan kunci mobil dari saku jaketnya. Keduanya melangkah cepat menuju parkir mobil, buru-buru masuk ke dalam ketika salju mulai turun.

"Masih Oktober dan cuaca di Seoul sudah seperti mendekati Natal saja," sungut Luhan ketika sudah duduk di depan kemudi. Ia menyalakan mesin Hyundai putihnya, lalu melihat Chen telah duduk di sampingnya sambil memasang sabuk pengaman, ia pun mulai menjalankan mobilnya.

Jalanan kota Seoul tetap saja ramai pada jam 2 dini hari. Bubble tea pahit yang beberapa saat lalu diminum Luhan terbukti membantunya lebih konsentrasi pada lalu lintas di depannya, sementara Chen sudah terkantuk-kantuk di sampingnya.

Luhan menghidupkan radio, berhenti pada stasiun radio dimana penyiarnya tak hentinya mengoceh dalam bahasa Korea dan tertawa-tawa. Chen tidak terganggu, kini kepalanya bahkan sudah bersandar pada sandaran kursi, napasnya teratur.

Hal yang dibutuhkan Luhan sekarang adalah mendengar suara manusia di dalam mobilnya, agar ia tidak ikut tertidur seperti Chen. Biasanya restoran mereka tutup jam 12 malam, tetapi hari ini mundur 2 jam karena digunakan untuk pesta ulang tahun salah seorang pelanggan tetap mereka. Pesta itu tidak seperti pesta ulang tahun biasa, karena ada live performance dan battle dance segala. Mirip seperti klub malam, begitu kata Kai, rekan kerjanya yang bertanggung jawab di bagian kasir. Kai juga didaulat sebagai MC dadakan.

Dalam acara tadi, sempat terjadi insiden di dapur ketika Baekhyun tak sengaja menyenggol nampan minuman yang hendak dibawa keluar oleh Chanyeol. Nampan itu tidak sampai jatuh, minuman di atasnya hanya tumpah sedikit, tapi Chanyeol memarahi Baekhyun habis-habisan. Keduanya ribut sampai Luhan dan Xiumin harus meninggalkan pekerjaan mereka menyiapkan kue ulang tahun untuk melerai Baekhyun dan Chanyeol. Tidak jarang duo happy virus ini sering bertengkar karena masalah sepele.

Luhan masih tenggelam dalam pikirannya tentang acara tadi, ketika melihat 4 pemuda, semua memakai hoodie, nampak berkerumun mengelilingi seseorang di pinggir jalan, tepatnya di sudut sebuah gang. Kedua matanya menyipit, merasa janggal melihat kejadian itu. Ia turunkan kecepatan mobilnya, menyorotkan lampu pada mereka sambil membunyikan klakson keras-keras.

Salah seorang pemuda berpaling ke arahnya, memberi aba-aba pada ketiga temannya, lantas mereka langsung berlari menjauh, dengan jaket dan tas ransel yang sepertinya berhasil mereka rampas.

Luhan menepikan mobil, mengguncang pundak Chen agar bangun. Chen siap mengomel pada saat hentakan tangan Luhan mengganggunya, tetapi ia terdiam ketika sepupunya itu menunjuk seseorang di pinggir jalan, tertelungkup diam tak bergerak.

Luhan turun dari mobil tanpa menunggu Chen bangun sepenuhnya. Salju tipis menyambutnya ketika ia berlari kecil mendekati sosok tersebut, berjongkok di samping badan korban 4 pemuda tadi yang menggigil kedinginan.

"Tuan, Anda baik-baik saja?" Luhan membalikkan tubuh orang tersebut dan mengembuskan napas keras-keras melihat luka memar di wajahnya dan gumpalan darah di keningnya. Kedua matanya membuka perlahan, tapi nampaknya ia kesulitan bicara.

"Astaga, dia masih anak-anak!" Chen telah sampai di samping Luhan, ikut berjongkok dan tampak kaget melihat sosok yang terbaring di depan mereka. Badan anak itu memang bongsor, mungkin tingginya sama dengan Kai, sehingga pada awalnya ia salah mengiranya sosok pria dewasa. Tapi, raut wajahnya benar-benar menunjukkan ia masih 'bocah', setidaknya dibandingkan dengan Chen dan Luhan. Chen menduga anak laki-laki di depannya masih SMA.

"Berikan jaketmu untuknya," kata Luhan cepat, memeriksa denyut nadi anak laki-laki tersebut.

"Kenapa harus jaketku?" Chen melirik Luhan, cemberut, tapi ia mulai melepas jaketnya juga.

"Karena kau memakai dua lapis jaket, sedangkan aku hanya pakai satu jaket, sedang dia tidak memakai jaket sama sekali, pabo!" gumam Luhan sebal. Ia menatap anak laki-laki di depannya dengan sorot prihatin, menyentuh bibirnya dengan tangan kanannya, mencegahnya untuk bicara.

"Dengar, kami tidak akan menyakitimu. Kami ingin menolongmu. Kita akan kerumah sakit sekarang, oke?"

Chen menyelimuti anak laki-laki tersebut dengan jaket hitamnya. "Ge, kau sadar barusan bicara padanya dalam bahasa Mandarin? Kurasa kau semakin membuatnya bingung,"

Luhan sepertinya tidak terlalu peduli dengan sindiran Chen. Ia membantu anak laki-laki tersebut untuk bangun, dan ketika anak itu tak mampu berdiri sendiri, Luhan dan Chen langsung memapahnya, membantunya masuk ke dalam mobil mereka.


Seoul International Hospital, 08.00 AM

"Luka di kepalanya cukup parah. Dia mengalami benturan hebat di bagian atas pelipisnya dan dia harus dirawat di sini selama beberapa hari agar kami bisa memonitor perkembangannya."

Luhan menatap dokter di hadapannya dengan sorot lelah. "Dan Anda tadi menyebutkan dia kehilangan ingatannya?"

Dokter itu mengangguk. "Ya." Jawabnya, agak prihatin. "Luhan-sshi, Anda yakin tak menemukan identitas apa pun pada anak itu?"

"Gerombolan itu membawa tas ranselnya dan juga jaketnya, karena ia terbaring di jalan, hanya memakai jeans dan kaus. Di saku jeans-nya kami tak menemukan apa pun,"

"Pihak kepolisian juga sepertinya tidak banyak membantu," sahut dokter tersebut, melepas kacamatanya sebentar. "Anak malang."

"Kurasa kami akan merawatnya sampai identitasnya diketahui," Luhan mendesah, menggelengkan kepalanya.

"Anda sepertinya keberatan? Yah, mengenai biaya rumah sakit–"

"Bukan itu yang menjadi beban pikiran saya, soensaengnim," potong Luhan cepat.

"Anda tak mau menampungnya selama beberapa saat sampai ia ingat kembali siapa dirinya?" tanya sang dokter, menatap Luhan dengan sorot menyelidik. "Itu kewajiban moral Anda, Luhan-sshi. Saat Anda menghentikan mobil dan membawanya ke rumah sakit ini, saat itulah Anda mengambil tanggung jawab itu. Polisi tak mungkin menampungnya atau Anda mau ia tinggal di penampungan tuna wisma di pusat Kota Seoul? Itu yang akan menjadi pilihan keduanya jika Anda tak bisa menampungnya."

Luhan menghela napas berat. "Masalahnya soensaengnim, sampai kapan ia akan kehilangan ingatannya? Benarkah hanya sementara? Bagaimana jika permanen? Haruskah kami merawat seumur hidupnya?"

Dokter itu menatap Luhan lekat. "Saya tak bisa memastikannya, Luhan-sshi. Benturan seperti itu memang mengakibatkan efek memory-loss yang bersifat temporer, tapi kami tak bia memastikan kapan ingatannya kembali. Hanya waktu yang bisa menentukan."

Luhan tak sadar menekan keningnya dengan telapak tangannya, seolah berusaha mengenyahkan kegalauannya. "Kami tak yakin kami bisa merawatnya dengan baik, soensaengnim."

"Asal ada kemauan dan juga keikhlasan dari kalian, saya rasa semua akan baik-baik saja. Selain itu, anak ini kelihatannya benar-benar butuh perlindungan. Tak ada salahnya menolong seseorang yang benar-benar tersesat, Luhan-sshi," kata dokter tersebut kalem.

"Tersesat?" Luhan menegakkan badannya, membenahi cara duduknya.

"Ya, tersesat," dokter itu mengiyakan, suaranya tetap tenang, mungkin ini salah satu caranya agar pria di depannya juga ikut tenang. "Saya duga ia masih terlalu muda, mungkin sendirian di tengah kota Seoul, pada pagi dini hari seperti itu? Ia tersesat, Luhan-sshi. Mungkin ia lari dari rumah atau lari dari seseorang. Dan apapun alasannya, tidakkah Anda tertantang untuk mencari tahu, menguak misteri di baliknya?"

Luhan menatap dokter di depannya tanpa berkedip. Diam-diam ia memuji kemampuan dokter itu dalam berbicara padanya. Luar biasa. Kini ia benar-benar penasaran pada anak itu dan tidak terlalu memikirkan bebannya lagi yang nantinya harus menampung seorang remaja labil di apartemennya bersama Chen.


Chen menggenggam tangan anak laki-laki di sampingnya, menatapnya lekat. "Kau yakin kau tak ingat apa pun? Bahkan namamu?"

Anak laki-laki itu, untuk kesekian kalinya, mengangguk. Ia nampak lelah meladeni keingintahuan laki-laki asing di sampingnya. Tempat tidurnya sudah dalam posisi ditinggikan, sehingga ia tetap bisa menyandarkan punggungnya meski dalam posisi duduk.

"Hmm, agar kita mudah memanggil satu sama lain, bagaimana kalau aku memberikan nama untukmu?" tanya Chen, matanya berbinar-binar senang. Urusan memberi nama memang sudah menjadi hobinya.

"Bukankah hak dia untuk menamai dirinya sendiri?" Luhan masuk ke dalam ruang rawat, tersenyum pada anak laki-laki di atas tempat tidur ketika anak itu menoleh ke arahnya. Anak laki-laki tersebut membalas senyumannya dengan gugup.

"Tak usah sungkan pada kami. Kami di sini benar-benar ingin membantumu. Bagaimana, kau sudah menemukan nama yang sesuai untukmu?" Luhan mengambil tempat duduk di samping Chen.

Anak laki-laki itu menggeleng perlahan. "Gege saja yang pilihkan nama untukku,"

"Gege!" Chen berseru, matanya membulat kaget. "Kau panggil kami gege? Kau orang China juga? Kau mengerti bahasa Mandarin?" Chen memborbardirnya dengan pertanyaan dalam bahasa Korea dan Mandarin sekaligus.

Anak laki-laki itu menatapnya. "Aku mengerti Mandarin, tapi tak begitu bisa mengatakannya dengan baik, kurasa. Aku tahu apa yang kalian ucapkan satu sama lain semalam."

Luhan menoleh ke arah Chen, tersenyum penuh kemenangan padanya. "Lihat, dia mengerti apa yang kubilang padanya semalam."

Chen menatap takjub anak laki-laki di depannya. "Ah, kurasa aku tahu nama yang sesuai untukmu. Shi Xeun. Sementara karena kau akan segera tinggal dengan kami dan menjadi adik kami, jadi namamu adalah Shi Xeun."

"Chen, kau terlalu memaksakan diri! Ingat apa yang terjadi dengan Ni Qiu sehari setelah kau memberikan nama pada anjing pudelmu itu? Dia bersin-bersin karena kau menyamakannya dengan ikan," sungut Luhan dalam Mandarin.

"Aku… suka… Shi Xeun," kata anak laki-laki itu terbata, dalam bahasa Mandarin.

Chen dan Luhan berpaling ke arahnya, tak henti-hentinya dibuat takjub oleh anak laki-laki misterius di hadapan mereka.

"Coba ulangi lagi, tadi? Pelafalanmu bagus!" Chen terlihat bersemangat sekali, semakin erat menggenggam tangan kanan anak itu.

Anak laki-laki itu tersenyum, agak malu. Ia menundukkan wajah dan lesung pipitnya benar-benar membuatnya nampak polos. "Wo… shi.. Shi Xeun," ucapnya perlahan, menatap Chen dan Luhan bergantian, agak ragu– takut salah.

Chen bersorak, tertawa kecil, sampai berdiri dan memeluk adik barunya erat-erat.

Luhan menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan senyum masih nyata terlihat di bibirnya. "Dan kami adalah gege-mu mulai hari ini, Shixeun. Aku Luhan dan sepupuku yang agak hiper ini bernama Chen. Senang mengenalmu," katanya dalam bahasa Korea yang tak kalah fasihnya, menghormati upaya anak laki-laki itu dalam berbicara bahasa Mandarin untuk mereka.


Sore itu Luo-Chen Restaurant tidak terlalu ramai. Xiumin baru saja menyelesaikan Mapo Tofu, pesanan pelanggan terakhirnya sebelum ia istirahat. Ia meraih sebotol air putih dingin dari dalam kulkas. Pintu belakang dapur terbuka dari luar dan Chen masuk ke dalam, memanggil seseorang di luar sana untuk ikut masuk.

"Shixeun, ayo masuk," katanya renyah, dengan senyum lebar menghias bibirnya.

Xiumin meletakkan botol air dinginnya di atas meja, penasaran menunggu sosok di luar tersebut, yang sudah menjadi topik pembicaraan di restoran mereka selama satu minggu.

Sosok yang dipanggil Shixeun itu pun masuk ke dalam. Agak canggung, dengan tutup kepala masih menyembunyikan rambut coklatnya, dan kedua tangan masuk ke dalam saku hoodie putih-nya.

"Ahh, jadi ini yang namanya Shixeun, adik kecil kita?" sambut Xiumin hangat, merentangkan kedua tangannya, langsung merengkuh badan kurus anak laki-laki itu ke dalam pelukannya. Shixeun sepertinya terkejut dengan sambutan tak terduga ini, ia tak berkutik dalam pelukan erat Xiumin.

"Hey, hey, sudah! Kau bisa membuatnya sesak napas," Chen menarik lengan Xiumin agar melepas pelukan beruangnya.

Xiumin menepuk-nepuk punggung Shixeun sambil tertawa, melepaskan pelukannya, dan merengkuh wajahnya dengan kedua tangan, membuat anak itu agak menunduk menatapnya.

"Jangan khawatir, aku bisa membuatmu gemuk dalam waktu singkat, Shixeun. Badanmu itu harus segera diisi dengan makanan enak dan sehat dari restoran ini," katanya ramah. Ia benar-benar langsung menyukai anak laki-laki di depannya ini sekali ia melihatnya. Tatapan mata anak itu terlihat masih polos, bening, dan badannya yang nampak masih lemah membuatnya ingin memeluknya, melindunginya.

"Kenalkan Shixeun, dia Xiumin-hyung, koki andalan restoran kita," kata Chen, menunjuk Xiumin dengan kedua tangannya. "Kau bisa memanggilnya Baozi, dan dia tidak akan keberatan."

Tepat saat itu Chen harus menerima tinju ringan Xiumin. Chen mundur sambil tertawa-tawa.

"Xiumin-hyung," gumam Shixeun pelan, mengalihkan perhatian Xiumin yang hendak memburu Chen.

"Ya, Shixeun," sahut Xiumin senang. "Jangan turuti semua omongan Chen, dia terkadang menyesatkan."

Baekhyun dan Chanyeol baru saja meletakkan nampan kosong di dapur. Mereka tersenyum lebar ketika melihat sosok baru di dalam dapur mereka.

"Chen, inikah adik baru kita?" Chanyeol mendekati Shixeun dengan senyum misterius. Baekhyun berjalan disampingnya, mengamati Shixeun dengan sorot menyelidik.

"Ah, iya Chanyeol-ah. Shixeun, kenalkan–"

"Happy Virus," Chanyeol meraih tangan kanan Shixeun, mencium punggung tangannya sambil membungkukkan badan, lantas mengedipkan sebelah matanya saat ia mendongakkan wajahnya pada anak itu.

Baekhyun dan Xiumin menyembur tertawa. Chen merengut, melepas tangan Shixeun dari pegangan Chanyeol. "Masih terlalu awal, Chanyeol! Jangan racuni dia!"

Sebentuk senyum mulai menghias bibir Shixeun melihat tingkah hyung barunya ini.

"Lihat, dia tersenyum! Aku berani bertaruh Baozi kita tadi sudah membuatnya takut dengan pelukan dahsyatnya." Chanyeol nampak puas melihat perubahan ekspresi anak laki-laki di hadapannya ini.

Xiumin refleks meninju bahu Chanyeol dan Chanyeol juga refleks membungkukkan badannya, sehingga kepalan tangan Xiumin mengenai lengan Baekhyun.

"Ah, Baekhyun, mianhae!" Xiumin beranjak menjauh begitu Baekhyun memekik, berpaling ke arahnya dengan sorot siap membunuh.

Senyum Shixeun semakin melebar. Sejak tadi ia tak mengucapkan banyak kata, tetapi ia sedikit demi sedikit mulai merasa nyaman di lingkungan barunya ini.

"Shixeun, aku Baekhyun, si suara emas," Baekhyun menjabat tangan anak laki-laki di hadapannya dengan sikap formal. Chanyeol mendengus di sampingnya, menahan tawa.

Shixeun mengangguk sopan. "Baekhyun-hyung," katanya lirih.

Baekhyun melepas jabat tangannya, mengernyit menatapnya. "Boleh aku melihat rambutmu?"

Shixeun berkedip menatapnya, "Eh?"

Chanyeol geleng-geleng kepala, meraih botol minum sisa Xiumin yang masih separuh, dan meneguknya cepat sampai habis.

Baekhyun, tanpa menunggu lagi, membuka tutup kepala Shixeun, dan menyentuh rambut coklatnya. Sorot matanya penuh misteri, sementara bibirnya mendesah perlahan.

"Shixeun, rambutmu halus sekali. Kau pakai sampo apa?"

Dan semua yang ada di dapur meledak tertawa, terpingkal-pingkal.


Luhan berjalan mendekati Kai di balik meja kasir. Ia mengamati suasana dalam resotan yang agak sepi sebentar, lantas mengambil kursi, dan duduk di sampingnya.

"Dapur ramai sekali kedengarannya," Kai tersenyum begitu Luhan duduk.

"Jika dapur sepi, aku ragu restoran ini akan tetap bisa buka, Kai," kata Luhan. "Kalian partner kerja yang hebat. Aku beruntung bisa bekerja sama dengan kalian."

"Kita sama-sama beruntung, hyung. Mulai hari ini kita kedatangan satu lagi anggota keluarga, bukankah itu menyenangkan?" Kai masih tersenyum, tahu apa yang hendak disampaikan Luhan sebentar lagi.

Luhan mendesah. "Kuharap begitu, Kai."

"Kenapa? Kau sepertinya terbebani? Kita bisa bersama-sama menjaganya sampai ingatannya kembali lagi," Kai menatapnya lekat.

"Sudah seminggu, Kai. Pihak kepolisian tidak mendapatkan petunjuk apa pun. Aku tak habis mengerti… sulitkah melacak seorang anak hilang di Seoul?" keluh Luhan, menggelengkan kepalanya.

"Seoul itu luas, hyung. Apakah kau benar-benar berpikir ia berasal dari Seoul? Siapa tahu ia bukan orang sini. Mungkin ia berasal dari kota lain atau bahkan bukan dari Korea."

Luhan terkejut menatapnya. "Ah, Kai, mana mungkin ia berasal dari luar Korea. Dia jelas-jelas orang Korea."

"Tapi, kau sendiri yang pernah mengatakan padaku, ia bisa memahami ketika kau dan Chen-hyung berbicara Mandarin di hadapannya. Dia bahkan bisa bahasa Mandarin, kan? Siapa tahu, ia memang orang Korea, tapi tinggal di Taiwan atau China, negara asal kalian?"

"Kai, jangan membuatku semakin pusing," Luhan menoleh ke arah dapur sejenak. Gelak tawa masih terdengar, entah apa lagi kekonyolan yang dilakukan teman-temannya di hadapan 'adik baru' mereka.

"Justru itu, kau jangan membuat semua ini memusingkan. Rileks. Tak usah merasa terbebani. Dia akan baik-baik saja dan kita akan bersama-sama menjaganya," Kai menepuk pundak Luhan perlahan.

"Bagaimana jika ia terlibat masalah besar, Kai? Bagaimana jika ia melarikan diri dari sesuatu yang akan menyusahkan kita semua di kemudian hari?" bisik Luhan, kini benar-benar mengungkapkan kekhawatiran terdalamnya.

Kai terdiam sesaat. Ia menghela napas panjang, tangannya tak sadar mengetuk-ngetuk meja di hadapannya dengan irama tak teratur.

"Hmm, jika itu yang akan terjadi nanti, kita harus bersiap diri dari sekarang," cetusnya serius. Ia berpaling kembali pada Luhan. "Perlu diingat, hyung, jangan menanggung semua ini sendiri. Termasuk biaya rumah sakit yang besar itu, kau bisa mengambilnya dari tabungan kita bersama, jangan hanya dari rekening pribadimu. Kami sudah sepakat ingin juga membantu anak itu, dan kau tak boleh menolak bantuan kami."

Luhan menatap Kai dengan sorot tidak enak. "Tapi, Kai, tabungan itu–"

Kai mengisyaratkan agar Luhan diam dengan tangan kanannya. Ia menatap mata Luhan dengan lekat. "Kau masih ingat kan tujuan kita mendirikan restoran ini? Jangan sekalipun kau ragukan rasa kebersamaan di antara kita, hyung. Kita sudah bersama-sama memperjuangkan restoran ini sampai tahun kelima dan itu akan terus kita pertahakan sampai kapanpun juga! Jadi, tiap kali ada masalah di antara kita, harus ditanggung bersama-sama."

Luhan tak bisa berkata apa-apa lagi. Kai tersenyum, merangkul lengan Luhan, dan menepuknya perlahan. "Back to work, new customers," bisiknya ketika dua orang wanita muda baru saja memasuki restoran mereka. Luhan langsung berdiri, melangkah cepat mendekati keduanya dengan senyum terkembang di bibirnya.

"Selamat datang di Luo-Chen Restaurant, nona-nona," sambutnya sembari menunduk sebentar, mempersilahkan kedua wanita tersebut duduk dengan menarik kursi untuk keduanya. Kedua wanita muda tersebut tersenyum, kelihatan terkesan dengan sikap gentleman yang diperlihatkan Luhan. Kai tersenyum kecil di balik meja kasirnya. Ia yakin pelanggan mereka akan bertambah dua orang lagi sore ini.


Petang menjelang dan keadaan di restoran penuh ramai oleh pelanggan. Semua sibuk hilir mudik di dapur, mengerjakan masing-masing tugas dengan cekatan. Shixeun berdiri di depan wastafel dengan kain apron membungkus bagian depan badannya, sibuk mencuci piring kotor. Chen mendekatinya, peluh mengucur di pelipisnya.

"Ah, sudahlah Shixeun, itu kan tugasku. Kau duduk saja ya… ada kue enak di kulkas, kau bisa memakannya sebelum kita makan malam."

Shixeun menggeleng. "Biar aku bantu, ge. Aku bosan dari tadi hanya main PSP sementara kalian hilir mudik di depanku. Aku baik-baik saja kok."

"Tapi, kau baru saja keluar dari rumah sakit, kau harus banyak istirahat," omel Chen, menggeser posisi Shixeun agar menjauhi 'daerah kekuasaan'nya.

Shixeun bersikeras. "Ge, aku juga baru cuci 3 piring–"

PRAANGG!

Piring yang dipegang Shixeun terselip dari tangan kirinya, pecah di dalam wastafel. Xiumin berhenti mengiris dagingnya, menoleh kaget ke arah mereka berdua.

Shixeun jatuh terduduk di lantai, tangannya yang masih penuh sabun menekan kedua sisi kepalanya dengan mata tertutup rapat. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, mendesis menahan sakit.

Chen langsung berjongkok di hadapannya, memegang kedua lengan anak itu dengan sorot cemas. "Shixeun, gwaenchana? Shixeun!"

.

.

.

TBC or END?


Annyeong, Amy imnida~ -bows- saya author baru disini :D

Ada yang ngerasa kalo ff ini pernah kalian baca? Yups! Kalo ada yang pernah, ff ini remake dari novel favorit author yang judulnya sama, "A Short Journey". Cuma, disini cast dan alurnya aja yang sedikit Amy ubah. Ceritanya ga bakal sama kok dengan yang aslinya. Hehehe :D

Kemungkinan chapter depan bakal lama Amy publish. Amy masih dikejar deadline dan waktu buat nulis ff dikit banget.

Saran, kritik, dan komentar bisa reader tulis di kolom review ^^

Anyway, mind to RnR? :)