Disclaimer © Fujimaki Tadatoshi

WARNING: OOC, AU, OC(s), Typo

.

.

.

Taiga mengawasi ketika ibunya membuat teh untuk tamu mereka di depan yang sedang berbincang dengan ayahnya. Dia baru pulang dari dojo untuk belajar menggunakan pedang agar bisa menjadi samurai seperti ayahnya kelak. Meskipun dia baru berumur delapan tahun, gurunya sudah berkata kalau dia mempunyai bakat untuk berpedang. Dan meskipun dia tidak begitu menguasai tentang pelajaran yang lain dia tidak peduli. Dia ingin menjadi samurai dan tidak peduli jika dia tidak tahu dimana letak negara-negara lain. Dia akan meletakkan pedang kayunya ke kamarnya ketika ibunya selesai menuangkan teh buatannya ke gelas.

"Taiga, tolong antarkan teh ini untuk orang di depan dan ayah," kata ibunya sambil membawa nampan berisi dua gelas teh.

Taiga mengangguk dan membawa nampan untuk tamu ayahnya. Dia orang besar yang sudah agak tua yang kalau Taiga tidak salah selalu ke rumahnya sebulan sekali. Taiga tidak tahu siapa orang itu tapi dia pernah mendengar kalau orang itu orang yang kaya yang mempunyai rumah geisha.

"…tolong beri satu bulan lagi Wakamoto-dono, aku berjanji akan membayarnya." Taiga bisa mendengar ayahnya berkata ke orang itu ketika dia berjalan ke ruang tamu.

"Kau sudah berjanji seperti itu sebulan yang lalu Kagami," balas orang itu.

Taiga bisa merasakan orang itu mengamatinya ketika dia meletakkan teh buatanya ibunya di depannya.

"Terima kasih Taiga." kata ayahnya.

Taiga mengangguk kemudian kembali ke dapur bersama ibunya.

"Taiga, kamu langsung ke kamar dan tidur ya?" kata ibunya dan mengelus rambut merah Taiga.

Taiga mengangguk, mengambil pedang kayunya dan menuju kamarnya. Dia menyimpan pedangnya kemudian mengambil futon dan menggelarnya di lantai untuk bersiap untuk tidur. Dia baru saja akan memasuki futonnya ketika mendengar suara keras dari depan. Dia bangun dan membuka pintu kamarnya untuk melihat apa yang terjadi tapi ibunya sudah di depan kamarnya dengan raut muka sangat takut.

"Taiga sembunyi dan jangan keluar dari kamarmu apapun yang terjadi." kata ibunya dan mencengkeram pundak Taiga.

"Apa yang terjadi?"

"Ibu akan memberitahumu besok. Janji jangan keluar dari kamarmu, ya," Ibunya kemudian memeluknya dengan sangat erat dan Taiga bisa merasakan pundaknya basah. "Sekarang masuk kamarmu."

Taiga mengangguk dan hal terakhir yang dia lihat sebelum menutup pintu adalah wajah ibunya yang dipenuhi dengan air mata.

Taiga membuka lemarinya lalu memasukinya dan menuruti perintah ibunya untuk bersembunyi. Dia sangat takut sekarang, tidak mengetahui apa yang terjadi. Dan wajah ibunya yang ketakutan masih berada di pikirannya membuatnya semakin takut. Dia menutup mulutnya ketika mendengar suara teriakan ibunya dan air matanya yang mulai menuruni wajahnya. Dia tidak mau memikirkan sesuatu yang buruk sudah terjadi ke kedua orang tuanya dan berharap semuanya pasti baik-baik saja.

Taiga mengambil pedang kayunya dan memegangnya erat-erat ketika dia mendengar suara-suara langkah kaki menuju kamarnya. Dia berharap siapapun itu adalah ibunya atau ayahnya dan akan memberitahunya kalau mereka baik-baik saja. Taiga menjadi bernapas cepat ketika langkah kaki itu membuka pintu kamarnya. Dia menggenggam pedangnya dan bersiap-siap akan menggunakannya kalau-kalau dibutuhkan. Dia mendongak ketika lemarinya dibuka dan melihat orang besar yang tadi bersama ayahnya menyeringai ke arahnya.

"Aku menemukanmu." katanya dengan suara dalam yang tidak menyenangkan di telinga Taiga. "Keluar!"

Taiga menggelengkan kepalanya takut-takut.

"Keluar!" bentak orang itu dan menyentak Taiga untuk keluar.

"Di-dimana ayah dan ibuku?" tanya Taiga, memegang pedangnya dengan tangan gemetar.

"Mereka sudah mati." jawab orang itu sambil menyeringai lebih lebar ke Taiga.

Taiga membelalakkan matanya dan merasakan kemarahan menguasai dirinya. Dia berteriak lalu mengayunkan pedangnya ke kepala orang itu dengan keras.

"Brengsek!" orang itu merebut pedang Taiga dan mematahkannya menjadi dua bagian dengan mudah. Orang itu lalu mencengkeram leher Taiga dan mendorong Taiga ke dinding.

Taiga meronta-ronta mencoba melepaskan tangan besar itu di lehernya.

"Kalau kau tidak mau diam, kau akan segera menyusul orang tuamu yang tidak berguna itu," ancam orang itu dengan wajah yang sangat dekat dengan wajah Taiga.

"Lepaskan!" teriak Taiga dan mencoba membebaskan dirinya.

"Kau akan ikut denganku dan membayar hutang orang tuamu dan aku tidak akan melepaskanmu sampai kapanpun." Orang itu kemudian mengangkat Taiga dan membawanya keluar dari kamarnya.

"Lepaskan!" Taiga berteriak dan menatap sedih pedang kayunya yang sudah patah menjadi dua. Itu adalah pedang pemberian ayahnya yang katanya dulu adalah pedang ayahnya waktu pertama kali dia belajar berpedang.

"Aku sudah menemukannya, ayo pergi." kata orang itu ke bawahannya yang sedang menunggunya di depan.

Taiga membelalakkan matanya ketika melihat ayah dan ibunya terbaring di ruang tamunya dengan darah menggenang di sekeliling mereka.

"Ibu! Ayah!" Taiga berteriak dengan air mata membasahi wajahnya. Kenapa orang tuanya terbaring disana dan apa yang sudah orang ini lakukan ke orang tuanya?

"Diam!" orang itu lalu melemparkan Taiga ke kereta kuda yang sudah menunggu mereka di depan.

Selama perjalanan ke tujuan yang Taiga tidak tahu itu, dia hanya bisa memeluk lututnya dan menangisi keadaannya sekarang.

.

.

.

Taiga menghela napas sambil melihat langit sore dengan warna jingga yang indah. Sudah delapan tahun sejak terakhir kali dia bisa keluar dengan bebas dan menikmati waktu sore. Sekarang dia terkurung disini dan tidak bisa keluar.

"Taiga-kun, ayo bersiap-siap."

Taiga menoleh dan melihat wanita setengah baya dengan wajah yang ramah menghempirinya. Tsuki-san adalah orang yang diutus untuk mengurusnya selama ini setelah dia datang kesini. Dia juga adalah orang yang bertugas untuk melatih orang-orang baru termasuk Taiga untuk menjadi geisha. Tsuki-san sudah seperti ibu kedua untuk Taiga dan selalu bersabar dalam mengajarinya hal-hal apa saja yang harus dilakukan untuk menjadi penghibur di rumah pimpinan Wakamoto ini. Tsuki-san juga yang sudah mengobati luka-luka yang di dapatkannya dari suruhan-suruhan Wakamoto ketika dia mencoba kabur untuk melarikan diri yang tidak pernah berhasil.

"Kau sudah siap Taiga-kun." kata Tsuki-san dan merapikan kimono Taiga ketika dia berdiri.

Taiga mengamati dirinya di pantulan cermin di depannya. Dia benci melihat wajahnya dengan bedak dan lipstick, dia juga benci melihat kimono berwarna merah dengan obi melilit pinggangnya yang harus dikenakannya setiap hari. Dia benci harus melihat wanita-wanita yang lain harus berpura-pura tersenyum setiap malam. Taiga bermimpi suatu hari dia bisa membebaskan mereka dari kurungan ini, kurungan yang berpura-pura menjadi rumah geisha. Geisha yang seharusnya menjadi penghibur dengan bakat mereka dalam bernyanyi, memainkan alat musik tradisional atau sekedar menemani pelanggan untuk minum, malah dipaksa untuk melayani nafsu para pelanggan jika pelanggan itu menginginkan.

"Tersenyum Taiga-kun agar ada yang memilihmu malam ini,"

"Aku tidak ingin ada yang memilihku malam ini," balas Taiga.

Tsuki-san tersenyum dan membelai wajah Taiga. "Aku akan menemuimu nanti."

Taiga membalas tersenyum lalu menuju ke depan untuk duduk bersama geisha yang lain dan menunggu Tsuki-san membawa mereka ke pelanggan untuk melayani mereka. Taiga duduk dan menundukkan wajahnya. Dia berharap tidak akan ada yang memilihnya malam ini seperti malam-malam sebelumnya.

"Taiga-kun, kau mendapat pelanggan." Tsuki-san sudah kembali kembali dan berkata kepadanya.

Taiga membelalakkan matanya kaget dan jantungnya berdetak kencang. Ini pertama kalinya dia mendapat pelanggan setelah enam bulan 'lulus' dari latihannya dan memulai menjadi maiko. Taiga berjalan sambil menunduk di belakang Tsuki-san seperti yang sudah diajarkan kepadanya menuju ruangan pelanggannya menunggunya. Dia masih menundukkan kepalanya sebagai tanda tunduk kepada pelanggannya ketika Tsuki-san membuka pintu.

"Bolehkah saya masuk Tuan?"

"Hn."

Setelah Taiga memasuki ruangannya, Tsuki-san menutup pintu dan meninggalkan Taiga sendiri dengan pelanggan pertamanya. Taiga lalu melipat kakinya dan menundukkan kepala dan tubuh atasnya sampai menyentuh lantai.

"Kau bisa mengangkat wajahmu."

Taiga tersentak ketika mendengar suara orang itu, suara yang dibencinya selama delapan tahun dia terkurung disini. Suara dari orang yang telah memisahkan dirinya dengan kedua orang tuannya.

"Angkat wajahmu."

Orang itu kembali memerintah. Taiga lalu menuruti perintah dan mengangkat wajahnya. Dia langsung berhadapan dengan pemilik rumah ini yang menyeringai ke arahnya persis seperti delapan tahun lalu saat dia menemukan Taiga bersembunyi di lemarinya.

"Aku tidak menyangka kau akan pantas menjadi pelacur,"

Taiga menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan kemarahannya.

"Tuangkan sake itu."

Taiga mengambil botol di depannya dan menuangkannya ke gelas yang juga sudah disiapkan. Dia kemudian menuangkan sake di dalamnya ke gelas dan memberikan ke orang di depannya.

"Berapa pelanggan yang sudah kau dapatkan?" tanya Wakamoto sambil meminum sakenya.

"Tidak satupun." jawab Taiga.

"Kau memang tidak berguna."

Taiga mengerutkan keningnya. "Lalu kenapa kau tidak membunuhku seperti orang tuaku dulu?"

Dengan secepat kilat Wakamoto sudah berada di atas Taiga dan mencengkeram lehernya. Taiga menggerenyit kesakitan karena kepalanya berbenturan dengan lantai.

"Kau mau mati?" tanya Wakamoto dengan tajam. "Aku akan langsung membunuhmu kalau hutang orang tuamu sudah kau bayar. Yang kau tambah karena kau tinggal disini selama delapan tahun tanpa melakukan apapun."

Taiga mencengkeram lengan besar di lehernya agar berhenti mencekiknya karena dia sudah mulai kehabisan napas.

"Dan kalau kau tetap tidak mendapatkan pelanggan selama seminggu ini, aku akan benar-benar membunuhmu." Wakamoto kemudian melepaskan cekikannya ke Taiga dan membuka pintu dan meninggalkan Taiga.

Taiga terbatuk-batuk dan duduk sambil memegang lehernya. Dia yakin lehernya pasti merah sekarang. Dia sudah tidak tahu berapa kali Wakamoto atau suruhan-suruhannya menyakitinya kalau Taiga tidak mau menuruti perintahnya. Taiga akan membuka pintu dan kembali ke depan saat pintunya terbuka dan Tsuki-san berdiri di depannya.

"Taiga-kun, kau tidak apa-apa?" tanya Tsuki-san dengan wajah khawatir. "Apa yang Wakamoto-sama inginkan darimu?"

"Aku tidak apa-apa Tsuki-san," jawab Taiga sambil tersenyum untuk menenangkan Tsuki-san.

"Kau yakin?" tanya Tsuki-san dan menghampiri Taiga dan dia membelalakkan matanya ketika melihat leher Taiga dan memegangnya. "Apa Wakamoto-sama yang melakukan ini padamu?"

"Kau tidak perlu khawatir Tsuki-san, aku tidak apa-apa." kata Taiga dan mencoba melepaskan tangan Tsuki-san dari lehernya.

"Tapi dia menyakitimu!" kata Tsuki-san dengan bibir bergetar dan kedua matanya berair.

"Aku sudah biasa merasakan itu." balas Taiga masih dengan tersenyum.

"Oh Taiga-kun," Tsuki-san mulai menangis dan memeluk Taiga. "Kau sangat tidak pantas berada disini."

Taiga dalam hati menyetujui Tsuki-san.

.

.

.

Taiga duduk sendirian di depan tempat 'pajangan' para geisha karena malam ini mereka penuh dan hanya tinggal Taiga yang masih tidak mendapat pelanggan. Ini sudah hari terakhir sampai batas waktu yang ditentukan Wakamoto dan kalau sampai malam ini dia masih tidak mendapat pelanggan maka Wakamoto akan membunuhnya. Taiga sudah pasrah kalau misalnya dia masih tidak mendapat pelanggan dan Wakamoto akan benar-benar membunuhnya.

"Taiga-kun,"

Taiga menolehkan kepalanya dan melihat Tsuki-san menghampirinya dengan wajah berseri-seri. Sejak Taiga memberitahu Tsuki-san kalau Wakamoto akan membunuhnya jika Taiga tidak mendapat pelanggan dalam seminggu, Tsuki-san selalu mencoba 'menawarkan' Taiga ke pelanggan-pelanggan yang datang. Tapi meskipun dengan semua usaha Tsuki-san, Taiga masih tetap tidak mendapat pelanggan. Tapi sekarang mungkin dia akan mendapat pelanggan pertamanya (benar-benar pelanggan pertamanya karena Wakamoto beberapa hari yang lalu tidak dihitung) melihat Tsuki-san yang sangat bahagia.

"Taiga-kun, kau mendapat pelanggan." Tsuki-san memegang tangannya dengan dengan sangat gembira.

"Ya karena tidak ada wanita lain yang tersisa," kata Taiga.

"Meskipun begitu kau mendapat pelanggan pertamamu malam ini," Tsuki-san masih memegang tangannya erat. "Dengan begitu Wakamoto-sama tidak jadi membunuhmu."

Taiga mengangguk dan tersenyum.

"Ayo menemuinya.

Taiga mengangguk lagi dan mengikuti Tsuki-san menuju pelanggannya sudah menunggunya. Setelah dia sudah diijinkan masuk, Taiga duduk dengan kaki terkekuk dan membungkukkan badannya.

"Kau bisa mengangkat kepalamu."

Taiga tersentak ketika mendengar suara pelanggannya yang dalam dan sangat menyenangkan di telinganya. Dia lalu mengangkat kepalanya dan melihat mata biru paling indah yang pernah dilihatnya menatapnya balik.

.

.

.

A/N: cerita baru~ /slapped. Jadi sebenernya udah lama pingin buat cerita tentang Kagami yang jadi geisha setelah ngedengerin Yoshiwara Lament yang dinyanyiin Ono Yuuki dan liat fanart-fanart Kagami yang pake kimono dan jadi cantik menjadi geisha, tapi baru sekarang idenya terkumpul. Tapi ini bakal dilanjutin kalau Kejar udah komplit lol biar nggak kebanyakan cerita multi chapter. Sebenarnya nggak kuat nulis Kagami yang menderita seperti ini, aku sampe nangis nulisnya XD tapi ide di kepala nggak mau berhenti lari-lari kalau nggak ditulis jadi… enjoy! Dan setelah ini Kejar update, suer! XD