Disclaimer : Bleach © Tite Kubo

.

Breathe

By. I Sunshine


Note ; shinigami life


.

Tiga menit berlalu.

Tidak bergerak dan ekstra usaha menahan nafas—lebih tepatnya menyembunyikan tekanan reiatsu. Semua penghuni taman jiwa tenang mungkin sudah familiar bahwa salah satu pemilik tekanan reiatsu terbesar di tiga belas divisi adalah seorang kapten dari pasukan batalion 5. Beberapa penduduk lokal mungkin tidak begitu perduli atau mungkin hanya takjub bila terpapar, namun seorang mata-mata bayaran pasti akan sangat perduli. Karena itulah ketika belum memiliki kesempatan untuk lari, diam di tempat adalah ide terbaik.

Bila bisa mengumpat, mungkin dia sudah melakukannya berkali-kali—sejak tiga menit yang lalu. Malang kapten divisi yang terkenal seantero divisi harus tejebak diam di tempat.

Kurosaki Ichigo.

Menyelinap adalah keahliannya bila dengan perhitungan rencana. Sayang malam ini keberuntungannya hanya berada di kadar lima puluh banding lima puluh persen. Ichigo tidak terlalu berencana mengikuti seseorang mencurigakan ketika sudah bergerak dalam perjalanan pulang. Seharian tugas sudah banyak membebani, alangkah menyenangkan bila bisa beristirahat langsung di rumah.

Lagi-lagi patut disayangkan, karena instingnya menolak.

Jujur, apabila insting adalah bagian dari orang-orang yang bisa berkuasa atas diri sang kapten, mungkin insting adalah sosok tertinggi melebihi keagungan ketua divisi satu. Insting yang selalu memerintah melakukan banyak hal, lakukan ini, jangan berbuat begitu. Semuanya. Instingnya selalu benar. Jangan pernah mencoba mengabaikan.

Begitulah awal mula kenapa sang kapten tidak bisa diam mengabaikan melihat sesorang dengan tato unik di pergelangan tangan berbisik serius di sudut jalan kecil menuju rumahnya. Tiga orang yang tampak mencurigakan memakai topi penutup kepala hingga menyembunyikan wajah meraka pada bayangan hitam yang tidak terkena penerangan cahaya malam.

Dengan bermodal rasa curiga asumsi sang insting, diam-diam Ichigo mengikuti mereka hingga masuk ke kedai teh besar di salah satu ibu kota. Mereka mengabaikan sambutan para pelayan penghibur, berlalu duduk memesan ruang khusus—masih Ichigo mengikuti. Bersembunyi di ruang sebelah, mempertajam pendengaran Ichigo menangkap pembicaraan awal mengenai pembrontakan. Berlangsung serius hingga akhirnya salah seorang menimpali memberi ide terkejam, parahnya—Ichigo mengenali suara orang itu. Dan bagian terburuk—orang itu mendeteksi reiatsu pengintai yang mencuri dengar. Sepenuhnya memang belum mengetahui siapa tersangkanya, tapi mereka mengetahui ada yang mencuri dengar pembicaraan.

Sadar sudah cukup terlambat untuk mempergunakan langkah kilat berbaur dengan pejalan kaki di luar, sebisa mungkin Ichigo mengulur waktu bersembunyi untuk memberi kesan orang yang mengintai sudah menghilang sejak lama.

Satu dua menit menggeledah ruangan kosong tak berpengunjung, dua orang sepakat dengan ide bahwa tidak ada siapapun lagi yang bisa dicari, sayang suara yang paling dikenal masih bersikeras. Orang itu masih memeriksa satu per satu ruangan tanpa seizin pemilik kedai, bahkan ruangan yang disewa pun tetap tak luput dari pemeriksaan. Tak perduli beberapa tamu menggrutu, mereka hanya butuh seseorang yang tampak mencurigakan untuk menjadi tersangka.

Ah—Ichigo merasa Kami-sama sedang memaksanya untuk melatih ilmu menyelinap lebih baik lagi.

Ichigo mundur beberapa langkah, iris kuning madaunya melirik jendela dari ketinggian lantai dua kedai teh pada pejalan kaki di luar. Ide lain terlintas, masih belum menjadi opsi bijak. Lagi mundur menjauh, lebih mendesak karena ujung lorong kian terjangkau, orang yang dicarinya pun belum menunjukkan tanda menyerah. Berjalan melalui sisi jendela luar, Ichigo berpindah ke ruang sebelah—cara tercepat menghindar.

"Siapa kau?"

Diam, Ichigo membatu.

Seseorang menangkapnya.

Sosok itu berdiri waspada dengan tatapan berkerut. Mata keunguannya memantulkan cahaya penerangan yang berasal dari luar jendela, tak tampak ketakutan malah berpijar berani. Tubuh mungilnya yang terbalut kimono hitam dengan corak merah disertai untaian sulaman benang emas anggun menjulang hendak menyamai kharisman sang kapten divisi.

Ichigo tidak bisa berkata-kata. Mungkin dia juga sedikit terkejut karena tidak memprediksi ada orang lain mengisi ruangan gelap di ujung lorong, atau—mungkin juga dia sedang terjerat pesona si perempuan berkimono. Mereka hanya beradu tatap, dan itu sudah berlangsung cukup lama dari waktu wajar seseorang melakukan kontak mata dengan lawan jenis.

"Sudahlah, mungkin tadi hanya reiatsu seseorang yang lewat."

Ichigo meringis, mereka mendekat.

"Tunggulah dulu," dua pintu dari ruangan lain sedang di geser, panik sedikit menjalar pada guratan wajah Ichigo. "Mari kita periksa dulu hingga keruangan terakhir."

Cemas Ichigo menatap sosok di hadapannya. Jalan terakhir, seharusnya Ichigo melompat keluar meski indikasi tertangkap lebih besar. Namun—setidaknya tidak ada perempuan tidak bersalah yang akan terlibat.

Pasrah melirik jendela luar, Ichigo menghela nafas perlahan mengambil langkah mundur. Bagaimana pun ini adalah tanggung jawabnya sebagai bagian dari anggota ketiga belas divisi. Tertangkap atau tidak, biarlah peruntungan menentukan nasibnya kelak.

"Tunggu."

Beberapa langkah lagi Ichigo telah siap melompat. Seharunya pada detik berikutnya kakinya telah menapak tanah dengan adanya sedikit bunyi tekanan udara pendaratan, seharusnya. Tapi—pada detik berikutnya bukanlah udara luar yang menyapa, dinginnya malam malah terhalau pada sesuatu yang hangat menerpa wajahnya.

Shock. Ichigo belum mampu mencerna apa yang tengah terjadi. Sebagian anggota tubuhnya sadar sudah dalam posisi terduduk di lantai, separuhnya lagi belum memahami posisi bahwa ada tubuh lain duduk diatas pangkuannya, merentangkan kedua tangan memeluk kepalanya hingga terbenam di bawah dagu putih halus.

"Ini adalah ruangan terakhir." Suara bergumam di depan pintu. Mata Ichigo melebar.

Akankah—

Belum sempat Ichigo membangun prediksi, posisi kepalanya yang masih menunduk menangkap gerakan lincan jemari mungil menarik ikatan obi. Manis kerah kimono bergulir turun memamerkan belahan dada berukuran kecil bila dibandingkan dengan seseorang yang Ichigo kenal. Kesalahan terbesar karena Ichigo terlanjur menarik nafas.

Sreg!

Pintu di geser.

Tiga orang bertopi sulaman bambu berdiri di ambang pintu mendapat pemandangan dua orang saling mencumbu, setidaknya seperti itulah yang terlihat. Di mata mereka terlihat siluet punggung perempuan berkimono indah dengan bagian kerah meluncur memamerkan kulit leher hingga ke pundak. Meneguk ludah tergiur, tapi mereka cukup bijaksana mengambil langkah mundur karena perempuan itu tengah berada di atas pangkungan tamunya. Terlebih lagi wajah perempuan itu telah berbalik menoleh kebelakang bersiap melontarkan makian—hanya sejenak, karena detik berikutnya perempuan itu terkesiap merintih, mungkin lebih ke mendesah. Tampak orang yang tengah memangkunya mulai bergeliriya tak perduli meski sedang ditonton.

Ketiga orang mulai tak enak hati, bijak mundur terlebih tangan besar mulai terlihat aktif menggerayang. Mereka pergi. Meninggalkan Kurosaki Ichigo dengan sang penolong.

"To,tolong," perempuan itu menggigit bibir, menahan desahan. Kedua tangannya mencoba mendorong wajah makhluk bersurai orange yang mulai menyalah gunakan bibir atau entah itu lidah untuk menjelajahi sisi lehernya. "Hentikan. Mereka sudah pergi."

Ichigo menggeram kecil, tangannya malah lebih ngotot mempererat rengkuhan pada tubuh mungil. Bibirnya semakin giat menyerang dengan jilatan beberapa kali di sudut-sudut berbeda.

Tidak bermoral.

Itu mungkin sebutan yang paling cocok dihadiahkan ke orang setenar Kurosaki Ichigo. Dia kapten terhormat, sikapnya memang angkuh tapi tak sekalipun merendahkan orang lemah. Namun tindakan tidak terpuji kali ini darinya adalah melecehkan, digaris bawahi—megerayangi seorang perempuan.

Serius, ini masih menjadi kesalahan instingnya.

Itu sungguhan. Sungguh.

Kurosaki Ichigo yang terhormat menjadi tak terkendali ketika insting liarnya mengamuk begitu menghirup aroma lili memabukan diresapi indra. Alam bawah sadarnya mengenali wangi yang cukup familiar, istingnya ingin memiliki. Jadi—ketika aroma itu benar-benar membawa ke tingkat mabuk, tanpa sadar bibir serta anggota tubuh Ichigo yang lain haus menginginkan banyak kontak dengan tubuh dalam pangkuan.

"Tolong hentikan," suara perempuan itu bernada rendah, mungkin masih menjaga agar tiga orang tadi tidak mendengar mencegah kecurigaan.

"Untuk semalam, berapa?"

"Aku tidak dipergunakan untuk itu." Tidak dipungkiri apa yang Ichigo lakukan pada tubuh perempuan itu memiliki efek yang besar, karena meski ditahan desahan tetap selalu lolos dari bibirnya setiap meluasnya area yang dijamah.

"Hanya katakan berapa."

Perempuan di pangkuan Ichigo masih sbuk mendesah, namun masih pula berusaha mendorong serta menghentikan tindakan tak sennonoh sang kapten. Dia hanya menjaga untuk bersikap sopan. Yang dihadapinya adalah orang bermatabat yang sedang kehilangan sedikit kontrol, masih belum terlambat untuk berbicara. Namun ketika tangan Ichigo lebih berani mencoba bergerak memasuki celah kimono yang sudah memamerkan bagian atas belahan dadanya, perempuan itu terkesiap lekas meraih menghentikan pergerakan tangan Ichigo.

Terengah sepasang iris violet itu mengerjap memancarkan gairah bercampur kepanikan, mengadu pandang dengan kuning madu yang telah berkilat penuh gairah. "Maaf, aku masih belum disentuh."

Tangan Ichigo kaku, akhirnya tersadar telah berusaha menjamah sesuatu yang terlarang. Rasa bersalah itu akhirnya muncul, mencerca dalam hati karena logika kembali memenangkan insting. Bersalah bercampur tak rela, sedih wajah Ichigo membiarkan perempuan itu bergeser menjauh turun dari pangkuan menjadi duduk di lantai. Mata Ichigo masih belum berhenti menatap, malah ikut terpaku mengikuti pergerakan lincan jemari mungil membenarkan kimono.

"Aku menginginkanmu." Susah payah Ichigo menelan air ludah, sekali dalam seumur hidup tak pernah sekalipun dia berubah menjadi obsesif seperti sekarang ini, terlebih pada seorang perempuan. Minatnya adalah pertempuran, gairahnya adalah untuk melindungi banyak orang. Cukup mengesankan akhirnya seorang perempuan bisa merubah minat sang kapten.

"Bukankah—" nakal mata Ichigo beberapa detik lebih lama menatap leher putih si perempuan berkimono hingga akhir bergeser hanya menatap wajah perempuan itu. "Bukankah—kau bagian dari perempuan-perempuan di kedai teh ini? Tidak bisakah?"

Perempuan itu berhenti membenahi, tampak tertunduk terdiam berfikir. Hingga akhirnya wajahnya terangkat, memenuhi tatapan kuning madu yang penuh akan godaan mengundang. Perempuan itu tertegun, menggigit ujung bibir sedikit gugup. Jujur saat itu Ichigo gemas ingin menunjukkan seperti apa rasanya bila bibir itu digantikan oleh gigitan darinya.

"Mendapatkanku bukanlah harga, tapi kompetis," perempuan itu akhirnya berbicara, hanya sejenak menatap karena setelahnya kedua pipinya berubah merona. "Jadi—" wajahnya kembali menunduk, fokus membenahi ikatan obi menyembunyikan kegugupan, "—tolong jangan merusakku yang sudah menjadi penolongmu."

Untuk sedetik, atau mungkin untuk selamanya—saat itu Ichigo berfikir tidak akan rela bila ada orang yang menyentuh perempuan itu selain dirinya.

.

.

To be continued.