"Untuk ibu, terima kasih telah melahirkanku di dunia ini. Aku senang bisa menjadi anakmu, itu adalah hal terindah dalam hidupku. Dan maafkan aku ibu, karena aku tidak bisa menjadi anak sempurna seperti anak-anak yang lainnya. Tapi aku berjanji, aku akan menebus semua itu dengan membahagiakanmu. Apapun akan kulakukan, agar kau bahagia. Ibu…"


Naruto by Masashi Kishimoto

Pairing : Mikoto (ibu) and Naruto (anak), etc

Genre : Family, Angsty, love family.

Rated :K+ or T

…..


Sayangi Aku, Ibu


-Lembaran pertama-

-Ibuku-

.

.

.

Seorang anak laki-laki tengah berjalan dengan sedikit tergesa di sebuah lorong yang terlihat sepi, fisiknya terlihat sempurna, dua bola mata sewarna batu safir, dua tangan berkulit tan, dan sepasang kaki jenjang yang sempurna. Sedikit aneh karena dia berjalan menggunakan tongkat bantu yang tergenggam erat di tangan kanannya, seperti difungsikan untuk menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Bahkan cara berjalan pemuda berambut pirang itu tidak sama dengan orang-orang pada umumnya, rapuh dan pincang. Namun hal itu akan membuat orang-orang yang melihatnya mengerutkan kening tatkala melihat paras tampan pemuda pirang tersebut, bukan karena dua tanda lahir di masing-masing pipinya. Bukan, bukan itu. Namun lebih pada senyuman ramah yang selalu terpasang apik di kulit muka tan-nya, siapapun yang melihatnya akan terhipnotis. Sungguh, ekspresi bersahaja yang ia tunjukan akan membuat siapapun melupakan kekurangan yang dimiliki oleh sang pemuda.

TOK TOK TOK

"Silahkan masuk"

Suara seorang wanita menyapa gendang telinga si pirang, membuatnya tak segan untuk membuka pintu yang ada di depannya.

"Maaf sensei, saya terlambat" pemuda itu sedikit membungkuk.

"Tidak apa Naruto, aku tahu kau hari ini ada tugas piket" sang guru bernama Kurenai itu tersenyum maklum ke pemuda bernama Naruto tersebut. "lebih baik kita mulai saja, silahkan duduk" ujar sang guru, menepuk-nepuk kursi panjang yang ia duduki, seolah berkata bahwa ia menyuruh sang pemuda blonde untuk duduk di sampingnya.

Mengerti, Naruto pun berjalan kearah sebuah piano berwarna hitam yang berada di hadapan sang guru. Kurenai menggeser tubuhnya, memberi ruang untuk sang murid. Naruto melepaskan tongkat miliknya dan menyandarkannya ke piano tersebut. Dengan sedikit bantuan dari sang guru, Naruto pun terduduk di sampingnya. Kurenai mulai memainkan tuts-tuts piano yang ada dihadapannya, diikuti dengan Naruto. Perlahan Naruto memejamkan matanya, menikmati nada-nada indah yang ia dan Kurenai hasilkan.

"Aku tidak bisa berlama-lama disini, mungkin hanya sampai pukul empat" ujar sang guru masih memainkan tuts-tuts piano yang ada dihadapannya.

"Oh, baiklah" ujar Naruto singkat.

"Kejuaraan piano tingkat kota tinggal menghitung hari, jika kali ini kau lolos maka kau akan naik tingkat nasional. Dan itu akan membantumu masuk ke perguruan tinggi Konoha" Naruto menghentikan permainan pianonya, membuat Kurenai mengernyit tak mengerti.

"Aku akan berusaha agar bisa lolos tingkat Nasional"

Naruto memandang sang guru dan tersenyum, Kurenai yang melihatnya mau tak mau ikut tersenyum. Bahagia melihat semangat sang murid, dan hal itu membuat hatinya menjadi hangat. Naruto kembali mengalihkan pandangannya ke piano yang ada di hadapannya, kembali memainkan tuts-tuts piano itu.

"Akan kubuat Ibu bangga dengan permainan pianoku" ujar Naruto dengan senyum bahagia diwajahnya, ia memainkan piano tersebut lebih semangat. Membayangkan bahwa sang ibu akan tersenyum bangga jika ia lolos tingkat nasional nanti.

Kurenai tersenyum melihat pemuda pirang yang ada disampingnya itu. Ia sadar, bahwa keterbatasan tidak akan bisa menghalangi seseorang untuk meraih cita-citanya. Mulanya ia sangsi ketika pemuda yang ada di depannya itu memintanya untuk mengajarinya bermain piano. Kelainan tulang belakang sejak lahir membuat saraf motoriknya tidak bisa bekerja dengan baik, Kurenai tahu itu, itu sebabnya pemuda berambut pirang itu menggunakan tongkat bantu untuk berjalan. Mengajarinya bermain piano pastinya akan sangat sulit. Namun ia kini yakin, bahwa pemuda itu mampu mengharumkan nama sekolahnya bahkan membuat bangga kedua orang tuanya. Ya, Kurenai yakin itu…

.

.

.

"Tadai-!" pekikan Naruto terhenti.

"okaerinasai, Naruto" seorang lelaki berambut hitam berkucir membalas salam Naruto yang terputus. Lelaki itu manatap sang adik dengan sedikit ragu, sama halnya dengan dua lelaki lain yang ada disana. Naruto pun memandang ketiga lelaki yang tengah duduk di ruang tengah itu dengan bingung, sang pemuda pirang itu pun mendekat kearah mereka.

"Kak Itachi, kak Sasuke, dan ayah mau kemana? Kenapa kalian berpakaian rapi sekali?" Naruto pun mendudukan diri disebelah sang kakak, Sasuke, sembari meneliti setiap penampilan orang yang ada disana. Sedikit bingung karena mereka bertiga memakai pakaian formal, padahal saat ini mereka sedang tidak akan bekerja. "Akh!- hari ini kan ulang tahun Ibu, jangan-jangan kita semua akan merayakan ulang tahun Ibu? Kemana? Dimana?" Naruto mulai ingat, ya, hari ini adalah ulang tahun sang ibu. Mikoto. Ibu yang telah melahirkannya.

"ya, kita akan merayakan ulang tahun ibu, Naruto. Ayah sudah memesan tempat untuk makan malam kita sekeluarga." Fugaku membelai helaian pirang Naruto dengan lembut, Naruto tersenyum.

"Benarkah? Kalau begitu aku ganti baju dulu.."

"jangan ajak dia Fugaku!, atau kau lebih memilih membatalkan acara makan malam ini" suara seorang wanita memecah suasana damai yang ada diantara ayah dan anak tersebut, mendengar hal itu mau tak mau sang suami memandang sang istri dengan tatapan tajam.

"Apa maksudmu? Naruto anak kita juga!" suara Fugaku meninggi, ia tidak suka dengan apa yang dikatakan Mikoto terhadap anak bungsunya.

"Hah, anak kita kau bilang? Jangan bilang kalau anak haram ini anakku! Sudah kukatakan berapa kali hah?" suara Mikoto ikut meninggi, menyaingi suara sang suami. Wanita berambut hitam panjang itu pun berjalan kearah si bungsu, sehingga kini ia berdiri tepat dihadapannya, memandangnya dengan tatapan mengejek. "Aku tidak pernah melahirkan anak cacat berambut pirang" perkataan menusuk Mikoto itu lantas membuat Fugaku geram.

"jaga bicaramu! Naruto itu anakmu, anak yang kau lahirkan. Sebagai ibu kau tidak pantas mengatakan hal itu" Fugaku berteriak tepat dihadapan sang istri.

Sasuke yang melihat pertengkaran kedua orang tua itu mendengus kasar, ia merasa panas jika harus berlama-lama berada satu ruangan dengan mereka. Apalagi mendengar perkataan yang keluar dari sang ibu. Ia pun menutup kedua telinga Naruto ketika Mikoto lagi-lagi mengeluarkan perkataan yang menyakitkan, seperti 'Cacat', 'Anak haram', 'Anak tidak berguna', 'Anak memalukan', dan lain sebagainya. Naruto sendiri hanya diam ketika sang ibu mengatakan hal itu berulang-ulang kali, dan Naruto pun selama bertahun-tahun hanya menanggapi dengan cara yang sama. Tak pernah sekalipun ia menangis ketika sang ibu mengatakan hal itu, malahan ia tersenyum dan menatap ibu dengan pandangan sayang. Tapi Sasuke dan Itachi tahu, Naruto tersenyum hanya untuk menghibur dirinya sendiri. Mereka tahu ketika Naruto menangis pada malam hari ketika sang ibu menyumpahinya mati pada pagi dihari Naruto berulang tahun, mereka tahu saat Naruto menangis tanpa suara dikamar pada malam hari ketika siangnya sang Ibu menghina permainan pianonya, mereka tahu saat Naruto menangis di kamar mandi ketika sang ibu membuang kalung yang Naruto hadiahkan padanya.

"Kalau saja Minato sialan itu tidak memperkosaku, pasti hidupku tidak akan hancur seperti ini" tangis Mikoto pecah, ia menatap Fugaku dengan pandangan marah.

Memang benar, Naruto bukanlah anak biologis dari Fugaku. Mikoto mengalami pelecehan seksual ketika ia pulang bekerja disalah satu perusahaan tempatnya bekerja dulu. Seorang lelaki bernama Minato lah pelakunya. Lelaki itu mengaku bahwa ia telah memendam perasaan cinta kepada wanita bersuami itu sejak mereka menginjak bangku SMA, ya, lelaki itu adalah teman SMA Mikoto. Obsesinya pada Mikoto telah membutakan segalanya, ia pun kemudian memperkosa Mikoto dan meninggalkan benih dirahimnya. Kejadian itu membuat Mikoto frustasi, ia bahkan mencoba membunuh Naruto saat ia masih dalam kandungan dengan cara melakukan overdosis. Namun sayang, hal itu dapat digagalkan oleh Fugaku. Tindakan yang dilakukan Mikoto untung tidak sampai membuat sang ibu beserta Naruto kecil meregang nyawa, namun Naruto kecil terpaksa harus menanggung konsekwensi atas tindakan yang dilakukan oleh sang ibu. Naruto kecil terpaksa terlahir menjadi anak yang cacat. Fugaku yang melihat keadaan Naruto kecil tersentuh, hatinya merasa hangat ketika tangan mungil Naruto kecil menggenggam erat jari telunjuknya. Ia pikir tak seharusnya anak sekecil ini disalahkan atas apa yang terjadi pada sang istri, bagaimanapun juga Naruto kecil tidak menghendaki terlahir dari hubungan terlarang dan juga terlahir dengan keadaan yang tidak sempurna. Air matanya mengalir, sejak saat itu Fugaku berjanji, ia akan melindungi Naruto apapun yang terjadi. Hati Fugaku sakit ketika mendapati kenyataan bahwa ia harus melindungi Naruto dari ibu kandungnya sendiri.

"Tak sepantasnya kau menyalahkan Naruto atas semua ini!" Fugaku memegang erat pundak Mikoto dan menatapnya dengan pandangan lembut.

"Kau tidak akan bisa mengerti" Mikoto menatap Fugaku dengan pandangan sakit.

"A-ayah, I-ibu, Kak Itachi dan kak Sasuke, kalian pergi saja. Aku tidak usah ikut, aku dirumah saja. Aku baru ingat hari ini aku banyak peer, jadi tidak bisa ikut pergi." Naruto menginterupsi pembicaraan kedua orang tua itu dengan ragu, ia lalu memandang orang-orang dewasa yang ada dihadapannya dengan sendu.

"Bagus kalau kau mengerti, ayo kita pergi, Itachi, Sasuke, Fugaku" Mikoto pun pergi meninggalkan keempat lelaki yang ada disana.

Itachi menatap sang adik dengan rasa bersalah bersarang didadanya, tidak tega jika ia harus meninggalkan Naruto sendirian dirumah. Namun jika ia tidak melakukan hal itu, maka sang ibu akan lebih membenci Naruto lagi. Dan ia tak mau itu terjadi.

"Sudah kalian pergi saja, aku tidak apa-apa kok" Naruto tersenyum kearah mereka bertiga. 'sungguh, aku tidak apa-apa' ujar Naruto dalam hati, mencoba meyakinkan diri sendiri. Dengan ragu ketiga lelaki itu pun pergi meninggalkan salah satu anggota keluarga mereka. Dan Naruto sendiri hanya menatap kepergian mereka dengan cengiran yang biasa ia tunjukan, membuat rasa bersalah mereka sedikit terobati.

.

.

.

"Ibu.." sedikit ragu Naruto memanggil sang ibu yang tengah duduk dikursi ruang tengah sembari menyesap teh perlahan, ia berdiri tepat di hadapan Mikoto. Membuat Mikoto harus mendongak menghadapnya. "lusa aku ada pentas piano mewakili sekolahku, ibu datang ya. Aku mewakili sekolahku, jadi aku a-"

"Aku sibuk" jawab Mikoto dengan nada ketus, membuat Naruto untuk beberapa saat terdiam. "Sudah sana pergi, kau membuatku sakit" Mikoto mengambil majalah dan membacanya, mencoba menghiraukan sang anak.

"oh, ibu sibuk sekali ya? Hehehe, ya sudah tidak apa-apa. Lagi pula ini hanya tingkat kota, kalau begitu aku pergi dulu" Naruto pun pergi meninggalkan sang ibu dengan hati yang sakit.

Sedih juga karena sang ibu, Mikoto, tidak mau hadir diacara pentas piano Naruto. Meskipun sang ayah dan kedua kakaknya tidak pernah absen melihat pementasan pianonya, namun itu tidak bisa menggantikan kebahagiannya jika sang ibu-lah yang datang melihat pementasan pianonya. Naruto pun kemudian berjalan ke lantai atas, dimana piano hitam miliknya berada. Berusaha mengusir rasa sedih yang hinggap dihatinya dengan bermain piano. Tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan kecuali bermain piano, keterbatasan membuatnya sulit untuk melakukan hal-hal yang lain kecuali bermain piano. Jarang sekali ia keluar untuk bermain bersama teman-temannya. Bukan, bukannya ia tak mau bersosialisasi, ia sadar bahwa ia hanya akan menyusahkan teman-temannya yang lain jika ia ikut bermain bersama mereka. Perlahan ia mulai menekan tuts-tuts piano itu, sehingga menghasilkan suara yang kemudian menjadi nada-nada yang padu. Lembut dan tenang, namun terdengar pedih, permainan piano yang sangat menyayat hati.

.

.

.

Langit di Konoha kali ini tidak secerah biasanya, mungkin benar jika ramalan cuaca disalah satu tv swasta tadi pagi mengatakan bahwa hari ini akan turun hujan. Hujan lebat lebih tepatnya. Gemuruh suara gesekan antar partikel-partikel ion negatif dan positif di langit bahkan terdengar jelas di telinga seorang pemuda berambut pirang yang kini sedang berjalan sembari menenteng sebuah tas berukuran sedang. Sedikit kepayahan ia berjalan menggunakan tongkat bantu miliknya, namun dirinya sendiri bahkan terlihat biasa, atau bisa dibilang sudah terbiasa dengan cara berjalannya sendiri. Pemuda itu tak henti-hentinya memasang senyum menawan di wajah tampan miliknya sembari menatap tas cokelat yang entah apa isinya.

Tes

Setitik air hujan turun tepat di helaian pirang Naruto, membuatnya terkejut. Dengan cepat ia pun memasukan tas cokelat tersebut kedalam tas ransel orange miliknya, takut kalau bungkusan yang ia bawa tadi akan basah. Ia pun kemudian melangkahkan kakinya kembali, sedikit lebih cepat dari biasanya, meskipun air hujan hampir sepenuhnya membasahi tubuhnya. Jalan yang ia lalui sepi, tidak ada toko ataupun halte bis yang bisa ia gunakan untuk berteduh. Salahkan ia yang menolak untuk dijemput oleh sang kakak, Itachi. Memang, SMA Konoha tidak terlalu jauh dari kediaman Uchiha. Namun bagi sang kakak dan ayahnya menjemput Naruto adalah hal wajib yang tidak bisa ditolelir, salahkan juga kekeraskepalaan Naruto yang memaksa untuk tidak dijemput, sehingga mengharuskan sang kakak melanggar aturan tersebut. Dan inilah hasilnya, basah karena hujan. Sesekali Naruto merapatkan jaketnya karena hawa dingin yang menelusup diantara baju seragam dibalik jaket miliknya. Meskipun begitu senyum pemuda itu sama sekali tidak hilang, bahkan semakin melebar tatkala membayangkan wajah sang ibu ketika ia pulang nanti. Ia tahu Mikoto, sang ibu membenci dirinya. Namun rasa sayangnya terhadap sang ibu membutakan segalanya, ia yakin bahwa suatu saat nanti sang ibu akan mau mengakui dirinya. Ya, ia sangat yakin akan hal itu.

Lama bergelut dengan pikirannya sendiri, membuatnya tak sadar bahwa sebuah mobil hitam tengah mengikutinya dari belakang. Tak butuh waktu lama untuk mobil itu berhenti dan membuat sang pemilik keluar dari sana. Seorang lelaki paruh baya keluar dari mobil itu, parasnya yang tampan mungkin akan membuat orang berpikir bahwa lelaki itu berusia tak lebih dari tiga puluh tahun, namun janganlah menilai orang dari penampilan luar. Lelaki paruh baya tersebut berjalan sedikit tergesa, dan berhenti ketika ia tepat berada di hadapan pemuda yang sebelumnya telah ia ikuti sejak dua jam yang lalu.

"Naruto?"

Sang pemuda yang dipanggil lantas menatap orang yang memanggilnya. Ia terkejut, sangat terkejut malah. Ia seperti…

Melihat bayangannya sendiri.

.

.

.

"Dimana Naruto?"

Sang ayah, Fugaku bertanya kepada siapapun yang ada dikediamannya. Seharusnya saat ini si bungsu sudah berada dirumah, ini sudah hampir malam dan ia sama sekali belum melihat batang hidung si pirang.

"Biarkan saja dia pergi, itu lebih baik"

Ujar sang ibu ketus yang sedari tadi sibuk membaca majalah fashion di sofa ruang tengah kediamannya. Fugaku hanya mendengus menanggapi, tidak mau berurusan panjang dengan sang istri. Ia pun kemudian melengang pergi meninggalkan sang istri tanpa pamit. Tiba-tiba saja Itachi, sang anak sulung datang. Membuat Fugaku yang belum sempat keluar dari kediamannya menatap sang Uchiha bungsu dengan raut heran.

"Dimana Naruto?" Tanya Fugaku kepada sang anak, Itachi.

"Dia bilang tidak ingin dijemput hari ini, dia ada tugas kelompok bersama teman-temannya" ujar Itachi menanggapi.

"telfon dia, tanyakan dimana dia sekarang dan jemput dia" perintah sang ayah kepada Itachi, dan dibalas sang anak dengan anggukan kepala.

.

.

.

"Akulah ayah kandungmu"

Pernyataan lelaki berambut pirang itu membuat pemuda pirang dengan warna mata senada dengan miliknya itu mengerutkan kening. Ia tatap lelaki paruh baya di depannya dengan pandangan menyelidik. Sepintas fisik dan ciri-cirinya sama, hanya usia yang membedakan mereka. Lelaki itu menatap Naruto lurus, mencoba meyakinkan pemuda yang kini sedang memegang secangkir cokelat panas dengan kedua telapak tangannya tersebut. Ya, kini mereka sedang berada di sebuah café tak jauh dari mereka pertama kali bertemu tadi.

"A-ayah kandung?" Naruto kembali bertanya, mencoba memastikan pendengarannya.

Lelaki itu mengangguk.

"Mungkin kau sudah tahu jika ibumu melahirkanmu karena…,"

"Stop, jangan lanjutkan" sedikit terkejut lelaki itu ketika tiba-tiba saja Naruto memotong perkataannya, membuatnya merasa bersalah. "Sebenarnya apa maksud anda menemui saya" ujar Naruto menatap sang lelaki dengan tatapan tajam, merasa tidak nyaman dengan awal pembicaraan mereka.

"Kumohon, ikutlah denganku, akulah ayah kandungmu. Minato Namikaze"

Naruto beranjak dari kursinya, mengenakan tas ranselnya dan membenarkan jaket yang ia kenakan kemudian menatap Minato dengan dingin. Ia tarik nafasnya dalam-dalam, mencoba mengumpulkan segenap kekuatannya.

"Bagaimana mungkin anda bisa berkata seperti itu setelah apa yang dialami oleh ibuku. Anda adalah orang yang membuatku merasa bersalah telah terlahir dari rahim ibuku," Naruto memejamkan matanya sejenak, "Dan jika anda bertanya apakah aku mau ikut dengan anda maka jawabannya adalah, tidak. Aku akan terus bersama ibu sampai ia mau memaafkanku atas dosa-dosa yang anda perbuat. Saya harus pergi, permisi"

Naruto pun pergi, meninggalkan Minato yang masih sama dengan posisinya tadi. Perkataan Naruto tadi membuatnya sakit. Jujur, ia sangat menyayangi Naruto. Setelah sekian lama menyesali apa yang ia perbuat kepada Mikoto, ia pun mengerti. Ia lah yang harus bertanggung jawab atas segalanya, ia juga mengerti bahwa cinta adalah suatu hal yang tidak bisa ia paksakan. Kini ia sudah merelakan Mikoto bersama Fugaku, namun kelahiran Naruto yang sampai ke telinganya membuatnya memiliki semangat baru. Ia merasa sangat bahagia atas kelahiran Naruto, ia bahagia telah menjadi seorang ayah meskipun secara tidak langsung. Ia bertekad akan memperbaiki jalan hidupnya sehingga dapat membawa Naruto hidup bersamanya dan membahagiakannya. Namun sepertinya itu tidak semudah yang Minato bayangkan.

'Ayah tak akan menyerah, Naruto' ujar Minato dalam hati.

Bersambung…


Author's Note :

Hi Mina-san, terima kasih sudah mau mampir sejenak buat ngebaca fanfict-ku. semoga yang baca fanfict-ku selamat dunia akhirat dan dapet pahala, amiin. Fanfict ini kira-kira akan bersambung sampai tiga-empat chapter kedepan. Aku dapet ide ini waktu ngga sengaja nonton ftv tentang anak cacat yang terlahir karena hasil hubungan bebas sang ibu bersama pacarnya, dan berakhir dengan sang ibu yang menikah dengan lelaki lain yang nggak dicintainya, tapi malah menjadi orang yang paling sayang sama anaknya. Si ibu sendiri malahan benci dan mencoba membunuh si anak (#kok jadi cerita). Tapi tenang ajah buat para readers, cerita ini bakal bedaaaa banget ama yang ada di ftv. Aku cuman ngambil konfliknya ajah tapi jalan sama isi ceritanya beda. Semoga readers berkenan.

Wassalam.

Seperti biasa, silahkan isi daftar hadir di kolom

Review!

~\Ciao/~