A/N : Telat tertarik, telat nonton animenya, dan telat juga mampir ke fandom ini. Ah halo! Perkenalkan, saya Tsukkika Fleur yang sering kelayapan di fandom perbasketan /? Karena ini fic pertama saya di fandom-dan otp-yang indah ini, makanya ada A/N nyampah begini di depan cerita hwhw /?
Don't Be Gone Too Long
.
Don't Be Gone Too Long (the story) © Tsukkika Fleur
Haikyuu! © Haruichi Furudate
Don't Be Gone Too Long (title and lyrics) © Chris Brown ft. Ariana Grande
.
Warning! Nyerempet ShoAi!, AU, alur cepat, OOC(?), Typo(s), genre gagal(?), et cetera.
.
Happy reading~
.
.
.
Cause you won't be there to love me when you're gone.
.
.
.
Aneh. Hinata tahu ada yang aneh pada diri Kageyama akhir-akhir ini.
Diri Kageyama yang Hinata akui sudah semakin dewasa pada tahun ketiga mereka belum cukup untuk menutupi perasaan gelisah—atau cemas atau apapun itu—yang tengah mengusik batin setter Karasuno yang kini merangkap pula sebagai kapten.
Serve maupun toss yang rasanya makin hebat saja setiap harinya memang tidak terkena efek samping, namun Hinata iya—secara batin maupun fisik.
Oh, ayolah! Bagaimana kau bisa tidak terganggu apabila sahabat—sekaligus rival—terdekat yang biasanya cerewet kini lebih banyak diam? Bagaimana kau tidak cemas begitu mendapati sahabatmu yang kurang ajar itu menjadi lebih sering melamun dan tiba-tiba berubah menjadi diri yang melankolis? Melontar lelucon pun rasanya semakin jarang ditanggapi. Meledek pun kini percuma karena ia lebih memilih untuk tersenyum tipis untuk menanggapi alih-alih meledek balik yang sering diakhiri cekcok antar mulut. Bertanya? Ah. Hinata rasanya sudah melakukannya ribuan kali dan seluruhnya hanya dibalas dengan gelengan kepala beserta untaian kata aku tidak apa-apa.
Hinata resah. Sungguh.
Ia tahu dari dulu Kageyama selalu memilih diam dan tidak mengutarakan perasaan macam apa yang tengah ia hadapi secara gamblang. Memilih untuk berspekulasi tanpa diskusi. Serta memilih untuk mengemban beban tanpa membagi pada pundak teman seperjuangan.
Namun kini Kageyama sudah kelewatan.
Demi bakpao daging yang sering mereka santap bersama, tahun ini adalah tahun terakhir mereka di Karasuno. Tahun yang seharusnya menjadi memori indah karena akan menjadi keping kenangan terakhir untuk menutup masa SMA mereka. Seharusnya.
Hinata tidak berharap muluk-muluk, kok. Ia tidak butuh Tsukishima bermulut sopan, atau Yamaguchi tak lagi ikut mengolok-olok dirinya, dan ia tidak butuh Kageyama yang tiba-tiba berubah menjadi malaikat. Hinata hanya ingin keadaan statis. Tidak perlu ada yang berubah, sudah begitu adanya, dan itu sudah lebih dari cukup.
Ia kemudian menjadi naif, lupa bahwa kehidupan manusia adalah dinamis. Segala sesuatu tentang manusia sedikit-banyak, lambat-laun, senantiasa berubah.
Dan Kageyama berubah, malah menjadi seperti bukan Kageyama.
Hal itu adalah hal terburuk yang pernah Hinata bisa bayangkan.
Bahkan kepalanya seringkali terasa sakit, membayangkan sosok yang selama ini berdiri di sampingnya sebagai lawan maupun kawan akan pergi meninggalkannya.
Meninggalkannya sendirian.
.
.
.
Hinata memperkirakan bahwa ini adalah hari ketujuh tepat setelah Kageyama mengikis sedikit-banyak kebiasaannya, terutama dengan dirinya.
(Ingat, Hinata hanya memperkirakan. Dirinya tidak pernah tahu pasti berapa lama hal ini sudah berlangsung. Mungkin saja aksi menutup diri Kageyama sudah memasuki hari yang lebih banyak ketimbang tujuh.)
Ia mengernyit. Sakit kepalanya bertahan lebih lama dari biasanya.
(Bisa tidur barang empat jam sehari sudah menjadi anugerah tersendiri bagi Hinata selama sepekan terakhir.)
Hinata memantapkan dalam hati bahwa ia harus segera membereskan hal ini. Berbicara padanya hingga tuntas. Hinata ogah dirinya lebih lama lagi berada dalam kegelisahan tak berujung—dan oh, karena penyebabnya adalah Kageyama ia lantas tak mau lagi berdiam diri seperti ini.
Kageyama Bodoh itu benar-benar harus dihajar.
"HINATA!"
Teriakan Kageyama berkumandang, pikirannya buyar. Hinata cepat-cepat menyerap segala informasi yang ia tak sengaja lewatkan.
Bola voli dari sisi lawan melambung kencang, mengarah tepat pada pinggir kanan lapangan yang kosong tidak terjaga sama sekali.
Hinata yang tengah kebagian rotasi di belakang segera berlari. Menyelamatkan bola agar tak menyentuh lantai lalu dapat melambungkannya kembali setidaknya untuk di-cover, mujur jika ia dapat menyerahkan dengan mulus pada setter.
Receive-nya sukses. Bola voli itu kini melambung tepat mengarah pada Kageyama tanpa harus di-cover terlebih dahulu.
Setidaknya Hinata berhasil, walau harus menyerahkan diri kepada Hukum Newton I yang menghempas tubuh kecilnya menabrak dinding gym dan tak sadarkan diri.
.
.
.
"Sudah baikan?"
Hinata melenguh, kemudian lantas mengerjapkan matanya.
Dan ia, Kageyama Tobio, adalah sosok pertama yang dikenali olehnya saat membuka mata.
"Kageyama…" ia mengerjap ke samping kanan dan kirinya, "ini dimana?"
Yang ditanya mendengus, "Ruang kesehatan. Memangnya apalagi?"
Hinata menatap Kageyama lagi, lalu mengangguk lamat sebelum ia terlonjak kaget dan terduduk sepenuhnya.
"Latihan? Latihannya bagaimana? Kok kau malah di sini?!" Hinata mencerca panik. "Kapten tidak boleh bolos!
Kageyama mendecak sebal, "Aku segera membubarkan latihan tepat setelah kau pingsan."
Sekujur tubuh Hinata beku. Salahkah apa yang baru saja ia dengar barusan?
"Boke! Untuk apa kau melakukan itu, Kageyama Super Bodoh?!"
"Lebih baik aku bubarkan apabila aku tidak dapat fokus."
"Ha? Kok begitu?"
Kageyama diam. Lalu menghela napas—memutuskan untuk tidak menanggapi Hinata lebih jauh.
Hinata mencelos. Perilaku ini masih seperti Kageyama yang baru; Kageyama yang tidak berniat untuk membalas segala ejekan dari mulutnya.
Kedua tangannya mengerat pada selimut putih pembungkus tubuh. Kageyama masih sama, Kageyama masih sama.
"Jadi?"
Hinata mendongak.
"Sudah berapa lama kau tidak tidur dengan benar?"
Mata besarnya membulat. Kageyama menyadarinya?
"A-ah… aku selalu tidur dengan benar, kok. Hahahaha…"
Hinata mengelak.
"Jawab, Hinata."
"Sungguh, aku tidak berbohong!"
"Kau tidak pandai berbohong."
"Kali ini aku jujur, Kageyama!"
"Shouyou."
Hinata bergeming.
Kageyama melempar pandangan yang sulit diartikan, "Ayo, pulang."
.
.
.
Hinata tidak begitu yakin sudah berapa lama ia tak sadar. Seingatnya saat ia masih latihan tadi, matahari belum mendekati horizon. Kini sisa keemasan atau jingga milik matahari senja tidak terlihat di mana-mana. Yang ada hanya ribuan konstelasi bintang beserta rembulan yang sudah terlalu tinggi.
Sepertinya tidak tidur cukup selama sepekan memiliki andil di dalamnya.
Hinata merapatkan syal putihnya. Angin musim gugur yang sebentar lagi berganti menjadi hembusan penuh salju membuatnya berjengit. Tangan telanjangnya menggiring sepedanya di bagian kanan. Berjalan berjejer tiga dengan Kageyama di sebelah kirinya apabila sepeda kesayangannya dihitung.
Canggung.
Biasanya mereka tak kesulitan untuk menemukan topik pembicaraan atau segala sesuatu yang dapat mereka ributkan.
Ia ingat pernah meributkan manakah yang lebih hebat di antara bulan dan bintang. Atau mempertahankan pendapat masing-masing siapa senior yang lebih keren. Atau malah adu mulut tentang fisik maupun masa lalu masing-masing.
Heh. Sekarang apa?
Memang pernah sekali waktu mereka diam di sepanjang jalan, namun rasanya tidak secanggung atau semenyesakkan ini.
Mana ketetapan hatinya yang ingin menyelesaikan masalah ini dengan tuntas? Hilang sudah.
"Omong-omong."
Hinata mendongak—kaget dan spontan. Siapa sangka malah Kageyama yang membuka percakapan duluan?
"Apa?"
"Kau belum menjawab pertanyaanku saat di Ruang Kesehatan tadi."
Pertanyaan? Ah, yang tentang dirinya berapa lama tidak tidur cukup, ya?
"S-sudah… bukan?" Hinata mencicit.
Kageyama memandangnya tajam, "Kantung mata menebal, serta menurunnya stamina dan fokus memangnya bisa berbohong, heh?"
Telak. Hinata kalah.
"…sepekan."
"Hah?" Kageyama berhenti kemudian mencengkram tangan Hinata untuk menyuruhnya ikut berhenti.
"SATU MINGGU, KAGEYAMA BODOH! KAU TULI, YA?"
Kageyama mengerjap, tidak menyangka teriakan Hinata yang sudah lama tidak mendobrak masuk timpaninya akan meledak sekarang.
"…sepekan? Apa saja yang kau lakukan, ha?"
Hinata kembali berjalan sembari menatap Kageyama sengit, "Menurutmu?"
Kageyama malah tak bisa menggerakkan kakinya, "Bukankah kau sendiri yang bilang apabila tidak disuarakan, kita tidak akan tahu apa yang tengah dipikirkan oleh orang lain?"
Hinata sukses berhenti. Membalik badan, menatap Kageyama yang entah mengapa tengah menjadi orang terbodoh sedunia. Tatapan tajam dilayangkan.
"Ucapkan hal itu pada dirimu sendiri, Kageyama!" Hinata berseru ketus. "Memangnya apa yang kau pikirkan sampai segitunya selama sepekan ini, hah?!"
Kageyama terperanjat.
"Kutanya padamu, apa yang membuatmu sampai terusik begitu? Hal sepenting apa sih yang membuatmu tidak ingin membaginya denganku?!"
Lepas sudah. Pertanyaan yang selama ini selalu ditanyakannya secara halus kini keluar sedemikian kasar dari pita suaranya. Persetan. Hinata tidak peduli. Memangnya ia sanggup melihat Kageyama begini terus?
Memangnya ia sanggup resah dan gelisah seperti ini terus?
Kageyama malah bergeming. Tangan di sisi tubuhnya mengepal dan ia malah membuang muka. Ke arah mana saja asal tidak bertemu tatap dengan Hinata. Entah itu ke gunung, padang rumput, maupun retakan aspal sekalipun.
Kini ia paham, Hinata tak bisa tidur adalah salahnya.
"Tuh. Kau ingin tahu apa yang kupikirkan tapi kau sendiri tidak memberitahuku apa yang kau pikirkan." ujar Hinata lagi setelah sadar Kageyama urung merespon. "Raja Egois."
Kageyama berjengit mendengar dua kata terakhir, sehebat apapun ia menyangkal, tetapi rasanya terlalu benar adanya.
"Hinata…"
"Apa, Raja Egois?"
"Aku menerima undangan…" Kageyama kini menatap Hinata lekat, "untuk ke Inggris."
Sepedanya ambruk menubruk aspal.
Apa yang ditakutkannya… malah menjadi nyata?
.
.
.
Tell me, who's gonna love me when you're gone?
.
.
.
A/N : Halo! (lagi) Jadi ini part 1 nya, karena entah mengapa lebih enak dipisah walau ini masih terlampau pendek yha hwhw Inspirasi bikin fic ini karena saya kurang asupan KageHina di fandom Haikyuu! Indo :'3 dan disodorin lagu ini sama saudara hehe
.
Tsukkika F
(05/30/2015)
