Our True Self
Yo minna Haru-chan desu! Atashi author baru di website ini, Yoroshiku nee~^^
1. Mohon dimaklumi kalau-kalau plot cerita dan penggunaan bahasa terkesan aneh berhubung atashi masih Newbie heuheuheu.
2. Tadinya author-san mau menambahkan lebih banyak lagi penyelipan(?) bahasa jepangnya supaya lebih GREGET. Tapi atashi takut kalian pada memprotes Haru-chan karena tidak paham maksudnya.. (;;~;;)
3. Dan satu lagi. Jangan diambil hati ya kalau tokoh Vocaloid yang kalian suka disebut-sebut sebagai antagonis disini. Atashi memasukkan nama mereka biar kesan Vocaloid nya dapet*-*)b Lagipula ini kan OOC..
4. Komen dan saran kalian sangat diterima, jadi tak usah sungkan~
CAUTION!
This fanfiction contains some side effects such as 'Jantungan', 'Sakau', 'Badan pegal-pegal', and 'Nyeri Sendi'. (Oke lupakan yang ini. Aneh bin ngaco emang- -)
Vocaloid characters © Crypton and YAMAHA or whatever :V
Main Pairing :
Miku X Kaito
Others :
Rin X Len
Luka X Gakupo
Read and Review please.. Enjoy!
1st Fragment, Rainy Blue
"O.. Jadi benda itu milikmu Shion? Gomen nee," Gemuruh tawa menggema di sepanjang koridor sekolah sore itu. Suaranya memekakkan serta membuat panas telinga, khususnya untuk seseorang. Diam-diam Ia menggertakkan giginya sembari mengepalkan tangannya kencang hingga buku-buku jemarinya memutih.
Ah Payungku. Batin Kaito pedih.
Sekarang benda yang sedari tadi dicarinya itu tak pantas lagi disebut begitu. −Pegangan besinya bengkok parah, rangkanya patah, dan tudung payungnya bolong di semua sisi nyaris tak tersisa− Mana mungkin payung tak layak pakai begini dapat membuatnya tetap kering? Kini benda itu tinggalah seonggok sampah.
BLETAK! Kaito tak mempedulikan batu yang entah darimana dilempar ke arahnya hingga membuat pendarahan di pelipis kanannya. Ia justru mengais apa yang tersisa dari payung pemberian ibunya itu lalu bergegas menjauh masih dalam diam. "Hell yeah! Tepat sasaran," Seru YOHIO diikuti tepukan tangan ke tangannya dengan Lui. Mereka berdua satu kelas dengan Kaito di kelas 2-2. Kaito mengenali keduanya tapi memilih mengabaikan.
Namun sepasang.. Puluhan pasang mata diantaranya menatap iba remaja lelaki ini. "Menjijikan.."Kaito mendengus malas. Belas kasihan takkan mengubah apapun, toh mereka hanya mempedulikan diri sendiri tanpa mau terlibat. Terbaca dari tingkah mereka yang seolah mengisyaratkan 'Biarkan Shion Kaito yang menjadi objek penyiksaan, asal tak ikut campur semua beres.' Sungguh− Kaito mengutuk semuanya tanpa terkecuali bahkan kehidupannya dan dunia yang begitu dingin terhadap dirinya.
Kh.. aku tak mengerti lagi, lirihnya dalam hati. Begitu berhasil lolos dari atmosfer yang memuakkan itu, Kaito menyandarkan dirinya di tumpukan kursi ujian −Mereka diletakkan di gudang yang terletak di bawah tangga darurat− yang sudah rapuh dan tak lagi dipakai. Sempurna. Letaknya tak banyak diketahui, jadi jarang orang berkeliaran disana dan itulah sebabnya kau nyaris tak mendengar apapun saat berada didalam gudang berukuran mini ini. Kaito membiarkan pintu gudang terbuka.
Disana Kaito hanya ditemani suara rintik-rintik hujan yang menghantam keras bumi Jepang seharian ini tanpa henti. Paling tidak di Tokyo tepatnya. Kaito perlahan menyeka darah hangat yang mengalir di sekitar wajah dan matanya. "Mn.." Ia memang tak banyak bicara. Kalaupun bicara itu hanya sebatas dengan dirinya sendiri. Kaito menekuk lalu merapatkan kedua kakinya di dada. Kemudian memeluknya, menenggelamkan wajahnya di sela-sela lengannya dan menjatuhkan dirinya kesamping.
Sepasang mata berwarna biru laut miliknya beberapa kali berkedip kemudian perlahan terpejam. Hawa dingin yang menusuk hingga tulang rusuk tak mengurungkan niatnya untuk melepas penat. Lagipula mantel bulu tua dan syal yang warnanya serasi dengan mata dan rambutnya ada disana membungkus tubuh dan leher kurus Kaito dalam kehangatan setiap saat. Yang jelas benda kesayangannya itu memiliki kehangatan yang tak dipunyai kedua orang tua.. Keluarga Shion maksudnya. Kau tahu? Selama hidup hal yang dikerjakannya hanyalah bangun, makan, belajar, kerja dan tidur. Tidur, Kaito bisa melakukannya kapanpun dan dimanapun itu. Bahkan sekarang Ia telah larut dalam mimpi. Mimpi buruk yang terus menghantuinya.
Kaito's POV
Saat itu usiaku sembilan tahun. Saat itu juga aku memasuki semester genap di bangku kelas tiga sekolah dasar.
"Jangan Mei-chan! Ibuku bilang kontak mata dengannya dilarang−"
Karena merasa terpanggil, seketika aku menghentikan langkahku. Apa itu? Aneh sekali. Aku menarik syal biru tuaku hingga menutupi seringai di bibirku.
"Ku-Kutukan?! Ih seram!"
"Sshhh! Akita, Mi-tan juga ayo segera pergi dari sini!"
"Akh tentu, aku tak mau kehilangan salah satu kakiku karenanya."
Aku berhenti mendengarkan dan lanjut berjalan. Setibanya di kelas aku segera duduk di tempat duduk sebelah pojok dekat jendela. Didepan bangkuku sudah ada seseorang yang mengisi. Seseorang yang sangat kukenal. "Ohayou, Megurine-san." Aku menumpukan daguku di sebelah tanganku lalu menatapnya datar dari belakang. Megurine jadi salah tingkah dan menggeliat kesana-kemari. Tapi Ia masih tak berani menatapku. "Hei," Kataku lagi. Kali ini Megurine hanya mematung. Jadi aku menepuk pundaknya, dan benar saja Ia langsung merinding.
"Begitu ya? Jadi kau memang percaya pada rumor bodoh itu." Lagi-lagi aku menyeringai masam, Megurine masih tak menjawab. Badannya gemetar hebat.. Aku tahu betul dia menahan tangisannya. "Lepaskan," Desis Megurine nyaris tak terdengar. Ia menepis tanganku lalu bangkit dari tempatnya dan pergi. Masih tak menatapku juga.
Aku mengangkat kedua bahuku tak peduli kemudian menggeliat sambil menguap bosan. Ini sudah biasa. Apa? Kau bilang aku si jahat? Kalau begitu aku hanya akan tertawa terbahak-bahak tepat di wajahmu dengan suara keras. Orang-orang seperti Piko dan teman-temannya lah yang antagonis disini. Lihatlah sendiri, mereka menganggapku ini serangga kecil yang tak berarti dan sebagian lagi memperlakukanku seakan aku ini seekor iblis yang mengerikan. Rumor-rumor aneh tentangku terus berdatangan, seperti 'Kalau menjalin hubungan dengan Shion Kaito salah satu kakimu akan celaka. Menjadi lumpuh persis seperti miliknya.' Heh.
Akhirnya satu lagi hari bersekolah yang kubenci selesai kujalani. Kuputuskan untuk mampir sebentar ke pinggiran sungai tempatku biasa mengutuk kehidupanku. "ORAA!" Jantungku nyaris melompat mendengarnya. Aku celingak-celingukan mencari sumber suara tadi. Belum sempat bereaksi melihat apa yang kutemukan di hadapanku, kepalan tangan keburu mendarat tepat di hidungku.
PRAK!
Jatuhku cukup keras ternyata. Si Bos Terong dan anak buahnya menggeram ganas padaku sekarang. "Jadi apa Megurine-san yang berkata tidak-tidak padamu?" Gakupo malah melepas tendangannya dan mendengus keras. Aku menatapnya datar yang membuat Gakupo makin geram dan memerintah anak buahnya menghajarku. Aku memutar pandanganku dan memilih merangkak untuk mengambil tongkat besi penyangga milikku yang sukses Ia rusak. Tapi tak butuh waktu lama untuk tahu, Gakupo sudah menahan badanku. Tepatnya menginjak dadaku.
"KYAA!"
"Gawat Ketua! Seseorang melihat kita,"
"Ukh sial, ayo kita tinggal si bodoh ini."
Mereka pada akhirnya pergi berkat pekikkan milik.. –Yang jelas orang itu perempuan.− Entah siapa. Aku tak tahu lagi harus bicara apa pada Ibuku. Luka-luka kali ini sulit disembunyikan dan aku tak ingin orang rumah khawatir. Tiba-tiba aku menerima panggilan masuk dari ponselku. "..Moshi moshi, Okaa-san?" Kataku.
"Dia pulang.."
"Siapa?"
"Otou-san."
Tunggu tunggu, tadi ibu bilang 'Otou-san'? Ayah? Aku mengernyitkan dahiku bingung. Selama lebih dari 3 tahun lalu Ia menghilang. Ibu pernah bilang ayah kecelakaan dan kemungkinan lupa ingatan sampai-sampai tak kunjung kembali. Dan sejak saat itu Okaa-san terus bertahan dan memilih untuk setia. Aku menyunggingkan senyuman tipis tanda paham. "Syukurlah! Okaa-san kedengaran tidak bersema−"
"Tasukete."
Aku tak ingat betul kejadian selanjutnya. Yang kuingat begitu suara benturan keras dari seberang ponselku terdengar, aku sontak meneriakkan nama ibuku lalu menyeret diriku pulang dengan mengerahkan sekuat tenaga. Ketika sampai yang kulihat hanyalah sosok kecil itu, ibu, dan.. Siapa lelaki itu?
"OTOU-SAN!" Kaito mengigau dalam tidurnya. Ia sontak terbangun, bangkit terburu-buru, dan mengatur nafasnya yang jadi tidak karuan karena mimpi itu. Kejadian itu memang pernah dialaminya sekitar 8 tahun yang lalu. Masa lalu yang menambah kekelaman memang. Kaito mengangkat sebelah tangannya yang gemetar hebat. Menatapnya dalam-dalam seolah memerintahnya untuk berhenti. Kaito menghela nafas lega ketika keterguncangannya membaik. Tapi hujan masih tak mengalah rupanya.
SPLASH!
"Ng?" Kaito reflek menoleh ke sumber suara. Ternyata ada seseorang yang tergelincir di genangan hujan. Kaito menyipitkan pandangannya agar bisa melihat lebih jelas. Orang itu berusaha berdiri namun berkali-kali tumbang. Setelah dilihat-lihat ternyata seorang gadis berkuncir dua.. Seorang gadis? Seharusnya terdengar suara pekikkan ketika Ia jatuh. Tapi kemudian Kaito tak mempedulikannya dan membiarkan apa yang Ia saksikan sebagai angin lalu. Kaito lagi-lagi memejamkan matanya. −Tanpa niatan untuk tidur kali ini−
Lima menit berlangsung sudah. Karena penasaran Kaito menongolkan kepalanya melihat situasi diluar. Ia membelalakkan matanya ketika menemukan sang gadis masih di titik yang sama saat Kaito belum terpejam. "Dia bodoh atau apa?!" Kaito celingak-celingukkan berharap seseorang menolongnya. Bagaimana kalau dia sebetulnya sakit? Bagaimana kalau saat ini dia benar-benar pingsan? Kaito dibuat makin panik ketika gadis itu menghentikan pergulatannya dengan genangan hujan.
Aneh. Sudah beberapa orang melintasi gadis itu tapi mereka.. Hanya melihat. Dengan sebelah mata pula. Ada yang sepertinya malah mencibirnya atau mentertawakannya. Entah mengapa dada Kaito terasa sesak sekali menyaksikannya. Ia tahu betul perasaan kecil setiap diperlakukan begitu oleh orang-orang. Tapi Kaito mengaku merasa sedikit bersalah karena berharap yang tidak-tidak. Berharap pada akhirnya ada orang yang sama menderitanya dengan dirinya. Tak tega hanya melihat, setelah keadaan sepi Kaito memberanikan diri menerobos hujan dan menghampiri gadis itu yang ternyata masih sadar.
Setelah cukup dekat Kaito melepas pegangannya dari tongkat besi yang menyangga kaki kanannya agar tetap bisa berjalan. Kaito mulai memasang mantel bulu miliknya di tubuh si gadis sembari membisikkan sesuatu di dekat telinganya agar Ia bisa mendengarnya.
"Ayunkan kakimu, jangan menyeretnya."
Gadis itu tersentak lalu memutar kepalanya patah-patah. Disanalah sepasang mata sapphire miliknya mengunci pandangan Kaito. Kalau dipikir-pikir Kaito belum pernah melihatnya sebelumnya. Rambutnya yang berwarna biru kehijau-hijauan tampak berkilauan bersimbah air hujan. Tubuhnya ramping dan kulitnya terlihat pucat. Mereka tanpa sadar melekatkan pandangannya pada orang yang ada dihadapannya masing-masing.
Sampai si gadis mengakhirinya lalu melarikan diri terbirit-birit. Tanpa berkata satu patah kata pun. Di saat itu pula Kaito kehilangan harapan dan bayangannya tentang gadis itu. "Haha.. Kurasa dia hanya punya banyak musuh. Gadis cantik sekalipun ternyata sama saja." Ujar Kaito yang sekarang berada ditengah-tengah hujan yang semakin deras.
Seorang diri.
To be continued..
Story owned by Aizawa Harumi
