Ansatsu Kyoushitsu © Matsui Yuusei
Chihayafuru © Suetsugu Yuki


.

On that far mountain
On the slope below the peak
Cherries are in flower.*


Teluk Naniwa mengalir di kepalanya, sementara lima puluh kartu tergeletak di hadapan tatami, membentuk barisan; Karma menemukan senyum Yuuma di antara aliran itu dan musiknya pun berkumandang.

Dengarkan ini dan kau akan mengerti, Karma.

Mustahil, Karma bukan Kanzaki yang menyukai literasi, ia tidak akan mengerti semua ini hanya dari seratus puisi yang disetel kaset perekam tua itu; sama sekali tidak. Karma mengertinya dari bagaimana punggung telapak tangannya menyentuh kulit porselen Yuuma ketimbang seharusnya karuta (yang tak lagi ia suka), menjangkaunya, memetakan jemarinya pada setiap senti yang terekspos. Udara lembap yang ditiup angin musim panas ikut-ikutan memberi semangat.

Tapi, Karma, dengarkan. Dengarkan.

Apanya? Karma sedari tadi mendengarkan, bukan? Setidaknya sampai puisi Naniwa selesai dibacakan, dan kini saatnya Yuuma yang mendengarkan; semua, semua, segalanya— degup jantung Karma, napas berat Karma, dan konfesi cintanya yang dalam lima detik akan diutarakan jika saja Yuuma tidak bergerak menjauh.

Kau tidak mengerti cara bermainnya, huh?

Yuuma yang tidak mengerti. Ini bukan permainan bagi Karma. Ia tidak peduli pada kartu yang berserakan itu (beberapa mungkin menempel di tungkainya yang lengket oleh keringat ketika ia beringsut mendekat; ah persetan dengan karuta, dan kompetisinya, dan Arata yang telah mengalahkannya). Oh, Karma bahkan tak peduli pada bait berikutnya yang dibacakan. Biar saja, biar saja. Ini bukan permainan, dan jika Yuuma masih menganggapnya begitu, ia takkan segan-segan melempar kekacauan.

Tapi, Karma, apakah kau mendengarkan?

Karma tidak lagi mendengarkan. Sebab di hadapan wajah Yuuma yang begitu dekat, Karma merasa tuli. Dan bisu. Dan mungkin akan buta apabila ia terus-terusan memandangnya tanpa berkedip. Panas udara memang menyengat, namun panas dari dalam dirinya membara, membakar akal sehatnya sampai menjadi abu. Bibirnya tersapu pada kulit-kulit porselen itu, tidak sekali saja; ia merayap untuk menjangkau sudut-sudut tak terjangkau, menggapai lekuk-lekuk tak tergapai, berharap mendapatkan jawaban, atau setidaknya, pengertian. Yuuma menghela satu tarikan napas yang panjang, tak (pernah) menolak. Tak bisa menolak. Tak mau menolak.

Alunan itu—kau dengar?

Jika ini tentang suara napas mereka yang menjadi seirama, jika ini tentang suara gesekan seragam Yuuma pada jemarinya yang berlarian di atas sana, jika ini tentang suara-suara puisi ogura yang dibacakan (teredam bersama latar belakang), atau bahkan jika ini tentang suara-suara lolos Yuuma yang berkeriap di dalam benaknya, Karma bisa saja mengkonfirmasi, Tetapi jika bukan tentang semua itu, jika sama sekali bukan tentang itu, Karma tak yakin ia tahu.

Kalau begitu kemarilah. Dengarkan.

Tangan Yuuma mengundang tangannya untuk maju, menggapai kerah berantakan, turun pada saku, sedikit lebih tinggi, kemudian berhenti. Ada sesuatu selain hangat tangan Yuuma yang merambat pada tangannya, sesuatu yang cepat, mungkin lebih cepat dari cara Arata mengambil karuta (dan Karma sadar ia tidak akan memenangkan kompetisi itu; ia tak perlu lagi memenagkan kompetisi itu); elektris, memacu sesuatu yang sama terjadi pada pembuluh-pembuluh nadinya. Yuuma, kemudian, tanpa lelah kembali tersenyum.

Kau dengar?—bisik Yuuma, musiknya bertambah kencang. Sementara jauh dari sini, entah di mana, Teluk Naniwa mengalir deras.

['Ya, aku mendengar jantungmu menyatakan cinta padaku.']


Oh, let the mountain mists
Not arise to hide the scene.*

.


-fin-

.

*salah satu puisi dalam hyakunin isshu oleh Oe no Masafusa. Bait versi romaji:

Takasago no
Onoe no sakura
Saki ni keri

Toyama no kasumi
Tatazu mo aranan

.