Paris.

Kota yang sarat akan seni. Yeah, bukankah sudah terkenal ke seluruh dunia?

Sai, sang pelukis muda nan tampan, sedang berjalan santai menuju perpustakaan kota. Pikirannya penat, satu-satunya hal yang ia inginkan adalah membaca buku. Buku apa saja.

Bahkan kalau nanti ia menemukan buku tentang mekanika mesin, atau kumpulan resep makanan tradisional khas negara-negara bagian Asia Barat, ia akan membacanya.

Mungkin bagus juga kalau ia melukis tentang mesin yang super mini jam tangan atau makanan khas Arab Saudi yang menggugah selera seperti… apa?

Sai bahkan tak tahu apa nama masakan itu.

Idenya buntu. Tembok hitam besar menutup imajinasinya. Macet. Padahal minggu depan ia harus menyetor lukisan ke museum Louvre.

Catat itu : museum Louvre (!!!)

Apa yang harus ia goreskan di atas kanvas??!!!

"Cling cling cling"

Akhirnya Sai sampai. Lelaki muda itu masuk diiringi bunyi lonceng-lonceng kecil dan disambut oleh mata biru aquamarine.

Eh?

Sai terhenti.

Waktu terhenti.

Mata hitam malamnya bersibobrok dengan mata biru muda milik seorang gadis pirang yang can… -ehem-… tik.

1

2

3

Hanya 3 detik, kemudian si gadis membuang muka, kembali berbicara di HP putih gadingnya dengan nada agak marah.

Sai tertegun.

Tapi kemudian ia ingat ini di perpustakaan. Jadi…

Gadis tadi berbalik, mengurungkan niatnya untuk pergi dari perpustakaan kota ini. Ia berjalan ke arah rak buku, sepertinya ia hanya asal berjalan untuk menghindar. Tapi ia terus menempelkan HPnya di telinganya.

Sai mengerjap.

Ah.

Kakinya kembali melangkah ke arah rak buku yang tadi dituju si nona blonde tadi. Tapi kemudian hatinya langsung berteriak JANGAN! Nanti bisa dikira penguntit.

Jadilah Sai membalikkan badan ke arah yang berlawanan.

Lelaki muda itu berjalan dengan hati yang berdegup aneh.

Aku kenapa?