Sudah sejak lama... Aku menunggumu.

Sudah sejak lama... Aku berharap.

Akhirnya... Akhirnya...

Kita bertemu.

.

Fuyu no Yukishiro present

A story for 100 Love Story for SasuHina event

Waiting For You

.

Disclaimer

Naruto (c) Masashi Kishimoto

Ginko (c) Jun'Ichi Watanabe

.

Warning:

OOC, OC, Typo, Minim deskripsi tempat dan waktu, Misteri(?), Hinata POV

.

Happy reading...

Semoga Fanfict ini tidak begitu mengecewakan... ;-D

.

.

Akhirnya kita kembali bertemu.

Setelah sejak lama aku menunggumu. Di sini, di tempat pertama kali kita bertemu. Di sini, di tempat pertama kalinya kita berpisah.

Akhirnya, kita kembali bertemu.

Kau tidak tahu bagaimana perasaanku saat melihatmu lagi. Perasaan rindu yang sangat menyesakkan. Yang membuat air mataku nyaris keluar. Membuat pipi ini terasa panas.

Akhirnya aku melihatmu lagi.

Di sini, di tempat kita pertama kali bertemu, di tempat duduk yang biasa kita gunakan untuk saling mengenal, aku duduk dengan tegang. Mata lavenderku menatap tubuhmu yang semakin dekat dengan tempatku berada.

Aku menatapmu lekat-lekat.

Ah, kau banyak berubah. Tubuhmu tinggi ya? Warna rambutmu hitam kebiru-biruan? Warna matamu... hitam?

Aku terpana menatapmu yang semakin mendekat. Kau mengenakan jaket hitam, syal biru dan topi rajut hitam. Tanganmu tersembunyi di saku jaket. Meski banyak sekali yang berubah dari penampilanmu, tapi sepertinya kebiasaanmu tidak berubah ya?

Aku menyukai sikapmu yang tak berubah itu.

Kau diam tepat di depan bangku tempat aku duduk. Saat melihatmu yang semakin dekat denganku, aku sampai lupa bagaimana caranya bernapas. Lalu aku nyaris melonjak kegirangan ketika kau menghampiriku. Ketika kau duduk tepat di sampingku.

Aku bahkan tak sanggup mengangkat wajahku dan menghilangkan rona merah di pipi ini.

Kau tak tahu seberapa cepat jantung ini berdetak. Kau tak tahu bagaimana perasaanku saat ini. Ada rasa geli, ada rasa malu, ada rasa senang, ada rasa yang membuat bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman.

Entah sudah berapa waktu berlalu kita tidak duduk berdampingan seperti ini.

Aku melirikmu setelah beberapa menit lamanya kau duduk di sampingku. Mengamati wajahmu dari samping adalah hal yang paling kusukai saat bersamamu. Kuperhatikan wajahmu. Sungguh sangat berbeda dengan dirimu yang dulu. Wajahmu, warna kulitmu, tinggi tubuhmu, dan gaya berpakaianmu.

Semuanya berbeda. Kecuali ekspresi wajahmu yang datar.

Raut tanpa ekspresi itu tetap tak berubah meski waktu telah lama terlewat.

Dan lagi-lagi aku bersyukur karena ekspresi yang kusuka tak pernah berubah.

Saat aku lagi-lagi mencuri pandang ke arahmu, aku melihatmu mendongak menatap langit yang kelabu. Kemudian aku melihat butir salju pertama melayang turun, menyentuh puncak hidungmu sebelum kau kibaskan.

Aku memperhatikanmu dengan seksama.

Kau masih mendongakkan kepalamu menatap langit yang mulai berwarna keputihan. Saat salju mulai turun satu persatu hingga menjadi tak terbatas jumlahnya, kau masih menatap langit.

Ada apa di langit di sana?

Kenapa kau menatap langit itu dengan raut seakan ingin menangis?

Tapi semua pertanyaan itu aku simpan dalam hati. Aku tak mungkin bertanya hal itu karena kau masih belum menyadari keberadaanku, kau terlalu sibuk dengan alam pikiranmu sendiri. Kau terlalu sibuk dengan kesedihan yang entah kenapa terlalu erat memelukmu.

Aku mencelos.

Selalu... Selalu saja... Kau datang dengan beban sebesar Fujiyama-san*. Seolah selama kau hidup tak pernah ada hal yang membahagiakanmu. Seolah tak ada seorang pun yang memberikan pundak mereka untuk kau pakai meringankan beban dipundakmu.

Selalu begitu.

Padahal aku berharap beban yang ada di pundakmu yang berubah, bukan tampilan fisikmu.

"Kh."

Embusan napasmu membuatku memberi perhatian lebih padamu. Membuat lamunan tentang beban yang kau tanggung hilang. Aku melihatmu menunduk kemudian berdiri dan melangkah pergi. Melanjutkan perjalananmu.

Dan kau masih tidak menyadari kehadiranku.

Aku menatap punggungmu yang semakin menjauh. Aku ingat, kau pernah menggendongku saat senja di musim dingin. Dan aku jadi berharap dapat berada di atas punggungmu yang hangat lagi.

.

# Waiting For You – for 100 Love story SasuHina #

.

Esoknya, aku menunggu di tempat yang sama. Menunggu dengan kimono ungu dan jaket yang terbuat dari bulu agar hangat. Aku memakai sarung tangan yang tebal dan penutup telinga karena kedinginan. Pagi ini aku nekat menggulung rambutku ke atas, membuatku sedikit kedinginan tetapi aku tidak menyesal.

Aku ingin kau melihatku berdandan sedikit.

Aku tak berani mengira-ngira jam berapa sekarang. Aku menunduk sebentar, sebentar kemudian melirik ke jalan yang berada di samping kananku, jalan kau muncul pertama kalinya kemarin.

Aku berharap Kau datang lagi kemari. Aku akan setia menunggumu, selalu. Karena aku memang sudah sering menunggumu, dan itu menyenangkan.

Aku akan selalu menunggumu.

Kau belum datang, Rasanya sudah berjam-jam lamanya aku menunggumu. Dalam hati aku berharap kau datang kemari, kembali duduk seperti kemarin kemudian mulai menyadari kehadiranku di sampingmu.

Namun, hingga matahari terbenam di ufuk sana, kau tidak muncul.

Aku mencelos kecewa. Apa kau tidak akan datang?

Seperti saat janji yang tak terlaksana saat itu?

Aku menoleh, menatap kayu kursi panjang tempat biasa kau duduk. Aku meletakan tangan kiriku di tempat biasa kau duduk dan mengusapnya pelan.

Kapan ya aku mulai terikat padamu?

Ah, sepertinya sudah sejak lama sekali aku terikat kepadamu.

Saat pertama kalinya kita bertemu, itu sudah lama sekali.

Saat itu juga musim dingin. Butiran salju secara serempak mewarnai tanah kecokletan. Aku duduk di sini, sedang merenungi keinginanku yang akan memperburuk citra nama keluarga di masyarakat. Aku menginginkan suatu hal tabu yang membuat otousama dan Neji-niisama malu. Aku nyaris menangis terisak ketika itu, dan kau datang tanpa peringatan.

Kau duduk di sebelahku. Yang pertama aku lihat adalah kamu yang memakai hakama. Kemudian aku melihat wajahmu yang tanpa ekspresi tengah menatap langit. Saat kau menoleh ke arahku, aku dapat melihat warna bola matamu yang indah, warna abu-abu yang menenangkan. Kemudian warna rambutmu yang kecoklatan.

Kau menatapku lama, kemudian seolah tak terjadi apa-apa, Kau berdiri dan pergi, sembari berlalu kau mengusap puncak kepalamu.

Sejak itulah aku jatuh cinta padamu.

"Apa anda akan tetap di sini, Hyuuga Hinata-san?"

Aku tersenyum ketika sebuah nama terdengar di telinga. Sudah lama sekali tidak ada yang memanggil nama lengkapku. Aku menatap orang yang ada di depanku. Yang memanggilku dengan bahasa formal dan nama lengkapku.

Dia seorang wanita. Wanita yang cantik. Warna rambut dan auranya mengingatkanku pada warna bunga sakura saat musim semi. Mata hijau jamrudnya mengingatkanku pada dirimu yang dulu.

"Siapa anda?" Aku bertanya dengan bahasa formal juga. Wanita itu tersenyum lembut, membuatnya jadi lebih cantik.

"Namaku, Haruno Sakura, aku datang menjemputmu." Dia berkata. Aku diam mengamatinya. Dia mengenakan kimono hitam dengan hiasan kelopak sakura. Sang penjemput.

"Terima kasih karena telah repot datang kemari, tapi maaf, aku tidak akan beranjak dari sini," aku berucap tegas. Tidak. Aku tidak akan beranjak dari sini. Sampai orang itu menyadari kehadiranku, sampai aku tahu apa yang ingin diberikannya kepadaku saat itu.

Karena aku telah menunggunya selama satu abad lebih.

Aku telah melihat banyak sekali perubahan yang terjadi hanya untuk menunggunya kembali. Aku selalu menunggunya, di sini, di tempat ini.

"Dia tidak akan pernah menyadari kehadiranmu," Wanita itu, Haruno-san kembali berucap setelah keheningan yang cukup lama. Aku memaksakan diri tersenyum, kemudian mengangguk. Tak perlu dikatakanpun, aku tahu.

"Aku telah berjanji menunggunya," aku berkata pelan. Pengakuanku terdengar menyedihkan bahkan untuk telingaku sendiri. Aku tersenyum pahit. "Katanya ada yang mau dia berikan kepadaku. Makanya dia memintaku menunggu di sini, dan aku telah berjanji menunggunya. Apapun yang terjadi, berapa lamapun waktu yang kuhabiskan untuk menunggunya. Aku telah berjanji kepadanya," Aku memberi jeda. Rasanya tenggorokanku kering dan panas. Perlahan aku mendongak, menatap mata jamrud wanita itu. "Kumohon, sudah sekian lama aku menunggunya dan akhirnya aku dapat melihatnya lagi. Biarkan aku bersamanya. Biarkan aku menunggunya sampai dia mengetahui keberadaanku. Sampai dia menyadari keberadaanku."

Meski itu hal yang mustahil.

"Sampai dia memberitahuku apa yang ingin dia berikan kepadaku di hari itu, Kumohon."

Aku menunduk dalam-dalam. Haruno-san menatapku tanpa ekspresi kemudian menghela napas.

"Kau sudah menunggunya selama nyaris 110 tahun," dia berkata. Aku masih bertahan dengan posisiku. "Semua orang yang ada di zamanmu bahkan sudah berkali-kali bereinkarnasi, tapi kau?" Dia bertanya dengan sebuah pernyataan. Entah kemana nada formal yang tadi dia gunakan. "Bodoh."

Aku tersenyum.

Aku memang bodoh. Tak apa dibilang bodoh asal aku tak melanggar janjiku padanya.

Pada pria yang kucintai.

Aku tak ingin lagi melanggar janjiku dengannya.

.

# Waiting For You – for 100 Love story SasuHina #

.

Sasuke

Ditulis dengan huruf katakana. Itu namanya sekarang. Aku mengetahuinya ketika seorang pemuda berambut pirang menghampirinya di bangku taman.

Ini hari ke-tujuh dia ada di taman ini. Di saat matahari belum mencapai puncaknya, dia pasti selalu ada di sini. Entah menatap langit, atau hanya membaca buku. Saat salju turun, dia hanya akan duduk diam di bangku ini selama beberapa menit lalu beranjak pergi.

Tapi ini kali pertamanya setelah tujuh hari dia di sini bersama seorang pemuda.

Sejujurnya aku kesal. Aku sangat kesal karena kehadiran pemuda itu membuatku kehilangan tempat di sampingnya. Bangku taman ini hanya untuk dua orang, makanya aku hanya bisa berdiri tepat di sebelahnya, dengan harus berpuas diri dengan berdiri menatapnya.

Tapi, aku juga berterima kasih kepada pemuda itu. Karena pemuda itulah aku jadi tahu namanya yang sekarang. Dan kupikir, mengenal orang-orang terdekatnya juga tidak buruk.

"Oi, Sasuke." Pemuda itu memanggil Sasuke selang beberapa menit mereka duduk di bangku taman. Sasuke tidak menjawab. Iris hitamnya masih terpaku kepada buku kecil yang di pegang sebelah tangannya. Pemuda itu terlihat marah. Itu wajar, karena dia sudah memanggil Sasuke-san sebanyak tiga kali dalam selang beberapa menit namun tak ada tanggapan positif darinya. Kurasa Pemuda berambut pirang itu bukan tipikal orang yang senang dengan suasana yang hening terlalu lama, berbeda dengan Sasuke-san.

"Oi, teme!"

Kesal, dia merebut buku kecil di tangan Sasuke. Sasuke hanya berdecak kesal dan memberikan tatapan mematikan kepada pemuda pirang yang kini memasang cengiran secerah mentari pagi.

"Kau mengganggu, dobe."

Aku terhenyak ketika mendengar suara Sasuke. Suaranya berat dan nyaman di telinga, menenangkan. Ini pertama kalinya setelah satu abad aku tak mendengar suaranya. Suaranya tak berubah, masih sama seperti dulu. Masih sama seperti seratus tahun yang lalu.

Masih sama.

Tanpa terasa mataku sudah berkaca.

"Ck, Dari tadi aku memanggilmu, teme," ucap pemuda itu kemudian mencoba membaca buku yang sedari tadi menyedot perhatian Sasuke dan menjerit tidak suka. "Sejarah benar-benar mengerikan," katanya kemudian melempar buku kecil itu kepada Sasuke yang dengan sigap menerimanya.

Dulu juga, dia menyukai sejarah.

Aku memang tidak begitu menyukai sejarah Jepang ataupun sejarah negara lainnya, tapi Dia tak pernah peduli. Dia memang pendiam, tapi jika sudah menyangkut hal-hal yang disukainya dia akan tampak rewel dan keras kepala. Dia yang dulu kukenal dan Dia yang sekarang tidak banyak berubah, ya?

"Oi, Sasuke, Kenapa kau sering kemari?" Pemuda beriris bak langit di musim panas bertanya dengan ekspresi serius setelah adu mulut mengenai kesukaan Sasuke. Matanya menatap Sasuke dari samping dengan lurus. Sasuke tak menjawab, pemuda itu melirik ke arah pemuda itu sebelum menghela napas dan bergumam pelan.

"Entahlah," katanya singkat yang jelas-jelas tidak memuaskan bagi pemuda itu. Pemuda itu merengut, hendak memprotes namun tidak jadi ketika Sasuke menutup buku kecilnya kemudian menyimpannya di saku celana. "Aku hanya merasa, tempat ini nyaman dan membuat rindu."

Aku tertegun. Pemuda itu menatap Sasuke tak mengerti sampai akhirnya dia tersenyum saat bola mata safir itu menatap ke arah tempatku berada.

Aku terdiam.

Bola mata safir itu jelas-jelas melihat ke arahku, bukan? Aku menoleh ke belakang, tak ada siapa-siapa, dan saat aku menoleh ke arah pemuda itu, dia masih memasang senyum yang ditujukan ke arahku.

Dia... bisa melihatku?

Itu... tidak mungkin.

"Kenapa kau senyum-senyum begitu, dobe? Kau mengerikan," komentar Sasuke membuyarkan rasa kagetku. Pemuda itu hanya tertawa ringan kemudian menarik Sasuke untuk pergi.

.

# Waiting For You – for 100 Love story SasuHina #

.

"Konnichiwa, Kireina ojousan."

Aku menatap wajah berkulit tan itu yang memamerkan senyum cerahnya. Didepanku, pada sore ke-delapan pemuda yang merupakan orang terdekat dari orang yang kusukai ada di depanku. Jelas-jelas dia menyapaku.

"Jangan terkejut begitu, meski rasanya aku menikmati wajah terkejutmu." Pemuda itu tertawa renyah. Aku masih tak bisa menanggapi setiap kalimatnya karena efek terkejut yang besar.

Seratus tahun berlalu, seratus tahun tak ada siapapun yang mengajakku bicara. Dan setelah seratus tahun, seorang pemuda dan seorang penjemput mengajakku bicara.

Aku tak tahu apakah ini pertanda baik atau buruk.

"Boleh saya duduk di samping anda, ojousama?"

Aku mengangguk sedikit, dan pemuda itu segera duduk di sampingku. Ada jarak beberapa puluh senti antara aku dan pemuda berbau matahari itu.

"Namaku Uzumaki Naruto, Nama anda?"

"Hinata," aku menjawab singkat dan pelan. Pemuda yang mengenalkan dirinya sebagai Uzumaki-san itu tertawa lagi, sepertinya dia memang hobi tertawa.

"Seindah wajahnya. Nama yang cocok," upayanya memujiku berhasil. Rona merah menjalari kedua pipiku, dari dulu aku memang tak pernah tahan jika ada yang menggodaku. "Jaa... Boleh aku memanggilmu Hinata-chan? Sejujurnya aku tidak begitu pandai menggunakan bahasa Formal."

Aku mengangguk.

"Sepertinya, Hinata-chan sangat memperhatikan Sasuke, ya?"

Dia menatapku dan aku tak bisa membalas tatapannya. Aku mengangguk lagi dan lagi dia tertawa. "Sasuke memang terkenal di kalangan gadis-gadis, tapi aku benar-benar tak menyangka dia juga dapat memesona seorang nona dari zaman meiji."

Aku terdiam, dan sepertinya Uzumaki-san tak berniat bicara lagi. Dia hanya menyenandungkan nada-nada dengan lirih, sepertinya menungguku untuk bercerita apapun itu.

"Aku sudah lama menunggunya."

Uzumaki-san menghentikan senandungnya dan menatapku lama. Aku tersenyum, menghela napas. "Anda percaya adanya reinkarnasi?"

"Sepertinya aku percaya," kata Uzumaki-san. Aku tersenyum.

"Dia... Sasuke-san adalah reinkarnasi dari orang yang dulu sangat kusukai."

Aku menatap Uzumaki-san, berharap ada komentar dari pemuda itu, namun tak ada tanggapan. Uzumaki-san hanya diam menatapku, menunggu kelanjutan ceritaku. Dan entah kenapa aku jadi ingin bercerita kepada pemuda ini.

"Seratus tahun yang lalu, kami bertemu di tempat ini. Saat itu usiaku baru empat belas tahun dan dia sudah berusia dua puluh tujuh tahun. Saat itu aku menangis di tempat ini dan dia entah dari mana datang dan duduk di sampingku, menemaniku."

"Hanya menemanimu?" Naruto menyela, aku mengangguk. "Eh... Membosankan sekali! Kalau aku, aku pasti akan menyapamu dan akan berusaha sebisaku membuat Hinata-chan tertawa!" Dia mengepalkan tangan kanannya dengan semangat sebelum akhirnya kembali menjadi seperti biasa. "Ya...Tapi Sasuke memang tipe yang sangat irit sekali mengeluarkan kosa kata. Membayangkan dia melakukan gaya chonmage dengan tampang datar untuk membuat Hinata-chan tersenyum rasanya... err..."

Aku tertawa pelan. Aku tak pernah membayangkan Sasuke-san akan melakukan hal yang seperti Uzumaki-san ceritakan.

"Lalu? Apa alasanmu menunggunya di sini, Hinata-chan?"

Mata safirnya memandangku ingin tahu.

"Kenapa Uzumaki-san –"

"Panggil saja Naruto."

" – Naruto-san begitu ingin tahu tentangku dan Sasuke-san?"

Naruto-san tampak menimbang-nimbang sebelum menjawab, "Hanya penasaran. Lagipula, bagaimana ya... aku tak pernah bisa membiarkan seorang yokai yang terlihat kesepian."

Aku menatapnya. "Jangan menganggapku orang baik, Hinata-chan. Aku melakukannya karena mataku yang bisa melihat hal yang tidak bisa dilihat orang lain. Semacam pertukaran, mungkin. Ah, Kau pasti tidak mengerti apa yang kukatakan, kan? Soalnya aku juga tidak tahu apa yang kukatakan!"

Naruto-san tampak salah tingkah. Aku sempat melihat bola mata itu memancarkan sinar kesepian. Entah apa yang terjadi pada Naruto-san, tapi aku merasa dia sama denganku.

Sama-sama menunggu seseorang yang telah pergi tanpa perpisahan yang benar.

"Pertemuan pertamaku dengan Sasuke-san adalah saat usiaku empat belas tahun dan dia dua puluh tujuh tahun," Aku menghela napas karena itulah yang aku perlukan sebelum memulai cerita yang panjang antara aku dan dia, dia yang telah menjelma menjadi sosok bernama Sasuke-san. "Tapi kami mulai saling mengenal dan berinteraksi setahun kemudian."

"Pada zamanku, Zaman Meiji, perempuan berusia lima belas umumnya telah menikah. Tapi daripada menikah aku lebih memilih untuk bersekolah dan menjadi seorang dokter."

Aku melihat wajah Naruto-san yang menganga. Sepertinya sedikit banyak dia tahu banyak tentang zaman di mana aku masih hidup. Naruto-san tertawa.

"Yang kuketahui, pada awal zaman Meiji, Profesi dokter adalah cita-cita yang terlalu mulia sehingga laki-laki pun enggan untuk bermimpi menjadi seorang dokter kan? Di tambah masa Meiji adalah masa ketika perempuan tidak pantas bersekolah."

"Benar. Perempuan yang pergi ke Tokyo untuk belajar akan ditertawakan seluruh penduduk desa dan dikatai perempuan gila. Berbeda dengan masa sekarang, buku adalah sesuatu yang tidak pantas dipegang oleh perempuan. Tapi aku... terlalu menyukai buku. Buku adalah sebuah benda yang selalu menemaniku, memberitahuku apapun yang aku ingin ketahui dan membuatku nyaman. Makanya saat usiaku 14 tahun, aku mengemukakan keinginanku kepada otousama dan Neji-niisama, tapi seperti yang sudah kuduga mereka menentang dan menganggapku kerasukan siluman rubah," Aku tertawa ketika mengingat kata-kata Neji-niisama yang menganggapku kerasukan, bahkan sampai memanggil seorang pendeta untuk mengeluarkan apapun itu yang merasuki tubuhku. "Butuh satu tahun untukku diizinkan pergi ke Tokyo dan belajar dengan syarat aku harus belajar di sekolah sahabat dekat kakakku."

"Ah."

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Sahabat kakakku adalah Sasuke-san."

.

# Waiting For You – for 100 Love story SasuHina #

.

Aku tak pernah lupa saat kedua kalinya aku bertemu dengannya. Saat aku menanti siapa yang akan menjadi guruku kelak. Aku bahkan masih ingat debaran yang kurasakan ketika mendengar langkah kakinya yang terdengar berjalan di atas tatami yang lembut.

Saat pintu Shoji terbuka, aku cepat-cepat menundukkan kepala dan dapat melihat punggung kaki guruku yang melangkah pelan dan ujung dari hakama berwarna hitam yang digunakannya.

"Suatu kehormatan menerima tamu sepertimu, Hyuuga."

Aku masih ingat saat suaranya yang datar dan terkesan dingin itu membuatku ketakutan setengah mati. Nyaris saja aku membatalkan niatku untuk bersekolah di tempatnya.

"Seperti yang telah kutulis di surat. Aku kemari untuk mengantarkan adikku. Kuharap kau mau menjaganya untukku, Himura."

Takut-takut aku memperkenalkan diri, kemudian secara pelan-pelan mendongak menatap calon guruku dan aku ternganga.

Orang itu adalah orang yang kutemui satu tahun yang lalu. Aku ingat rambutnya yang berwarna coklat dan kulitnya yang pucat. Aku tak bisa tidak menyembunyikan rasa bahagiaku saat melihatnya kembali. Dia, dia adalah salah satu alasanku menolak semua laki-laki yang melamarku.

Nama Sasuke-san dulu adalah Himura Natsume. Di usianya yang kurang dari tiga puluh tahun, Himura-san sudah menjadi seorang cendekiawan yang cukup terkenal di Tokyo. Pertemuan keduaku dengan Himura-san membuatku semakin terpesona padanya.

"Kalau begitu, kau akan menjadi murid perempuanku yang pertama," suara Himura-san entah sejak kapan terdengar lebih lembut meski rasanya dia masih mempertahankan nada datarnya. "Tapi aku tidak akan semudah itu memasukkanmu ke sekolahku, meski kau adalah adik dari sahabat baikku."

Aku mengangguk mengerti dan menyetujuinya. Dia bangun dan keluar dari ruangan setelah mengatakan bahwa dia masih ada jadwal mengajar. Tak lama kemudian aku diantar Neji-niisama ke tempat tinggalku dan kami berpamitan.

Aku menempati sebuah ruangan yang cukup sempit daripada kamarku di desa. Neji-niisama memberiku uang 30 yen untuk satu tahun ke depan, aku harus banyak berhemat dan mulai memikirkan untuk bekerja. Perempuan yang keluar dari rumah mereka biasanya akan dicabut hak warisnya dan tidak dianggap sebagai keluarga lagi meski mereka masih menggunakan nama keluarga mereka.

.

# Waiting For You – for 100 Love story SasuHina #

.

Cara mengajar Himura-san benar-benar cocok denganku. Meski wajahnya sangat datar dan terkesan menyeramkan tapi banyak yang menghormati dirinya. Cara pemikirannya benar-benar modern. Himura-san selalu mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya untuk diserap dan dihapal, tapi juga dipertanyakan kebenarannya. Dalam waktu satu tahun aku bersekolah di bawah bimbingan Himura-san, aku menjadi sosok terpandai di sekolahnya yang terdiri dari 30 orang siswa.

Dan hubunganku dengan Himura-san semakin dekat.

Suatu waktu, saat angin berembus dengan pelan, Himura-san mengajakku jalan-jalan. Aku berjalan beberapa langkah di belakangnya sembari menunduk. Kemudian saat kami berada di sebuah bangku yang kanan kirinya diapit pohon besar, Himura-san mengajakku untuk duduk menikmati pemandangan di depan kami.

Saat itu aku tak bisa berkata apa-apa.

"Dulu juga kita bertemu di taman seperti ini, di desamu."

Cukup aneh mendapati Himura-san mengajakku berbicara terlebih dahulu di luar pelajaran atau sejarah yang sangat disukainya. Aku mengangguk, sedikit kaget ketika Himura-san masih mengingat pertemuan pertama mereka.

"Anda masih mengingatnya ternyata. Itu suatu kehormatan bagi saya," kataku bersungguh-sungguh. Aku menunduk saja dan dia tak menanggapi. Sepanjang sore itu kami menghabiskan waktu berdua di tempat itu dengan saling diam.

Aku berharap Himura-san tidak mendengar suara debaran jantungku yang berisik.

.

# Waiting For You – for 100 Love story SasuHina #

.

Aku tak pernah melupakan keinginanku untuk menjadi seorang dokter. Aku ingin menjadi seorang dokter perempuan yang mempunyai sertifikat dokter. Dulu, aku mempunyai seorang kakak perempuan. Dia empat tahun lebih tua dariku, dan dia menderita penyakit Gonorhea. Pada zaman Meiji, penyakit kelamin seperti gonorhea adalah penyakit yang belum ada obatnya, kakakku terkena penyakit itu karena tertular dari suaminya.

Penyakit gonorhea telah merenggut senyum kakakku dan masa depannya. Dia diceraikan oleh suaminya, harus menanggung malu karena pada masa itu perceraian adalah hal yang asing dan mencoreng nama baik dan karena penyakit itu kakakku tidak akan bisa mempunyai seorang anak.

Aku tersentuh, meski usia kami terpaut empat tahun tapi aku sangat dekat dengannya. Dan aku semakin ingin menangis ketika melihat tekanan dan rasa malu yang harus ditanggungnya untuk mengobati penyakitnya, itu adalah penghinaan bagi kami, meski laki-laki itu seorang dokter, tapi tetap saja fakta bahwa hal paling terintim dari kami dilihat oleh seorang pria asing menorehkan rasa malu dan sebuah penghinaan.

Sejak saat itulah aku bertekad untuk menjadi seorang dokter.

Makanya, saat aku mendengar kabar bahwa Yayoi Yoshioka membuka sekolah ilmu kedokteran Perempuan Tokyo aku gamang.

Usiaku 17 tahun saat pertama kalinya Sekolah Ilmu Kedokteran Jepang dibuka. Sudah dua tahun aku belajar di tempat Himura-san dan aku terlalu menyukai sekolah ini. Di tempat ini pun tidak ada orang yang menertawakanku dan memperlihatkan telunjuknya kepadaku bahkan mengataiku orang gila karena aku adalah satu-satunya perempuan yang belajar di tempat Himura-san. Mereka semua dapat menoleransi kehadiranku di sana.

Himura-san tahu akan cita-citaku untuk menjadi seorang dokter dan mungkin itulah alasannya pada musim semi, saat aku menyapu halaman rumahnya aku dipanggil dan diminta untuk menemaninya seperti biasa.

"Ini kesempatanmu kan, Hinata-san?" Himura-san bukan seseorang yang pintar berbasa-basi, dan itulah salah satu sifat yang kusukai. Tapi untuk kali ini, aku berharap Himura-san bisa sedikit berbasa-basi sebelum menanyakan kegamanganku.

"Saya tidak tahu, Natsume-san." Setelah dua tahun menjadi muridnya, aku diminta untuk memanggil namanya saja. "Saya tidak yakin saya bisa masuk ke sana."

Sebenarnya aku bohong. Aku yakin aku bisa masuk ke sana. Meski Himura-san adalah cendekiawan dalam sejarah, Himura-san juga mempelajari ilmu kedokteran China, dari buku-buku yang dipinjamkannya kepadaku, sedikitnya aku pasti bisa melewati test masuknya.

Yang membuatku ragu adalah harus meninggalkan sekolah ini dan tak melihat Himura-san lagi.

"Aku tahu pasti kau berbakat. Dan kau pasti bisa menjadi salah satu dokter perempuan yang berdedikasi selain Ginko Okino-san,"

Aku terdiam, tak berani menjawab. Usiaku 17 tahun dan Himura-san 30 tahun. Sudah tiga tahun lamanya aku memendam perasaanku pada Himura-san. Himura-san juga belum menikah di usianya yang nyaris kepala tiga.

"Pergilah."

Aku mengepalkan kedua telapak tanganku erat-erat di atas kimono ringan yang kupakai. Aku menghela napas dan aku tahu pasti apa yang akan kuucapkan ini tidak pantas diucapkan seorang perempuan kepada seorang laki-laki.

Tapi aku tidak bisa menahannya lagi.

"Natsume-san, saya... terhadap anda..."

"Aku berharap kau pergi ke sana, sebagai gurumu aku akan bangga ketika mendengar kabar bahwa kau telah sukses menjadi seorang dokter."

Aku menunduk. Nyaris menangis. Natsume-san tidak memberikanku kesempatan untuk memberitahu perasaanku kepadanya.

"... Dan saat kau sudah sukses menjadi seorang dokter perempuan, kita akan bertemu kembali di sini. Aku akan memberikan sesuatu sebagai hadiah untukmu, Hinata."

Dan saat telapak tangannya yang besar untuk pertama kalinya membelai kepalaku, aku menangis. Perlahan aku mendongak dan menatap matanya yang berwarna agak keabu-abuan menatapku penuh keseriusan.

Terukir sebuah senyuman simpul yang selalu membuatku tenang.

Namun, janji itu tak pernah terlaksana.

.

# Waiting For You – for 100 Love story SasuHina #

.

Uzumaki Naruto-san hanya diam mendengar cerita singkatku.

"Apa kau sukses menjadi seorang dokter?"

Dengan pahit aku menggeleng.

"Aku tidak bisa menepati janjiku. Konyol memang tapi aku hancur ketika mendengar Natsume-san meninggal karena menyelamatkan seorang anak kecil yang tenggelam ketika dia mengirimkanku surat untuk bertemu setelah enam bulan aku bersekolah di sana.

Ada yang ingin dibicarakannya denganku. Aku mendengar kabar bahwa Natsume-san akan pergi ke Desa yang cukup jauh dari Tokyo untuk membuat sekolah baru. Aku menulis surat menyetujuinya dan berjanji menunggunya hingga dia datang."

Hening menghampiri kami berdua. Angin pelan berembus pelan . Naruto-san menghela napas.

"Aku menunggunya seharian dengan kimono terbaikku. Aku berdandan sebaik mungkin karena enam bulan lamanya aku tak bertemu dengannya. Tapi seberapa lamapun aku menunggunya, dia tidak datang. Dan bodohnya aku tetap menunggunya di sini hingga sekarang."

"Hidupku berantakan saat aku tahu Natsume-san meninggal. Setiap hari aku menunggunya di sini. Berharap dia muncul dan kami bisa menghabiskan waktu bersama seperti saat aku masih menjadi muridnya, tapi dia tidak muncul, berapa lamapun aku menunggunya. Lalu, tiga bulan kemudian aku meninggal dan karena terikat dengan tempat ini, aku tak bisa pergi ke surga untuk menanti giliranku kembali kemari dengan tubuh berbeda."

"Tapi Sasuke bereinkarnasi. Seharusnya kau juga bereinkarnasi kan?"

Aku menggeleng. "Aku tidak bisa. Saat seseorang bereinkarnasi dia akan kehilangan ingatannya akan kehidupan sebelumnya. Aku takut... Aku takut aku tak bisa mengingatnya, tak bisa mengingat janjiku untuk menunggunya, di sini. Makanya aku memutuskan akan tetap menunggunya di sini, berapa ratus tahun pun akan kutunggu dia di sini. Berapa ratus tahun pun." Aku menatap mata Naruto-san lekat dan tersenyum. "Itu adalah keputusanku."

Aku menatap matanya dengan yakin dan Naruto-san menatapku sembari menghela napas dan tersenyum memaklumi.

"Kalau begitu aku akan membantumu, Hinata-chan."

Eh?

Naruto-san mengedipkan sebelah mata.

"Aku pernah berurusan dengan hantu sepertimu, Hinata-chan."

.

To Be continued

.