Seorang remaja berdiri dengan berani di puncak dinding setinggi lima puluh meter, yang disebut Wall Rose, di kota Trost. Di hadapannya, sesosok makhluk dengan tinggi lebih dari enam puluh meter memperhatikan remaja itu menggunakan matanya yang kecil dan kejam.
Bukan Eren Jaeger namanya kalau ia takut hanya dengan hal kecil begitu.
"Yo, sudah lima tahun tak ketemu, ya," ujarnya, dengan seringaian penuh kebencian. Titan –begitu masyarakat di sana menyebut makhluk raksasa ini- itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, mengarah kepada Eren. Pemuda itu langsung melompat dan menancapkan 3DMG miliknya ke tangan sang titan.
Tadinya, ia mengira titan ini akan menyerangnya. Tapi ternyata titan itu berniat menghancurkan meriam, yang sudah dipasang sejak awal untuk menyerang titan yang ingin masuk ke dalam dinding. 'Ternyata dia bisa berpikir,' batinnya ketika menyadari hal tersebut.
Kaki-kaki mungilnya berlari di atas lengan titan yang hanya terlihat ototnya saja itu. Entah kenapa, titan ini membiarkan saja perlakuan Eren terhadap lengannya. Tak lama, Eren hilang keseimbangan karena titan ini menggoyangkan tangannya, membuatnya terjatuh.
3 Dimensional Maneuver Gear menancap di leher titan.
Seketika, Eren meluncur menghadap ke leher titan. Ia mempersiapkan ayunan pedangnya. Dengan posisi dan keadaan seperti ini, Eren yakin serangannya pasti mengenai titan itu.
BWUSH
"Hah!?"
Betapa terkejutnya remaja ini ketika melihat asap yang mengepul di sekeliling tubuhnya. Untuk sesaat, ia terbatuk. Namun ketika asap tersebut telah hilang...
... ia lebih terkejut lagi.
.
.
Other World
Chapter 1:
The Other Armin
Disclaimer:
Shingeki no Kyojin (C) Hajime Isayama
Warning:
Sho-ai, (untuk chapter ini sedikit) ErenxArmin, ooc, awas typo, AU nyelempit AR
Tidak suka jangan baca
.
.
.
Remaja lelaki itu memperhatikan sekelilingnya. Semuanya tampak aneh. Sangat aneh. Orang-orang yang sangat ramai berlalu-lalang, balok-balok besi beroda yang bisa berjalan, lampu warna-warni yang berkedip bergantian, dan ada beberapa orang berseragam yang menari di tengah jalan.
"Di mana... ini?"
Mata hijau itu memandang ke atas. Hei, tidak ada dinding! Tidak ada Wall Maria, Wall Rose, dan Wall Sina yang telah dibuat ratusan tahun lalu untuk menghalangi titan masuk ke kota! Dinding-dinding itu telah hilang!
Tidak ada dinding, berarti tidak ada titan.
Dalam sekejap saja, Eren menyadari ini bukan dunianya.
Kalau bukan di dunianya, berarti ini di mana?
Kedua tangannya menyimpan dua bilah pedang, yang digunakan sebagai senjata untuk menyerang titan. Ia berjalan ke trotoar, di mana banyak toko yang memajang beragam produk. Pakaian, kue-kue, barang elektronik, sepatu, dan sebagainya. Aneh, kenapa benda-benda itu dipajang di benda yang bening begitu? Kalau dicuri bagaimana?
Ia semakin heran lagi ketika menemukan tatapan risih manusia lain yang memandangnya aneh. Padahal seharusnya, mereka mengagumi pakaian Eren, yang menunjukkan bahwa dirinya adalah bagian dari militer, yang bertugas sebagai pembunuh titan.
Bingung, Eren berlari ke tengah jalan. Tidak mempedulikan balok besi berjalan yang hampir mengenainya. Ia berpikir, mungkin dengan begitu ia bisa mendapat penjelasan dari manusia-manusia lain yang agak aneh itu.
TIIIIN!
"Aduh!" seru Eren kesakitan, tatkala bahunya tiba-tiba menabrak trotoar. Sakit, tentu saja. Butir hijaunya terbuka, memantulkan bayangan seorang pemuda berambut pirang dan bermata biru.
Tu-tunggu...
... wajah itu...
"Armin?" rintihnya, mengenali sosok yang terbaring bersamanya, menyelamatkannya. Mata biru sosok tersebut membulat seketika, dilihat sekilas sangat mirip dengan teman baiknya, Armin. "Sind du verletzt? Wie du wissen meinen namen?(1)" tanya si mata biru, yang memang namanya adalah Armin.
Untuk sesaat, Eren terdiam karena terlalu terkejut. 'Dia memakai bahasaku,' ia membatin, ketika mengetahui Armin menggunakan bahasa yang sama dengannya. "U-um... Nein, aber meine schulter ist ausgerenkt,(2)" katanya, sembari memandangi bahu kirinya.
Armin berdiri, ia mengibaskan celananya yang berdebu sekilas sebelum kemudian mengulurkan tangan, untuk membantu Eren berdiri. "Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Ayo ke rumahku, kita obati lukamu," menuntun Eren berjalan menuju apartemen miliknya.
Sepanjang jalan, Eren hanya bisa memandangi kelap-kelip kota. Semuanya sangat berbeda dengan kota-kota yang pernah ia tempati. Lampu-lampu yang entah kenapa bisa jadi warna merah kuning hijau begitu, balok besi yang bisa dimasuki manusia dan berjalan, gedung-gedung yang tinggi. Bahkan ada gedung yang ditempati ribuan manusia yang tinggal dan tidur di dalamnya.
Setahunya, satu rumah, ya, untuk satu keluarga. Tidak ramai-ramai dan bertingkat-tingkat begini.
"Masuklah," ajak Armin, ia membuka pintu apartemennya, dan mengangkat tangannya, mempersilakan Eren untuk masuk duluan. Remaja itu masuk dengan canggung, sedikit kebingungan dengan segala yang ia lihat di kota tersebut. Termasuk Armin yang ia kenal di sini ternyata tak seperti biasanya.
Hmph, setidaknya, sejauh ini seperti itu.
Armin membawa Eren ke kamarnya, dan menyuruhnya untuk berbaring di sebuah kasur sementara ia sendiri menyiapkan air dingin dan lap. "Bajumu dibuka dulu," ucapnya sembari membantu Eren melepas jas keanggotaan militer yang ia kenakan. Eren meringis kesakitan ketika bahu kirinya tersenggol, sepertinya terkilir parah.
"Maaf, " kata Armin. Kini ia membuka tali yang mengikat sekujur tubuh Eren.
Hening sesaat.
"Aku tidak mengerti," ujar Eren, membuka pembicaraan. "Kenapa manusia melihatku dengan pandangan yang aneh? Lalu, ke mana dinding yang membatasi kota? Sebenarnya, ini di mana?" Eren bertanya beruntun. 'Tidak sabaran sekali,' Armin membatin, sedikit tertawa dengan mulut kecilnya.
Eren terpekur, suara tawa Armin yang ini benar-benar mirip suara Armin yang berada di dunianya.
Remaja berambut hitam itu cemberut, merasa diabaikan. "Kau memakai bahasa kami tapi tak tahu namanya? Dies ist Deutsch,(3)"terang Armin, kini ia membuka pakaian bagian atas Eren, membiarkannya terbuka seperti itu sementara ia sendiri menyiapkan lap yang akan dibasahi dengan air dingin.
"Deutsch?" tanya Eren, dengan dialek yang sangat pas. Ketepatan logatnya membuat Armin tersenyum sedikit, terang saja, logat dan dialek orang ini sangat tepat dan fasih, tapi ia sendiri tidak tahu nama bahasa yang ia gunakan, maupun negara yang memakainya.
Sebagai jawaban atas pertanyaan Eren, Armin mengangguk. "Bundesrebulik Deutschland,(4) itu nama resmi nasionalnya," katanya, mengusapkan lap pada bahu Eren yang cedera. Ia melakukannya dengan sangat lembut, begitu lembut sampai Eren mengira Armin mirip dengan ibunya.
Armin memijat bahu Eren untuk mengurangi rasa sakitnya. Ketika Eren meringis, matanya memicing, rupanya ia juga ikut merasakan sakit atas yang ia lakukan pada Eren, sekedar bentuk permintaan maaf, mungkin. "Oh, iya, siapa namamu? Kenapa kau bisa tahu namaku?" tanyanya, seraya membalut bahu Eren dengan perban.
"Eren Jaeger, kau mirip sekali dengan temanku, namanya Armin Arlert. Kami bertiga, aku, Armin, dan kakak angkatku, berasal dari Shiganshina, kota yang paling dekat dengan Wall Maria," kata Eren panjang. Armin di hadapannya mengedipkan mata beberapa kali, tidak mengerti.
"Wah, namaku juga Armin Arlert. Tapi aku baru tahu di dunia ini ada kota bernama Shiganshina. Wall Maria itu dinding yang seperti apa? Lebih tinggi dari Tembok Berlin?" tanyanya antusias. Mata birunya berbinar bagai anak-anak yang menemukan mainan baru. Sangat mengingatkan Eren pada Armin di dunianya, yang sangat antusias ketika menemukan buku yang membahas dunia luar.
Kini, Armin yang ini, terlihat begitu penasaran dengan dunia 'dalam'.
Eren memutuskan untuk duduk di kasur milik Armin, setelah yang bersangkutan ikut naik ke kasur dan duduk bersila di hadapannya. "Em... aku tak tahu apa itu Tembok Berlin, tapi Wall Maria tingginya lima puluh meter," memandangi mata Armin yang benar-benar mirip dengan sahabatnya itu.
"Lima puluh meter? Benarkah? Hebat sekali! Hei, hei, untuk apa kalian membuat dinding yang tinggi seperti itu?" ia bertanya lagi, lebih antusias dan penasaran dari yang tadi. Namun kali ini, Eren tidak menjawab apa-apa.
Armin menggaruk tengkuknya. "Eh... apa itu membuatmu tersinggung? Maafkan aku kalau begitu."
Eren tersenyum memaklumi, Armin yang ini benar-benar mirip dengan Armin-nya. Ya, Armin-nya. Ia masih terlihat ramah dan lembut hati. "Tidak apa, kami membuat dinding untuk melindungi diri dari titan."
Kembali, Armin mengedipkan butir birunya beberapa kali. "Titan? Makhluk raksasa yang ada di legenda?" tanyanya, menyebutkan hal yang ia tahu. Dan memang seingatnya, titan adalah makhluk raksasa yang ada dalam banyak legenda atau dongeng.
Kepala hitam Eren menggeleng pelan. "Titan di dunia kami bukan legenda, mereka benar-benar ada. Yah, meskipun kau memang benar soal mereka adalah makhluk raksasa. Tambahan, mereka memakan manusia."
Air muka Armin mendadak menjadi horor ketika menemukan frasa 'memakan manusia' yang keluar dari mulut Eren. "Ka-karena itukah kalian selalu membawa senjata ke mana-mana? Kau terlihat menakutkan di mata orang-orang," katanya, menatap ngeri pada senjata yang dibawa Eren.
Kedua tangan Eren refleks terentang, raut wajahnya sedikit panik. "Bukan, bukan begitu!" jeritnya, tidak menyangka Armin akan terlihat setakut itu saat mengetahui kenyataan soal titan. "Tidak semua orang-orang kami membawa senjata ke mana-mana. Hanya anggota militer yang boleh bawa senjata."
Mata Armin membulat, lalu berkedip dua kali sebelum mengguncang bahu Eren kuat-kuat. "Berarti, kau anggota militer? Hebat! Berapa usiamu? Sepertinya kau masih belasan, tapi sudah jadi anggota militer? Hebat! Hebat sekali!" membuat kepala Eren terantuk-antuk sementara rasa sakit di bahu kirinya semakin menyiksa.
"S-sakit... Armin... hentikan..." rintih Eren di tengah-tengah guncangan kepalanya. Tangan Armin spontan terlepas dari bahu Eren. "Ups, maaf, Eren..." sesalnya, tersenyum canggung dengan tangan di belakang tengkuk.
Hening lagi...
"Eren, kau ngantuk?" tanya Armin, menyadari adanya celah hening di antara mereka. Wajah Eren sedikit terkejut sebelum akhirnya kepala hitamnya mengangguk pelan. "Kalau begitu, tidur saja di sana, aku akan tidur di bawah memakai futon," katanya, membawa tubuhnya berdiri dan berjalan ke arah lemari.
"Futon?" Eren melirik penasaran, sekalipun tubuhnya sudah terbaring di atas kasur milik Armin. Ia hampir akan bertanya lagi sampai melihat Armin menggotong kasur lipat dari atas lemari.
"Ya, futon. Kasur tradisional dari Jepang, temanku yang memberikannya sebagai hadiah," ucap Armin yang membentangkan kasur lipat tersebut di atas lantai. Terlihat sangat tebal, empuk, dan nyaman.
Eren terpekur sedikit ketika ia melihat Armin telah tertidur di kasur lipat yang ia sebut futon itu. Wajah yang tepat menghadap kepadanya ini tampak tenang sekali, benar-benar mirip dengan Armin yang ada di dunianya. Armin yang selalu berada di sampingnya. Armin yang harus ia lindungi. Armin yang...
Jemari Eren tergerak untuk membelai rambut pirang itu. Di luar dugaan, ternyata amat halus dan lembut. Tanpa sadar, tangan Eren beralih ke pipi Armin, mengusapnya lembut.
Sedikit, Eren tersenyum. Hanya sedikit.
'Aku harus cari cara agar bisa keluar dari sini...'
TBC
A/N:
Fic ini terinspirasi dari khayalan saya *iya, saya tukang ngayal* yang berpikir: "Armin itu selalu pengen tahu soal dunia luar, tapi gimana kalo di luar sana ada Armin lain yang penasaran banget soal dunia dalam?" jadilah fic ini. Tadinya, saya mau buat oneshot, tapi mungkin bakal kepanjangan, jadi saya pecah-pecahin aja.
Translation:
1. Apa kau terluka? Bagaimana kau tahu namaku?
2. Tidak, tapi bahuku terkilir
3. Ini Jerman
4. Nama resmi nasional Jerman. Orang-orang di sana bilang Jerman adalah Deutsch, tapi nama resminya adalah Bundesrepublik Deutschland. Sama kayak kita yang bilang negeri ini adalah Indonesia, tapi nama resminya adalah NKRI.
Mengapa saya pilih Jerman? Karena nama-nama chara SnK kayak nama orang Jerman, di openingnya pun ada bahasa Jerman-nya... #alasan simple, yah..
Maafkan saya kalau ada yang salah dalam penulisan bahasa Jerman-nya. Habisnya saya enggak gugling, ngandalin buku pelajaran di sekolah =='
Pertanyaan? Keluhan? Hal-hal lain yang mau disampaikan? Flame?
Silakan manfaatkan kotak di bawah... ^^
