Story By: Rue Arclight Sawatari

Disclaimer: Kazuki Takahash, Masahi Satou, & Masahiro Hikokubu.

Rate: K+

Genre: Drama, Romance.

Main Chara: Yuusei.

Pair: Tool.

Warning: Gender Bender, typo, some mistakes EYD, AU, Fanon.

A/N: Sekedar dongeng MC pendek, akan saya buat dalam beberapa versi berbeda. Khusus di FFn, akan saya publish versi dongeng. Versi lainnya akan saya publish di situs lain yang lebih memperbolehkan rate MA, gore.

xXx

Gaun Biru

xXx

.

.

.


Pernahkah kau mendengar cerita dongeng?

.

.

.

Berapa banyak yang pernah kau dengar?

.

.

.

Satu? Sepuluh? Seratus?

.

.

.

Dongeng darimana saja yang pernah kau dengar?

.

.

.

Siapa yang menceritakan dongeng itu padamu?

.

.

.

Apakah kau selalu terkesan setiap kali mendengar dongeng?

.

.

.

Lalu, pernahkah kau mendengar dongeng yang satu ini?

.

.

.

Dongeng Gaun Biru.

.

.

.

Nah, anak manis, dengarkan aku. Persiapkan dirimu, sekarang juga. Kenapa? Karena aku, akan menceritakan sebuah kisah. Kisah seorang gadis yang mengenakan sebuah gaun berwarna biru, gadis yang bagaikan setangkai bunga mungil yang cantik, setangkai bunga mawar biru. Ambil bantalmu, minumlah secangkir susu coklat hangat di tanganmu secara perlahan, lakukan apapun yang akan membuat dirimu santai.

Marilah, kawan, kita bersantai sambil mendengarkan dongeng. Namun, segeralah berangkat ke alam mimpi begitu dongeng selesai tuk menjalani hari esok. Berjanjilah, jadilah anak yang baik.

Baiklah, begini ceritanya ...


"Selamat pagi, Nenek~"

Seorang wanita tua terhenyak begitu mendengar sapaan ramah dari belakangnya, nyaris saja ia menjatuhkan pot bunga yang dipegangnya. Namun, ia segera tersenyum dan berpaling ke arah sumber suara, suara milik seseorang yang sangat dikenalnya.

"Ah~ Gaun Biru, selamat pagi," balas beliau, senyuman hangat nan ramahnya semakin melebar saat melihat sebuah keranjang berisi beberapa tangkai bunga daffodil tersusun rapi di situ. Keranjang tersebut dibawa oleh gadis yang menyapanya barusan.

Gadis itu tertawa manis, "Ehehe, sepertinya aku mengganggu, ya? Nenek masih memegang pot itu," ucapnya, ia menaruh keranjang tersebut di dekat keranjang besar yang berisi banyak sekali tangkai bunga mawar. Gadis itu beranjak menghampiri wanita tua tersebut, bermaksud untuk membantunya.

"Ah, hanya ingin dipindahkan ke depan, kok. Bunganya baru mekar pagi ini. Nenek ingin semua orang ikut melihat keindahan bunganya." Tanpa melepaskan pot tersebut dari tangannya, beliau mengangkat tangannya, memberi isyarat mencegah gadis itu untuk membantunya. Saat itu pula, beliau beranjak ke depan tokonya, bermaksud untuk menaruh pot tersebut.

"Oh, Nek Martha ..., biarlah kubantu," pinta gadis itu, ia terlihat kecewa saat wanita tua tersebut menolak bantuannya. Martha, nama wanita tua tersebut, beliau hanya tersenyum mendengarnya. Namun, ia tetap bersikukuh memindahkan pot itu sendiri.

"Tak perlu, Gaun Biru. Nantinya gaun cantikmu akan ternodai tanah," tolak Martha dengan halus dan jujur, ia memang tidak ingin melihat gaun yang dikenakan gadis itu nantinya menjadi kotor.

"Hmp~ baiklah, kalau begitu biar kususun saja bunga Daffodil ini di tempatnya, ya," tawar gadis itu. Belum sempat Martha memberi jawaban, gadis itu sudah lebih dulu meraih kembali keranjangnya dan menyusun bunga-bunga di keranjang itu ke keranjang besar yang lain. Martha hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya melihatnya, tetapi ia tak dapat mencegahnya saat melihat senyuman bahagia yang tersungging di wajah gadis itu.

Tak lama kemudian, mereka berdua selesai dengan pekerjaan masing-masing. Sebelum gadis itu berpamitan, Martha memberikan uang padanya, pembayaran untuk bunga-bunga Daffodil yang dibawanya tadi. Tak lupa Martha memberikan setangkai bunga Cattleya sebagai bonus, tentu gadis tersebut sangat senang menerimanya.

"Hng~" Sambil bersenandung, gadis itu berjalan menyusuri pertokoan. Banyaknya warna-warni dari berbagai macam barang dagangan di setiap toko memanjakan matanya, aroma dari kudapan dan bunga yang di pajang tercampur dalam penciumannya, seruan dari para penjual yang menjajakan dagangan beserta para pembeli yang menyerukan pesanannya terdengar jelas di telinganya.

Dengan setangkai Cattleya yang tersemat di helaian rambut hitamnya, ia menyunggingkan senyuman manis pada semua orang.

Siapakah ia?

Dialah Sang Gaun Biru, gadis yang selalu mengenakan gaun berwarna biru kesayangannya di pagi hari. Sesungguhnya, ia memiliki sebuah nama, namun semua orang lebih suka memanggilnya dengan julukan itu.

Setiap pagi, ia selalu keluar dari kediamannya dengan gaun tersebut, gaun warisan dari ibunya. Memetik beberapa tangkai bunga yang bermekaran di kebun halamannya, lalu membawanya ke toko bunga langganannya setiap hari, menjual hasil tanaman bunganya. Terkadang, ia menyempatkan waktu untuk membantu Martha, pemilik toko tersebut, menjajakan bunganya, atau sekedar membantu mengatur bunga-bunga di toko. Sesekali, ia membeli beberapa bibit bunga lain yang berbeda setiap musimnya.

Setelah selesai, barulah ia berkeliling pertokoan sebentar. Ia sangat suka berkeliling di pagi hari, rasanya sangat menyenangkan. Apalagi tanaman yang berada di sekitar pertokoan jauh lebih segar dibandingkan siang hari. Udara segar dengan disertai kicauan burung, sungguh ia sangat menyukai hal itu.

"Hei! Gaun biru! Kemarilah sebentar!"

"Hm?" Gadis itu, Gaun Biru, berhenti melangkah, ia menengok ke arah kanan, di mana ia mendengar suara seseorang yang memanggilnya. Oh, rupanya Taro, anak pemilik Yamashita Winery. Gaun Biru tersenyum kecil, ia menarik kakinya, melangkah menghampiri Taro.

"Selamat pagi, Taro. Ada yang bisa kubantu?" sapa Gaun Biru sembari menyunggingkan senyumannya.

"Pagi juga. Aku hanya ingin memberikan ini," ucap Taro seraya menyodorkan sebungkus buah anggur pada Gaun Biru, "kami baru saja memanen beberapa anggur pagi ini. Ayah memintaku untuk membaginya sedikit padamu," sambung Taro.

Senyuman cerah kembali menghiasi wajah manis Gaun Biru, "Taro~! Terima kasih!" seru Gaun Biru, ia menerima bungkusan berisi anggur tersebut dan memasukkannya di keranjang mungilnya.

Taro menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, rona merah menghiasi wajahnya. "Mn ..., sama-sama, Gaun Biru. Ah! Aku masih ada banyak pekerjaan, sudah dulu, ya!" pamit Taro terburu-buru, ia bergegas memasuki gudang penyimpanan anggur sambil membawa sekotak botol-botol kosong. Gaun Biru hanya tertawa kecil melihatnya.

Begitu Taro menghilang dari balik pintu, Gaun Biru beranjak pergi, melanjutkan kegiatannya. Tak lupa keranjang mungilnya turut serta dibawanya.

Meski hari sudah menjelang siang, suhu masihlah rendah, Gaun Biru mengeratkan scarf berwarna biru malam miliknya di lehernya, menjaga kehangatan di lehernya. Padahal masih musim gugur, tetapi suhu sudah serendah ini. Mungkin karena beberapa minggu lagi akan memasuki musim dingin.

Karena dinginnya hawa di sekitar, Gaun Biru bermaksud membeli minuman hangat. Untuk membantu menghangatkan dirinya selama di perjalanan pulang ke rumah mungilnya. Tak akan sempat apabila ia membuat minuman hangat di rumah, ia harus berganti baju begitu sampai di rumah nantinya, lalu berangkat kerja di Cafe La Geen bersama partner-nya Stephanie.

Tanpa buang waktu, Gaun Biru bergegas menuju kedai makanan terdekat, kedai yang dikelola oleh Ushio, terkenal akan supnya yang lezat. Mungkin ia bisa membelinya semangkuk, untuk dimakan nanti sepulang bekerja, bisa ia hangatkan nanti malam di rumah.

"Gaun Biru! Tumben kau kemari," sapa Ushio begitu ia melihat sosok Gaun Biru memasuki kedainya, pria berumur kepala tiga itu menghampirinya. Gaun Biru kembali memasang senyuman, ia membungkuk sedikit pada Ushio.

"Ada apa? Mau membeli supku?" tanya Ushio disertai kekehan kecil.

"Iya, aku ingin membeli semangkuk, juga ... segelas coklat hangat," sahut Gaun Biru sambil menyebutkan pesanannya.

"Segera datang~ duduklah dulu, Gaun Biru." Setelah mempersilahkan Gaun Biru untuk duduk selama menunggu, Ushio beranjak masuk ke dapur, meminta istrinya membuatkan pesanan Gaun Biru. Sementara itu, kedua mata Gaun Biru mengerling, mencari-cari tempat duduk yang kosong.

"Oi, Yuusei!"

Gaun Biru tersentak, spontan ia menoleh pada seseorang yang berseru padanya. Padanya? Ya, benar sekali, Yuusei adalah nama asli Gaun Biru. Meskipun hampir semua orang memanggilnya dengan julukan 'Gaun Biru', masih ada yang tetap memanggilnya dengan nama. Mereka adalah teman-temannya, yang telah mengenal Yuusei semenjak kecil.

"Crow!" Yuusei tersenyum lebar melihat kawannya duduk di salah satu kursi, tengah menikmati sarapannya. Beruntung, kursi di hadapan Crow kosong. Dengan cepat, Yuusei menghampirinya sambil berlari kecil.

"Yo, Manis. Lama kita tak jumpa," sapa Crow, sedikit menggoda dan mengedipkan matanya pada Yuusei yang menarik kursi dan duduk di hadapannya.

"Berhenti memanggilku manis, Crow," gerutu Yuusei, ia menggembungkan sedikit pipinya, cemberut. Crow terkekeh melihatnya, ia mendorong pelan piring kecil berisi cookie di meja ke arah Yuusei, menawarinya kue. Crow, salah satu teman Yuusei semenjak kecil. Rambutnya berwarna oranye, ia juga selalu mengenakan sebuah headband di kepalanya.

"Maaf. Habisnya, lucu saja sekarang kau dipanggil 'Gaun Biru' oleh orang-orang," komentar Crow.

"Mereka memanggilku begitu karena gaunku ini," terang Yuusei seraya mengambil sebuah cookie dari piring.

"Kalau tak salah, gaun itu dari ibumu, 'kan?" terka Crow, ia memperhatikan baik-baik gaun yang dikenakan oleh Yuusei.

Yuusei tersenyum, "Ya, ini peninggalan beliau untukku."

"Kau pakai setiap hari?" tanya Crow, ia mengangkat alis kanannya dan menurunkan alis kirinya. Yuusei menjawabnya dengan anggukan seraya mulai memakan cookie di tangannya.

"Hm~ untung Jack tak ada. Jika ada, pasti sekarang dia sudah mengejekmu daritadi," keluh Crow, jemarinya iseng memainkan antingnya. Yuusei mengerutkan alisnya mendengarnya.

"Jack? Dia tak ikut bersamamu?" tanya Yuusei heran, mengingat beberapa tahun lalu Crow dan Jack meninggalkan kota kecil ini bersama-sama. Jack? Dia juga salah satu teman Yuusei, seringkali mereka berkumpul bersama-sama berempat. Pemuda jangkung yang berambut kuning keemasan dengan dua untai rambut di kedua sisi wajahnya.

"Dia masih ada urusan di Satisfaction City bersama Kiryuu. Aku kemari untuk mengambil barang-barang yang sempat tertinggal di garasi lama kita." jawab Crow, pemuda itu memakan roti bakarnya sambil memejamkan matanya. Yuusei mengangguk paham.

Ya, meski Yuusei adalah seorang gadis, Yuusei seringkali berkumpul dengan teman laki-lakinya saat masih kecil. Mungkin, karena Yuusei hanya diasuh oleh ayahnya, sedangkan ibunya sudah lama menghembuskan napas terakhir saat ia dilahirkan. Yuusei terbiasa bertemu dan bercengkrama dengan teman-teman ayahnya di bengkel tempat ayahnya bekerja, dari situlah ia bertemu dan berteman dengan Crow dan yang lain.

Nahas, Sang Ayah juga kini mengikuti ibunya di saat ia masih berumur sepuluh tahun. Semenjak itu, Yuusei selalu dijaga oleh teman-temannya. Lagipula mereka tak keberatan Yuusei ikut tinggal bersama mereka, selain karena Yuusei mewarisi kejeniusan ayahnya dalam pekerjaannya sebelum meninggal, keberadaan seorang gadis di antara mereka tentu akan sangat membantu. Bukan hal aneh jika para lelaki tak dekat dengan kebersihan dan pola makan tak karuan.

"Kau mau ikut denganku, Yuusei?" tawar Crow seraya membuka kedua matanya, menatap langsung pada permata biru kembar milik Yuusei. Yuusei terdiam mendengarnya. Bukan berarti itu tawaran yang tak menarik, justru Yuusei senang diajak oleh Crow.

"Bagaimana, Yuusei?" tanya Crow, menegur Yuusei yang sedari tadi terdiam. Yuusei memejamkan matanya, kembali berpikir. Sementara itu, Crow terus menunggu sambil menghabiskan sarapannya.

"Kurasa ...," ucapan Yuusei terpotong, gadis itu membuka kedua matanya, "aku akan ik—"

"Maaf menunggu!"

Crow dan Yuusei tersentak, refleks mereka berdua menoleh. Dilihat oleh mereka, Ushio menaruh bungkusan berisi pesanan Yuusei di atas meja. Cengiran lebar terpasang di wajahnya.

"Ushio! Bikin kaget saja kau ini!" protes Crow kesal, Ushio menyahutnya dengan gelak tawa.

"Ayolah~ sudah lama kalian tidak bertemu, jangan saling memasang wajah tegang seperti itu~ Nona, kutambahkan semangkuk sup lagi, gratis. Siapa tahu pemuda yang masih perjaka ini mau berkunjung ke rumahmu nanti~"

"Berisik!"

Melihat Crow dan Ushio yang mulai beradu mulut dengan riuhnya, Yuusei menggelng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang, gadis itu berdiri sambil mengambil bungkusan tersebut.

"Eh, Yuusei? Kau mau pergi?" tanya Crow di sela debatnya dengan Ushio, Yuusei mengangguk.

"Sebentar lagi aku harus bekerja. Datanglah nanti ke rumahku jika tempat tidur garasi berdebu," canda Yuusei seraya berlalu dari sana.

"Hati-hati, Nona! Bisa saja itu dijadikan alasannya untuk melangkahi Jack dan Kiryuu!"

"Gah! Ushio!"

Sekali lagi, Yuusei kembali menghembuskan napas. Gadis itu menghampiri kasir, di mana Mikage berjaga di sana. Istri dari Ushio itu seringkali bergantian menjaga kasir dengan suaminya selain melayani pengunjung.

"Silahkan datang lagi, Gaun Biru," Mikage tersenyum ramah pada Yuusei sembari menyodorkan uang kembalian pada Yuusei, Yuusei membalasnya dengan senyuman kecil.

Keluar dari kedai itu, Sang Gaun Biru berdiri diam di jalan, tanpa memasang senyumannya. Kedua permata birunya menatap langit yang berwarna sama dengan matanya, untunglah gumpalan-gumpalan kapas putih melindungi pandangannya dari cahaya mentari.

"Pergi dari kota ini, ya ..." Cahaya mata Yuusei merawang, tak sama seperti tadi. Tawaran dari Crow tadi benar-benar membuatnya bimbang. Ia benar-benar berterima kasih pada Ushio karena telah mengalihkan perhatian Crow tadi.

"Aku memang ingin pergi, tapi aku juga tak bisa meninggalkan Domino City ...," gumam Yuusei pelan.

"Apa yang harus kulakukan ...?" bisiknya dengan suara kecil, terlalu kecil.

Hanya suara hembusan angin dan kicauan burung kecil yang menjadi jawaban suara yang didengar olehnya.

~xXx~

TBC

~xXx~