Minseok sampai di rumah pukul tiga pagi, untunglah pemilik bar cukup berbaik hati menyediakan mobil jemput dan antar untuk gadis-gadis pramutamanya, kalau tidak Minseok mungkin harus menunggu matahari terbit sampai bisa menemukan kendaraan umum pulang ke rumahnya.

Lagipula, dia harus segera tidur. Pukul enam pagi dia harus bangun, mempersiapkan sarapan dan makan siang untuk ayahnya, kemudian berangkat kerja. Ayahnya yang pengangguran itu pasti masih tidur pulas ketika Minseok berangkat bekerja, tetapi setidaknya Minseok sudah meninggalkan makanan untuknya.

Dia begitu lelah, dan kurang tidur. Benak Minseok terasa berat memikirkan hari esok, seharian di kantor, pulang jam lima sore, lalu segera berdandan untuk berangkat kerja lagi menjadi pramutama bar. Sungguh, hari-harinya terasa begitu berat.

Tetapi dia harus kuat. Ayahnya bahkan tidak mampu menopang dirinya sendiri, jadi Minseok benar-benar sendirian di dunia ini dan harus berjuang sendirian.

Mata Minseok tiba-tiba melirik ke arah tas tangannya, sambil duduk di tepi ranjang, dia membuka tas itu, mengeluarkan segepok uang yang dilemparkan lelaki dingin dan misterius itu ke pangkuannya.

Itu uang merah seratus ribuan yang tersusun rapi segepok, jumlahnya sepuluh juta won...

Manusia mana yang dengan ringannya melemparkan segepok uang tanpa beban apapun? apakah lelaki bermata abu-abu itu adalah lelaki yang sangat kaya? Ya. pasti seperti itu, uang sepuluh juta rupiah mungkin tidak berarti apapun bagi lelaki itu, tetapi bagi Minseok uang itu sangat berarti...

Mereka harus bisa membayar cicilan hutang judi ayahnya di akhir minggu ini, kalau tidak rumah mereka akan disita oleh preman-preman kiriman itu... uang yang ada di genggaman tangannya ini akan sangat membantu Minseok.

Minseok menatap uang itu di tangannya, menimang-nimangnya, lalu memasukkan kembali uang itu ke dalam tasnya setelah menghela napas panjang.

Entah apa yang akan dia lakukan kepada uang itu nantinya... apakah dia akan mengembalikannya? tetapi bagaimana caranya? mungkinkah lelaki bermata abu-abu itu akan kembali lagi nantinya?

"Apakah kau sudah pernah melihat wajah presiden direktur kita?" Baekhyun mencolek punggung Minseok dari belakang sambil tersenyum lebar, membuat Minseok yang sibuk menekuri data administrasi di komputernya menoleh kaget.

Ya, sekarang dia sedang berada di tempat kerjanya. Memainkan peran kehidupannya yang biasa, sebagai seorang pekerja kantoran, Minseok selalu berusaha memisahkan kedua perannya. Tidak boleh ada yang mengetahui bahwa setiap malam dia bekerja di sisi yang bertolak belakang, sebagai seorang pramutama bar, kalau sampai ada yang tahu, teman-temannya mungkin akan memandangnya sebelah mata, atau bahkan menghinanya sebagai perempuan murahan.

Seperti yang dilakukan oleh lelaki bermata abu-abu semalam...

Tanpa sadar Minseok mengernyit, biasanya dia selalu mudah melupakan semua kejadian buruk yang terjadi di tempat kerjanya di bar. Kyungsoo yang mengajarkan itu kepadanya, pekerjaan ini memang beresiko, kadangkala beberapa lelaki tidak bisa menahan diri untuk melecehkan mereka. Tetapi mereka harus segera melupakan kejadian itu keesokan harinya, dan melanjutkan hidup, masuk bekerja lagi dengan tersenyum. Kata Minseok tidak ada gunanya memikirkan kesakitan terhadap harga diri mereka, karena pekerjaan mereka memang membuang harga diri.

Tetapi entah kenapa hinaan lelaki bermata abu-abu kemarin terasa menyengat Minseok lebih dalam daripada yang dia kira. Mungkin karena hinaan itu diucapkan dengan rasa jijik dan muak sepenuh hati.

Lagipula Minsrok masih bertanya-tanya... lelaki itu jelas-jelas meminta untuk ditemaninya secara spesifik, berarti adakah kemungkinan lelaki itu mengenalnya?

"Minseok?" Baekhyun kali ini menepuk bahunya, "Kau tidak apa-apa?"

Minseok membetulkan letak kacamatanya dan memutar kursinya, lalu tersenyum.

"Aku tidak apa-apa Baek, mungkin sedikit kurang tidur."

Baekhyun menatap wajah Minseok dengan seksama, lalu mengerutkan keningnya, "Kau memang tampak sedikit pucat." Lalu dalam sekejap dia melupakan pembahasan tentang kondisi Minseok dan membungkukkan badannya, siap bergosip, "Kau tahu tidak tentang gosip yang beredar akhir-akhir ini?'

"Gosip?" Minseok membelalakkan matanya, menatap bingung, "Tentang apa?"

Baekhyun mengerucutkan bibirnya, "Yah, berarti dari tadi aku berbicara panjang lebar kau tidak mendengarkan ya..." perempuan itu mengangkat bahunya, "Katanya kita punya presiden direktur baru. Presiden Direktur sebelumnya mengundurkan diri karena alasan kesehatan." suaranya merendah, "Yang perlu kau tahu, sepertinya keluarga

owner perusahaan kita ini sedang heboh, karena yang ditunjuk untuk menjadi presiden direktur berikutnya adalah anak haram dari sang presiden direktur, alias cucu haram owner perusahaan."

"Cucu haram?" Minseok terkejut, tetapi lebih kepada pengetahuan Baekhyun akan gosip terbaru seputar pemilik perusahaan mereka. Baekhyun memang selalu menghabiskan waktu luangnya untuk mengorek informasi, lalu bergosip kesana kemari, karena itulah Minseok sebetulnya berusaha menjaga jarak terhadap Baekhyun, karena akan sangat menakutkan kalau Minseok mengetahui pekerjaan malamnya di bar. Bisa-bisa kabar itu tersebar sekaligus dilebih-lebihkan sampai ke seluruh penjuru kantor. Sayangnya, pada saat-saat tertentu Minseok memang tidak bisa menghindari Baekhyun karena mereka sama-sama staff administrasi dan berada di ruangan yang sama.

"Yap cucu haram. Presiden Direktur kita ternyata tidak sesuci yang ditampilkannya, dari gosip yang kudengar, dia mempunyai anak haram dari kekasih gelapnya, ketika kekasih gelapnya meninggal, dia membawa anak lelaki haramnya itu ke keluarganya, menimbulkan kehebohan... apalagi pak Presiden Direktur kita mempunyai anak lelaki dari isteri resminya yang sebaya. Bisa kau bayangkan bukan persaingan di antara mereka?"

Minseok mengangkat bahunya, "Kalau begitu si cucu haram sudah memenangkan persaingan, bukankah dia berhasil diangkat menjadi Presiden Direktur menggantikan ayahnya?"

"Belum tentu." Baekhyun tampak bersemangat, yah gosip memang selalu membuat perempuan itu bersemangat, "Sepertinya masih terjadi protes besar-besaran dari pihak keluarga mengenai keputusan itu, kita lihat saja nanti... cuma yang pasti, presiden direktur kita yang baru akan datang besok pagi, dan semua orang bertanya-tanya seperti apa wajah si anak haram yang tiba-tiba menjadi putera mahkota itu."

Minseok merendahkan suaranya, "Hati-hati Baek, kita bisa dipecat kalau menyebut bos kita sebagai anak haram."

Peringatannya itu bukannya membuat Baekhyun takut malahan membuatnya terkikik geli, dia merendahkan suaranya dan setengah tertawa, "Tentu saja aku tidak akan berani memanggilnya seperti itu di depannya, tetapi mumpung dia belum datang, akan kupuaskan diriku menyebarkan gosip ini ke semua orang."

Dan kemudian sambil bersenandung, Baekhyun meninggalkan Minseok. Minseok menatap kepergian Baekhyun dan menghela napas panjang. Percakapannya tadi benar-benar membuatnya semakin yakin, bahwa Baekhyun adalah penyebar gosip yang menakutkan dan Minseok harus berhati-hati kepada rekan kerjanya itu.

Tepat pukul enam sore Minseok tiba di rumahnya, dia membuka pintu rumahnya dan mengerutkan kening,

Kenapa rumahnya gelap?

Biasanya ayahnya sedang duduk menonton TV dan memakan makanan yang ditinggalkan Minseok ketika dia pulang, tetapi kali ini suasana rumah gelap dan sunyi.

Dengan hati-hati Minseok melangkah masuk ke dalam rumah,

"Ayah?" dipanggilnya sang ayah, tetapi tidak ada sahutan sama sekali. Dengan was-was, Minseok menyalakan lampu rumahnya satu per satu, setelah rumah terang dan sedikit menenangkan, Minseok melongok ke kamar ayahnya.

Ternyata ayahnya sedang tidur pulas di kamar, Minseok menghela napas panjang dan menutup kembali pintu kamar ayahnya, lalu termenung sedih sambil menyandarkan tubuhnya di pintu.

Dulu ayahnya tidak seperti ini, tetapi setelah kematian ibunya yang tragis, ayahnya larut dalam mabuk-mabukan dan berjudi, terjatuh dalam kubangan kepedihan yang pada akhirnya menggerogoti dirinya sendiri hingga tidak ada siapapun yang bisa menolongnya.

Hati Minseok selalu tersayat melihat kondisi ayahnya, merasa pedih yang luar biasa, tetapi apalah dayanya? dia tidak bisa melakukan apa-apa, ayahnya sendirilah yang menghancurkan dirinya sendiri dan apapun yang sudah Minseok lakukan, sang ayah sepertinya sudah tidak mau ditolong olehnya.

Dengan jemari gemetar, Minseok mengusap setetes air bening yang mengalir tanpa sadar di sudut matanya.

Dia tidak boleh menangis. Dia harus tegar.

Diliriknya jam di dinding, mobil jemputan yang akan mengantarkan dirinya dan pramutama bar yang lain akan datang setengah jam lagi, Minseok harus bergegas, berdandan dan juga meninggalkan makan malam untuk ayahnya.

Tidak ada waktu untuk bersedih bagi Minseok.

Setelah menuangkan sup panas ke mangkuk dan meletakkan ayam goreng di piring, Minseok menutup tudung saji ke atas makanan yang diletakkan dengan rapi di meja dapurnya itu.

Aroma harum memenuhi ruangan dapur, dan untunglah Minseok sempat makan semangkuk nasi berikut sup hangat yang cukup menyegarkannya.

Dia sempat batuk-batuk tadi, dan badannya terasa tidak enak, mungkin dia memang kelelahan dan juga paru-parunya protes karena tiap malam selalu disesaki oleh udara bar yang penuh dengan asap rokok.

Minseok menatap makanan yang disiapkannya di meja itu untuk ayahnya dan tersenyum puas, setidaknya setelah ayahnya bangun dari tidur, sudah ada makanan hangat yang menantinya...

Dengan hati-hati Minseok melangkah menuju ke kamarnya, dia harus bersiap-siap cepat sebelum mobil jemputan itu datang. Dengan gerakan gemulai, Minseok melepaskan ikatan rambut dan kacamatanya, lalu memasang contact lens di matanya. Tentu saja dia tidak bisa menggunakan kacamata ketika bekerja di bar, jadi sebagai gantinya Minseok memasang contact lens untuk membantu pengelihatannya, karena pandangannya cenderung kabur kalau tidak memakai kacamata.

Dioleskannya lipstick merah di bibirnya, diriasnya wajahnya dengan riasan yang sedikit tebal, setelah itu Minseok menatap wajahnya di cermin dan mengernyitkan keningnya.

Tidak ada lagi Minseok yang polos dan perempuan baik-baik yang bekerja sebagai staff administrasi di kantornya. Yang ada sekarang hanyalah Xiumin, perempuan penuang bir yang akan menemani laki-laki minum di dalam bar.

Minseok menghela napas panjang, kemudian dia meraih tasnya, sedetik dia tertegun menyadari uang sepuluh juta itu masih ada di sana.

Akankah dia membawanya?

Ataukah dia meninggalkannya?

Tetapi ada kemungkinan lelaki bermata abu-abu itu akan kembali bukan?

Sejenak Minseok meragu, tetapi kemudian dia memutuskan untuk membawa uang itu. Dia bisa menyimpan tasnya di locker khusus karyawan yang aman. Setidaknya kalau lelaki bermata abu-abu itu kembali, Minseok bisa mengembalikan harga dirinya dengan melemparkan uang itu kembali ke muka lelaki itu.

Minseok memang butuh uang, sangat butuh. Tetapi dia tidak bersedia direndahkan hanya demi segepok uang.

Seperti biasa bar itu tidak pernah sepi, padahal bukan di akhir minggu. Pengunjung bar kebanyakan lelaki ataupun pekerja yang mencari waktu untuk bersantai dan melepas kepenatan.

Minseok berdiri di dekat bar, mengamati seluruh pengunjung berusaha mencari lelaki bermata abu-abu itu, tetapi dia tidak menemukannya.

"Kulihat pelayananmu kepada tamu yang memintamu khusus kemarin tidak berakhir baik." Yixing, sang bartender tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahnya, ikut mengamati ke sekeliling bar, "Aku melihatnya pergi dengan wajah marah meninggalkanmu."

Minseok tersenyum dan menatap Yixing. Lelaki itu cukup baik kepadanya dan pramutama bar, dia bersikap sopan dan tidak pernah melakukan hal-hal yang lebih. Sepertinya Yixing menyadari bahwa semua gadis pramutama melakukan pekerjaan itu didorong oleh alasan ekonomi, sehingga dia tetap menghormati mereka. Karena itulah Minseok cukup nyaman bercakap-cakap dengan Yixing, dia bahkan sudah menganggap Yixing seperti kakaknya sendiri.

"Dia menciumku dengan paksa, memanggilku pelacur, melemparkan uang kepadaku dan pergi begitu saja." Minseok menghela napas panjang, "Dan seperti yang kau bilang, pelayananku tidak berhasil."

Mata Yixing menyala, "Dia melecehkanmu? kalau begitu kenapa kau tidak memanggil bodyguard untuk membereskannya?"

Minseok mengangkat bahunya, "Kejadiannya begitu cepat, Xing, ketika aku menyadari bahwa aku dilecehkan, dia sudah menghilang dari pandangan."

"Lain kali hati-hati Min, aku melihat lelaki itu berpakaian seperti orang kelas atas, tetapi kita memang tidak bisa menilai orang dari penampilannya, kadangkala penampilan bisa menipu."

Minseok menganggukkan kepalanya. Dan kemudian matanya masih menatap ke arah kerumunan orang-orang yang memenuhi bar.

Lelaki itu tidak ada...

Malam beranjak semakin larut, dan Minseok pada akhirnya berhasil membebaskan diri dari lelaki mabuk yang ditemaninya tadi.

Lelaki itu sepertinya terlalu banyak minum dan mulai meraba-raba pahanya, dan Minseok langsung berdiri, berpamitan hendak ke toilet sebelum lelaki itu bertindak lebih jauh dan membuat keributan di dalam bar.

Dengan langkah tergesa, menahankan muak di dadanya ketika mengingat rabaan tangan kasar itu di pahanya, Alexa menembus kerumunan orang, menuju lorong samping ke area toilet.

Baru beberapa langkah dia berjalan di area yang sepi itu ketika sebuah jemari mencekal lengannnya, membuatnya memekik dan menoleh ketakutan terhadap siapapun yang bertindak kasar kepadanya.

Mata Minseok membelalak, dia ternganga karena berhadapan kembali dengan lelaki bermata abu-abu itu. Tatapan lelaki itu masih sama, penuh kemarahan dan kebencian yang kental, serta rasa muak ketika menatap penampilan dan dandanan Minseok yang menor.

"Dasar pelacur kecil! Aku memberimu uang itu supaya kau berhenti merendahkan dirimu, tetapi ternyata kau tetap kembali lagi kemari." suaranya mendesis, sepertinya menahan marah, lalu tiba-tiba dia menarik Minseok setengah menyeretnya, "Ayo! Kau sudah tidak boleh lagi bekerja di tempat seperti ini!"