I Choose You

Haikyuu! By Haruichi Furudate

Original Character and Original Story are mine

-'.-'.-'.-'.-'.-

(OC'S POV)

(Sugawara x OC/OC x Oikawa)

(Teen)

(Fourshot)

This is just FANFIC. I didn't take any advantage. DON'T LIKE, DON'T READ.

-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-

Jika langit dapat kita jadikan latar, apa yang akan kamu buat disana?

~Sora~

-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-

"Kuuru!" seruku setelah merasakan sensasi yang hampir membuat beberapa saraf di pipiku mati rasa. Kutolehkan kepalaku cepat sambil mengambil sekaleng cokelat dingin yang masih menempel di pipi kiriku. Si pelaku hanya terkekeh melihat ekspresiku.

"Sudah lama menunggu?" tanyanya yang terlepas dari kekehannya. Dia langsung saja duduk di sampingku tanpa meminta izin.

"Tidak juga." Jawabku dingin sambil mengalihkan pandanganku ke tempat lain.

"Tapi kamu tampak jenuh." Sahutnya.

"Jadi, kau mau bilang apa, Oikawa? Aku tidak punya banyak waktu untuk berbincang denganmu." Tanyaku dingin.

"Hey ayolah. Santai sedikit. Wajahmu akan berkeriput jika terus ditegangkan." Pemuda bersurai cokelat tua itu mencubit gemas pipi kiriku. Aku hanya terdiam, tak membalas.

Setelah dia menjauhkan tangannya dariku, dia mulai memasang wajah sedihnya. Aku tidak tahu apakah dia sedang berakting atau tidak. Tapi sepertinya aku harus mengakui bahwa dia tidak sedang bersandiwara.

"Kau tahu? Rasanya hatiku remuk sekali. Mungkin sudah hancur." Ucapnya memulai pembicaraan.

"Nande?" tanyaku sambil membuka tutup kaleng cokelat dinginku.

"Haruskah aku menjelaskannya lagi padamu?" tanyanya balik. Membuat diriku sendiri terdiam. Aku menghembuskan napas kasar lewat mulut. Dia memerhatikanku. Aku malah tak menghiraukannya.

"Sora, bisakah kita–"

"Sumimasen, Oikawa. Aku harus segera pergi. Mata ashita." Ujarku dingin sambil bangkit dari dudukku. Tanpa menoleh, aku langsung melangkah pergi.

"Matte Sora!" seru pemuda yang kupanggil Oikawa itu yang secepat mungkin menarik lengan kiriku kasar hingga membuatku membalikkan tubuh dan berhadapan dengannya. Cokelat yang ada di dalam kaleng sedikit tumpah ke tanah karena tutupnya terbuka dan masih penuh. Aku memelototinya.

Oikawa mengambil kaleng cokelatku dan menaruhnya di atas bangku panjang yang baru saja kutinggalkan. Tangannya yang lain masih memegang erat lengan kiriku. Sekarang, manik cokelatnya menatap hangat pada kedua manik hitamku.

"Sora, apa kamu tidak bisa memaafkanku? Aku sudah menjelaskan semuanya padamu. Aku tahu aku salah. Aku sudah meminta maaf padamu setiap saat. Aku selalu mengirimu pesan. Tapi kamu sama sekali tidak menggubrisnya. Apa aku sangat dibenci olehmu sampai kamu tega berbuat seperti itu?" suaranya melembut, namun nadanya tegas. Ini salah satu yang orang lain tidak ketahui tentangnya.

Aku memalingkan pandanganku dari matanya. Ah, kenapa aku harus bertemu dengannya pagi ini? Padahal di hari minggu ini aku ingin bersenang-senang. Kacau sudah hari liburku.

"Begini, Oikawa. Jujur, sebenarnya aku tidak marah padamu. Hanya sedikit kesal. Bukan padamu. Bukan juga pada Sawayaka. Tapi kesal pada diriku sendiri." Aku memberi jeda pada omonganku, "Aku berpikir, kenapa aku mengenal kalian? Apa Kami-sama sedang mengujiku? Atau Kami-sama yang menyuruhku untuk tidak berhubungan lagi dengan kalian? Wakaranai. Demo, kau tahu aku seperti apa, bukan? Aku tidak akan menaruh dendam pada orang lain. Jadi, kamu tidak perlu cemas kalau kamu tidak akan dimaafkan pasti memaafkanmu." Aku tersenyum tipis dan kembali melihat padanya.

"Sora…" panggil Oikawa dengan suara pelan. Kedua ujung alisnya saling bertautan dan membentuk kerutan di antaranya.

Aku mendorong pelan tangan Oikawa dari lengan kiriku, "Dan, jika kamu ingin melanjutkan hubunganmu dengan Sawayaka, silahkan saja. Aku pasti mendukung kalian."

"Iie Sora!" suaranya agak mengeras. Aku tahu dia ingin membantah ucapanku.

"Tapi jika Oikawa memintaku untuk kembali," aku sedikit menundukkan kepalaku sebentar. Setelah itu kembali menatapnya, "aku ragu untuk itu. Mungkin aku tidak bisa kembali padamu." Aku membungkukkan tubuhku sejenak memberi salam perpisahan. Lalu, aku pun berjalan pergi menjauhinya.

Setika SMP, aku satu sekolah dengan Oikawa dan juga Sawayaka. Aku berteman dengan Sawayaka sejak di taman kanak-kanak dan memilih sekolah yang sama karena kami sudah saling menanggap hubungan kami layaknya keluarga. Aku begitu akrab dengan Sawayaka. Bahkan banyak yang bilang, kami sangat mirip jika sudah di dekatkan.

Sejak dulu,Sawayaka anak yang riang dan penuh semangat. Dia juga cantik serta pintar. Banyak yang mengaguminya hingga setiap hari ada saja yang kue atau cokelat atau surat yang diberikan padanya. Hal itu sudah menjadi kebiasaan sejak kami duduk di kelas 4 SD. Tapi ketika SMP, banyak yang tidak menyukainya, terutama kakak kelas perempuan. Banyak gossip tentang Sawayaka yang menyebar hampir ke penjuru sekolah kami.

Kakakku yang juga bersekolah di SMP yang sama denganku, mencaritahu kebenaran dari gossip itu demi aku yang hampir naik pitam karena tidak bisa meredam hal-hal yang tidak baik. Karena tidak ada bukti, kakakku yang saat itu sudah mengganti marganya –karena orang tuaku bercerai ketika aku kelas 5 SD, langsung menggertak semua biang keladi dari gossip-gossip tentang Sawayaka. Mendengar hal itu, aku jadi lega. Menurutku, mempunyai kakak berkekuatan seperti yakuza tidak buruk juga. Eh, tapi jangan salah. Kakakku ini berada di jajaran 10 peringkat anak terpintar di sekolah. Gayanya pun tidak mirip yakuza, tapi juga tidak seperti murid teladan. Terlihat glamor meskipun sebenarnya sederhana. Sepertinya, tampang seseorang memang mempengaruhi hampir segala hal.

Kembali ke cerita.

Ketika aku naik ke tingkat 2 SMP, aku sekelas dengan Oikawa. Awalnya, memang aku tidak peduli dengannya. Karena menurutku dia sudah memiliki banyak orang yang akan peduli dengannya. Tapi entah sejak kapan, aku dan Oikawa menjadi akrab. Bukan cuma sekadar mengobrol di kelas, tapi juga sering jalan pulang bersama. Lama kelamaan, sesuatu perasaan aneh menggelitik ruang kosong dalam hatiku karenanya.

Sampai suatu ketika, Oikawa memintaku untuk menjadi kekasihnya. Dengan mengulur waktu sedikit lama, Oikawa gigih meenyatakan perasaannya padaku. Sampai-sampai, kakakku yang saat itu di tingkat ketiga, hampir melangkahkan kakinya untuk menyerang Oikawa karena mengaggap Oikawa sudah mengganggu adiknya. Yah, kakakku memang sangat agresif jika sudah bersangkutan dengan hal yang ada diriku di dalamnya. Jika saja aku tidak menjelaskan segala perasaanku ke Oikawa pada kakakku, aku tiak tahu bagaiamana keadaan Oikawa esok harinya.

Di awal tahun ketigaku di SMP, aku menerima permintaannya. Dan kami pun berpacaran selama hampir tiga tahun. Dengan dua tahun long distance relationship. Aku, Oikawa dan Sawayaka berpisah di SMA. Oikawa dan Sawayaka masuk ke sekolah yang sama. Sedangkan aku harus pindah ke rumah nenek dan kakekku karena sebuah alasan. Walaupun begitu, dua tahun kedepannya Aku dan Oikawa masih tetap berpacaran. Sedangkan aku dengan Sawayaka masih berhubungan dan sering bertemu.

Tepat setelah akhir ujian kenaikan kelas di tahun terakhit tingkat kedua SMA, aku melihat keduanya saling beradu kasih di taman yang cukup sepi. Dan sejak saat itu, aku memutuskan hubunganku dengan Oikawa, serta mendiami Sawayaka. Meskipun waktu itu aku masih menyayangi Oikawa, hatiku yang ragu akan perasaanku sendiri membuatku harus tegas agar aku tidak semakin terluka nantinya.

Dan ini sudah berjalan 2 minggu. Aku heran, kenapa Oikawa tidak pernah berhenti membuatku ragu. Dia bersama Sawayaka, namun di sisi lain dia terus mencoba menghubungiku. Apa dia tidak punya malu? Sayangnya, aku tidak mau repot-repot mengusirnya. Biarkan orang lain saja yang akan melakukan hal itu suatu hari nanti.

Aku berhenti melangkah di tengah jalan yang sangat sepi. Di samping kanan dan samping kiri hanya ada rumput dan ilalang yang masih tertutup salju. Ah, aku baru sempat berpikir, kenapa pemuda tadi memberiku cokelat dingin di hari yang dingin seperti ini? Apa dia mau membunuhku? Ah… entahlah.

"Huwaaah! Mumpung sepi!" seruku pada diriku sendiri. Aku melepaskan tas gitarku yang sedari tadi kupakai. Ku pandang pemandangan di depanku yang monoton namun sebenarnya indah. Hari ini salju sudah tidak turun, namun matahari belum juga keluar dari persembunyiannya di antara penjara kapas tebal di langit sana.

Aku membuka resleting tas gitar berwarna hitam itu dan mengambil benda bersenar di dalamnya. Ku selempangkan tali gitarku di bahu kiriku dan membiarkannya menggantung di sana. Ku hirup udara di sekitarku dalam-dalam. Sambil memejamkan kedua mataku, mencoba untuk menikmati suasana di sini. Tak lama, ku hembuskan napasku yang langsung beradu dengan angin dingin yang mendekat.

Aku mulai menggenjrang senar gitar yang ku tekan dengan jemari tangan kiriku. Terlintas di pikiranku lagu yang begitu pilu dari salah satu band terkenal Jepang.

So they say that time

Takes away the pain

But I'm still the same

And they say that I

Will find another you

That can't be true

*Why didn't I realize?

Why did I tell lies?

Yeah I wish that I could do it again

Turnin' back the time

Back when you were mine (all mine)

**So this is heartache?

So this is heartache?

Hiroi atsumeta koukai wa namida e to kawari oh baby

So this is heartache?

So this is heartache?

Ano hi no kimi no egao wa omoide ni kawaru

I miss you

Tiba-tiba, aku menghentikan aktivitas yang baru kulakukan hampir dua menit itu. Cairan bening dari pelupuk mataku terjun menuruni pipiku dengan mulus. Aku segera menghapusnya dengan punggung kedua telapak tanganku. Namun tidak juga henti. Kudongakkan kepalaku dan memandangi langit berawan itu. Salah satu cara yang ampuh untuk menghentikan tangisku adalah melihat langit. Entah karena namaku yang sangat berhubungan dengan hal itu atau bukan. Tapi aku senang berlama-lama melihat lukisan indah di atas sana. Padahal, tidak ada apapun di sana.

Karena suasana hatiku memburuk, aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Untunglah dari tempatku sekarang tidak begitu jauh dari rumah yang saat ini menjadi tempat tinggalku. Tapi untuk ukuran normal, 1 kilometer itu jauh.

"Ah… aku harus menumpuk segala hal tentang mereka di kepalaku dengan materi pelajaran." Gumamku datar.

-.'-.'-.'-.'-.'-.'-.'-.'-.'-

Semester baru sudah dimulai. Aku berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda. Yah, jarak rumahku dengan sekolah itu dua kilometer. Dari pada setiap hari aku harus telat, jadi lebih baik aku menggunakan sepeda tua milik kakekku. Sebenarnya aku memiliki sepeda yang lebih layak. Tapi sengaja kutinggalkan di rumah untuk dipakai oleh kakek. Aku tidak ingin terjadi hal-hal buruk padanya jika mengendarai sepeda butut ini.

Aku memarkirkan sepedaku di tempat parkir sepeda. Aku memandangi sepeda yang terparkir di tempat yang biasa kupakai untuk parkir sepedaku. Apa pengendara sepeda di sekolah ini bertambah? Sepertinya begitu. Karena biasanya, hanya ada 10 sepeda –termasuk sepedaku yang terparkir di sini. Tanpa mempersoalkan hal lain, aku memarkirkan sepedaku di sebelah kirinya. Setelah menggembok dan mengunci sepedaku, aku langsung berjalan menuju pintu depan sekolah.

"Sora~!" panggil seseorang dari kejauhan. Lantas, aku mencari-cari si pemilik suara tadi. Lalu, mataku terpaku pada seorang gadis bersurai cokelat panjang yang terkuncir setengah. Dia berlari ke arahku.

"Aa… Miyuka. Ohayou!" sapaku setelah gadis yang notabene lebih pendek dariku itu berdiri di hadapanku.

"Ohayou!" sahutnya dengan senyum lebar. Aku mengajaknya untuk berjalan bersama menuju papan pengumuman. Untuk mencari nama kami dan ruang kelas yang akan kami tempati selama satu tahun kedepan, tentunya.

"Wah! Kita sekelas lagi, Sora!" pekik Miyuka sambil menunjuk namanya dengan jari telunjuk kanan dan namaku dengan jari telunjuk kirinya.

"Sou desu ka? Woah!" sahutku yang kembali melihat kertas yang di tunjuk Miyuka, "Kalau begitu, mohon kerja samanya untuk satu tahun kedepan, Miyu!"

"Haai~!" balas Miyuka.

Miyuka adalah teman sekelasku sejak kelas 2 SMA. Waktu kenaikan kelas 2, aku sempat berdoa agar aku di dekatkan pada orang-orang yang baik dan tulus hatinya, serta di jauhkan dengan orang-orang yang tidak baik. Dan, sepertinya doaku terkabul. Ketika kelas 2, aku mendapat teman-teman yang baik dan jujur padaku. Tidak peduli apa yang kulakukan, apa yang mereka lakukan, yang ada adalah sebuah persahabatan. Beberapa dari teman-temanku ada yang tidak tahu malu. And it's ok. I love them.

Aku juga sempat berdoa di malam sebelumnya agar tahun ini aku menemukan dan mendapatkan orang-orang yang setia dan menepati janji, serta terhindar dari orang-orang yang hanya banyak bicara. Semoga saja doa yang satu ini terkabulkan.

"Aa! Sumimasen!" seru seseorang yang menghalangi jalanku untuk masuk ke dalam kelas. Kami tiga kali melangkah ke arah yang sama –dalam pandanganku. Pada akhirnya aku mengalah dan melangkah mundur untuk membukakan jalan untuk pemuda bersurai dark grey yang sedikit bergelombang di bagian ujungnya.

Aku tersenyum padanya, "Iie, arimasen. Seharusnya aku yang minta maaf. Dozo.."

Senyum di wajah pemuda yang kira-kira lebih tinggi 4 centimeter di atasku itu mengembang. Senyum yang begitu tulus dan menenangkan jiwa. Aku sempat terpaku. Namun suaranya yang mengetuk gendang telingaku menyadarkanku.

"Arigatou na." ucapnya sebelum melangkah keluar kelas. Setelah itu, aku dan Miyuka masuk ke dalam kelas.

Dan, aku tidak menyangka aku duduk bersebalahan dengan pemuda tadi. Entah, aku merasa aneh. Ada sesuatu yang mengelupas di sini. Nande?

Aku memandangi lengit di luar jendela yang ada jauh di sebelah kiriku. Guruku memang sedang menerangkan. Tapi cara bicaranya cukup membuatku dan beberapa murid di kelasku terkantuk. Itulah mengapa aku memutuskan untuk memalingkan pandanganku ke arah lain sambil terus mendengarkan racauan guruku itu.

Langit yang indah. Jika langit itu sebuah latar dalam lukisan, apa yang akan aku buat sebagai objek utamanya? Pikirku dalam hati. Lalu tiba-tiba saja, pandanganku mengarah pada pemuda yang masih sibuk mengerjakan soal-soal yang diterangkan oleh guru fisikaku. Entah mengapa, senyumku mengembang ketika melihat wajah seriusnya. Haruskah aku menjadikannya objekku dalam lukisan itu?

"Aa iie, iie." Gumamku sambil kembali menoleh ke guruku yang masih menulis di papan tulis sambil memegang buku tebal di tangan kirinya.

Pemuda di sampingku ini memang memiliki kesan yang sangat baik sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Aku dengar dari teman-teman sekelasnya di kelas 1 dan 2, dia memang terkenal baik dan ramah. Tapi jujur saja, aku baru pertama kali ini melihatnya. Tadinya kupikir dia adalah anak baru. Ternyata bukan. Sejak SD, aku memang menjadi anak kelas. Tapi, sepertinya di SMA ini lebih parah.

"Aono-san, kamu ikut klub apa?" tanya seorang gadis yang duduk di samping kananku. Saat ini istirahat baru saja berlangsung, Aku baru ingin melangkah pergi ke luar kelas menemani Miyuka ke kantin.

"Aku mengikuti klub mading." Jawabku.

"Ku pikir kamu mengikuti klub musik." Terdengar seuara dari kiriku. Kutolehkan kepalaku padanya.

"Musik?" bingungku.

"Aa… yah.. aku sempat melihatmu membawa tas gitar." Jawab pemuda yang berdiri di sampingku dengan kedua alis terangkat.

"Oh souka. Waktu itu Hiro ingin meminjam gitarku untuk latihan band di sekolah." Ujarku membenarkan ucapan pemuda bersurai dark grey itu. Aku melihat pemuda itu membulatkan bibirnya. Tak lama, aku dan Miyuka pun pergi ke kantin bersama.

"Sugawara mudah berteman, ne." ucap Miyuka.

"Hem? Karena dia orang yang ramah. Perawakannya pun baik. Tidak heran kalau dia mudah beradaptasi dengan ornag lain." sahutku.

"Hai."

Tiba-tiba saja, ada perasaan penasaran menyelimuti pikiranku. Ada banyak alasan yang menyebabkanku seperti ini. Dengan hanya satu objek, aku dapat membuat beratus-ratus pertanyaan yang bisa saja akan ku ajukan padanya. Anehnya, kenapa harus Sugawara Koushi yang menjadi objekku?

Seminggu sudah aku menduduki tingkat 3 SMA. Huaaah.. memang tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Tapi jika ditunggu, pasti terasa lama.

Aku berjalan menuju ruang kelas. Lorong di lantai 3 sudah sepi. Karena tertidur di perpustakaan –jam terakhir tidak ada guru, aku tidak tahu kalau sudah lewat dari jam pulang sekolah. Kalau saja Miyuka tidak menghampiriku dan membangunkanku, entah aku akan pulang jam berapa.

"Oh, Aono." Seseorang yang suaranya tidak begitu asing di telingaku menyambut ke datanganku ke dalam kelas.

Aku mengerjapkan mataku dua kali. Kemudian memandang ke pemuda dengan jersey hitam dengan tulisan dan lambang berwarna putih yang berjalan mendekatiku sambil membawa tasnya. Aku tersneyum tipis. Teringat baru saja aku memimpikan anak itu.

"Kamu belum pulang?" tanyaku basa-basi. Yah, aku bukan termasuk orang yang suka langsung keinti. Tapi tidak juga suka dengan yang terlalu bertele-tele.

"Aku ada latihan klub." Jawabnya sambil tersenyum, "Kamu sendiri?"

"Ah, aku tertidur di perpustakaan. Jadi, aku akan pulang sekarang." Aku terdiam sejenak, "Kamu mengikuti klub apa, Suga?" aku baru sadar kalau aku tidak mengetahui hal ini.

"Klub Voli Karasuno." Tukasnya bangga. Wow, aku bisa merasakan seberapa besar rasa bangganya pada klubnya itu. Ujarku dalam hati. Aku hanya mengangguk kecil. Setelah itu, aku melangkah menuju mejaku, sekadar untuk mengambil tas.

"Memangnya hari ini tidak ada kegiatan di klub mading?" tanya Sugawara.

"Aku meminta ketua mading untuk mengundurkan pengenalan anggota klub lama dengan yang baru. Dan dia setuju." Jawabku sambil memakai tas ranselku. Setelah itu, aku berjalan mendekati Sugawara yang masih di tempatnya.

"Kenapa begitu?" tanyanya lagi.

"Yah… Karena hari ini banyak anggota klub kami yang sibuk dengan tugas mereka. Jadi, tidak mungkin kami mengharuskan mereka datang ke klub." Balasku.

"Aono, kamu wakil ketua klub mading?" pertanyaan Sugawara membuatku terdiam.

Aku menggelengkan kepalaku pelan, "Aku tidak punya posisi di klub mading. Doushita no?"

"Ah iie. Aku merasa kamu seperti seorang wakil. Chigau. Seperti ketua klub mading."

Aku terkekeh, "Awalnya aku memang ditunjuk untuk menjadi salah satu dari kedua posisi itu. Tapi aku ingin bebas."

"Sora o toned karasu no you ni." Aku mendengar suara bisikan Sugawara yang berjalan di sampingku.

Aku menoleh padanya dan bertanya, "Tadi kamu bilang apa?"

Sugawara langsung tersenyum tipis, "Nani mo arimasen."

Aku memutar bola mataku ke arah lain dengan bibir yang sedikit maju. Kenapa dia tidak mau mengulang omongannya? Buat kesal saja. Eh? Kenapa aku kesal?

"Oh. Aku dengar, besok klub voli akan mengikuti latih tanding dengan sekolah lain." kataku mengalihkan pembicaraan.

"Hai. Kami akan melawan Aoba Johsai." Sahut Sugawara.

Mendengar nama sekolah yang diucapkan oleh Sugawara, membuatku berhenti melangkah menuruni anak tangga. Aku membatu. Sugawara yang menyadari aku tidak mengikutinya langsung menoleh ke belakang. Dia menatapku bingung. Namun, beberapa detik kemudian air mukanya berubah. Dia tersenyum.

"Daijoubu desu ka, Aono?" tanyanya.

"Aa gomen. Daijoubu desu." Sahutku yang kemudian menghampirinya. Kami pun kembali berjalan bersama.

Aoba Johsai. Itu adalah tempat dimana Oikawa dan Sawayaka menempuh pendidikan. Mendengar nama sekolahnya saja tidak tertarik. Bagaimana jika bertemu dengan orangnya? Ah, sepertinya, baru pertama kali ini aku bersikap demikian dengan orang lain.

Kami keluar dari pintu belakang gedung sekolah. Itu juga karena Sugawara yang mengajakku berbincang. Jika bersama Miyuka, pasti aku akan melewati pintu depan gedung sekolah. Walaupun jarak pintu depan ke parkiran sepedan dan jarak pintu belakang ke parkiran sepeda juga sama.

"Eh? Kenapa kamu tidak bermain di latih tanding besok?" tanyaku kaget.

"Itu karena syarat yang diberikan oleh pihak lawan." Jawab Sugawara.

"Kenapa kamu tidak membantahnya? Kamu regular setter, 'kan?"

"Memang benar. Tapi, aku ingin melihat seberapa besar kompisisi Hinata dan Kageyama." Kata Sugawara.

"Kageyama… Tobio?"

"Kamu mengenalnya?"

"Sangat." Jawabku singkat dan tegas. Aku mendengus kesal, "Si bodoh itu. Apa dia masih tidak menyukai Kageyama?"

"Dare?"

"Iie. Nani mo." Aku melihat Sugawara mengangguk pelan dengan wajah polos. Tampak imut. Chigau yo! Oh ayolah Sora. Hentikan.

"Aku harus segera ke ruang klub. Jaa ne, Aono." Salam Sugawara ramah.

"Hai! Jaa ne." sahutku sambil sedikit membungkukkan tubuhku singkat. Kemudian, aku berjalan menuju parkiran sepeda.

"Aono!" panggil Sugawara tiba-tiba. Dengan secepat mungkin aku membalikkan tubuhku. Terlihat Sugawara berdiri menghadapku sambil tersenyum, "Jika langit adalah sebuah latar, apa yang ingin kamu gambar di sana?" tanyanya dengan suara yang sedikit kencang.

Aku terhentak. Sepertinya itu bukan pertanyaan yang asing. Bagaimana bisa dia menanyakan hal yang sama dengan apa yang aku tanyakan pada diriku sendiri? Mungkinkah dia bisa membaca pikiran? Tidak. Tidak. Hentikan omong kosong itu, Sora. Tapi, yang aku pikirkan adalah, kenapa dirinya begitu menyatu dengan langit senja di belakangnya?

"Kau tidak perlu menjawabnya sekarang, Sora. Pergilah sebelum larut!" ujarya.

Aku mengangguk mengerti. Setelah melihat punggung Sugawara yang kian menjauh, aku membalikkan tubuhku dan tersenyum. Akankah hal baik akan datang? Shirimasen.

.

.

.

.

To be Continue

-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-

Huwaaaah! Minna~! Apa kabaaar?

Ah, rasanya sudah lama tidak membuat fanfic. Jadi kangen. Salahkan tugas yang menumpuk menjelang ujian akhir. Huwaahaaa..

Hem… ini fanfic semi longshot di fandom Haikyuu! pertamaku. Yang sebelumnya oneshot. Seharusnya 3 oneshot sebelumnya aku jadikan satu saja biar tidak ribet. Tapi yah, sudah terlanjur terpisah, mau bagaimana lagi? Toh, banyak mainan yang terjual terpisah, eh..

Oh mungkin di antara kalian ada yang sudah mengenal lirik lagu yang dinyanyikan oleh Sora. Ya? Apa? Tepat! Heartachedari One Ok Rock. Aahhh! Author suka banget lagu iniiiii! Yang belum tau, mesti dengerin lagu ini!

Oh, untuk si OC kali ini. Namanya Aono Sora. Kalau dipisah, menjadi Ao no Sora. artinya sama sih, langit biru. Entah kenapa nih, author kepikiran untuk membuat cerita dan nama tokoh yang berhubungan dengan langit. Suka aja. Dan lagi kepengen(?). Sedangkan nama asli kakak si Sora, Aono Haru. Jadi, ceritanya disini, ayah Sora tuh suka sama langit. Apapun itu langitnya. Jadi, dia memberi nama anaknya Haru dan Sora. kalau digabungin jadi Haru no Sora. Langit musim panas. Jadi, sebenernya yang maniak langit itu bapaknya atau authornya? Hehehe…

Hem… apa lagi ya? Mungkin segitu aja infonya. Oh ya, kelanjutannya akan di publish minggu depan. Jadi, terima kasih untuk kalian yang membacanya, apalagi menyempatkan diri untuk mereview. Jika ada salah kata mohon dimaklumi, toh aku juga manusia :v

Author undur diri, Jaa… mata ne~!

-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-.*.-

"Sora, siapa dia?"

"Matte Aono, kakakmu…"

"Aku takut… melihat kapal."

"Daijoubu, aku bersamamu."

"Shimatta! Aku sangat menyukainya."

"Sora."

~Yozora~