Hetalia Axis Powers © Himaruya Hidekaz
Warning: A little Mature Contents, A bit OoC, OC, Rush, Less Dialogues
Pairing: SpainxFem!Indonesia (Saya jatuh cinta dengan pairing ini setelah membaca salah satu fiksi SpaiNes :') So, I wanted to give it a shot)
Terinspirasi dari lagu 'Just Give Me A Reason' milik P!nk. Disarankan sambil mendengarkan lagu tersebut saat membaca fiksi ini.
That song rocks!
Selamat Membaca
Jam digital di atas meja itu menunjukkan empat angka berwarna merah: 01:27. Keempat angka itu seolah menyatakan secara tak lisan bahwa hari masih terlalu larut malam—mungkin bisa disebut dini hari. Tak heran jika langit masih tampak gelap, dengan bulan dan bintang yang tersamarkan oleh awan putih musim semi.
Saat angka 01:30 tertera di jam digital tersebut, suara agak nyaring terdengar di keseluruhan kamar minimalis—bahkan seluruh bagian rumah yang sepi karena hanya dihuni oleh dua orang saja, tersebut. Satu dari dua orang tersebut yang tengah berbaring dalam satu ranjang king size itu, segera membuka mata dan terlepas dari alam mimpinya. Sebelah tangannya terulur, dan segera mematikan bunyi alarm jam digital tersebut—sebelum satu orang lainnya, yang tertidur di sampingnya, bangun karenanya.
Menguap pelan dengan mulut separuh tertutup, ia segera menguncir asal helai hitamnya yang semula tergerai. Sebelum ia beranjak dari ranjang untuk memulai mengerjakan tugasnya sebagai guru untuk mempersiapkan soal ulangan hari ini, ia menoleh ke arah samping.
Ke arah satu manusia—satu pria yang kini masih terpejam di sisi lain ranjang tersebut.
Pria dengan helai ikal berwarna coklat tua. Beberapa helai tampak jatuh di dahinya, membuatnya tangan si gadis tergerak untuk menyibakkannya pelan—sebelum ia menahan keinginannya tersebut. Kedua mata itu terpejam, menyembunyikan iris indah emerald yang akan tampak jika kelopak itu membuka. Kedua bibirnya sedikit membuka, mengeluarkan dengkuran halus yang menandakan betapa lelah fisik pemiliknya.
Pria yang dicintainya—kekasih yang sangat dicintainya, Antonio Carriedo.
Belum juga sempat si gadis mengalihkan pandangan, objek dari pandangannya tersebut tampak bergerak dalam tidurnya. Kepala Antonio sedikit menggeleng pelan dan kedua alisnya yang mengerut—seolah dengan itu, ia tengah memberikan ekspresi marah dan jengah pada apapun yang ia lihat atau hadapi di mimpinya.
Dan apa yang diucapkan Antonio secara lirih dari bibirnya adalah apa yang sudah mampu ditebak oleh gadisnya—karena kalimat itu juga bukan pertama kali ini didengarnya, "Aku sudah jenuh. Aku sudah tidak mau berurusan denganmu lagi, kau dengar?"
Hanya itu yang bisa terdengar, sebelum kalimat selanjutnya memelan dan tidak terdengar.
Kedua alis milik sang gadis menurun bersama dengan pandangannya yang sayu. Ia hanya menghela napas, menahan segala perasaan yang membuncah di hatinya dan membuatnya merasa sesak.
Kembali, ia merasa takut. Ia merasa sakit—oleh sebab yang sebenarnya belum ia ketahui.
Menyibakkan bed cover yang sebelumnya menyelimuti dirinya dan Antonio, ia segera turun dari ranjang dan mulai melangkah ke arah meja kerjanya.
Mungkin membuat soal ulangan akan membuatnya lupa sejenak akan permasalannya.
-oOo-
Kalau boleh jujur, bukannya tidak wajar dan salah jika Kirana Kusnapaharani kini merasa demikian bingung, takut, dan tidak aman akan semua ini—akan hubungan yang telah ia jalin selama dua tahun ini bersama pemuda Latin tersebut.
Sebenarnya, igauan Antonio pada malam lalu bukanlah yang pertama kali—sudah tiga kali ini Kirana mendapati dan mendengar pemuda itu mengigau dengan ucapan dan ekspresi yang sama—sebuah kalimat yang tak pernah Antonio ucapkan padanya. Dan setiap Kirana menanyakannya, maka Antonio hanya tersenyum kecil sembari berucap, "Kau tahu, mimpi hanyalah bunga tidur—itu tidak berarti apa-apa. Aku bahkan tidak ingat mimpi yang kau ucapkan itu."
Meski demikian, namun entah mengapa, Kirana tahu bahwa pemuda itu berbohong—Antonio berbohong padanya. Mimpi itu pasti mengisyaratkan sesuatu—sesuatu yang tidak atau belum pemuda itu ucapkan atau ceritakan ke Kirana, saat pemuda itu sadar.
Bukan hanya mimpi saja, namun entah mengapa… selalu saja ada hal dari Antonio yang kini membuat Kirana merasakan perasaan buruk ini. Ada hal yang berbeda, yang tidak biasa.
Misalnya saja, pemuda itu sudah jarang sekali memberikannya ciuman hangat di pagi hari tiap ia membuka mata. Antonio juga sudah jarang sekali menelponnya hanya sekedar untuk mengobrol saat pemuda itu menghabiskan jam istirahatnya di kantor tempat ia bekerja. Bahkan, Kirana masih ingat, kemarin ia baru saja menceritakan betapa meriah dan berkesannya pesta ulang tahun Ibunya. Namun ia berhenti di tengah ceritanya, ketika menyadari bahwa Antonio sama sekali tidak menaruh perhatian pada ucapan ataupun dirinya—fisik pemuda itu memang ada di depannya, namun jiwa dan pikirannya tampak melayang ke hal lain.
Namun, hanya saat mendengar igauan yang akhir-akhir ini terdengar saat Antonio tertidurlah, yang membuat perasaan insecure ini semakin menguat di hati gadis tersebut.
Hanya ada satu pemikiran logis yang seketika dan kerap hadir di otaknya: Antonio sepertinya telah lelah dan jenuh akan dirinya—akan hubungan mereka.
Kirana menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun usahanya itu kerap gagal ketika semuanya kembali teringat dan perasaan sakit dan takut itu kembali menyergap.
Untuk menghindarkan pikirannya dari semua hal itu, ia kembali memfokuskan diri pada apa yang tengah ia kerjakan. Ia masih berada di dapur, hanya mengenakan kemeja Antonio yang kebesaran saat ia gunakan untuk menutupi tubuh mungilnya. Rambutnya yang hitam, kini terkuncir dengan asal-asalan karena ia tidak sempat merapihkan diri—ia harus segera menyiapkan sarapan bagi mereka berdua sebelum mereka berangkat bekerja.
Kegiatannya dalam memasak omelet sederhana, teralihkan ketika ia mendengar suara pintu yang terbuka. Menoleh, Kirana segera mendapati bahwa Antonio baru saja keluar dari kamar mandi hanya dengan sebuah handuk putih yang melilit tubuhnya dari pusar, hingga lututnya. Tetes-tetes air kamar mandi tampak beberapa mengaliri tubuh kecoklatan tersebut, sekalian membuatnya tampak basah—sama seperti helai-helai di kepalanya.
Menelan ludah, Kirana segera kembali mengalihkan perhatian ke arah penggorengan. Meski sudah enam bulan mereka tinggal dalam satu atap—dan percayalah, ia bahkan sudah melihat Antonio lebih dari ini.—namun tetap saja, ia masih dengan mudah sekali merasa tersipu dan merona seperti sekarang ini.
"S-Selamat pagi, Sayang," sapanya dengan berusaha menekan nada gugupnya. Ia masih memfokuskan diri pada penggorengan dan masakan yang ada di depannya.
"Selamat pagi juga, Kirana."
Ada rasa sakit di dalam sini ketika Antonio menyebutnya dengan namanya, bukan panggilan yang barusan diucapkan Kirana untuk menyebut pemuda itu.
"Cepatlah pakai pakaianmu," ucap Kirana sembari meletakkan omelet ke atas piring yang diambilnya, "Aku sudah memasakkan omelet kesukaanmu," dan diakhiri dengan senyum tipis.
Ia berbalik dan melangkah untuk meletakkan piring itu di atas meja, bersama dengan beberapa santapan khas sarapan pagi yang sudah ia buat sebelumnya.
"Ah, maaf, Kirana," Antonio tampak menghela napas, lantas mengacak-acak kecil rambutnya yang masih tampak basah, "Aku ada rapat setengah jam lagi. Aku buru-buru—maaf aku tidak memberitahumu sebelumnya, aku lupa."
Kentara sekali jika wajah cantik itu menampakkan ekspresi sendu dan sedih, terlihat dari pandangan yang sayu dan senyum tipis yang dipaksakan.
"O-oh, oke, tidak apa-apa. Aku akan memakan sarapan ini sendiri," ia segera menunduk, berpura-pura merapikan taplak meja sebelum Antonio mampu menerka perasaannya.
Perasaannya yang sekarang amat buruk dan menyiksa dirinya.
"Apa tidak apa-apa?" tanya Antonio, "Kau sudah memasak sebanyak ini…" pemuda itu menghela napas, "Maafkan aku, Kirana."
Kirana hanya mengangguk, masih belum mendongakkan kepalanya.
"Tapi sebagai gantinya, nanti malam kita makan di luar berdua, bagaimana?" nada Antonio terdengar seolah ia berusaha menenangkan gadisnya yang tampak tengah berduka.
Kirana tertawa lirih dan terdengar kaku, "Oke," sahutnya apatis.
Antonio menghela napas, lantas beranjak dan mendekati kekasihnya. Dengan lembut, ia dongakkan wajah gadis itu dan segera saja, ia memajukan kepalanya dan memagut singkat dua bibir tipis dan penuh tersebut.
"Aku minta maaf, oke?" bisik pemuda lirih dan menatap kedua bola hitam kecoklatan yang ada di depannya.
Bahkan pagutan itu terasa demikian singkat, biasa, dan sedikit hambar—seolah-olah Antonio memberikannya tanpa kemauan tulus dari hatinya.
"Oke."
Pemuda itu tersenyum lebar, lantas menjauh dan berjalan terburu-buru ke arah kamar mereka berdua, "Aku akan meminum kopinya, anywway," ucapnya dengan suara sedikit keras ketika ia mencapai pintu kamar.
Sekali lagi, Kirana menghela napas, lantas melepas celemek yang ia pakai merangkapi kemejanya.
Lebih baik ia segera mandi, sarapan, berangkat ke sekolah tempatnya bekerja, dan meski sejenak, melupakan semua hal dan perasaan yang terjadi padanya.
-oOo-
Kirana mematut dirinya di depan cermin. Ia kini tampak semakin cantik dengan gaun strapless tanpa lengan berwarna hitam selutut. Sebuah heels 10 cm membuat kedua kakinya tampak kian jenjang. Wajahnya ia poles, rambutnya ia tata sedemikian rupa hingga kini, ia tampil begitu berbeda.
Tentu saja, Antonio telah berjanji akan membawanya keluar makan malam berdua—akhirnya. Ia tidak ingat kapan terakhir kali mereka menghabiskan makan malam di luar. Bulan lalu? Dua bulan lalu? Lima bulan lalu? Entahlah. Jadi, tidak heran jika kini gadis itu merasa sangat antusias.
Dan tentu saja, kesempatan ini ia gunakan sebaik mungkin untuk membuat dirinya terlihat lebih cantik, lebih menarik, dan lebih memikat untuk prianya. Sikap acuh tak acuh dan perubahan lainnya dalam diri Antonio akhir-akhir ini, membuat Kirana akan melakukan yang terbaik yang ia bisa, untuk mampu menarik lagi perhatian dari kekasihnya.
Gadis itu tersenyum kecil dan menghela napas pelan. Ia lirik jam dinding di tembok sana. Masih lima belas menit lagi hingga Antonio pulang kerja…
Menyibukkan diri, ia terduduk di tepi ranjangnya—ranjang yang ia tempati bersama Antonio, ketika mereka melepas lelah dan melepas hasrat cinta mereka. Tatapannya tertumbuk pada laci dari meja tidur mereka. Sebelah tangannya terulur, lantas membuka laci tersebut.
Dan mengeluarkan selembar buku tebal dari dalam sana—album foto mereka berdua.
Buku ini menyimpan begitu banyak kenangan antara mereka selama 2 tahun ini. Saat pertama kali mereka bertemu di salah satu acara resmi dari perusahaan Antonio. Saat mereka mereka resmi berpacaran dan mengabadikan kencan pertama mereka dengan kamera. Saat diam-diam pemuda itu memfoto dirinya tanpa Kirana tahu dan sadari. Saat mereka merayakan sebulan hari jadi mereka. Dan saat dengan iseng dan kurang kerjaan, Antonio memfoto Kirana yang terduduk di ranjang, saat gadis itu hanya terbalut oleh selimut, begitu mereka telah bercinta untuk pertama kalinya.
"Dasar!" gumam Kirana merasa antara sebal dan sedikit tersipu, ketika memandang foto dirinya di album itu, "Kalau ada orang lain yang melihat 'kan bahaya!" meski sedikit menggerutu, toh gadis itu tidak mengambil atau membuang foto yang menurutnya sedikit memalukan itu.
Dan masih ada banyak foto lagi.
Gadis itu tampak tetap fokus pada apa yang dikerjakannya: membolak-balik halaman album dan menatap tiap lembaran memori yang ada di sana. Berbagai ekspresi ia tampakkan: sedih, bahagia, jengkel, malu, tersipu, dan bingung (karena beberapa foto ia tidak ingat kapan Antonio mengambilnya).
Namun kegiatannya terhenti, ketika ia mendengar bunyi yang agak nyaring. Mengalihkan pandangan menuju sumber suara, ia segera mendapati bahwa ponselnya lah sumber dari bunyi nyaring dan singkat itu.
Ada pesan.
Mengambil benda berwarna hitam metalik tersebut, Kirana langsung mendapati bahwa nama Antonio lah yang tertera di layar ponsel touch screen tersebut.
Tanpa pikir panjang, gadis itu segera menekan suatu tombol untuk membuka. Dan apa yang tertulis di sana seketika menghancurkan semua harapannya akan akhir indah dari malam ini bagi mereka berdua.
"Aku ada urusan mendadak. Makan malamnya lain kali, oke? Maaf, Kirana."
Rasanya, jantung Kirana seketika jatuh ke dasar perutnya—ia merasa lemas seketika. Ia bahkan tidak memiliki daya untuk menghela napas seperti biasanya. Ia bahkan tidak bisa melakukan apapun selain menatap tiga kalimat singkat itu, di ponselnya.
Semua ini percuma—percuma ia berdandan demikian cantik dan habis-habisan. Percuma ia mengharapkan malam yang berkesan.
Bahkan Antonio tidak menelponnya—hanya mengirim sms singkat seolah-olah kata-katanya tersebut sama sekali tidak melukai perasaan Kirana!
Dan lagi, perasaan takut, bingung, sakit, dan lelah itu kembali menyergap hatinya. Jiwanya. Pikirannya.
Membuatnya seketika berpikir, apakah hubungan mereka ini sia-sia untuk tetap dipertahankan?
-oOo-
Selesai mengenakan gaun tidurnya, Kirana segera berbalik dan melangkah keluar dari pintu kamar mandi kamarnya. Dan ia sedikit kaget ketika melihat Antonio telah terduduk di atas ranjang sembari menatap pasif pada acara apapun yang tengah ditampilkan TV kamar di depannya.
"Sayang? Kupikir kau pulang malam lagi?" ujar Kirana tanpa mampu menyembunyikan sedikit nada sarkastis dalam ucapannya. Karena bukan hal yang jarang dan tidak biasa bahwa akhir-akhir ini pemuda Latin tersebut kerap sampai rumah mereka saat hari mulai larut, saat Kirana telah menghabiskan malam malamnya dengan seorang diri dan sepi, dan bahkan, saat Kirana sudah tertidur dan saat Kirana terbangun, tahu-tahu pemuda itu sudah terbaring di sisinya.
Semakin lama, mereka semakin terasa bagaikan orang asing yang tinggal dalam satu atap.
"Ah, Kirana," Antonio menoleh sekilas, lantas mengembalikan perhatiannya lagi pada TV di depannya, "Ya. Acaraku tidak begitu lama."
"Kenapa kau tidak menelpon?" tanya Kirana sembari melangkah mendekat dan terduduk di sisi ranjang, "'Kan aku bisa menunggumu makan malam."
Antonio menggeleng, "Tak apa, Kirana. Aku juga sudah makan, kok," dan diakhiri senyum tipis.
"… Makan bersama kolegamu?" tanya Kirana hati-hati. Entah kenapa, ia merasa tidak nyaman dan sedikit ada curiga. Sungguh, ia tidak mau dan ia bukanlah tipe yang mudah curiga pada orang yang dipercayai dan dicintainya.
Hanya saja akhir-akhir ini… Antonio seperti memiliki 'kesibukan lain' di luar sana. Kesibukan yang Kirana tak tahu apa, dimana, dan dengan siapa.
Hanya pikiran itu saja, Kirana mampu merasakan seolah hatinya ditikam oleh beribu sembilu yang tak kasat mata.
Bukanlah tidak mungkin jika hal itu terjadi. Karena ia akui, dan banyak teman wanitanya juga mengakui, bahwa kekasihnya tersebut memiliki wajah yang amat rupawan. Tidak hanya itu, namun tubuhnya terbilang cukup atletis dan seksi untuk ukuran seorang pria. Belum lagi dengan sifat dan sikapnya yang mudah bergaul, manis, dan jika terhadap orang yang disayanginya—misalnya, kekasihnya—ia bisa menjadi sangat romantis. Dan jangan lupakan posisinya sebagai seorang eksekutif muda yang berpenghasilan sedemikian banyak hingga ia bisa memberikan kesejahteraan batin dan jasmani pada siapapun yang bersamanya.
Lagipula… Antonio juga memiliki banyak teman-teman perempuan yang cantik, bahkan jauh lebih cantik dari Kirana sendiri. Bahkan Kirana juga tahu, para mantan kekasih Antonio memiliki rupa yang demikian bagus dan menarik—hingga terkadang membuat gadis itu merasa inferior. Namun setiap dahulu Kirana menyatakan inferioritasnya itu, maka Antonio hanya akan tersenyum lebar, lantas mencium kedua bibir gadisnya dengan sebuah pagutan yang mesra, dalam, dan agak lama.
"Apa bagusnya kecantikan mereka jika aku tidak mencintai mereka? Hanya kau, Kirana. Hanya kau."
Betapa menenangkan dan membahagiakannya kalimat itu terdengar oleh kedua telinganya dan terasakan oleh hatinya. Namun sayang, kini kalimat pujaan dan penenangan itu sudah jarang, bahkan tidak pernah ia dengar lagi.
Entah mengapa.
"Ah, ya," jawab Antonio akhirnya setelah pemuda terdiam agak lama, "Aku ditraktir oleh Bosku. Tidak enak jika menolak."
"Baik sekali Bos-mu hingga mentraktirmu setiap waktu, Antonio," ujar Kirana setengah menyindir dan setengah becanda, "Makan malam apa yang kau habiskan dengan Bosmu hingga kau sering pulang selarut itu?"
Pandangan kedua emerald Antonio teralihkan, dan pemuda itu menoleh serta menatap heran ke arah Kirana, "…Kenapa kau bertanya begitu? Kau mencurigaiku?"
Meski sama sekali tidak ada nada marah dalam suara Antonio, namun melihat bagaimana emerald itu bersorot terluka, mau tak mau membuat Kirana mengalihkan perhatian dan menelan ludahnya.
"Tidak…," Kirana terpaksa berbohong—belum sampai hati untuk berterus terang bahwa ia sudah mulai meragukan kesetiaan kekasihnya, "Hanya saja, kau kelewat sering pulang malam dengan alasan acara yang mendadak atau apa."
Antonio tampak memandang tidak mengerti pada awalnya. Namun sejurus kemudian, ia tampak memahami sesuatu.
Dan muncullah sebuah senyuman kecil di bibirnya, "Apakah kau sedang cemburu?"
Bagaikan kepergok akan dosa paling memalukan seumur hidupnya, kontan wajah mungil itu merona merah. Namun rasa curiga dan takut yang ia rasakan, mengalahkan rasa tersipu oleh pertanyaan berindikasi godaan dari sang kekasih.
"Aku serius, Antonio!" ujarnya sedikit tegas, tanpa memandang wajah dari pemuda yang masih mengulum senyum kecilnya, "Apakah kau tidak sadar bahwa akhir-akhir ini kau terasa dan tampak berubah?"
Mau tak mau, Kirana terlanjur mengungkapkan apa yang mengganggu perasaan dan pikirannya akhir-akhir ini. Rasa marah dan sedih yang ia rasakan, nyatanya membuatnya sulit untuk mengontrol lidahnya kala berucap.
"Berubah?" jelas sekali Antonio merasa heran—tampak dari nada suara atau ekspresinya.
Kirana mengangguk lirih, lantas menyandarkan punggungnya ke sandaran ranjang, "Kau seperti sibuk sendiri. Kau seperti menyembunyikan sesuatu dariku," gadis itu menghela napas dan menutup matanya, "Aku tidak tahu apa—tapi yang jelas, aku merasakannya."
Tampak Antonio yang terdiam dan memandang kekasihnya yang terduduk di sampingnya. Meski ia belum berucap apapun, tapi sorot kedua matanya yang berubah sendu seolah jelas menyatakan bahwa ada rasa buruk yang tengah melanda hatinya.
Ada yang ingin terucap atau ia lakukan, namun ia tidak bisa—belum bisa.
Keheningan yang menyergap sesaat tanpa respon Antonio, terpecah ketika Kirana merasakan ada sesuatu yang hangat yang melingkupi tubuhnya. Meski ia masih memejamkan mata, namun ia tidak perlu melihat untuk tahu apa yang terjadi padanya. Apa yang melingkari tubuhnya—melingkari dengan erat seolah jika ia lengah sedikit saja, maka Kirana akan menghilang darinya.
Benar saja, ketika KIrana membuka mata, ia mendapati sepasang lengan Antonio melingkari tubuhnya. Kedua lengan yang begitu ia kagumi. Yang menawarkan berjuta kehangatan dan perlindungan dari apapun yang ditakutinya. Seolah hanya dengan kedua lengan itulah, ia mampu berdiri tegak dalam hidupnya.
"Mi Corazon."
Bisikan lirih itu terdengar membelai telinga Kirana. Membuat bulu tengkuknya berdiri—antara terkejut dan juga sedikit geli. Ia menoleh, dan mendapati bahwa entah sejak kapan, Antonio telah mengeliminasi sebagian besar jarak antara wajah mereka berdua sebelumnya.
"Aku tidak tahu bagaimana kau berpikir seperti ini," kata Antonio. Dari pandangan matanya, tampaknya pemuda itu mengungkapkan apa yang berada di lubuk hatinya, "Tapi percayalah, tidak terjadi apa-apa di antara kita. Kita masih baik-baik saja dan aku tidak berubah."
"T-tapi..."
"Apa kau tidak mempercayaiku?" ekspresi itu mulai menunjukkan perasaan kecewa yang juga ditengarai oleh nada suaranya.
Kirana menghela napas, lantas mengalihkan pandangan. Merasa bersalah juga karena sempat meragukan pria yang dikasihinya, "Maafkan aku—mungkin aku hanya sedikit paranoid. Aku takut kehilanganmu, Antonio."
Hanya dengan itu, senyum lebar tampak di bibir pemuda Latin itu, "Aku tidak akan kemana-mana, Mi Corazon," janjinya lirih sembari menarik tubuh itu ke dalam pelukannya.
Kirana menghela napas sembari menyandarkan kepalanya di dada bidang itu. Tempat yang paling disukainya—seolah hanya di dada itulah ia bisa melepas lelah. Karena selain ia mampu merasakan aroma khas itu dengan jelas, juga ia bisa mendengar detak jantung Antonio.
Dan detak jantung itu terdengar keras dan cepat di telinga Kirana.
Memejamkan kedua mata, entah mengapa, Kirana belum bisa mempercayai semua ucapan Antonio.
Entah kenapa, kini ia berpikir bahwa detak jantung Antonio menjadi keras dan cepat karena pemuda itu baru saja menceritakan kepalsuan kepadanya.
-oOo-
Baru saja Antonio membuka halaman pertama dari koran yang dibelinya di Minggu pagi itu, ketika ia sedikit terkejut oleh sesuatu yang menimpa tubuhnya.
Namun ia segera tersenyum kecil dan kembali rileks ketika mendapati bahwa 'sesuatu' itu hanya kekasihnya, Kirana, yang kini tengah terduduk di pangkuannya di sofa ruang tamu mereka, "Pagi," sapanya, sembari secara otomatis dan insting, melingkarkan sebelah lengannya pada pinggang ramping itu sementara tangan yang satunya memegang koran yang kembali dibacanya.
Melihatnya, Kirana hanya menghela napas lirih.
Ia melakukan semua ini juga bukan karena tanpa alasan—ia ingin memulai semuanya. Ia ingin menghilangkan keraguannya. Ia ingin kembali meyakini kekasihnya. Ia ingin mereka berdua seperti dahulu.
Ia tidak bisa hidup dalam hubungan yang membuatnya senantiasa curiga dan tidak percaya. Senantiasa merasa cemas, takut, bingung, dan kecewa.
Menelan ludah, Kirana semakin memajukan dirinya—menyamankan diri di atas pangkuan kekasihnya. Kedua pahanya berada di sisi kedua pinggang Antonio—membuat rok yang Kirana pakai, sedikit tersingkap.
"Kau lebih menyukai koran membosankan itu daripada aku, Antonio?" bisiknya lirih dengan nada sedikit menggoda, di telinga lelaki tersebut.
Antonio hanya menggumam tak jelas sembari masih fokus pada koran yang dipegangnya.
Merasa diacuhkan, Kirana memberanikan diri untuk mengambil tindakan sedikit tegas. Menelan ludah dengan gugup dan sedikit takut, ia kemudian menyambar koran yang dipegang Antonio dan melemparnya entah kemana—ia tidak peduli.
Antonio tentu saja, terkejut dan menatap heran ke arah gadisnya.
"Setidaknya, dengarkan aku saat aku berbicara," ujar Kirana sedikit merajuk—menggunakan kembali cara yang selalu ia gunakan saat ia ingin perhatian dari kekasihnya.
Antonio tersenyum kecil, lantas mengacak-acak pelan rambut hitam itu, "Oke-oke. Apa yang harus kulakukan agar kau senang?"
Sejenak, Kirana tampak berpikir. Namun ia segera menjawab, "…Berhenti mengacuhkanku."
"Caranya?"
Kirana tampak ragu. Wajahnya demikian memerah sekarang. Namun ia tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Antonio. Sehingga ia memutuskan untuk meresponnya dengan jalan singkat dan cukup simpel saja.
Menciumnya.
Antonio terkejut tentu saja, namun ini bukanlah ciuman pertama mereka. Sehingga pemuda itu dengan cepat bisa segera membiasakan diri dan rileks. Sementara kedua tangan Kirana sudah melingkari kedua bahu Antonio yang bidang, pemuda itu kini menggunakan kedua tangannya untuk melingkari tubuh kekasihnya dan menariknya untuk semakin mendekat ke arahnya.
Dari sekedar kulit bibir yang menempel, kini ciuman itu mencapai tahap lebih tinggi ketika Kirana menggunakan lidahnya untuk menjilat bibir bawah dari kekasihnya. Tanpa protes tentu saja, Antonio segera menurutinya dan membuka sedikit mulutnya. Dan kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Kirana ketika ia segera mengeksplor mulut itu dengan indera pengecapnya.
Ia bisa merasakan pahitnya kopi yang tadi baru saja diminum Antonio.
Kegiatan mereka semakin tampak intim ketika bunyi decapan terdengar mendominasi ruangan itu—mengalahkan detak jarum jam dinding yang sebelumnya terdengar. Lidah saling mendominasi. Gigi yang saling terbentur dan tersapu. Dinding pipi saling terbelai. Dan saliva bercampur satu sama lain.
Sebelah tangan Kirana kini telah berpindah—menuju ke helai kecoklatan itu dan tangan lain tetap memeluk erat bahu bidang itu. Diremasnya dengan kuat helai-helai itu di sela-sela jemari lentiknya. Sementara sebelah lengan Antonio tetap memeluk erat pinggang itu, dan tangan yang lain mulai berpindah dan menjamah sebelah paha yang tampak putih dan mulus itu.
Ciuman panas itu terputus karena kebutuhan oksigen di paru-paru mereka. Satu benang saliva menghubungkan kedua mulut mereka. Namun semua itu hanya sementara, sebelum kedua kepala itu kembali sedikit miring dan mulai mengarah pada bibir—mulut masing-masing.
Dan entah mendapat keberanian dari mana, yang jelas, tahu-tahu Kirana sudah sedikit merubah posisi mereka dan mendorong Antonio—menjadikan pemuda itu kini terbaring di sofa berwarna krem tersebut.
Antonio tampak tersenyum lebar dengan muka yang memerah. Menatap kekasihnya yang kini terduduk mengkangkang di perut atletisnya, "Wow. Cukup mengejutkan dan menyenangkan bahwa kau kini tampak lebih agresif, Kirana," bisiknya lirih dengan napas tersengal-sengal akibat ciuman dalam dan lama mereka barusan.
Kirana hanya tersenyum lirih, "Aku hanya bosan saja terus berada di bawah," sebelum meletakkan kedua telapak tangannya di kedua sisi kepala Antonio dan membungkuk—untuk kemudian mencium lagi bibir pemuda itu.
Sejujurnya, gadis itu kini merasa bahagia. Sepertinya Antonio benar, ia hanya takut akan hal yang tidak terjadi. Kirana hanya terlalu berlebihan—Antonio tidak berubah dan tidak ada yang perlu Kirana takut dan cemaskan. Semua baik-baik saja.
Karena wajar saja, inilah pertama kali mereka kembali bercinta sejak… 1 bulan yang lalu? Karena selain Kirana cukup tidak berani dan malu untuk memulai, juga karena Antonio akhir-akhir ini terlihat lelah dan sering tampak melamun, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Cukup lama mereka tidak saling memadu kasih, hingga gadis itu begitu merindukan belaian dari kekasihnya. Ia rindu untuk berada bersamanya. Ia ingin kembali melepaskan hasrat cinta mereka terhadap satu sama lain. Dan ia sangat rindu ketika Antonio menciumi sekujur tubuhnya, membelai dan menjamah tiap pori tubuhnya, dan membisikkan berjuta kata cinta dan kekaguman saat menyatukan cinta mereka.
"Nnnhh…," tanpa mampu Kirana cegah, desahan itu terdengar ketika Antonio memasukkan sebelah tangannya ke dalam blus Kirana dan membelai perut rata dari gadis tersebut. Secara otomatis, Kirana menguatkan remasannya pada kepala coklat itu dan sedikit menggerak-gerakkan bagian bawah tubuhnya hingga bergesekan dengan bagian bawah tubuh Antonio.
Dan pemuda itu terdengar menggeram lirih dan nikmat di antara ciuman panas mereka, ketika ia merasakan organ vital bawahnya kian mengeras akibat gerakan-gerakan seduktif yang diberikan kekasihnya, kepadanya.
Mereka masih berciuman hangat dan cukup panas. Seolah-olah, jika dilihat baik-baik, mereka bukan tengah ciuman, tapi tengah melahap wajah satu sama lain. Lidah mereka masih saling beradu dominasi—saling menari dan bergulat di dalam rongga mulut mereka. Meski berusaha keras, namun pada akhirnya hasilnya tetap sama—Kirana mengakui kekalahannya. Ia biarkan lidah Antonio mengeskplor kuat-kuat setiap detil dari rongga mulutnya. Hingga tanpa mampu ia cegah, setetes saliva—entah milik siapa, mengalir dari mulut Kirana dan menetes jatuh mengenai dagu pemuda di bawah tubuhnya.
Pemuda itu terdengar tertawa lirih dan dalam, "Ternyata sekalipun kau di atas, kau sama sekali tidak bisa menang dariku?" godanya dengan nada suara senakal tatapan matanya.
Sedangkan Kirana hanya merespon godaan kekasihnya tersebut dengan menyembunyikan wajahnya di pundak kekasihnya. Paras cantik itu sangat merona—tidak, bukan hanya parasnya, namun juga telinga dan lehernya, "Jangan goda aku, dasar!" bisik Kirana dengan napas memburu yang terasa panas membelai kulit leher Antonio.
Dan Antonio hanya tertawa kecil melihat kekasihnya yang masih saja tersipu di kegiatan mereka ini—tak peduli bahwa ini bukanlah pertama kali mereka melakukannya, "Oke, oke. Aku minta maaf."
Kirana baru menyadari bahwa 'permintaan maaf' itu diwujudkan Antonio dengan semakin menelungsupkan sebelah tangannya di dalam blus Kirana. Menjamah. Mengelus. Terasa geli, namun juga hangat dan nikmat.
Namun, tak sehangat dan senikmat ketika tangan itu terasa menelungsup melewati salah satu cup pakaian dalamnya, dan meremas satu dari dua bukit kembar yang menjadi organ kewanitaan gadis itu.
"Nnnhhh….," kembali suara itu Kirana dendangkan—suara yang kata Antonio dahulu, sangat indah dan jauh lebih indah dari musik apapun yang pernah didengar pemuda itu. Refleks, Kirana semakin menekankan dadanya ke arah satu telapak tangan yang masih memanjakan organ kewanitaannya tersebut. Dan refleks pula, gadis itu kembali menekan dan menggerak-gerakkan pinggulnya agar bagian bawah tubuhnya bersentuhan dan bergesekan dengan organ kelelakian Antonio yang kini terasa makin mengeras di balik celana jeans yang dipakai pemuda itu.
Diam-diam, Kirana merasa bangga bahwa dia mampu membuat tubuh orang yang dicintainya merespon sentuhannya dengan demikian. Dan semoga, hanya Kirana saja yang berhak dan mampu membuat Antonio demikian—sama seperti yang dahulu pemuda itu katakan bahwa ia bangga menjadi satu-satunya orang yang mampu membuat Kirana meneriakkan keras namanya saat gadis itu sudah berada di puncak kenikmatan.
Sementara pemuda itu menyibukkan bibirnya untuk mencumbu leher dari gadis yang masih membenamkan wajah di bahunya, tangan pemuda itu semakin bergerak liar. Ketika lidahnya menjilat dan giginya menggigit kecil dan pelan kulit putih leher gadisnya—hingga meninggalkan bekas kemerahan yang bisa menjadi bukti akan aktivitas mereka—, tangan pemuda itu juga semakin sibuk di salah satu payudara Kirana. Dengan telapak tangannya, ditangkupnya anatomi khas wanita tersebut—membuat Kirana merintih pelan saat merasakan kehangatan yang dirasakannya. Setelah puas membuat dua bercak merah di leher gadisnya, bibir pemuda itu mencium lantas menggigit pelan sebelah telinga Kirana. Sedangkan tangannya kini justru mulai meremas lembut dan hangat sebelah buah dada gadis itu. Saat dipelintirnya pelan pucuk yang telah terasa mengeras itulah, Kirana mendesah keras dan benar-benar menimpakan tubuhnya pada tubuh prianya. Gadis itu merasa benar-benar payah dan tenaganya seolah terkuras hanya dengan permainan bibir, lidah, dan tangan Antonio yang terasa begitu ahli dalam memanjakan tubuhnya.
Antonio hanya tertawa lirih sembari menatap kepala hitam yang kini bersandar lemah di dadanya. Ia tarik keluar tangannya dari dalam blus kekasihnya, guna membelai lembut punggung itu. Sembari dengan napas yang tersengal, ia berbisik, "The domination has crumbled, no?" godanya yang mendapatkan respon pasif dari kekasihnya.
Diangkatnya kepala Kirana, lantas mulai kembali dikecup mesra bibir yang sudah tampak memerah dan sedikit membengkak tersebut. Permainan makin berlanjut. Semua makin intim dan makin liar. Suara desahan napas beradu dengan desahan dan decapan ciuman. Tangan yang menjelajah ke tiap pori. Bibir yang mencumbu. Lidah yang beradu.
Bahkan Kirana tak ingat kapan Antonio merubah posisi mereka, hingga kini gadis itulah yang berada di bawah tubuh pemuda itu. Dan ia juga tidak tahu, kapan tepatnya Antonio berhasil membuka seluruh kancing blusnya hingga menampakkan pakaian dalam bagian atasnya.
"Antonio," desahnya memanggil nama pemuda itu dengan napas terengah dan pandangan yang penuh akan jeratan setan di dalamnya.
Kedua lengannya memeluk punggung pemuda itu dan menariknya untuk semakin merapat kepada tubuhnya. Dan Antonio tampaknya dengan senang hati menerima tawaran itu, karena pemuda itu sudah siap membenamkan wajahnya pada lipatan leher gadisnya—
—tidak sebelum ponsel Antonio yang berada di meja, berbunyi keras. Begitu keras hingga sempat membuat mereka berdua berjingkat.
Masih dengan napas tersengal dan wajah yang memerah, mereka berdua menghentikan sejenak kegiatan mereka. Sebenarnya, bukan 'mereka', hanyalah Antonio yang langsung bangkit dan menyambar ponselnya dan melihat nomor tak dikenal yang ada di layar ponselnya.
Kirana, meski merasa lelah, sedikit mengangkat tubuhnya dan menatap heran bercampur sedikit kecewa pada kekasihnya. Seingatnya, sebelumnya Antonio tidak pernah sekalipun menghiraukan apapun, ketika mereka tengah bercinta. Pemuda itu akan tetap terfokus hingga akhir—jangankan sekedar telepon, bahkan mereka sempat membiarkan bel rumah mereka terus berbunyi dan pada akhirnya berhenti ketika siapapun tamu itu, menyerah dan pergi dari rumah mereka.
Tetapi kenapa sekarang… telepon dari siapa yang membuat Antonio buru-buru menyudahi semuanya dan menyambar ponselnya?
Menoleh, Antonio memberi senyum kecil kepada gadisnya, "Aku akan menerimanya sebentar, oke?" ujarnya lembut sembari menunjuk ponselnya yang masih berdering.
Tersenyum kecil bercampur kecewa, Kirana hanya mengangguk. Ditatapnya kemudian Antonio yang langsung bangkit dan beranjak dari sofa. Pemuda itu kemudian mulai melangkah menjauh dari ruang tamu.
Namun, rasa kecewa dan takut Kirana tidakla sebesar ketika ia mendengar apa yang diucapkan Antonio pada siapapun penelpon itu.
"Ya? Bella, darling? Apa kabar?"
Di saat itulah, semua kesenangan dan kebahagiaan yang baru saja Kirana rasakan, hilang bagaikan kabut yang tersinari sinar matahari.
Dan di saat itu pula, ia merasa lebih dari sekedar kecewa dan takut.
Ia marah dan terluka.
Antonio membohonginya.
-bersambung-
Feedback berupa komentar, saran, kritik, tanggapan, bahkan fansgirling, diterima dengan senang hati.
.Bergfrue.
