Can it Be Our Party?

Chrissy, sarapan dulu nak." Kalimat bernada lembut mengalun dari arah dapur. Harum roti yg telah dipanggang menghias pagi itu. Sambil si lelaki itu menyeduh secangkir kopi untuknya, ia mendengar suara langkah kaki yg menuruni tangga. Ia membalikkan tubuhnya yg dibalut oleh kaos bertuliskan salah satu club baseball yg nampak usang, dan tersenyum lebar seketika setelah melihat gadis kecil yg cantik dihadapannya. "Hey, daddy." Sapa anak manis itu. "Hey, princess." Jawab sang ayah. Mereka sarapan pagi seperti biasanya. Tidak ada percakapan penting pagi itu. Namun sang anak sempat mengingatkan ayahnya untuk datang ke pertemuan orang tua satu minggu lagi.

Berhentilah mereka disebuah sekolah dasar. Sang ayah tidak banyak bicara pagi itu. Matanya entah menuju kemana. Sang anak melepaskan sabuk pengaman. Ia tampak sedikit merapikan seragam sekolahnya. "Semangat untuk pagi ini, princess!" kata sang ayah menyemangati putrinya. "Thanks daddy. Tapi sepertinya daddy lah yg butuh kalimat itu." Sang ayah tertawa kecil mendengarkan ucapan cerdas putrinya. Memang ia anak cerdas. Cryssantia, atau ayahnya biasa memanggilnya Chrissy. Baru kelas dua sekolah dasar, namun ia memang anak yg cerdas. Kemampuan bahasanya melebihi anak-anak seusianya. Peringkat akademisnya memang bukan yg pertama disekolah. Tapi Chrissy jagonya dalam hal seni dan bahasa. Ayahnya, Jung Yunho berkebangsaan Korea. Pria ini berencana menyekolahkan anaknya di sekolah seni nanti, setelah ia mengetahui bakat sang anak.

"So what?" tanya sang ayah dengan sedikit melirik ke arahnya.

"Daddy memikirkan untuk pulang ke Korea?" senyum sang ayah menghilang sejenak. Kemudian muncul lagi, "Hmmm…..maafkan daddy karena semalam pulang larut. Nanti malam kita bicarakan ya. Okay?"

"Deal?"

"Deal, princess." Jawab Jung Yunho dengan senyuman lembut sambil menganggukkan kepalanya.

"Okay." Chrissy beranjak keluar dari mobilnya seraya berkata "Love you, dad."

"Love you too, honey." Dan sang ayah pun melajukan mobilnya menuju tempat ia bekerja.

….

Kim Junsu terlihat sibuk membaca sejumlah email dari kliennya.

"Good morning, Junsu-yah."

"Hmmmmm. Morning." Sapaan Yunho hanya terdengar sepintas lalu saja. Yunho mendekati Junsu lalu bertanya, "Apa ada klien lainnya?" "Banyak hyung!" Yunho terlonjak kaget sambil menutup telinganya.

"Aww! Tidak usah berteriak! Aishhh…. Sudahlah kau tangani itu." Ujarnya sambil bergegas ke arah lain. "Yoochun-ah, bagaimana dengan tanaman dan bunga-bunganya? Acara tiga hari lagi. Ingat, kita punya dua event."

"Tenang saja hyung, semua oke." Jawabnya meyakinkan.

"Good. Changmin-ah? Kemana anak itu?" Yunho mencari Changmin kesana kemari. Tidak ditemukannya.

"Hyung, Changmin sedang pergi ke supplier. Ia harus mengecek bahan makanan." Ujar Yoochun.

"Oh. Okay."

"Kau tidak menanyakan kemana Jaejoong-hyung?" tanya Yoochun tiba-tiba.

Yunho menghentikan langkahnya. Ia terlihat habis kata ketika ditanya hal itu. Ia tidak berani membalikkan badan kearah Yoochun. Terkadang sahabatnya itu bisa mengintimidasinya.

"Aku tahu ia baik-baik saja." Ujar Yunho singkat lalu beranjak pergi, meninggalkan kedua sahabatnya itu.

Diruangannya ini, ruangan yang sederhana. Tidak begitu besar. Namun ruangan itulah yang menjadi saksi bisu kreativitasnya, keringatnya, tawanya, airmatanya. Ada fotonya yg tengah berlibur bersama sang putri di Niagara Falls setahun yang lalu. Tumpukan buku sketsa dan buku-buku catatan disebelah kiri. Dibelakangnya, jendela besar yang menampilkan kemegahan New York city. Jalanan sibuk, pekerja berlalu lalang. Inilah kehidupan Jung Yunho selama hampir lima belas tahun di negeri orang. Ia dan keempat sahabatnya bertemu di sekolah desain saat kuliah dulu. Mereka memiliki ide untuk mewujudkan pernikahan impian para kliennya. Usaha yg dirintis mulai dari jualan bunga bersama Yoochun, menarik perhatian pelanggan bersama dengan si ramah Junsu, dan kemudian mendesain gaun pengantin bersama Jaejoong. Kemudian ternyata Changmin bukan hanya jago makan, tapi ia adalah ahli masak yg handal. Tanpa mereka Yunho bukanlah apa-apa.

Ia menghela nafas sejenak. Terlintas bayangan putrinya di sekolah. Putri yg beranjak dewasa. Ingat betul ia saat semasa kuliah ia terlibat one night stand dengan seorang gadis Amerika. Yunho tidak pernah mencintainya. Ia dan gadis itu mabuk berat saat pesta dirumah salah satu teman Yunho. Kemudian gadis itu hamil dan lahirlah Chrissy.

#flashback

"I'm pregnant with your child."

"No kidding."

"I wasn't" Yunho tidak tahu harus berkata apa. Julia duduk disebelahnya saat itu. Bukan disaat romantis seperti di film-film. Ini saat istirahat kelas, dan Yunho sedang makan siang, dan Julia terlihat biasa saja.

"Lalu apa yg akan kita lakukan. Orang tuaku di Korea akan membunuhku jika mereka tahu ini. Kita masih muda, Julia."

"Aku tahu, tapi….ah…..aku akan aborsi." Jawab gadis itu enteng.

"What?! You crazy!"

"Kenapa? Anak ini juga ada karena kesalahan kita berdua. Tidak mungkin aku membesarkannya. Menjadi teenage mom tidak semudah mengikuti video tutorial di youtube." Yunho terdiam. Makan siangnya terasa hambar hari itu. Kemudian ia membuat keputusan spontan,

"Baiklah. Aku yg akan membesarkannya. Tanpa dirimu." Mata Julia terbelalak kaget bukan main.

"Is it a good idea?" tanyanya.

"Aku tidak tahu. Tapi jangan bunuh bayi itu. Aku akan bertanggung jawab. Aku ayahnya."

"Tapi aku tidak mau menikahimu." Kalimat itu membuat Yunho tidak nyaman. Ia tahu bahwa tidak ada cinta sama sekali disini. Namun bisakah Julia tidak berkata seperti itu? Itu cukup memyakitkan.

"Kita tidak perlu menikah."

"Ya, tapi aku tidak mau hidup dengan beban anak. Aku punya mimpi, Yunho."

"Pergilah. Pergilah setelah anak itu lahir. Biarkan ia bersamaku. Tapi, aku minta satu hal."

"Apa?"

Yunho berdeham, dan ia menatap Julia dalam-dalam.

"Kau tidak aku izinkan untuk mengetahui jenis kelamin anak ini. Lalu setelah kau melahirkan, aku minta kau untuk tidak melihat wajahnya. Setelah itu, pergilah sejauh mungkin dan jangan pernah kembali lagi." Suasana hening seketika. Yunho menahan emosinya selama perbincangan dengan Julia. Ia sedikit kaget bahwa ternyata hanya dirinya lah yang harus merasa bertanggung jawab atas anaknya. Gadis itu, tidak peduli sama sekali.

"Baiklah." Kata Julia singkat lalu beranjak pergi.

#flashback end

Sejak saat itu Yunho berusaha untuk orang-orang yg mempunyai mimpi. Ia berharap setiap orang menghargai mimpi mereka. Ia berharap agar mimpi-mimpi orang lain bisa bisa terwujud tanpa harus menyakiti orang yg lain.

Ia menatap keluar jendela. Masih pagi untuk bersedih. Selalu bersedih setiap kali ia mengingat kejadian itu. Seseorang mengetuk pintu dari luar. Tok tok tok…kemudian seseorang membuka pintu ragu-ragu.

"Kim Jaejoong. Masuklah." Ujarnya tanpa menoleh ke belakang.

"Ah….baiklah." Jaejoong tampak sedikit kaku. Namun ia berusaha menghilangkan semua itu. Ia mendekati kursi yg berhadapan dengan si pemilik Eastdream Organizer, Jung Yunho.

"Yunho-yah….ini beberapa desain gaun yg sudah kubuat untuk next clien." Yunho membalikkan badannya. Kemudian mata mereka beradu. Yunho melihat sosok indah dihadapannya. Jaejoong sangat mempesona pagi itu. Ia mengenakan keneja biru langit, sebiru langit kota New York. Dengan kacamata yg menghiasi wajahnya bagaikan lukisan alam indah dengan bingkai emas. Wajahnya dengan sedikit poni yang menutupi, menambahkan kesan lembut namun stylish. Warna almond itu…..membuat Yunho terpana.

"Yunho…..? Yunnie?" katanya sambil melambaikan tangan di wajah Yunho.

"Ah….emmmm…..mana sini biar kulihat." Yunho mengambil sketsa Jaejoong dan mengeceknya. Indah. Cerdas. Seperti biasa.

"Yunnie kau masih marah padaku?" Tanyanya. Yunho tidak menjawab. Jari-jarinya yang sibuk tampak melambat pada kertas sketsa itu. Ia menoleh ke arah Jaejoong. Dilihatnya sepasang mata bulat itu. Ah, tidak bisa. Ia harus bisa mengalahkan godaan. Tapi, kapankah Yunho bisa menolak pesona Kim Jaejoong?

"Katakan sesuatu. Jangan diamkan aku." Ujar si bibir cherry itu. Tidak ada suara yg keluar dari mulut Yunho.

"Baiklah. Aku memang belum siap Yun. Belum siap menerima keluargamu. Aku tidak tahu apa yg harus kulakukan ketika kelak mereka memakiku karena cinta kita."

"Aku sudah bilang kan jika aku akan melindungimu?" tanya Yunho sambil memicingkan matanya.

"Aku…..takut…."

"Berarti kau tidak percaya jika aku akan menjagamu?" Jaejoong tidak bisa mengungkapkan sepatah kata. Dadanya terasa sakit. Air mata hampir jatuh di pelupuk matanya.

"Aku mempercayaimu Yun. Sungguh."

"Lalu kenapa?"

"Apakah mereka tahu jika kau itu gay?" Yunho menelan salivanya dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Apa kau sudah bilang anakmu tentang siapa aku?"

"Dia tahu kau, Jae. Dia pun akrab denganmu."

"bukan itu maksudmu. Apa putrimu tahu, siapa aku?" Jaejoong memberi penekanan terhadap kata-katanya. Yunho terdiam.

"Apa kau akan benar-benar mau menggandeng tanganku di hadapan banyak orang?" Tanya Jaejoong meminta kepastian. Namun Yunho benar-benar diam. Tak sepatahpun kata terucap dari mulutnya.

"Yunnie….kau mengacihkanku selama beberapa hari karena aku tidak siap bertemu kedua orang tuamu. Lalu sekarang aku bertanya hal ini, namun kau diam saja. Lalu apa yg harus aku lakukan? Mengacuhkanmu juga? Kau itu mau menang sendiri. Sudahlah Yun. Dadaku sakit." Jaejoong pergi meninggalkan Yunho.

To be continued...