Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki. No commercial infirengement is intendeed.
Warning AU, OOC, possibly typo(s), shonen-ai, cliche, prostitute, kinda messy writtin', etc. Kesamaan ide harap dimaklumi.
Di titik waktu yang terlampau jauh itu, Kise kecil selalu senang menerabas rerumputan hijau yang tumbuh memanjang dekat sekolahnya. Mengabaikan gatal yang timbul di kulit akibat sentuhan tajam ujung rumput, ia terus berlari, jauh sampai ke lapangan sempit yang ada di ujung. Dan di sana, Kise akan menemukan sosok Aomine di bawah sorot cahaya lembayung senja.
Aomine berdiri mengejar napas. Peluh mengalir dari dahi, sementara tangannya sibuk dengan bola basket kesukaan.
Kise nyengir lebar mendapati sosoknya dan segera berlari, hanya untuk menarik lengan cokelat itu menjauh dari bola. Membuat benda bundar itu menggelinding dan menjauh dari mereka berdua.
"Apa yang kaulakukan, oi, Kise—?!"
"Aominecchi. Sudah sore, tahu! Ayo, pulang, pulang!"
"Berisik!"
"Ayo, pulang!"
(—dan ini adalah bagaimana semua bermula….)
Prelude
by alleira
#1
Orang-orang selalu bilang bahwa cermin adalah benda paling jujur di dunia. Dia selalu memantulkan balik setiap benda yang berada di depannya tanpa ada satu pun hasrat untuk menutup cacat. Jika yang berada di hadapannya jelek, maka rupa yang terlihat akan jelek. Begitu juga sebaliknya.
Dan ini adalah hal-hal yang cermin tunjukkan ketika Kise Ryouta memandang balik ke refleksi dirinya; matanya kuning cerah, mengingatkan setiap orang pada segenggam topaz murni bernilai tinggi; rambutnya lurus, berwarna seperti jerami yang menguning di bawah rengkuhan musim panas; kulitnya putih cerah dan mulus, seolah jika kau menjatuhkan sehelai rambut di sana, maka dia akan langsung tergelincir jatuh.
Itu adalah hal-hal yang cermin pantulkan dari sosok Kise, dan itu juga adalah bagaimana Kise seharusnya terlihat—setidaknya, itu yang selalu dikatakan mucikari di rumah bordil yang setiap malam kerap ia datangi.
Kise menatap dirinya lekat-lekat di depan cermin panjang, memerhatikan bagian mana dari tubuhnya yang tidak terlihat menarik. Badan Kise yang bidang malam ini dibungkus kemeja merah jambu ketat. Warna feminin, tapi Kise tetap terlihat bagus. Tinggal tambahkan jas serta dasi hitam sebagai sentuhan terakhir dan voila! Sempurna sudah penampilannya malam ini.
Mungkin banyak orang bertanya-tanya, mengapa Kise harus begitu repot memerhatikan penampilan. Toh, dia selalu tampil menarik bahkan tanpa harus mencoba. Itu mungkin benar. Tapi Kise tetap saja merasa harus risau masalah pakaian dan penampilan. Terlebih lagi, mucikari di rumah bordil selalu mengingatkan untuk terus tampil menarik. Fisik adalah komoditas utama, begitu yang selalu dia bilang.
Memang, dalam dunia bisnis malam, pelanggan menilai dari penampilan. Bisa dibilang, mereka bisa memutuskan untuk membayar mahal, atau justru melenggang pergi dari lirikan pertama.
Karena itu, sedikit saja penampilan Kise terlihat cacat di mata, maka harga jasa yang ia jual akan langsung jatuh. Mereka takkan lagi tertarik untuk melirik, dan lebih suka mencari penjaja lain yang lebih baik. Bahkan hidung belang pun hanya tertarik pada mereka yang berpenampilan menarik.
Ya, peribahasa jangan melihat buku dari sampulnya tidak berlaku di tempat ini.
Di sini, sampul adalah penentu kualitas.
Kise Ryouta menyunggingkan senyum tipis ketika matanya gagal menemukan cela di penampilannya malam ini. Ini berarti berita bagus. Ketika penampilan Kise sempurna, orang-orang akan tertarik dan berebut untuk bisa menghabiskan malam dan menjamahnya. Dan ketika semua orang semakin gila, mereka tak akan segan menghabiskan gaji selama setahun hanya untuk permainan satu malam; di mana Kise akan memenuhi kamar hotel sewaan mereka dengan libido, keringat, serta deru napas hasil keahliannya dalam seks.
... Menjijikan.
Kise melepaskan dasi hitam yang tadi mengikat leher dengan kasar. Tiba-tiba saja dia merasa sesak tanpa alasan yang jelas. Dia berpikir tentang kemungkinan asma, namun riwayat kesehatannya tak sekalipun mencatat penyakit itu pernah datang.
Tidak pada Kise. Tidak juga pada keluarganya.
Keluarga.
Kise menarik napas panjang dan mengeluarkannya dalam sekali embusan kencang sambil lalu melempar dasi sembarangan.
Persetan masalah dasi. Tanpa benda itu pun penampilan Kise sudah memukau.
Sempurna tanpa cela.
Di apartemen murah di sudut jalan itu, di balik pintu abu-abu dekil bernomor 057, di sanalah Kise Ryouta tinggal. Seorang diri, hidup mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia. Tapi, sebetulnya tidak sepenuhnya mengasingkan diri juga. Sebab, ketika semesta sudah sempurna kelam, Kise akan mengepakkan sayap. Pergi sampai pagi nanti.
Kadang, dari balik tembok ringkih dan kaca-kaca buram jendela yang melindunginya dari dunia, sayup-sayup Kise bisa mendengar mulut maut tetangga sekitar yang bermuka dua; senyum manis rekah ketika mata mereka saling bertemu, tapi begitu Kise berlalu, semua berubah jadi cibir dan gunjing. Iblis dalam rupa malaikat.
"Itu—iya, yang tinggal di pintu 057—sudah seperti kelelawar. Tidur siang, kerja malam, pulang pagi. Kerja. Ya, kerja. Di rumah bordil punya mucikari."
Kise selalu tertawa saat memikirkan apa yang orang-orang itu bicarakan tentangnya. Hanya tertawa. Tanpa ada satu pun keinginan di dalam dirinya untuk marah lantas membantah—bah, buat apa? Toh, yang mereka katakan benar.
Kise memang seorang pelacur laki-laki. Gigolo yang tiap malam jarang absen mengunjungi rumah bordil—menarik perhatian pengunjung di sana. Tapi kadang, seorang mucikari justru datang membawakan tamu khusus untuknya. Jika sudah begini, maka tugas Kise akan jadi lebih mudah. Karena dia tinggal memuaskan tamu-tamunya.
Kise tidak peduli, mau yang datang padanya perempuan atau justru laki-laki. Persetan mau anak pejabat, tante sosialita kurang kasih sayang, atau bahkan lelaki hidung belang biasa—selama mereka bisa membayar, Kise tak keberatan dan akan perlakukan mereka layaknya raja.
Mucikari pemilik rumah bordil pun tak pernah merasa keberatan dengan kedatangan Kise. Dia justru senang—bertambah satu lagi orang yang bisa dijadikan pendapatan.
Pada era di mana semua harga melambung, materi adalah tujuan utama. Dan di tengah kegilaan tuntutan materi, hanya satu logika yang bekerja: Kalau bisa kaya lebih cepat, buat apa ditolak?
Benar, benar. Di sini yang Tuhan adalah uang. Oh, bahkan mungkin di tempat lain juga sama—hei, tidakkah kalian melihat bagaimana dewa selalu datang menolong orang yang punya uang?
Dan begitulah Kise melewati hampir setiap malam di hidupnya. Pergi ke rumah bordil, layani tamu, terima uang, bayar jasa mucikari, pulang.
Di antara kerlip lampu yang menerangi sela-sela kota di saat malam, hidup Kise terlihat monoton. Tidak ada kesulitan.
Sebagian orang menatap Kise rendah karena dia mendapatkan uang dengan mengandalkan aroma manis daya tarik yang merangsang dan menggairahkan. Angkat paha sedikit, ribuan yen langsung jatuh ke genggaman. Gampang.
Itulah yang selalu mereka bicarakan dengan mulut besar mereka. Tapi sebenarnya, mereka tak tahu apa pun.
Jadi, semenjak Kise tahu ada mulut-mulut sial di sekitarnya, Kise lebih memilih untuk tak peduli. Kise telah menemukan bahwa menenggelamkan diri dalam ekosistem pribadinya sendiri adalah cara terbaik untuk mengenyahkan dengung bising di sekitarnya.
Semakin orang-orang itu menggunjing atau bahkan menyumpahi, Kise akan semakin tidak peduli. Dia sudah menebalkan kuping. Membatukan diri. Dan Kise tahu (meski ia terjebak di lingkungan yang hitam pekat), ia akan hidup dan bertahan. Terus. Seribu tahun lamanya, kalau perlu.
(Tapi, sungguh, Kise tidak pernah berpikir untuk menenggelamkan diri dalam pekerjaan hina ini. Bahkan untuk satu detik pun, tidak pernah.)
Ketika Mercedes hitam itu melewati bagian kota yang padat oleh deretan papan reklame, mata Kise sempat terpaut ke salah satu gambar model di sana. Dan dia langsung hanyut dalam nostalgia hanya dalam sepersekian sekon.
Dia selalu ingat pernah punya begitu banyak mimpi waktu kecil. Sangat banyak, karena mimpi-mimpi itu nyaris selalu berubah-ubah setiap harinya.
Ketika melihat pesawat mengudara di atas kepala, dia berteriak ingin jadi pilot pesawat terbang. Esoknya, waktu dia (untuk ke sekian kali) kalah main one-on-one dengan temannya, Aomine, ia menangis dan berteriak bahwa ia ingin jadi pemain basket agar bisa mengalahkan Aominecchi. Esoknya lagi, waktu kakaknya menempel poster besar seorang model tampan di dalam kamar, Kise telah melupakan basket. Dia mulai bermimpi akan model dan segala gemerlap lampu kamera, lengkap dengan jeritan fans yang gila.
Sekarang, dia berakhir sebagai pelacur.
"Kau bisa menabrak jika melamun begitu."
Kise Ryouta menyelesaikan nostalgianya, melirik kursi penumpang di sebelah, lalu menyunggingkan sebuah senyum saat menemukan seorang wanita di umur pertengahan tiga puluh duduk bersilang kaki. Di balik bulu mata yang lentik, Kise bisa melihat wanita itu menatapnya seperti siap menerkam kapan saja. Seduktif.
Kise menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti maaf sembari mengeluarkan tawa ringan agar suasana tidak jatuh kaku. Bagaimanapun, mobil ini bukan miliknya. Kise hanya diminta oleh wanita itu untuk membawanya sampai ke hotel, tempat mereka akan menghabiskan sisa malam.
Omong-omong, tamu beruntung yang memiliki Kise malam ini adalah seorang wanita. Dari basa-basi singkat, Kise tahu dia adalah istri seorang pengusaha swasta yang gajinya sepuluh kali lipat lebih besar dari gaji seorang manajer. Dan dari obrolan-obrolan yang terus berlanjut, Kise tahu jika wanita itu sendiri juga memiliki pekerjaan bergaji lumayan yang hanya mengharuskan pergi ke kantor tiga kali seminggu.
Suaminya, wanita itu berkata sembari mengeluarkan asap rokok dalam sekali embusan panjang, lebih tua sekitar duapuluh tahun darinya. Jauh lebih matang dan dihormati, memang. Tapi tingkahnya terlalu sombong.
"Dia selalu mengaku-ngaku bahwa dirinya sama tangguhnya dengan seekor anjing bulldong. Akan tetapi, biar kubagi satu rahasia padamu," wanita itu menjetikkan jari untuk membuang biang api dari jendela mobil yang terbuka, memandang Kise dengan ekspresi misterius, ekspresi yang dipakai semua orang ketika akan membagi sebuah rahasia kecil mereka. Bau wiski Chivas Regal tercium dari dalam mulutnya. Ketika Kise menaikkan alis tanda memberi perhatian, wanita itu melanjutkan dengan setengah berbisik, "Di atas ranjang, suamiku itu sama sekali tidak berguna. Persis seperti tikus. Impoten total."
Ah, begitu rupanya. Jadi, ketika suaminya berada di kantor mengurus perusahaan, wanita itu akan berdandan cantik dan pergi ke rumah bordil. Dia lalu menghabiskan hingga setengah isi dompetnya untuk minum dan bersenang-senang dengan pria-pria di sana—yang performa ranjangnya jelas lebih hebat hingga bisa memuaskannya.
Kise mengeluarkan tawa tertahan. Wanita ini terlalu berterus terang. Yah, tapi itu cukup menjelaskan mengapa wanita yang telah bersuamikan orang kaya seperti dia masih suka berkunjung ke bar maupun rumah bordil, memberi beberapa ratus ribu yen untuk orang-orang seperti dirinya sebagai ganti harga kesenangan semalam.
Dunia semakin busuk saja.
Kise menurunkan kecepatan ketika wanita yang menjadi tamunya menyuruh. Lantas, dengan segera memutar kemudi untuk membawa kendaraan itu masuk halaman depan sebuah hotel yang juga ditunjuk jari-jari lentik wanita tadi.
Hotel yang mereka datangi malam itu memang bukan bintang lima, tapi kondisi bangunannya bagus sementara pilar-pilar yang menyangga sangat kuat. Kise cukup terkesan dengan bagaimana para pegawai di sana merawat tempat itu.
Seorang bellboy menghampiri mereka. Senyum sejuta dollar mengembang lebar. Kise segera melempar kunci mobil padanya, memberi perintah tanpa kata.
Setelah bellboy itu pergi untuk memindahkan mobil, Kise pun melangkah memasuki lobi hotel yang terang benderang, satu tangan masuk ke saku celana dan tangannya yang lain merangkul bahu telanjang wanita itu. Resepsionis hotel menyambut dengan wajah berbinar di belakang meja.
Di samping Kise, wanita itu balas merangkul pinggang Kise yang besar, kuat, dan bidang. Dia terlihat anggun dalam balutan gaun sifon hitam. Sepatu stiletto-nya berbunyi setiap menyentuh lantai, mengundang orang-orang menolehkan pandang.
"Selamat datang," resepsionis yang masih terlihat sangat muda menyapa mereka dengan keramahan yang biasa ditemukan pada kasir-kasir di swalayan. Kise membiarkan pasangan(satu malam)nya yang mengurus resepsionis. Dia sendiri lebih senang memandangi orang-orang yang mondar-mandir. Beberapa berlari mengejar lift.
Dua orang polisi, yang berdiri membelakanginya di sudut lobbi, menangkap atensi Kise. Mereka tengah bicara dengan dua orang pengurus hotel (mungkin manajer, karena pakaiannya jauh lebih rapi dari pegawai yang hanya mengenakan seragam biasa) dan satu orang lagi. Melihat punggung salah satu polisi itu membuatnya mengerutkan kening—aneh. Bagaimana bisa tubuh tegap, kulit cokelat, dan rambut biru pendek itu mengingatkannya pada seseorang yang sudah lama sekali tidak pernah ia lihat?
Setelah urusan mereka dengan resepsionis selesai, Kise mengikuti langkah pasangannya masuk ke dalam lift. Pemuda itu menerbangkan ingatannya yang tadi sempat muncul sekelebat ke angin sore, membiarkannya hilang.
Sekarang bukan saatnya membuka memoar itu. Dia harus bekerja.
.
.
.
.
tbc
kritik dan saran yang membangun, amat sangat dinanti.
salam,
alleira
