INSAINITY

Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto.

Warning: First fic CC—dibuat oleh empat author gila—, Typo(s), Multiple pair and genre,

AU, DLDR!


Chapter 1: Suspense - Drama

By. Re (CC) a.k.a Reako Mizuumi

Made for #CCProject1


"Selamat datang, Tuan." Konohamaru membungkukkan badannya setelah membukakan pagar bagi Sai, tuannya. Hanya semilir angin yang menyambut tingkahnya, sedangkan Si Majikan? Jangan ditanya, langsung melenggang masuk ke rumah. Di sini, masih berlaku hukum 'kaya di atas, miskin di bawah'. Bedanya tangan nasib tak lagi menentukan, yang ada hanyalah seberapa banyak muatan kebencian seseorang terhadap dunia.

Sarutobi Konohamaru, pelayan mungil itu sudah lima tahun bekerja untuk Sai. Selama itu, tak terhitung berapa banyak goresan dan luka yang ia terima. Di punggung, bekas sabitan panjang meninggalkan jejak. Di kepala, 12 jahitan dapat terlihat dengan jelas. Yang lebih parah, majikannya itu juga menorehkan sayatan tak terlupa pada kejantanannya. Padahal di usianya yang berkisar 12 tahun, jalan yang akan ia lalui masih panjang. Sedangkan Sang Tuan yang menginjak kepala dua hanya menikmati masa-masa kenistaan.

Beralih ke bangunan peninggalan keluarga Shimura. Sekilas diperhatikan, rumah itu tampaklah megah dan mewah. Di pintu masuk, telah menyambut berbagai berlian beraneka ukuran, lantai bawah beralaskan kaca diiringi aliran air yang jernih, sebagian dinding bertamengkan marmer beserta batuan langka yang kokoh, dan tiap-tiap tiang penopang berukiran indah bin rumit. Cantik, namun siapa sangka di dalamnya penuh kebusukan. Markas bajingan.

Di era Jepang modern, kala jalanan beraroma mesin dan robot berpengaruh besar bagi kehidupan sekitarnya, rumah bagi Sai beralih fungsi menjadi tempat teduh bercambuk siksa. Pedih. Dan jiwa-jiwa yang masuk ke dalamnya harus merasakan—sakit—itu. Bagi Sai ini adalah keadilan, sebuah miniatur kejamnya dunia.

Sesuatu yang wajar ditemui. Kala bumi tak lagi memberikan perlindungan, dan kejahatan telah menjerat akal sehat mangsa-mangsanya.


Sosok perempuan berambut pirang menerobos masuk, tak peduli pagar yang sedikit lagi akan menutup maupun pelayan mungil yang ia tenggor bahunya sengaja. Tubuhnya seketika berbalik, mata aquamarine-nya menatap Si Pelayan dengan penuh maaf yang nyatanya hanya sandiwara. —Dasar manusia!— Ah, detik-detik ketika sopan santun tipis hawanya. Kakinya terus melangkah, melewati butiran kekayaan yang berhamburan tanpa satupun yang ia pedulikan. Malang!

Brakk. Di bukanya pintu besar yang menghalanginya keras-keras.

"SAI!" Gadis itu berteriak. Yang membalas hanyalah keheningan. Hampa. Tak ada tanda-tanda buronan yang ia cari.

"Hai—Ino." Si Rambut Klimis terlihat perlahan menuruni tangga dengan santai. Lagi-lagi, senyum —yang dikata— palsu menghiasi wajahnya. Ah, palsu. Bila dunia berada di atas kepalsuan, lalu siapa penipu ulung yang mengedarkannya? Tuhan?

"Kau..!" Selangkah setelah Sai mencapai lantai bawah, Ino menerjangnya. Tak peduli siapa berhadapan dengan siapa, laki-laki atau perempuan, monster atau malaikat sekalipun, diletakkan tangan halusnya itu pada leher Sai, menekan, mencekik, menggoreskan kuku-kukunya. Dia, keturunan Shimura ini harus menjelaskan semuanya.

"Ugh. Wow, sabar nona~ Ada apa sebenarnya?" Perkataan Sai membuat Ino melepas cengkramannya. Kepala Gadis Pirang itu mendongak, masih terlihat senyuman terpatri di wajah pucat Sai —sepertinya itu permanen— bila perlu, ia bisa melebarkan sunggingan itu memutar pada kepala.

"Brengsek! Kau kemanakan Deidara nii-san?!" Ino membentak, tatapannya nyalang.

"Entah." Jawabnya datar. Tangannya memangku dagu seolah-olah sedang berpikir.

"Sialan! Jangan sok bodoh! Nii-san sama sekali tidak ada kabar beritanya setelah mendatangi rumahmu ini." Ucap gadis cantik berperawakan seksi itu.

"Dengar nona, namaku Shimura Sai, bukan brengsek ataupun sialan. Mmm.. Deidara ya? Mungkin dia tersandung batu dan terjungkal ke sungai." Senyuman Si Mayat Pucat berubah menjadi seringaian lebar.

"Kau. Gila. Kembalikan Deidara! Kau inikan sahabatnya."

"Turut tersanjung atas pujianmu. Sahabat ya, ehm.. Mungkin presepsi kita tentang kata itu berbeda."

"Oh, ayolah, Sai.." Salah satu keturunan Yamanaka itu menarik kerah baju Sai. Meremasnya erat. Berharap orang di hadapannya segera bercerita apa yang sebenarnya terjadi.

Ia tahu, Shimura Sai adalah dalang semua ini. Ino membaca pesan di handphone Deidara —yang tak sengaja tertinggal— tentang pertemuan mereka berdua. Deidara yang malam itu meminta izin pada keluarganya untuk bermain ke rumah teman, kini hilang bagai ditelan bumi. Sejak seminggu yang lalu, tepat pada saat rembulan bersinar penuh.

Bulir air mata mulai menggenang di pelupuk mata Ino, mengingat saat terakhir Sang Kakak ada. Sekalipun ia seorang gadis pemberani —bila bisa dikata begitu—, ia tetap—menggunakan apa yang disebut perasaan. Penuh emosi.

Slap!

Telapak tangan Ino mendarat mulus di pipi Sai, usaha pelampiasan. Ia tak akan semudah itu membiarkan isak tangis keluar. Ia menolak—menjadi lemah.

"Aku punya penawaran—" Ucap Sai seraya meraba bekas tamparan Ino. Tidak sakit, entah tenaga yang kurang atau memang ia telah mati rasa.

"—lupakan saja ini. Bagaimana kalau kita sedikit bersenang-senang?"

Bocah Shimura itu menggenggam pergelangan tangan Ino, mendorong gadis itu mundur hingga menyentuh dinginnya dinding. Tadaa..! Terkunci. Semudah itu? Tidak, Ino tidak mau kalah telak. Atau setidaknya jangan pada saat seperti ini. Menjadi pemberontak, melakukan apapun yang ia bisa sekarang. Termasuk—

"Tolong... Pertemukan aku dengan Deidara nii-san.." —memohon. Detik itu juga, tawa Sai menggelegar. Sadarkah gadis di depannya ini apa yang telah ia katakan?

"Kau yakin nona?" Pertanyaan Sai hanya disambut anggukan pelan Ino, tatapannya menunjukkan seolah ia telah menyerah. Cih! Sok kuat.

"Dengan senang hati. Syaratnya, ikuti saja perkataanku."


Ino terduduk di sini, di tengah kegelapan yang menyeruak ditemani pancaran cahaya sebatang lilin. Salahkan Sai yang tadi menggiringnya ke ruangan seperti ini. Ditambah kondisi kedua tangannya yang terikat di pegangan bangku dan kakinya di bawah bangku. Tak dapat bergerak —sedikitpun—, terlalu erat. Satu hal lagi, tubuhnya—telanjang.

Tak lama, Ino mendengar pintu terbuka. Ia tak tahu, seorang Shimura Sai memasuki ruangan itu membawa katana. Lalu, pedang itu menari, menuliskan Y.A.M.A.N.A.K.A di punggungnya.

"AARGH.. A-apa yang kau lakukan?" Tak ada jawaban.

Sayatan-sayatan malah menjalar ke bagian lain tubuhnya. Tangan kanannya, tertulis Deidara dan Sai di tangan kirinya. Sedangkan di betisnya terasa goresan panjang yang tak terhenti. Pedih. Nyeri.

"SAI. HENTIKAN!" Tetap tak ada yang merespon teriakan gadis—malang—itu.

Kini ia rasakan cengkraman di salah satu buah dadanya.

"Aaarrghh.." Sebuah benda terasa menusuk tepat di putingnya. Tidak, bukan jarum, lebih besar dari itu. Seperti paku. Dan kegiatan itu diulang lagi.

Sakit. Darah menetes perlahan dari tubuh mulus Ino. Belum puas, Sai butuh lebih dari sekedar tetesan cairan kental berwarna merah. Kirana lilin tak lagi terlihat pada posisi mestinya. Keadaan ruangan yang meredup, membuat Ino semakin kesusahan melihat situasi dengan matanya yang memburam.

Nyess.. Panas terasa tepat di kewanitaannya. Semua ini, sakit. Lebih sakit lagi. Mengapa, sel-sel manusia harus menghantarkan rasa ini? Si Pirang Aquamarine kini benar-benar menyerah. Bahkan teriakan-teriakannya tak dapat meredakan rasa sakit di tubuhnya. Yang tersisa hanyalah, pasrah.

Lalu, Sai memasukkan alat berbentuk layaknya microphone ke dalam mulut Ino. Ia tekan tombol yang ia pegang, membuat alat itu melebarkan pisau-pisau kecil dan berputar mengobrak-abrik rahang. Tatapan Ino mengiba, dan terlihat tetesan air mata mengalir bersamaan darah yang mengucur dari mulut dan pipinya. Sangat amat menyakitkan. Adakah harapan untuknya, Tuhan?

Penutup, Sai mengambil katananya kembali. Menyabetkan pedang itu ke arah leher Ino. Sekali tebas, seonggok kepala berguling mengotori lantai. Gadis itu benar-benar telah kehilangan nyawa.

"Kau akan bertemu Deidara, sayang—di alam lainnya. Berterima kasihlah padaku, membuatmu tak lagi merasakan betapa kejamnya dunia." Ucap sosok berambut klimis itu terakhir kali, kepada Ino.


Part 1/4 Has Completed


A/N:

Ehm... Entahlah. Itu sesuai genre-nya atau tidak. Entahlah. Itu rush atau tidak. *lirik Ri, Wa, Pi* Masih butuh suatu—pelampiasan. Maafkan. Berikut-berikutnya disediakan oleh mereka. *lirik Ri, Wa, Pi (lagi)* Silahkan review, sampaikan kritik/komentar/saran. Jaa~

Rea.