Nothing Changes (Even with Time)
Disclaimer:
Characters by Narita Ryohgo
Warning:
Time travel. Eventual yaoi. Character death.
Pre-story AN:
Mimpi menjadi menyebalkan saat endingnya adalah terbangun. Cerita ini plotline nya diambil dari mimpi saya yang tumben-tumbenan punya ending. Biasanya bangun duluan sebelum ada endingnya. Dan saya merasa keren karena itu pertama kalinya saya mimpi dalam format 2D. Sepertinya saya sudah kebanyakan nonton anime... X9
Setiap orang memiliki jalan yang harus ditempuhnya. Jalan yang tidak bisa orang lain tunjukkan petanya. Jalan itu, dipilih sendiri oleh pejalannya.
Shizuo memilih jalan yang ini. Jalan yang akan lebih cepat membawanya pada Izaya. Untuk membunuhnya atau mencincangnya atau apa pun yang bisa membuat anak itu terlihat kapok mengganggu hidup Shizuo. Shizuo tidak memerlukan Izaya dalam hidupnya. Sama sekali tidak. Meskipun orang berkata orang mudah terikat pada konsistensi, Shizuo tidak mungkin. Kalau pun Izaya mati hari ini, dia sama sekali tidak akan peduli.
Atau setidaknya itulah yang dia pikirkan saat ini.
Tapi manusia tidak bisa bermain dengan waktu. Mereka tidak bisa melihat ke masa depan atau pun kembali ke masa lalu. Karena waktu adalah keajaiban tetap yang sakral.
Tidak bahkan penyihir bisa mengubah aliran waktu.
Shizuo masih mengepalkan tangannya. Diambilnya satu rambu lalu lintas yang terlihat kuat namun tidak terlalu besar. Kau tidak bisa memasukkan rambu lalu lintas secara sembarangan ke komplek apartemen elit, begitu kalau tidak salah kata Tom-san beberapa hari yang lalu. Mulutnya komat-kamit seperti mengucap mantra pengusir setan—atau santet, entahlah. Pikirannya masih berusaha keras untuk mengingat jalan menuju apartemen Izaya. Akan sangat tidak elit kalau semua kemarahan yang ditumpuknya menghilang karena dia tersesat.
Shizuo mencoba mengingat lagi kenapa dia harus punya urusan dengan Izaya. Dia tidak pernah mencari masalah dengan pria berambut gelap itu. Izaya yang selalu berusaha untuk mengganggu hidup Shizuo. Tanpa alasan yang jelas. Memang, sih, dari awal Shizuo juga barusaha menyingkirkan Izaya. Tapi Shizuo punya alasan yang tepat: Izaya membuatnya muak.
Seringainya yang seolah menyatakan kalau dia tau segalanya.
Mata kemerahannya yang seperti selalu menyimpan rencana.
Gerakannya yang tidak pernah diselimuti keraguan, seolah dia bisa meramalkan yang akan datang.
Bahkan baunya yang membuat hidung Shizuo berkedut. Shizuo baru tau beberapa waktu setelah itu kalau dia punya alergi 'kutu'.
Tapi semua itu tidak relevan dengan semua kemarahan yang dirasakan Shizuo saat ini. Kemarahan Shizuo yang ini tidak lagi abstrak semacam rasa muak atau sejenisnya. Shizuo marah karena Izaya membawa pertikaian abadi mereka pada orang lain. Karena bagi mereka, seharusnya, pertikaian mereka adalah milik mereka sendiri. Shizuo tidak akan menyerang orang-orang yang penting bagi Izaya—kalau pun dia punya. Dan Izaya tidak akan menyerang orang-orang yang penting bagi Shizuo—setidaknya sebelum kemarin.
Tidak. Tentu saja Izaya tidak datang ke rumah orang tua Shizuo dan membunuhi mereka satu persatu atau sejenisnya. Shizuo juga tau kalau kutu busuk itu tidak akan mengotori tangannya sendiri dengan darah.
Tidak. Tentu saja Izaya tidak mendatangi adiknya tercinta dan merobek wajah tampannya. Shizuo juga tau kalau Izaya tidak menggunakan waktu luangnya untuk kegiatan iseng macam itu. Well, mengajak Shizuo kejar-kejaran keliling Ikebukuro itu lain lagi.
Izaya hanya memberikan informasi pada seorang stalker yang bahkan polisi kewalahan untuk menangkapnya. Beruntung adiknya yang jarang punya hari libur itu selalu diikuti oleh bodyguard. Kalau sampai sang adik sampai tergores, bahkan Shizuo sendiri tidak bisa membayangkan seberapa parah kerusakan yang akan dialami Ikebukuro.
Dan karena adiknya mengatakan kalau dia baik-baik saja dan membuat Shizuo tidak punya alibi untuk meratakan Ikebukuro, dia harus mencari alternatif penyaluran kemarahan yang lain: meratakan Izaya beserta apartemennya.
Apa yang dilihat Shizuo ketika dia sampai di depan pintu komplek apartemen Izaya sebenarnya mencurigakan, kalau Shizuo bisa melihat masa depan. Tapi walau sekuat apa pun, Shizuo adalah manusia biasa: dia tidak bisa memainkan waktu. Karena itu dia tidak curiga sama sekali dengan segerombolan manusia yang keluar dengan tampang bengis mereka yang penuh kepuasan.
Kata pikiran Shizuo: penghuni komplek apartemen ini bukan hanya Izaya. Dan mana ada penghuni apartemen semewah ini yang sama sekali bersih. Akan ada sedikit dendam dan bibit kebencian yang mereka tanam di suatu tempat, di suatu waktu.
Laju elevator yang sebenarnya tidak secepat yang diinginkan Shizuo tidak juga membuat pegangan Shizuo pada rambu lalu lintas yang tadi dicabutnya mengendur. Dengan ini dia bisa meratakan kutu itu dengan tanah.
Sebuah seringaian kejam terlukis di wajah tampan Shizuo. Diiringi dengan geraman yang kurang lebih berbunyi, "Rata. Rata. Rata. Rata. Rata."*
Apa yang dilihat Shizuo di dalam apartemen Izaya—dia bisa masuk karena pintunya terbuka—membuatnya menjatuhkan rambu lalu lintas yang sejak tadi dipegangnya dengan sayang.
Izaya tergeletak dengan darah segar yang mengalir dari perutnya. Posisinya yang meringkuk membuat Shizuo tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Bahunya yang mulai bergetar membuat Shizuo curiga kalau si kutu sedang menangis.
Tentu saja Izaya tidak akan menangis semudah itu hanya karena luka tusukan di perut. Kan?
Beberapa saat kemudian Shizuo menyadari kalau getaran di bahu Izaya berasal dari sang informan yang sedang terkikik. Entah geli atau tidak menyadari kalau dirinya sedang berdarah.
Shizuo sebenarnya ingin menyelesaikan pekerjaan siapa pun yang memulainya itu dan meratakan Izaya dengan tanah. Tapi entah kenapa ada tarikan kuat di dadanya yang mengatakan kalau dia akan menyesal seumur hidup dengan melakukan itu.
Akhirnya dia memilih untuk menghampiri Izaya, memastikan kalau si kutu menyadari keberadaannya, dan berkata, "Kutu, sedang apa kau di situ?"
Kikikan pelan Izaya tersela oleh sebuah batuk yang berdarah. Belum sempat Shizuo dihinggapi kekhawatiran, Izaya kembali terkikik, "Menyambut dewa kematian tentu saja,"
Entah karena merasa dia yang dianggap sebagai dewa kematian atau karena Izaya tidak menyambutnya, Shizuo merasa sebal. Semacam ingin meremuk kepala Izaya, tapi melihat memar-memar di wajahnya membuat Shizuo mengurungkan niatnya karena sekarang saja bentuk kepala Izaya sudah sulit untuk diidentifikasi.
"Ne, Shizu-chan, kalau dewa kematian kali ini tidak melepasku lagi, dan ini pertama kalianya kalian datang bersama, aku ingin minta maaf,"
Kalau mungkin, rahang Shizuo sudah mengepel lantai saat ini. Karena Izaya mengatakan hal yang tabu kalau diucapkan di antara mereka. Maaf. Bagi Shizuo, itu terdengar seperti ucapan selamat tinggal.
Dan bagaimana bisa kutu busuk itu pergi begitu saja sebelum Shizuo sempat meratakannya dengan tanah?
"Apa maksudmu, hah? Berhenti mengucapkan omong kosong!"
"Omong kosong, huh?" Izaya terbatuk pelan, dengan sedikit darah mengiringi, "Mungkin memang begitu. Tapi mumpung kita sedang membicarakan omong kosong, kau mau mendengar omong kosong yang lebih konyol lagi, tidak?"
"Orang waras macam apa pun tidak akan mau mendengar omong kosong darimu."
"Bhuu, Shizu-chan benar-benar tidak seru. Ini mungkin terakhir kalinya kau mendengarku bercerita, lho,"
"Dan kau pikir aku peduli, hah!?"
"Ah, ternyata memang tidak ada harapan, ya?" Izaya kembali terbatuk, "Ne, Shizu-chan, kau tau tidak, kau itu satu-satunya manusia yang tidak kucintai. Kau itu satu-satunya manusia yang berbeda di mataku. Tapi kau tau tidak, bersamamu itu menyenangkan, lho,"
Shizuo tidak menjawab. Karena jawaban apa yang bisa dia berikan pada omong kosong macam itu?
"Tidak ada manusia yang bisa membuatku berpikir sekeras dirimu. Karena kau selalu menghancurkan rencana-rencanaku. Dan sampai sekarang pun aku masih belum mengerti bagaimana bisa kau melakukan itu. Tapi saat ini, tidak ada satu pun waktu bersamamu yang kusesali."
Sekali lagi Izaya mengeluarkan darah dari bagian dalam perutnya yang entah apa.
Shizuo masih berkeras untuk tidak menjawab.
"Kau itu, tidak bisa, ya, melayani obrolan orang yang hampir mati? Tapi tentu saja, Shizu-chan ya Shizu-chan,"
"Apa maksudmu, hah?!"
Izaya terkekeh pelan, "Kau tau, ketika Namie bertanya padaku, apa yang kupikirkan ketika ada kata 'romantic love', aku menjawab dengan namamu. Dan tentu saja aku tau itu bodoh, karena tidak mungkin Shizu-chan tau sedikit pun tentang romansa. Tapi rasanya memang seperti itu. Dan bukankah romantis untuk pergi bersama dewa kematian di hadapan orang yang kau cintai? Untuk saat ini saja...,"
"Diam! Diam! Diam! Suaramu membuat kupingku sakit! Kau itu tidak punya kerjaan lain selain mengoceh, apa!?"
Izaya terbatuk lagi, "aku..." batuk yang lebih heboh, "mencintaimu," dan berhenti bergerak sama sekali.
Shizuo masih tidak bergerak dari tempatnya. Dia sedang memroses apa yang terjadi di depannya. Permainan macam apa lagi yang sedang dimainkan hama yang sedang tergeletak di depannya? Dia pikir dia gulma yang tidak perlu melompat ke sana ke mari? Dia itu kutu. Dia harus terus meloncat kalau dia tidak ingin dibasmi oleh siapa pun yang sedang dihinggapinya.
Lalu kenapa dia tidak bergerak?
Kenapa dia diam saja?
Kenapa jantung Shizuo juga terasa seolah berhenti?
Juga?
Akhirnya Shizuo keluar dari lamunannya dan semakin mendekat pada Izaya. Meletakkan tangannya di leher Izaya, mencoba mencari tanda kehidupan. Tidak ada. Hama itu sudah dibasmi.
Dan entah kenapa tidak ada secuil pun bagian dari Shizuo yang merasa puas.
Dia hanya mulai merasa kosong. Apa apaan kata-kata terakhir Izaya tadi?
Hal selanjutnya yang disadari Shizuo adalah nada statis yang didengungkan oleh TV. Sepertinya secara linglung Shizuo berjalan pulang dan mencari kenyamanan dengan memutar film Kasuka yang DVD-nya sudah tergeletak entah sejak kapan. Tapi bahkan dia tidak mengerti apa yang tadi dia tonton.
Bahkan setelah dia memaksa untuk keluar dari keadaan linglungnya, dia masih juga merasa bingung. Seluruh tubuhnya masih terasa kebas. Dan dia tidak juga mengerti kenapa.
Diabaikannya teleponnya yang terus-terusan berdering dari tadi. Dia yakin itu hanya dari orang-orang yang ingin memastikan apakah Shizuo yang membunuh Izaya. Kalau dipikir-pikir lagi, sanggupkah dia?
Sedangkan tadi tidak sekali pun Izaya mengeluarkan seringai yang membuat Shizuo ingin meratakannya dengan tanah.
Sedangkan tadi tidak sedikit pun sinar mata itu menunjukkan agenda rahasia.
Sedangkan tadi tidak sedikit pun dia menujukkan gerakan lincahnya yang membuat Shizuo ingin mengikatnya di tiang listrik terdekat.
Sedangkan tadi yang bisa diendusnya hanya bau anyir.
Sanggupkah dia benar-benar meratakan orang yang sudah hampir rata dengan tanah begitu?
Detak jantung Shizuo seolah ingin berteriak keras dan mengatakan tidak.
Karena satu-satunya hal yang dia inginkan saat ini adalah mengguncang kepala Izaya sampai dia mengatakan apa maksud dari semua pernyataannya tadi.
Mencintai Shizuo katanya? Memangnya dia sebegitu benci-nya pada Shizuo sampai memberikan kata terakhir yang membuat pikiran Shizuo terasa ingin meledak. Rasanya Shizuo ingin membunuh Izaya saat ini juga.
Tapi dia sudah mati, kan?
Apa lagi yang bisa dilakukan Shizuo? Dia bahkan tidak bisa mempertanyakan kegilaan Izaya di saat terakhirnya.
"Ne, Shizu-chan, kau benar-benar ingin tau?" Shizuo hampir terlonjak mendengar suara familier—meski beberapa kunci lebih tinggi—dan panggilan itu. Dia menoleh ke segala penjuru ruangan dan tidak melihat siapa pun. Sepertinya kutu busuk itu benar-benar sudah berhasil membuat Shizuo menggila.
"Aku bisa memberitahumu, lho, kalau kau benar-benar ingin tau..."
Well, itu tawaran yang menggoda.
"Apa maksudmu, hah? Dan tunjukkan wujudmu, bodoh!"
Tiba-tiba udara yang ada di ruangan itu bergerak ke satu arah di sofa yang tadi diduduki Shizuo, membentuk suatu sosok semi-transparan yang bentuknya sangat mirip Izaya tapi dengan sayap, tanduk, ekor, dan lingkaran emas di atas kepalanya. Shizuo tidak akan mencoba menelaah wujud apa yang ingin diadopsi oleh mahluk astral itu.
Kenapa Shizuo tidak kaget melihat penampakan? Well, best friend-nya saja mahluk astral juga. Jadi dia tidak berhak menghakimi mahluk astral yang lainnya.
Meski pun tentu saja Shizuo menganggap mahluk itu tidak beres. Lihat saja bentuk yang dipakainya.
Belum sempat sweatdrop mengalir dari kepala Shizuo akan bentuk mahluk yang ada di hadapannya, mahluk itu berkata, "Tentu saja bukan aku yang akan menjawab keingintahuanmu. Tapi aku bisa memberimu kesempatan untuk bertanya padanya. Siapa namanya tadi? Izaya?"
"Bagaimana bisa kau bertanya siapa namanya kalau kau memakai wujudnya, bodoh!?"
"Kau itu dari tadi memanggilku 'bodoh' terus. Padahal kelakuanmu sendiri seperti manusia gua. Kau mau atau tidak? Aku sibuk, lho,"
Manusia gua? Sepertinya mahluk itu juga meniru kelakuan Izaya.
Izaya...
Tentu saja dia ingin tau.
Dan tanpa sadar dia mengangguk.
(Jari tengah tangan kanan saya abis kejepit pintu. Bikin typo yang biasanya nyebelin jadi makin parah. Urgh.)
(* Entah kenapa pas mau ngetik Shizuo bilang 'bunuh bunuh bunuh' saya malah keinget Lau yang lagi pentas Hamlet di OVA Kuroshitsuji. Yang dia membelai-belai dada Taker sambil bilang 'rata rata rata.' Dan begitulah ceritanya Shizuo jadi bilang 'rata rata rata.')
(Sebenarnya saya pengen manggil Mephisto, mumpung seiyuu nya sama kaya Izaya, tapi itu akan membuat fic ini menjadi crossover dan saya belum pengen berpengalaman dalam membuat crossover fic. Lagian saya juga nggak kenal-kenal banget sama Mephisto... X9)
(Saya tau adalah kesalahan bodoh untuk membuat cerita multichap di saat masih punya cerita yang lain. Tapi karena cerita yang lain akan saya update 'sedikit' demi 'sedikit' dan yang ini paling cuma 4 chap, jadi ya... sebelum saya lupa plotline nya...)
