Be Brave
SnK © Hajime Isayama
Rated : T
Genre : Romance/Drama
Pairing : Levi x Petra
Warning! : AU, OOC, Typo (?), dan mungkin banyak kesalahan.
"Kapan akan kau berikan surat itu?" seseorang tiba-tiba datang menepuk pundak gadis berambut oranye yang sedang berdiri di depan lokernya.
"Hanji, kau mengagetkanku." protesnya.
"Eheh. Habisnya kau sedari tadi hanya berdiri diam disitu." ujarnya dengan cengiran lebar.
Gadis di hadapannya hanya menggelengkan kepalanya, maklum.
"Jadi, bagaimana?"
"Eh? Apanya yang bagaimana?" bertanya balik.
"Surat itu, Petra." ia menunjuk sebuah amplop yang sedang digenggam pemiliknya, "Kapan?"
"Entahlah, Hanji. Aku kurang yakin akan memberikan ini padanya." ujarnya seraya menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan raut wajah sedihnya.
"Heh? Kenapa begitu? Kau ini malu, ya?" ia memiringkan kepalanya untuk melihat lebih jelas ekspresi temannya itu.
"Aku.. Um, aku- takut." sengaja mengecilkan suara di akhir kalimat.
"Takut? Takut apa?" kening Hanji berkerut, "Oh, kau takut dengan wajah datar dan mata kelamnya itu ya? HAHAHAH..." Hanji langsung terbahak keras,—yang langsung mendapat sikutan keras di pinggang dari Petra. Malu diperhatikan orang-orang sekitar.
"Ahahah.. Tapi kau tetap saja menyukainya, Petra." ujarnya lagi seraya menahan agar tidak terbahak seperti tadi. Antara malu diperhatikan dan tidak mau disikut lagi, juga menjaga perasaan teman dekatnya ini. Atau satu-satunya yang bertahan menjadi temannya?
"Tentu saja bukan karena itu, Hanji." wajahnya langsung cemberut.
"Eh? Lalu apa?" tawa yang sempat tertahan langsung menghilang.
"Tentu saja," ia menatap kedua mata terbingkai Hanji, "Aku- takut ditolak." kemudian menunduk lagi.
Mengerti perasaan temannya, ia langsung menepuk kedua bahu Petra. "Berikan saja, agar dia tahu bagaimana perasaanmu padanya."
"Kalau ditolak?" kedua alisnya bertaut.
"Tak apa, percayalah. Yang terpenting, kau sudah menyatakan perasaanmu." jelasnya.
"Aku juga takut bila aku nantinya malah patah hati. Ini pertama kalinya bagiku, Hanji."
"Sshh.. Jangan terlalu dipikirkan. Setidaknya kau tahu jawaban darinya." menganggukkan kepalanya, berusaha meyakinkan, "Kau pasti penasaran jawabannya, kan? Ya kan?" wajahnya makin mendekat.
"E-ehh.." ia mendorong wajah Hanji agar menjauh, "Tentu saja aku penasaran."
Hanji langsung menjentikkan jarinya, "Jadi, tunggu apalagi?"
"Baiklah. Besok aku akan memberikan surat ini padanya." ujarnya sungguh-sungguh.
"He? Kenapa tidak sekarang saja?" tanyanya heran.
Petra hanya menghela napas menghadapi temannya ini, "Dia pasti sudah pulang, Hanji."
Hanji langsung menolehkan pandangan ke sekelilingnya, sudah sepi.
"See? Tinggal kita berdua disini." ujarnya lagi, yang langsung disambut cengiran Hanji.
"Jadi?"
"Eh? Apalagi?" Petra bingung.
"Boleh kulihat surat itu?" tanyanya dengan cengiran yang masih setia pada wajahnya.
"EHH?! Tentu- tentu saja tidak boleh." Petra langsung menjauhkan surat di genggamannya dari tangan nakal Hanji.
"Ayolah, aku kan temanmuu.." rengek Hanji dengan tangan yang masih terjulur berusaha mengambil.
"Tetap saja tidak boleh." Petra menegaskan dan langsung berlari menuju pintu keluar agar surat itu aman bersamanya.
Tentu saja Hanji tanpa aba-aba langsung menyusul dari belakang. Tak mau tertinggal.
"Petra, tunjukkan padaku.."
"Tidak akan."
"Sedikiitt.. saja."
"Tetap tidak."
"Kalau begitu, sedikiiiiiiitt saja."
"Tidak ya tidak."
"Petraaaaa.. ayolah."
"Tidak."
Dan kejar-kejaran itu masih berlanjut selama perjalanan pulang mereka. Tentu saja dengan rengekan serta penegasan Petra yang masih bertahan.
.
.
.
.
.
Keesokan harinya, sepulang sekolah.
Dua orang gadis sedang mengendap-endap dibalik salah satu loker yang terletak paling ujung. Kedua mata mereka fokus memperhatikan seorang pemuda disana. Sesekali melirik sekitar, memastikan mereka tidak ketahuan.
"Sshh, pelankan suara langkahmu."
"Tunggu, haruskah kita diam-diam begini?"
"Eh? Harus tidak, ya?" bertanya balik seraya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Memangnya untuk apa sih?" masih bertanya, "Dan lagi, untuk apa teropong itu?"
"Eh? Aku pun tak tahu." mengangkat kedua bahunya, "Menurutmu untuk apa, Petra?"
Petra langsung sweatdrop mendengarnya.
"Hey, lihat. Dia sudah mau pergi." menunjuk ke arah sosok tadi yang mulai berjalan, "Eh?! Dia ke arah kita!" ujarnya heboh dan tiba-tiba saja tanpa ba-bi-bu langsung mendorong Petra ke arah sosok tersebut.
Petra yang limbung tak mampu menahan berat badannya langsung saja jatuh terduduk,
tepat di hadapan sosok itu.
Petra langsung terbelalak menatap sepatu hitam kinclong di hadapannya, kepalanya mendongak, dan kedua mata mereka langsung bertemu.
Seakan terkunci, Petra langsung mematung. Masih dengan posisinya tadi.
.
.
.
"Sampai kapan kau terus begitu?" suara baritone terdengar.
Diam. Petra masih mematung menatap sosok di hadapannya.
"Apa kakimu bermasalah?"
Hening. Masih tak ada jawaban.
"Ck. Merepotkan." mendecak kesal sebelum akhirnya mengulurkan tangan kanannya,—hendak membantu.
Petra mengerjap-erjapkan matanya, memandangi telapak tangan yang terbuka tepat di depan wajahnya, kemudian menyambut uluran tersebut. Sosok itu pun langsung menariknya agar dapat berdiri.
"Lain kali hati-hati. Kau ceroboh, ya." ujarnya kemudian melangkahkan kakinya pergi.
'Heehh? Kenapa aku dibilang ceroboh? Tidakkah ia tahu bahwa dirinya didorong oleh,
EH?! Mana Hanji?!' Petra langsung panik, ia melirik sosok tadi yang belum terlalu jauh.
"T-TUNGGU! Tunggu, Rivaille!" tanpa sadar ia berteriak.
Sosok itu menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh ke belakang. "Kau memanggilku?" ia berbalik badan dan melangkahkan kakinya kembali ke tempat tadi setelah yakin dengan pendengarannya.
"Kau tidak bisa berjalan?" langkahnya makin mendekat.
Hening sebentar.
"Ah, itu. Aku.. T-tentu saja bisa." ujarnya gagap seketika.
"Hm?" menaikkan salah satu alisnya, "Lalu kenapa kau memanggilku?"
"Aku.." ia menggenggam surat yang berada di dalam saku kanannya, "Aku mau memberikanmu ini." lanjutnya seraya menyodorkan sebuah amplop ke hadapan sosok yang dipanggilnya Rivaille tadi.
Amplop berwarna putih dengan stiker berbentuk hati di bagian tengahnya.
Tentu saja Rivaille mengerti surat apa itu.
Tanpa menunggu lama, diambilnya amplop tersebut dan langsung membukanya, ia membaca isinya,—tentu saja dalam hati.
'Aku menyukaimu.'
Hanya itu.
Rivaille cengo seketika. Gadis di depannya ini yang notabene masih satu angkatan dengannya menuliskan 'hanya' dua kata tersebut dalam sebuah kertas besar seukuran portofolio?
Well- ia tak habis pikir.
"Jadi, kau hanya sekedar memberi tahuku atau," jeda sebentar, "Secara tidak langsung menembakku?"
Petra terdiam sebentar mendengar pertanyaannya,
"Dua-duanya." ia berujar seraya mengangguk meyakinkan.
Sedetik kemudian, Petra merutuki dirinya yang begitu pede mengatakan hal tersebut.
"Kau baru saja menyukaiku dan langsung menembakku, begitu?"
"Um, soal itu.. Aku sudah menyukaimu sejak kita sekelas di kelas satu." jelasnya. Dan kemajuan baginya, gagapnya sudah hilang.
"Hm." melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam amplop lagi, "Kalau begitu.."
Petra menatapnya takut-takut, dan-
penuh harap.
"Aku terima." lanjutnya.
Kedua mata Petra melebar, seolah tak percaya apa yang baru saja di dengarnya, "Sungguh?"
"Menurutmu aku sungguhan atau tidak?" ujarnya enteng.
"A.. Arigatou, Rivaille!" mata Petra berbinar.
"Hm." tanpa Petra sadari, Rivaille tersenyum melihatnya.
Catat. Rivaille tersenyum melihatnya.
"Kalau begitu, aku.." menggaruk pipinya pelan, "Aku pergi dulu, Rivaille."
"Kau bisa memanggilku Levi." ujarnya, yang langsung disambut rona merah di kedua pipi Petra.
"Baiklah, Levi. Aku, aku pulang dulu.." ujarnya seraya melangkahkan kakinya ke belakang, mulai menjauh.
Well, dia berjalan mundur seterusnya.
Senyum Rivaille masih tetap di tempatnya, sementara manik hitamnya terus memperhatikan Petra sampai akhirnya ia menghilang di pintu keluar.
'Aku pun juga harus pulang.' gumamnya kemudian melangkahkan kaki pergi meninggalkan ruangan tersebut.
.
.
.
.
.
"Eh? Mana Petra? Mana Rivaille?" Hanji celingukan melihat ruangan tadi sudah kosong.
"HEHH?! Jangan bilang mereka pulang bersama sementara aku ditinggal sendirian disini." gerutunya kesal.
Memang benar, Hanji.
Setengah benar.
Akhirnya, daripada harus berlama-lama sendirian di tempat itu ia pun memilih langsung pulang,
dengan membawa kekesalannya.
Pulang dengan kesal, sendiri di sepanjang perjalanan, pula.
Nasibnya buruk sekali hari ini.
.
.
.
.
.
Keesokan harinya.
Petra baru saja tiba di gerbang pintu sekolah, ia berjalan memasuki sekolahnya dengan senyum cerah di wajahnya. Ia memberi ucapan selamat pagi pada semua orang yang ditemuinya.
Bahagia sekali, rupanya.
Melewati taman, ia melirik ke arah Rivaille dan kawan-kawannya yang memang sudah biasa nongkrong disitu. Ia berharap dapat melihat dengan jelas sosok yang dicarinya.
"Hey, lihat. Gadis itu tersenyum dan terus melihat ke arah kita."
"Mana?"
"Itu, disana."
"Coba lihat."
"Bukannya itu Petra Ral dari kelas A?"
"Benarkah?"
Samar-samar Petra dapat mendengar percakapan mereka. Walau tidak terlalu jelas.
Yang ia tahu, sosok yang dicarinya itu tidak ikut berkomentar apa-apa.
"Dia manis juga."
"Kawaii."
"Dia memang bintang sekolah, kan?"
"Cantik."
"Rambutnya pasti halus sekali."
Dan beragam komentar lain, ditambah celetukan sana-sini.
"Hey, Rivaille. Menurutmu bagaimana?"
"Apa?"
"Gadis itu. Menurutmu bagaimana? Kau tidak mau menembaknya? Siapa tahu kau diterima." goda salah satu temannya.
Langsung disambut gelak tawa dari teman-temannya.
"Biasa saja menurutku. Menembaknya? Untuk apa?"
Teman-temannya tertawa lebih keras.
"Kalau begitu aku bisa saja menembak dan mendapatkannya lebih dulu. Kau yakin, Rivaille?"
"Ck. Terserah kau. Aku tak peduli." ujarnya.
"Kau nanti menyesal, Levi-kun.." masih sibuk menggoda.
Rivaille langsung melemparkan deathglarenya.
Teman-temannya kembali tertawa terbahak-bahak melihatnya.
Deg. Petra mendengar jelas percakapan itu. Ia mendengar jelas, ia tahu apa yang dikatakan mereka.
Ya, ia tahu. Ia dengar semuanya.
Tanpa sadar penglihatannya mulai buram, mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Ia langsung berlari meninggalkan taman itu, melewati koridor, menghiraukan murid-murid lain yang tanpa sengaja ditabraknya.
DUGH-
Ia menabrak seseorang yang kini di hadapannya.
"Petra, kenapa kemarin sore kau meninggalkanku?" suara seseorang yang familiar,
Ia hanya menatapnya sebentar, "Permisi, aku mau lewat."
"Petra, kau.." ditariknya lengan gadis tersebut,
"Hey, kenapa kau menangis?"
Ia tak menghiraukan, ia lanjut berlari menaiki tangga seraya menghapus air matanya yang tumpah.
"Petra!" suara tadi memanggil lebih keras.
.
.
.
.
.
TBC.
Apalagi ini x'D
Gatau kenapa, ada ide yang mampir, padahal saya ga open house /hush/.
Ide ini dadakan, jadi maap kalo berantakan(?) plus, mungkin alurnya kecepetan. Saya emang bukan ahlinya cerita panjang :3
Oke,
Mind to review? Kritik dan saran saya terima :'D
