Gundam SEED/DESTINY © Masatsugu Iwase, Yoshiyuki Tomino, Hajime Yatate SUNRISE
…
My Princess
By Rukaga Nay
…
Warning : AU, Gaje (mungkin,,,), OOC (kaya'nya,,,), Typo (ada pastinya,,,)
Don't like? Don't read please,,,,
…
Chapter one : I love you, my princess!
…
Kira Hibiki melangkahkan kaki-kaki jenjangnya menuju pintu masuk gedung Zala Corporation, tempatnya bekerja sebagai kepala divisi pemasaran. Usianya yang baru 27 tahun membuatnya menjadi kepala divisi termuda di perusahaan itu. Awalnya ia dipandang sebelah mata karena orang-orang berpikir ia mendapatkan jabatan itu karena ia bersahabat dengan presiden direktur Zala Corp. tapi Kira membuktikan asumsi orang-orang itu salah dengan kinerjanya yang berhasil membuat Zala corp. melipat gandakan penjualan produknya hingga 30% di tahun pertamanya menjabat sebaga kepala divisi pemasaran. Dan sekarang orang-orang mulai mengakui kemampuannya. Sebuah senyum menghias wajah tampannya. Sepertinya suasana hatinya sangat bagus hari ini. Di benaknya muncul paras cantik milik seorang gadis bermahkota merah muda
"Lacus," nama itu tercetus begitu saja di bibir pemuda itu. Pikirannya seketika melayang ke kejadian kemarin sore di toko buku. Pertemuan tidak sengaja dengan sang pujaan hati.
…
Mata beriris ungu itu memindai sekeliling mencari mencari sosok gadis berambut pirang yang memintanya – lebih tepatnya memaksanya – ikut ke toko buku.
"Tapi minta ditemani sekarang malah meninggalkanku," gerutu Kira sambil melangkah ke sebuah rak buku yang di bagian atasnya terdapat tulisan : Best Seller. Tangannya terulur untuk meraih sebuah novel karya Stephanie Meyer, Breaking Dawn. Di saat bersamaan ada sebuah tangan lain yang juga terulur untuk mengambil buku yang sama tapi terlambat tangan pemuda itu sudah lebih dulu mengambil buku bersampul agak kecoklatan itu. Segera ia menoleh dan pemandangan yang didapatinya membuat jantungnya melewatkan satu degupannya. Andai waktu bisa dihentikan Kira pasti akan menghentikannya saat itu.
Manik ungu Kira tidak bisa teralihkan dari sepasang manik biru pucat yang menghipnotis. "Eh, Kira-kun?" teguran yang keluar dari bibir gadis bermahkota merah muda itu menyadarkan Kira. Pemuda itu hanya mampu tersenyum malu sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
"Hai, Lacus." Sapanya. "Sedang mencari buku?" Kira meruntuk dalam hati karena bibirnya sudah melontarkan satu pertanyaan yang benar-benar bodoh.
Lacus mengangguk. "Iya," jawabnya.
"Aku tidak tahu kalau Kira-kun suka baca novel," ujar Lacus mengalihkan tatapannya pada buku di tangan Kira
"Tidak juga, aku hanya asal ambil tadi," jawab Kira sambil membolak-balik buku yang masih tersegel plastik di tangannya.
"Gitu ya," sahut Lacus lirih.
"Kau mau ambil ini?" Kira mengulurkan novel yang sampulnya menampilkan gambar Robert Pattinson dan Kristen Stewart itu pada Lacus.
"Terima kasih," Lacus mengambil novel dari tangan Kira. "Aku duluan. Sampai jumpa, Kira-kun." Sebuah senyum manis diberikan gadis itu pada Kira sebelum ia berbalik dan mulai melangkahkan kakinya menjauh.
"Sampai jumpa," sahut Kira setengah melamun karena ia masih terpesona pada senyum manis yang diberikan Lacus Clyne padanya.
"Ah, di sini kau rupanya. Ku cari dari tadi ternyata ada di sini," sebuah tepukan di bahu membuat Kira tersadar. Ia pun menoleh dan mendapati gadis berambut pirang berdiri di sampingnya.
Kira membuang muka. "Masih ingat denganku ternyata," ujarnya sebal.
"Marah ya?" Cagalli, gadis berambut pirang yang merupakan saudara kembar Kira itu menyenggol pelan bahu Kira. "Maaf ya, kau tahu sendiri kalau sudah ketemu buku apapun bisa ku lupakan."
Kira mendengus. Saudara kembar tidak identiknya itu memang selalu lupa diri kalau berada di tempat penuh buku karena hobi gadis itu adalah membaca.
"Sudah selesai?" tanya Kira yang langsung dijawab anggukan oleh saudaranya itu. "Ayo pulang," ajak Kira.
"Aku bayar ini dulu," Cagalli mengacungkan sebauh tas plastik yang berisi empat buah buku.
"Aku tunggu di luar," sahut Kira.
"Yep," Cagalli langsung melesat ke meja kasir.
…
Dan itulah pertemuan tidak sengaja yang membuat Kira Hibiki mendapat sebuah senyuman manis dari sang putri pujaan. Sang bidadari yang tidak mungkin ia miliki karena bidadari itu telah bertunangan dengan sahabat baiknya, Athrun Zala. Kesadaran akan kenyataan Lacus yang sudah bertunangan membuat senyum di wajah Kira menghilang. Ah, kenapa takdir begitu kejam membuatnya jatuh cinta pada gadis yang tidak bisa dimiliki?
…
"Kira!" Kira menoleh ke arah suara yang memanggil namanya dan menemukan Cagalli melambai padanya. Kira segera melangkah menuju meja yang ditempati Cagalli.
"Sudah lama?" tanya Kira setelah ia menempati kursi di sebelah Cagalli.
"Banget. Aku sampai kelaparan menunggumu datang," jawab Cagalli sebal.
Kira tersenyum geli melihat wajah cemberut Cagalli Meski sudah berusia sama dengannya saudara kembarnya itu terkadang masih kekanakan, mungkin itu akibat setiap hari berinteraksi dengan anak-anak berusia 4 sampai 6 tahun makanya adik kembarnya terkadang bersikap kekanankan.
"Maaf," ucap Kira.
"Karena kau datang terlambat kau yang harus membayar makan siang kita hari ini," ujar Cagalli.
Kira mengangkat alis. "Bukannya memang selalu aku yang bayar?" tanya Kira jahil.
Cagalli semakin cemberut. "Lain kali aku tidak mau makan siang denganmu lagi," ujar gadis pirang itu.
"Beneran? Meskipun aku yang traktir?" Kira semakin bersemangat menjahili adik yang hanya lima menit lebih muda darinya itu.
"Aku tidak semiskin itu sampai tidak bisa membayari makan siangku sendiri, Kira." Cagalli melempar Kira dengan serbet. Cagalli benar, meskipun hanya bekerja sebagai seorang tenaga pengajar play group adiknya itu masih sanggup membiayai hidupnya sendiri.
"Aku sangat yakin adikku yang manis ini amat sangat mampu membiayai kebutuhan hidupnya sendiri," Kira mengulurkan tangan untuk mengacak pelan rambut pirang sebahu Cagalli.
"Hentikan!" Cagalli menepis tangan Kira dan memberi tatapan marah pada kakaknya itu, yang disambut kekehan geli Kira. Cagalli mendengus sebal, sikap yang ditunjukkannya sekarang benar-benar tidak mencerminkan sikap seorang tenaga pengajar play group melainkan sikap seorang anak didik di play group.
"Daripada menertawakanku lebih baik pesan makanan," Cagalli menyodorkan sebuah buku menu pada Kira.
Kira mengambil buku menu dari tangan Cagalli dan membukanya, mencari makanan yang menarik minatnya. "Kau mau makan apa, Cagalli?" tanya Kira sambil menggeser sedikit buku menu di tangannya agar Cagalli dapat ikut melihat isinya.
Restoran yang mereka datangi bernama "Happy Family", sebuah restoran keluarga yang biasanya didatangi orang-orang yang kemampuan ekonominya menengah ke bawah. Tapi restoran itu bersih dan menyediakan beraneka menu sehingga Kira dan Cagalli suka sekali makan di restoran ini.
"Hm," Cagalli terlihat bingung karena menu yang disediakan Happy Family sangat banyak dan sebagian besar adalah makanan kesukaannya.
"Menurutmu apa restoran ini menyediakan kebab?" tanya Kira. Cagalli memutar bola matanya saat mendengar kakaknya menyebut makanan favoritnya itu.
"Setahuku tidak. Kau ini aneh-aneh saja," jawab Cagalli.
"Siapa tahu sekarang ada, kita 'kan sudah lama tidak ke sini." Ujar Kira dan ia pun segera membolak-balik halaman buku menu itu untuk mencari makanan khas timur tengah itu. Dan pemuda itu menemukannya di halaman terakhir buku menu. Kira menyeringai pada Cagalli, "ternyata ada," ujarnya bangga karena ternyata tebakannya benar.
"Ada?" Cagalli merebut buku tamu dari tangan Kira dan menemukan gambar makanan yang terdiri dari roti tortilla yang membungkus daging asap yang di masak dengan bumbu kari. "Beneran ada," Cagalli menunjuk gambar makanan itu sambil menggelengkan kepalanya dan keduanya pun tertawa terbahak.
"Kelihatannya seru sekali, boleh kami ikut bergabung?" Kira mendongak dan ia membeku beberapa saat ketika melihat pemandangan di depannya. Athrun Zala, sahabat sekaligus bosnya di kantor berdiri di hadapannya sambil menggandeng tunangannya Lacus Clyne. Kalau memikirkan Lacus sudah bertunangan saja membuat hatinya sakit sekarang hatinya berdarah-darah karena melihat langsung kenyataan itu di depannya.
"Tentu saja," jawab Kira dengan ketenangan yang entah darimana ia dapatkan dan ia pun mempersilahkan pasangan itu duduk semeja dengan mereka. Saat Kira menoleh ia bertemu dengan mata berwarna hazel milik adiknya, dari mata itu Kira dapat melihat ketidaksetujuan. Kira tahu adiknya itu mengkhawatirkannya karena gadis itu tahu akan perasaannya pada Lacus. Kira tersenyum dan meremas pelan tangan adiknya seolah berkata : "Aku baik-baik saja."
"Kalian sudah memesan?" tanya Athrun sambil membolak-balik buku menu di tangannya.
"Belum, kami belum memesan karena Cagalli masih bingung mau makan apa karena hampir semua menu yang disediakan di sini adalah makanan kesukaannya," Kira meringis karena merasakan kakinya diinjak dengan keras di bawah meja.
"Kalian sering makan di sini ya?" tanya Lacus. Cagalli mengangguk sebagai jawaban sedang Kira masih asyik dengan sakit di kakinya akibat injakan Cagalli.
"Berarti makanan di sini enak-enak donk, Ternyata aku tidak salah memilih restoran," ujar Athrun seraya tersenyum pada Lacus yang duduk di sampingnya. "Sepertinya begitu," ujar Lacus mengiyakan.
"Tentu saja. Dan kau harus mencoba sup krim jamurnya, Zala-san. Rasanya benar-benar enak," ujar Cagalli menyarankan.
"Zala-san? Bukankah aku sudah memintamu memanggilku Athrun, Cagalli?" wajah gadis berambut pirang itu memerah dan ia segera menunduk menyembunyikannya.
"Maaf, Za.. maksudku Athrun-san," jawab Cagalli agak terbata.
"Sepertinya aku akan memesan sup krim jamur," Athrun tersenyum pada Cagalli kemudian ia menoleh dan bertanya pada tunangannya. "Bagaimana denganmu, sayang?"
Kira memandang sejoli yang duduk di depannya dengan pandangan sendu. Seharusnya ia tidak melakukan itu, hanya akan menambah luka hatinya saja. Tapi ia tidak bisa mengalihkan matanya.
Andai saja tunangan Lacus adalah seorang playboy yang suka gonta-ganti pacar atau orang brengsek yang suka bersikap kasar, Kira pasti sudah bergerak untuk merebut Lacus darinya. Tapi Athrun tidak begitu, Kira tahu karena ia sudah mengenal pemuda itu sejak Senior High Scholl. Athrun bukan playboy bahkan pemuda itu tidak pernah pacaran meski banyak gadis yang mengejarnya. Dan Athrun bukanlah orang yang suka bersikap kasar, pemuda itu sangat sopan dan ramah. Kira mendesah sepertinya ia memang harus mengubur cintanya dalam-dalam.
Sebuah tepukan cukup keras di bahunya membuat Kira menoleh. "Apa?" Kira melotot pada Cagalli.
"Aku tadi bertanya kau mau pesan apa," jawab Cagalli.
"Samakan saja denganmu," ujar Kira tak acuh.
"Yakin?" nada suara Cagalli membuat Kira waspada.
"Memangnya kau pesan apa?" tanya Kira was-was.
Cagalli tersenyum licik. "Hot Chili Teriyaki," Cagalli menyebutkan sebuah makanan yang terbuat dari potongan daging dan sayuran di oseng dengan sedikit air dengan tambahan banyak cabai.
Mata Kira membulat dan Cagalli langsung tertawa melihatnya. "Aku mau omelet rice saja," ujarnya pada waiter yang berdiri di sebelah Cagalli yang dengan cekatan langsung mencatat pesanannya kemudian mengulangi pesanan mereka berempat dan beranjak pergi.
"Omelet rice? Bukannya mau samaan denganku?" goda Cagalli. Kira mendengus sebal, Cagalli malah tertawa lagi melihatnya.
"Kalian akrab ya," ujar Lacus. Kira dan Cagalli langsung menoleh padanya. "Aku jadi iri pada kalian," tambah Lacus.
"Kalau kau memang iri padaku, kau boleh memiliki saudara kembarku ini. Aku akan memberikannya padamu dengan sukarela," sahut Cagalli dengan nada bercanda.
Lacus tercengang dan langsung menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah. Sedang Kira langsung memberi Cagalli tatapan tajam, tanpa kata menegur sikap gadis itu. Tapi Cagalli mengabaikan tatapan tajam itu. Mata hazelnya tertuju pada Lacus, ia merasa ada yang aneh dari sikap gadis itu.
…
Kira melangkah santai keluar dari ruang kerjanya setelah meninggalkan pesan pada sekretarisnya bahwa ia akan pergi keluar sebentar dan menyuruh sekretarisnya itu untuk menghubungi ke nomor pribadinya apabila ada sesuatu yang mendesak, pemuda itu melangkah melewati lift dan menuju tangga darurat. Saat ini ia perlu sedikit berolahraga karena tubuhnya terasa kaku akibat sedari pagi duduk di belakang meja kerjanya. Kira melangkah menuruni tangga sampai ia berada di lantai dasar kemudian keluar dari gedung Zala Corp. dan ia berbelok menuju taman kecil yang berada di samping Zala Corp. Kira pergi ke taman itu untuk menyegarkan pikirannya yang pusing akibat pekerjaan yang menumpuk. Biasanya pemandangan bunga dan pohonan hijau di taman itu ampuh untuk menghilangkan kepenatannya.
Langkah Kira terhenti tepat di depan air mancur yang berada di tengah-tengah taman. Mata Kira terpejam menikmati suara gemericik air yang sedikit demi sedikit dapat membantunya rileks. Tapi matanya kembali membuka saat telinganya mendengar suara nyanyian indah yang terdengar di antara suara air.
Shizukana kono yoru ni… Anata wo matteru no…
Ano toki wasureta… hohoemi wo tori ni kite…
Kira mengedarkan pandangannya mencari dari mana suara itu berasal.
Are kara sukoshi dake jikan ga sugite…
Omoide ga yasashiku natta ne…
Senyum terkembang di bibirnya manakala ia menemukan sumber nyanyian itu. Gadis bermahkota merah muda yang duduk membelakangi air mancur.
Hoshi no furu basho de… anata ga waratte irukoto wo…
Itsumo negatteta… Ima tookutemo…
Mata aeru yo ne…
Kira berjalan mendekat untuk dapat mendengar lebih jelas tapi tidak begitu dekat sehingga sang gadis tidak mengetahui keberadaannya.
Itsu kara hohoemi wa konna ni hakanakute…
Hitotsu no machigaide kowarete shimau kara…
Taisetsuna mono dake wo hikari ni kaete…
Tooi sora koete yuku tsuyosade…
Hoshi no furu basho e…
Omoi wo anata ni todoketai…
Itsumo soba ni iru…
Stsumetasa wo dakishimeru kara…
Ima toukutemo, kitto aerune…
Shizuka na yoru ni…
"Siapa yang kau nanti?" Kira bersuara setelah sang gadis menyelesaikan lagunya. Gadis itu menoleh, awalnya ia terkejut mendapati Kira berdiri beberapa meter darinya tapi tidak berapa lama keterkejutannya berubah menjadi senyuman.
"Sejak kapan kau di sana?" tanya Lacus, wajahnya yang agak memerah membuat gadis itu terlihat sangat cantik yang membuat Kira menahan napas dan menatapnya penuh kekaguman.
"Suaramu indah," puji Kira setelah ia dapat mengendalikan dirinya.
"Terima kasih," ucap Lacus. Gadis itu agak menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang makin memerah karena pujian Kira.
"Siapa yang kau nanti?" Kira mengulang pertanyaannya.
Lacus menggeleng. Kira mengangkat alis, "tidak mau memberitahuku ya?" ujar Kira sambil melangkah mendekati Lacus dan duduk di bangku besi di sebelah Lacus.
"Karena kalau aku memberitahumu kau pasti akan mengadu pada Athrun, aku tidak mau mengambil resiko itu," jawab Lacus.
"Aku bukan pengadu," sergah Kira.
"Benarkah?"
"Aku berjanji tidak akan mengadukannya pada Athrun, kecuali…," Kira menggantung kalimatnya.
"Kecuali…," Lacus membeo.
"Kecuali kalau kau berpikir untuk meninggalkan Athrun demi laki-laki ini." Kira berkata dengan nada bercanda namun matanya tidak sedang bercanda, mata ungu itu menatap serius pada lacus.
"Laki-laki ini? Kau sepertinya yakin sekali kalau yang ku nantikan ini seorang laki-laki, Kira-kun." Ujar lacus.
"Jadi, bukan seorang laki-laki." Kira terlihat lega.
"Memang seorang laki-laki kok," Lacus berkata setelah jeda beberapa saat. "Tapi Kira-kun tidak perlu khawatir karena aku tidak akan meninggalkan Athrun-kun karena laki-laki itu," Lacus menambahkan dengan cepat.
"Kenapa?" tanya Kira lirih.
Lacus tersenyum, senyum gadis itu terlihat getir. "Karena dia tidak menginginkanku," jelasnya. Lacus menoleh padanya, mata biru pucat itu terlihat menyimpan kesedihan. Kemudian gadis itu tersenyum. "Kau harus berjanji padaku, Kira-kun,"
"Eh?"
"Berjanjilah tidak akan membocorkan pembicaraan kita hari ini pada Athrun-kun. Jadikan ini rahasia kita berdua," Lacus mengedipkan sebelah matanya.
"Aku berjanji," jawab Kira.
Lacus melirik jam tangannya dan terpekik pelan. "Ah, sudah jam segini." Lacus langsung berdiri.
Lacus menoleh dan berkata pada Kira. "Maaf, Kira-kun. Aku harus pergi sekarang."
"Pergilah," jawab Kira.
"Sampai jumpa, Kira-kun." Pamit Lacus dan gadis itu segera berlari menuju Zala corp.
"Pasti Lacus punya janji dengan Athrun," pikir Kira.
Lama setelah Lacus pergi Kira masih terdiam di tempatnya. Memikirkan pembicaraannya dengan Lacus beberapa saat yang lalu. Berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan Lacus padanya.
Kira mencapai suatu kesimpulan bahwa Lacus tidak mencintai Athrun melainkan orang lain tapi gadis itu tetap bertunangan dengan Athrun karena orang yang dicintainya tidak menginginkannya. "Ini rumit," gumamnya.
…
"Cagalli."
Cagalli berpaling dari televisi yang ditontonnya. "Ada apa?"
"Misalnya kau mencintai seseorang tapi orang itu tidak membalas perasaanmu. Apa yang akan kau lakukan?" tanya Kira. Dilihatnya Cagalli mengangkat alis, terlihat bingung beberapa saat tapi kemudian mata Cagalli meredup dan menjawab dengan suara pelan.
"Aku akan mencoba melupakan rasa cintaku pada orang yang tidak mencintaiku itu. mungkin tidak mudah tapi itu lebih baik dari pada terus mengharapkan seseorang yang tidak mungkin ku miliki."
"Begitu ya?" Kira bergumam.
"Ya, itu yang ku lakukan," ucap Cagalli lirih.
"Apa kau bilang?" Kira bangun dari sofa single yang didudukinya dan beranjak ke sofa panjang yang diduduki Cagalli.
"Tidak. Maksudku itu yang harus kau lakukan," Cagalli cepat-cepat meralat. Kira menatap Cagalli dan tahu ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu darinya. Kira meraih kepala Cagalli dan meletakkannya di dadanya.
"Hei, Kira. Apa yang kau lakukan," Cagalli memberontak, mencoba melepaskan diri dari pelukan Kira. Tapi usahanya sia-sia, Kira memeluknya begitu erat membuat percobaannya itu tidak berguna.
"Kalau kau punya masalah kau bisa bercerita padaku," kata Kira di telinga Cagalli.
"Aku tahu. Tapi aku tidak sedang punya masalah, setidaknya masalah besar. Kalau masalah kecil sih, selalu ku temui tiap hari." Sahut Cagalli dengan nada ceria. "Kau yang sedang dalam masalah, Kira."
Kira melepaskan pelukannya. "Ya, kau benar. Aku yang sedang dalam masalah, masalah besar malah."
"Lupakan Lacus. Dia bukan untukmu," ujar Cagalli.
"Tidak mudah," Kira tersenyum kecut.
"Memang. Tapi bukannya tidak mungkin," Cagalli menyemangati.
"Lacus tidak mencintai Athrun," ucap Kira matanya menatap layar televisi tapi tidak benar-benar memerhatikan.
Cagalli mengguncang tubuh Kira. "Dari mana kau mendapat pikiran seperti itu?" tanya Cagalli. "Lacus mencintai Athrun begitupun sebaliknya itulah sebabnya mereka bertunangan dan akan segera menikah," jelas Cagalli mencoba mengembalikan pikiran Kira agar pemuda itu berhenti memikirkan hal yang macam-macam.
Kira menatap Cagalli dan berkata. "Lacus memang tidak mencintai Athrun, Cagalli. Dia sendiri yang mengakui hal itu padaku."
Cagalli terkesiap. "Kapan… Kapan Lacus mengakui hal itu padamu?" tanya Cagalli.
"Tadi sore," dan Kira pun menceritakan pembicaraannya dan Lacus tadi sore pada Cagalli.
"Jadi. Lacus tidak mencintai Athrun. Tapi masih akan menikah dengannya karena orang yang dicintainya tidak membalas perasaannya. Aku tidak percaya Lacus melakukan itu," ujar Cagalli.
"Ya, aku juga. Tapi dia melakukannya bertunangan dengan Athrun sementara di hatinya ada laki-laki lain," Kira setuju.
"Mungkin Lacus berpikir begini. Lebih baik bersama dengan orang yang tidak dia cintai tapi mencintainya daripada menantikan orang yang dicintai yang tidak akan pernah mencintainya," ucap Cagalli.
Kira diam, berusaha mencerna kata-kata Cagalli. Kemudian matanya menatap Cagalli dengan tatapan takjub. "Adikku sudah dewasa rupanya," ujarnya seraya mengacak rambut pirang Cagalli.
"Aku memang sudah dewasa. Kita ini seumuran, Kira." Cagalli berusaha menepis tangan Kira dari kepalanya.
"Memang tapi aku lebih tua darimu," Kira mengingatkan.
"Hanya lima menit," sergah Cagalli.
"Lima menit yang tidak bisa kau ubah sampai kapanpun," ujar Kira penuh kemenangan. Yang sukses membuat Cagalli cemberut.
"Tapi aku penasaran siapa laki-laki yang dicintai Lacus ya," Cagalli bergumam wajahnya terlihat sangat serius memikirkan hal itu. Kira hanya mengangkat bahu meski di kepalanya berputar pertanyaan yang sama.
"Apa mungkin itu kau?"
Mata Kira membulat, terkejut dengan ucapan yang keluar dari bibir adik kembarnya itu. "Apa kau bilang?!"
Cagalli sama terkejutnya seperti Kira. Mungkin Cagalli hanya memikirkan kemungkinan itu tanpa berniat mengucapkannya tapi sepertinya bibirnya tanpa sengaja mengucapkan kalimat itu.
"Bukan apa-apa, jangan terlalu dipikirkan," jawab Cagalli berusaha mengelak.
"Kenapa kau bisa punya pemikiran seperti itu?" Kira bertanya lagi sepertinya pemuda itu tidak berniat melepaskan Cagalli begitu saja.
"Apa kita perlu membahas ini?" Cagalli balik bertanya. "Lacus sudah memutuskan, Kira. Dia memilih Athrun, kau harus terima itu."
"Tapi…"
"Tidak ada tapi. Berbesar hatilah, terima kenyataan dan lupakan perasaanmu pada Lacus." Segah Cagalli.
Kira mengangguk enggan. "Ini akan sulit karena aku akan sering melihatnya karena dia akan menikah dengan sahabatku."
Cagalli meraih Kira ke dalam pelukannya. "Maafkan aku," ucapnya.
"Kau tidak salah. Kau hanya berusaha menyadarkanku, Cagalli. Terima kasih." Jawab Kira.
…
Tok! Tok! Tok!
"Masuk," jawab Kira tanpa melepaskan matanya dari layar laptopnya.
"Apa aku mengganggu?" Kira langsung mendongak mendengar suara yang dikenalnya itu.
"Athrun?" Kira langsung berdiri tapi Athrun memberi isyarat padanya agar kembali duduk dan ia pun menurut.
"Apa pekerjaanmu begitu banyak sampai-sampai kau tidak bisa istirahat satu jam untuk makan siang?" Athrun berjalan menempati kursi di hadapan Kira.
Kira melirik jam tangannya. "Sudah jam makan siang rupanya, aku terlalu asyik sampai tidak menyadarinya," jelas Kira.
"Syukurlah, ku pikir aku sudah memberimu pekerjaan yang terlalu banyak sampai kau bahkan tidak bisa istirahat makan siang," ujar Athrun lega.
"Tenang saja. Aku masih bisa menangani semua pekerjaan yang kau berikan tanpa perlu mengorbankan waktu istirahatku," sahut Kira sambil menyimpan pekerjaan terakhirnya dan mematikan laptopnya. "Lalu apa yang membawamu datang ke ruanganku, pak presdir?" tanya Kira.
Athrun memutar bola matanya. "Sudah ku bilang jangan memanggilku presdir," Athrun mengingatkan.
Kira tersenyum geli, ia tahu benar Athrun tidak suka mendengarnya memanggil sahabatnya itu 'presdir'. "Tapi ini kantor. Aku harus menunjukkan rasa hormatku pada atasan, bukan?"
"Kau pasti ingin membuatku kesal," mata Athrun menyipit tapi hanya sebentar. "Tapi tidak akan berhasil hari ini, aku terlalu senang untuk merasa kesal," ujar Athrun.
"Nah, ini baru berita. Kalau boleh tahu apa yang membuatmu begitu senang, pak presdir?"
Athrun menyeringai. Pemuda itu meraih ke dalam jasnya dan menarik keluar sebuah undangan berwarna putih gading dan menyerahkannya pada Kira. "Undangan pernikahanku," ujar Athrun.
Kira membeku. Untuk beberapa saat pemuda itu hanya terdiam. Bak robot di ulurkannya tangannya untuk menyambut undangan yang di berikan Athrun. Kira menelan ludah sebelum bertanya. "Dengan Lacus tentunya?"
"Memangnya aku punya calon lain?" Athrun nampak geli.
"Sepertinya tidak," sahut Kira sambil membuka undangan di tangannya.
"Apa aku tidak akan menerima ucapan selamat darimu?"
"Maaf," Kira menyadari kelalaiannya. Iapun langsung berdiri dan berjalan cepat mengitari meja untuk memberi Athrun sebuah pelukan. "Selamat, aku ikut senang untukmu." Ucap Kira tulus.
"Terima kasih," jawab Athrun. Kira melepas pelukannya dan memaksa sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyum meski hatinya saat ini sudah remuk tak berbentuk lagi. "Kau harus datang, ajak Cagalli juga."
"Tentu," Kira mengangguk.
…
Cagalli meletakkan undangan berwarna putih gading itu ke atas meja. "Akhirnya mereka menikah," Cagalli menghela napas berat.
"Kenapa?" Cagalli menoleh dan mendapati Miriallia memandangnya khawatir.
"Mereka akan menikah bulan depan," jawab Cagalli.
"Mereka?"
"Athrun dan Lacus," jelas Cagalli.
Milly segera menghampiri Cagalli dan memeluk gadis itu. "Kau harus tabah, Cagalli." Milly menyemangati.
Cagalli tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja," ujarnya sambil melepaskan diri dari pelukan Milly. "Justru aku khawatir pada Kira," Cagalli lagi-lagi menghela napas. "Akhir-akhir ini ia selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja, pergi pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Sepertinya dia sudah mendengar kabar ini sejak beberapa hari lalu tapi tidak mau mengatakan apapun padaku."
…
Kira melangkah hati-hati memasuki rumah tempatnya tinggal bersama Cagalli. Jam tangan yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul satu dini hari, biasanya Cagalli sudah tidur makanya Kira melangkah hati-hati agar saudara kembarnya itu tidak terbangun.
"Kira?" Kira menghentikan gerakan tangannya yang sudah meraih kenop pintu kamarnya.
Kira menoleh, dilihatnya Cagalli keluar dari pintu kamar yang terletak di sebelah kamarnya dengan wajah mengantuk. "Maaf membuatmu terbangun, Cagalli."
Cagalli menggeleng. "Aku belum tidur kok," jawab Cagalli.
"Kenapa belum tidur?" Kira melepas tangannya dari kenop pintu dan melangkah mendekati Cagalli. Pelan diusapnya rambut pirang Cagalli.
"Aku menunggumu," jawab Cagalli kali ini ia tidak protes dengan perlakuan sayang Kira padanya.
"Menungguku? Apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku?"
Cagalli menggeleng lagi. "Tidak ada, aku hanya ingin melihatmu."
"Eh?" Kira mengangkat alis.
"Aku sepertinya merindukanmu. Salah, aku memang merindukan kakak tersayangku." Tiba-tiba Cagalli memeluk Kira.
"Apa terjadi sesuatu padamu, Cagalli?" tanya Kira. Cagalli menggeleng dalam pelukannya.
"Jangan bersedih sendirian, Kira. Aku ada di sini, berbagilah denganku." Ujar Cagalli.
"Maaf, membuatmu khawatir Cagalli." Kira membalas pelukan Cagalli.
…
"Jadi, apa yang kita lakukan di sini?" tanya Kira agak geli karena Cagalli mengajaknya pergi ke taman bermain.
"Tentu saja untuk bermain," jawab Cagalli sambil menarik tangan Kira menuju pintu masuk taman bermain.
"Kau yang mengajakku ke sini tapi kenapa aku yang membayari tiket masuk kita?" tanya Kira.
"Karena kau kakakku makanya kau yang bayar," jawab Cagalli enteng.
"Di saat-saat begini saja baru kau mau mengakuiku sebagai kakakmu," ujar Kira.
"Aku sudah berkomitmen hanya akan mengakuimu sebagai kakakku di saat diperlukan," Cagalli nyengir dan langsung lari saat Kira hendak menangkapnya.
"Awas kau, Cagalli!" seru Kira sambil berlari mengejar Cagalli.
Mereka menghabiskan sepanjang hari itu bermain di taman bermain. Mulai naik jet coaster, masuk rumah hantu, halilintar, semua wahana mereka naiki. Kira benar-benar senang hari ini. Dalam hati ia berterima kasih pada Cagalli karena berkat adiknya itu untuk pertama kalinya sejak Athrun memberinya undangan pernikahan Kira dapat melupakan perasaan sakit hatinya.
Kira melirik jam tangannya, sudah pukul tujuh malam. "Cagalli, ayo kita pulang." Ajak Kira. Cagalli mengangguk setuju, gadis itu terlihat lelah tapi senang.
"Tapi sebelum pulang kita naik itu dulu," Cagalli menunjuk biang lala. Cagalli menatap Kira dengan tatapan memohon.
"Baiklah, tapi setelah ini kita pulang," ujar Kira.
"Tidak," sahut Cagalli. Kira mengangkat alis bukannya tadi adik kembarnya itu sudah setuju untuk pulang. "Kita makan dulu sebelum pulang," tambah Cagalli sebelum gadis itu berlari menuju biang lala. Kira hanya menggeleng-geleng kepala melihat kelakuan Cagalli.
…
Kira dan Cagalli berjalan berdampingan sambil berdiskusi – lebih tepatnya perang mulut – tentang makanan apa yang akan mereka makan malam ini.
"Aku ingin makan ramen," kata Cagalli keras kepala.
"Aku ingin makan pasta," Kira juga berkeras.
"Ya sudah, aku makan ramen dan kau makan pasta. Masalah selesai." Ujar Cagalli.
"Tidak bisa. Seharian ini aku sudah menuruti keinginanmu jadi sekarang giliranmu menuruti keinginanku," jawab Kira.
"Tapi aku tidak suka pasta," rengek Cagalli.
"Tidak mempan, Cagalli. Kali ini kau harus menurutiku," ujar Kira dengan nada yang tidak bisa dibantah. Cagalli langsung memberengut dan Kira tersenyum puas.
Mereka sudah berada di depan pintu masuk sebuah restoran Itali saat tiba-tiba Kira menghentikan langkahnya dan berjalan ke arah lain.
"Kira?" panggil Cagalli sambil berlari mengikuti langkah Kira.
Langkah Kira yang tiba-tiba terhenti membuat Cagalli yang berjalan di belakangnya otomatis menabrak punggung pemuda itu.
"Kalau berhenti bilang-bilang dong," omel Cagalli sambil memegangi hidungnya yang sakit akibat menabrak tulang belakang Kira. Tapi Kira tidak bereaksi matanya menatap lurus ke depan ke arah seorang gadis bersurai merah mudah yang sedang berdiri di bawah lampu jalan.
"Bukankah itu Lacus?" tanya Cagalli tapi tidak mendapat jawaban karena orang yang ditanyainya sudah mulai melangkah menghampiri Lacus. Cagalli diam di tempatnya mengamati Kira yang berjalan semakin dekat dengan Lacus.
…
"Lacus?"
Perlahan Lacus menoleh, menampakkan matanya yang berkaca-kaca pada Kira. Hati Kira serasa teriris saat mata biru pucat itu mengeluarkan cairan bening di sudut-sudutnya.
"Kau baik-baik saja?"
Tidak menjawab, Lacus malah menghambur ke arah Kira dan menangis di dada pemuda itu. Kira memeluk Lacus erat sambil membisikkan kata-kata menenangkan di telinga Lacus, berusaha meredakan tangis Lacus.
…
To be continued
…
Terima kasih sudah membaca fic saya,,,
Bagaimana? Bagus atau tidak? Saya butuh pendapat kalian. So, review please,,,
See ya next chapter!
Nay *_*
