It Hurts. By Your Own Past

Summary: Kisah cinta, tragedi, dan kematian yang mengenaskan.

Disclaimer: Ragnarok Online, punya Gravity dan Lee Myoung Jin

Chapter 1: Smile and Past

Coba aku bertanya. Hari apa yang paling membahagiakan untukmu? Mungkin aku akan menjawabnya hari ini.

Hari itu, aku tengah terduduk di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Elycia, temanku yang masih berupa Novice kecil itu terduduk dan mengelap peluh yang bercucuran dari dahinya. Meski hutan Prontera cukup sejuk, namun jika matahari sedang ada 13 di atas kepalamu hari ini, maka tak heran jika panasnya kota gurun Morroc serasa berada di atas kepalamu.

"Kak, temani aku latihan, yuk. Ayo, aku ingin menjadi besar dan kuat seperti kakak." Elycia mengguncang lengan kananku dengan wajah memelas.

"Baik-baik. Ayo," aku mengacak pelan rambut Elycia yang pirang panjang dan lembut. Anak-anak selalu menyenangkan hatiku.

Aku mengikutinya ke arah barat. Arah jam 9. Tempat Rocker berada.

"Kita latihan disini dulu ya? Jika kau sudah lebih kuat, aku akan mengantarmu melawan Spore, ok?" aku mengedipkan mata dan Elycia balas mengangguk tanda setuju. Aku mengangkat telunjuk kananku dan berteriak…

"Provoke!"

Salah satu Rocker yang sedang berjalan-jalan menghampiriku, hendak memukulku dengan biola kecilnya. Tapi, miss.

"Ayo serang, Elycia." Aku tersenyum manis dan duduk.

"Jangan cemas, aku takkan mati, hahaha…" tawaku.

Elycia mengeluarkan sebilah Knife dari sakunya dan mulai menyerang. Tusuk, tusuk, tusuk.

Rocker itu terjatuh, tak bernyawa.

"Hore!" Elycia berteriak kencang. Ia baru saja naik satu level.

Latihan, dan terus latihan. Elycia Townsend. Gadis manis yang terlahir dari keluarga Assassin. Townsend, turun temurun merupakan keluarga Assassin. Dari namanya, sudah diketahui bahwa mereka semua adalah pembunuh berdarah dingin yang tidak pandang bulu.

Elycia sangat membenci pertengkaran dan pertumpahan darah. Ia tidak setuju menjadi seorang Assassin dan pergi ke kota ini. Prontera. Ia ingin menjadi seseorang yang adil, bijaksana, dan mampu melindungi. Kota itu menjadi kota pertemuan kami berdua.

Setelah Elycia mencapai level 8, aku rasa ini sudah waktunya ia berlatih di hutan Payon. Disana banyak Spore 'segar' untuk ditebas dan dilumat. Kami sama-sama memakai Jasa Warp Kafra dan berlomba lari menuju arah hutan Spore yang bagus, sepi, dan tenang. Arah jam 5. Aku lebih suka disana. Terang. Tidak seperti yang di arah jam 6.

2 jam telah berlalu. Elycia berjuang keras. Dan ini dia! Ia telah mencapai level 9 Basic Skill. Itu berarti, ia bebas memilih job apa saja yang ia inginkan. Kecuali, Thief.

"Kau ingin menjadi apa, Elycia?" aku mengacak rambut anak itu dan memberinya sekaleng susu segar yang baru saja aku beli dari seorang Merchant.

"Mmm… Swordman, kak." Jawabnya polos.

"Swordman…? Kau yakin?" aku tampak ragu. Tidak banyak perempuan yang memilih menjadi Swordman. Kebanyakan dari mereka lebih memilih menjadi Acolyte. Atau Merchant. Tapi, gadis ini berbeda. Ia berkata dengan mantap dan serius.

"Ya sudah, kalau begitu kau habiskan susunya, lalu kita akan pergi bersama-sama ke Izlude."

Elycia mengangguk dan segera menghabiskan susunya. Lalu kami pergi ke Izlude. Ah, sudah lama aku tak ke kota ini.

"Waaaaah!" Elycia berdecak kagum. Kota Satelit ini ternyata menarik perhatiannya. Kota kecil yang sepi. Terlupakan.

Kami bersama-sama memasuki markas asosiasi Swordman yang baru. Tempatnya sempit, tapi memiliki beberapa ruangan. Elycia berbicara pada Hoffman, ketua perkumpulan Swordman dan memberi tepukan lembut di bahu Elycia.

"Kak, aku masuk dulu ke ruangan tes ya!' ujarnya berseri. Aku mengangguk dan duduk termangu di sebuah kursi kayu kecil di pojokan. Hoffman menoleh dan menyeringai.

"Yo! Lama tak jumpa." Hoffman mengangkat tangan kirinya ke udara. Aku tersenyum, dan tenggelam dalam lamunanku.

Lebih tepatnya, lamunan tentang masa lalu.

"Tak bisakah kau berpikir ulang akan keinginan bodohmu, Anak Muda?" Maria Schneilter, ibuku, mengangkat dagunya tinggi.

"Tidak bisakah ibu membiarkan aku bebas?"

Ibuku tertegun. Dari ekspresi wajahnya terlihat bahwa ia menyembunyikan hasrat kemarah yang bergejolak dalam dirinya. Ditantang anak kecil seperti ini, aku makin terlihat bodoh, pikirnya.

"Terra!"

Terra Schneilter, seorang Hunter hebat yang keras dan dingin berjalan perlahan menuju istrinya.

"Ada masalah?" matanya menatap nyalang padaku.

"Kau tahu, anak bungsu kita tidak ingin menjadi Hunter!" teriak wanita itu histeris.

"Aku tidak menyukai job itu, Ibu! Lagipula, aku juga tidak berbakat!" aku menyangkal pendirian kedua orangtuaku yang konyol. Pendirian seperti ini masih berlaku? Katakan, aku sedang bermimpi.

Ayah melihatku dengan geram.

"Jadilah apa yang engkau mau. Satu catatan; jangan kau kembali ke rumah ini lagi."

Dengan cepat aku berbalik, membanting pintu rumah kami yang reot. Fine, aku takkan kembali!

Hari itu sudah malam. Aku harus buru-buru pergi ke Prontera. Aku memang membawa sekepal uang, tapi kurasa aku takkan cukup membayar jasa Warp Kafra. Meskipun kepada anak kecil sekalipun, mereka tak pernah berbaik hati memberiku potongan harga. Jika mereka lebih baik lagi, gratis.

Aku terduduk di ujung kota Payon, mengenggam uang Zenyku erat-erat, berharap agar besok pagi bertambah banyak.

"Butuh bantuan?"

Seorang wanita Priest cantik dengan rambut hijaunya yang dikepang, menghampiriku dan duduk di sampingku, mendengar celotehan konyolku tentang betapa sedihnya nasibku dan uangku.

Wanita itu tidak bersimpati padaku. Ia tidak ikut-ikutan bersedih. Malah sebaliknya. Ia mengulurkan tangannya ke arah Warp Portal menuju Prontera yang baru saja terbuka.

"Yuk," ajaknya kepadaku. Kami pun sampai di Prontera. Kemudian kami masuk ke sebuah penginapan. Ia membayari kamarku. Aku merasa tidak enak, namun ia menyuruhku agar jangan cemas. Lebih baik aku menuruti kemauannya. Kami berdua tertidur –lama. Ia memelukku dalam tidur. Katanya, ia merindukan anak lelakinya yang hilang ditelan maut ketika perang terbesar di Prontera menyisir setiap jengkal kota dan merenggut nyawa yang ada. Menurutnya, aku mirip sekali dengan Reiko –anak lelakinya itu. Ia sempat menunjukkan air matanya kepadaku, namun aku mengusapnya dengan tangan kecilku. Ia tertawa dan merasa terhibur.

Ya, semenjak malam itu, aku berjanji bahwa aku akan menjadi seseorang yang kuat. Yang akan membawa kedamaian. Agar hal semacam itu tidak terjadi lagi.

"Kak, aku ingin menjadi seorang Swordman!" teriakku polos sambil menunjukkan gigi-gigiku.

Wanita itu terdiam sesaat, lalu tertawa.

"Kalau begitu, nanti kau bisa menjadi pelindungku dong ya." Ia tersenyum kecil.

"Aku pasti akan melindungi kakak! Aku janji!"

Lalu kami pun tertawa. Sebelum janji tinggallah perkataan semata.

Dengan cepat aku menjadi seorang Swordman. Oke, masih cupu dengan senjata Sword dan Guard yang aku beli dengan uangku sendiri. Mau pergi ke Nifleheim agar dapat banyak uang dengan status "Anak Bawang", aku lebih memilih berlatih dulu dengan Poring, Lunatic, dan kawan-kawannya yang lemah itu. Aku tidak ingin wanita Priest tersebut membayari segala kebutuhanku. Aku ingin mandiri.

Ayun, tebas, hunus, bunuh.

Aku berhasil menapaki level 56 di umurku yang ke 18. Sabar, satu persen lagi dan… Ya! Job Level 50! Aku mengayunkan Broad Sword ku, tinggi ke udara. Aku langsung berlari ke arah Prontera. Ke tempat perkumpulan Defender. Atau Crusader, bahasa kerennya.

Aku hendak menemui kakak itu dulu. Wanita yang telah menemaniku sejak kecil. Yang telah memberiku banyak bantuan.

Aku melihatnya terkapar di ujung jalan. Beberapa laki-laki usil memegang bertumpuk-tumpuk ranting berdarah…

Bloody Dead Branch?

Sekonyong-konyong, aku melihat anak-anak dan wanita yang jatuh terkulai di atas genangan darah. Beberapa pria tengah kewalahan mengatasi kambing sialan itu.

Baphomet.

"Kakaaaak!" teriakku panik. Aku jatuh terduduk dan mengangkat kepalanya.

"Kakak! Jangan mati!" teriakku histeris.

"Aku akan mati, Gibson. Aku tidak bisa lari dari takdirku sendiri…" dengan lemah ia mengusap pipiku. Bercak darah dengan bentuk tangan membekas di pipi.

"Kak…" aku menjatuhkan air mataku, dan mengenai darahnya. Kini, cairan pekat kental merah itu menjadi lebih sedikit cair.

"Aku… Bahkan belum mengetahui namamu!"

"Rosea… Namaku adalah Ros…e" Rosea tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Lebih tepatnya, kalimat terakhirnya.

Ia menutup mata. Dan aku tengah memeluk sebuah badan yang sudah tak bernyawa ini.

"Kakaaaaaaak! Kakak… Kakak… Rosea…" aku mencoba memanggil namanya ditengah hiruk-pikuk suara bising kota yang sedang bertempur.

Apa-apaan aku ini? Kami sudah bersama selama 11 tahun dan aku lupa akan menanyakan namanya?

Dan ia harus mengucap kalimat terakhirnya dengan menyebut namanya. Yang seharusnya ia katakan 11 tahun yang lalu.

Ini semua karena aku bodoh.

Aku begitu mengejar kekuatan. Pikiranku hanyalah kekuatan.

Untuk apa?

Untuk melindungi Rosea?

Tidak.

Aku rasa aku telah melupakan janji itu.

Aku begitu haus akan kekuatan karena aku selalu dicela.

Lemah. Cupu. Tak berdaya. Seakan-akan mereka tidak pernah melewati masa seperti aku ini.

Aku melupakan wanita manis dengan rambut hijaunya yang dikepang dengan mata kuningnya yang lembut. Aku melupakan janjiku bahwa aku akan terus melindunginya.

Dan hari ini membuktikan segalanya.

Bahwa aku gagal melindunginya.

Kini, ia mati dalam pelukanku. Di dalam kota yang kami cintai. Ia meninggal dalam tenang, kurasa.

Perang berakhir di pagi buta. Orang-orang mengumpulkan mayat-mayat yang berdarah darah dan beberapa yang tidak jelas bentuknya. Aku menghampiri kuburan Rosea. Aku menaruh sekuntum bunga mawar merah di atas kuburan wanita itu. Ini adalah satu-satunya penghormatan terakhir yang bisa kulakukan padanya. Dengan mantap aku menghapus air mataku dan membantu memulihkan kota Prontera.

- 1 tahun kemudian -

Kota Prontera sudah berdiri kembali. Ia telah memulai pekerjaannya sebagai tempat nongkrong orang-orang dan sebagai ibu kota dunia manusia, Rune Midgard.

Tempat ini, berdiri dengan megah. Sama seperti dulu. Aku memasuki markas asosiasi Defender. Ya, aku telah memilih jalanku sendiri.

Beberapa tes aku lalui. Dengan mudah. Karena Job Levelku yang 50 ini.

Dalam sekejap, pakaian Swordmanku yang lusuh tergantikan oleh tameng-tameng, kain putih bersih dan sepatu berwarna perak yang amat bagus. Aku sangat bersyukur, dan hendak merayakannya.

Dengan batu nisan bertuliskan Rosea Wilrekeschitia.

Dengan gagah dan percaya diri, aku berjalan menuju ke pemakaman. Kuburan Rosea berada di sebelah utara, kedua dari ujung kiri. Itu dia.

Aku duduk dan mengusap namanya. Nama yang cantik. Seperti pemiliknya.

Aku menaburkan kelopak bunga mawar merah dan tersenyum.

Di hatiku, tidak ada penyesalan.

Kenapa? Karena…