Datang lagi! Maaf jika kami langsung updet beberapa fic hari ini dan membuat spam di sini..#bungkuk mian

Kali ini bukan oneshot tapi multichip. Fic yang akan menampilkan anak-anak FnC. Baik itu FT Island atau CN Blue. Dan ada beberapa OC sebagai pembantu. Tapi tenang.. Tak akan ada OC yang di pairkan dengan FnC Boys. Ah, ya.. satu lagi. Ini adalah fic AU(Alternatif Univers). Bersetting di sebuah kerajaan besar bernama Hwanin.

Yosh! Selamat membaca..

The Tales of Rebellion

A FnC Fanfiction

By

Shinhwan

XOXOXO

Dini hari. Udara malam yang dingin masih menyelimuti seluruh wilayah kerajaan Hwanin. Banyak yang masih terlelap dalam tidur mereka. Hanya para prajurit penjaga yang masih terlihat.

Sesosok bayangan tergopoh-gopoh berjalan menuju ke arah kediaman Selir. Langkahnya panjang-panjang. Seperti ingin melewati jarak berkilo-kilo dengan hanya sekali melangkah. Sosok itu berhenti setelah dua orang penjaga menahannya.

"Izinkan aku masuk, aku membawa berita penting untuk Selir Han." Sosok itu, yang ternyata seorang dayang paruh baya berbicara pada penjaga kediaman Selir Han, istri kedua Yang Mulia Raja Lee Joowon. Penguasa kerajaan Hwanin.

Kedua penjaga menatap curiga ke arah dayang yang masih berusaha mengatur nafasnya. Dari pakaian yang ia kenakan sudah dapat diketahui kalau ia termasuk salah satu dayang senior yang bertugas khusus melayani permaisuri dan selir.

"Kau harus menunggu sampai pagi, Selir Han masih istritahat."

"Tapi!"

"Biarkan dia masuk." Suara tegas Selir Han dari balik pintu membuat kedua penjaga itu menunduk patuh kemudian membuka pintu, mempersilakan tamu wanita itu masuk dan kembali menutup pintunya. Rahasia adalah segalanya di istana. Dayang dan penjaga memang sengaja dilatih menjadi 'dinding' bisu. Meskipun mereka dapat mendengar, tapi tidak ada yang boleh keluar dari istana sepatah katapun.

"Ada apa? Kenapa kau berani menggangu istirahatku." Selir cantik kesayangan Yang Mulia memasang muka tidak suka.

"Maaf Yang Mulia, tapi saya membawa berita yang sangat penting dan gawat." Dayang senior itu terlihat begitu takut. Keringat dingin mengalir dari keningnya.

"Cepat katakan."

"Permaisuri baru saja melahirkan. Ternyata prediksi dokter istana salah. Anak yang dikandung Permaisuri bukan bayi perempuan tapi laki-laki."

Kilat kemarahan jelas terpancar dari mata indah milik Selir Han. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat menahan kemurkaannya. Betapa berita ini begitu menyakitkan. Semua rencana yang ia susun matang terancam gagal. Namun ia telah berjanji pada dirinya sendiri, ia tidak akan membiarkan apapun menggagalkan rencananya. Rencana untuk masa depan putranya. Ya, ia tidak boleh meyerah sekarang. Tidak.

"Dayang Jeon, antar aku ke kediaman permaisuri sekarang."

Wanita pelayan itu segera menegakkan kepalanya dan berkata dengan mantap, "Baik, Yang Mulia."

XOXOXO

"Ini tidak bisa dibiarkan, Yang Mulia.. Permaisuri yang melahirkan bayi laki-laki dan bayi itu mati sebelum genap berusia satu tahun adalah pertanda buruk bagi kelangsungan kerajaan. Itu sudah tercatat jelas dalam buku ramalan kerajaan."

Siang belum sepenuhnya datang, tapi suasana di ruang pertemuan kerajaan telah ramai dan begitu ribut. Pertemuan kerajaan dadakan yang dihadiri seluruh menteri dan penasihat kerajaan menjadi begitu riuh diisi dengan perdebatan panjang.

Semalam, Permaisuri Park Yeoreoum telah melahirkan seorang bayi laki-laki, namun bayi tersebut mati bahkan sebelum Raja sempat melihatnya. Kabar ini langsung tersiar dan membuat riuh seluruh penghuni istana.

"Tidak ada jalan lain, Yang Mulia. Untuk mencegah kemalangan istana, Permaisuri harus diasingkan ke pulau budak."

Dan keputusan beratpun harus diambil.

XOXOXO

Dayang Jeon memang seorang dayang senior yang telah biasa mengabdikan diri pada istana dengan mematuhi semua perintah yang diberikan. Selama tiga puluh tahun pengabdiannya, ia belum pernah sekalipun melanggar apa yang disuruh. Apapun itu, ia akan melaksanakan dengan patuh dan tunduk. Bahkan untuk menebas lehernya sendiri. Namun kali ini, perintah yang ia dapatkan dari Selir Han kali ini sangat sulit ia laksanakan. Ini akan mudah jika ia tidak memiliki perasaan sebagai wanita biasa. Perasaan keibuan yang mencegahnya membunuh bayi merah yang bahkanbekas tali pusarnya saja belum kering.

Sebenarnya ia sudah menduga hal yang akan dilakukan Selir Han ketika Selir Han memintanya untuk menemani ke kediaman permaisuri. Tetapi ia tidak menyangka ia sendiri yang harus menghabisi nyawa tak berdosa dengan tangannya. Sungguh, sesaat setelah ia melihat bayi laki-laki mungil yang begitu cantik itu ia sudah tidak sanggup menyentuhnya seujung jari pun. Maka ketika perawat istana ingin memeriksa keadaan bayi itu, ia pura-pura menangis sambil memeluk bayi malang tersebut dan berkata kalau calon Putra Mahkota telah tiada. Tentu saja dengan sandiwara lihai yang membuat semua perawat bahkan dokter istana percaya tanpa memeriksa keadaan bayi itu terlebih dahulu.

Kepanikan yang ditimbulkan dari kabar itu langsung ia gunakan untuk membawa lari bayi tersebut keluar istana sejauh-jauhnya. Entah apa yang membuatnya begitu nekat berusaha menyelamatkan bayi itu, ia sendiri heran. Tetapi ia yakin, sesuatu yang besar akan terjadi setelah ini. Maka ketika ia berhenti untuk beristirahat dan menatap langit yang penuh bintang, sebuah nama terlintas di kepalanya. Lee Hongki.

XOXOXO

18 tahun kemudian

Istana utama kerajaan Hwanin yang terletak tepat di tengah-tengah ibu kota kerajaan merupakan pusat dari semua kegiatan pemerintahan dan militer. Istana yang merupakan bangunan termegah diantara bangunan lain ini menjadi simbol yang menggambarkan kepada para tamu Negara dan pendatang betapa makmurnya negeri itu.

Sebuah lapangan luas tempat prajurit khusus kerajaan atau Pyonsa berlatih berada tepat di depan istana. Alasan kenapa tempat berlatih prajurit berada di halaman istana utama adalah untuk memudahkan akses para Pyonsa untuk melindungi Raja dan pejabat negara apabila ada serangan tiba-tiba. Selain itu, keindahan seni beladiri, seni bermainn pedang, dan seni memanah yang ditunjukkan para Pyonsa dapat menjadi suatu hiburan unik tersendiri.

Choi Jonghun, putra perdana menteri Choi yang merupakan salah satu komandan Pyonsa tengah memandang dengan tatapan kosong ke arah Pyonsa bawahannya yang sedang berlatih beladiri. Sesekali ia menarik nafas panjang dan mengeluarkannya dengan perlahan.

Jonghun masih sangat muda. Tetapi dengan keahlian dan bakatnya yang luar biasa ia bisa terpilih menjadi komandan Pyonsa dalam usia 18 tahun.

"Hyung-nim!"

Sebuah tepukan di bahu dan sapaan keras menyadarkan kembali pikiran Jonghun ke alam nyata.

"Minhwan, kau tak perlu mengagetkanku begitu." Jonghun mengelus dadanya sambil menatap Minhwan dengan pandangan tidak suka.

"Aku sudah memanggilmu, tapi kau tetap saja melamun. Memang ada apa? Apa yang sedang Hyung pikirkan?"

Jonghun menepuk kepala adik sepupunya itu dua kali. Ia tersenyum geli melihat bagaimana pemuda yang berusia 2 tahun lebih muda darinya itu menggembungkan pipinya kesal. Ia sudah sangat mengenal Minhwan. Mereka dibesarkan bersama sejak kecil. Ia tahu betul apa yang disukai dan tidak disukai sepupunya itu. Termasuk seberapa besar ketakutannya pada darah dan betapa ia sangat terpaksa menjadi Pyonsa demi memuaskan keinginan ayahnya saja.

"Sudah, jangan pikirkan. Kau berlatih lagi saja sana. Aku harus menghadiri pertemuan khusus dengan pangeran sebentar lagi." dengan seulas senyum dan beberapa tepukan lembut di pundak Minhwan, Komandan muda itu pun berlalu meninggalkan lapangan berlatih.

XOXOXO

"Kita harus mulai meningkatkan kekuatan militer negara kita. Tekanan dari tiga kerajaan semakin kuat. Jika kita tidak segera bersiap-siap, kita bisa kehilangan negara ini."

Putra Mahkota Lee Junghyun mengangguk mencoba mempertimbangkan saran yang diberikan oleh salah satu komandan senior Pyonsa. Sebagai putra mahkota, urusan militer menjadi salah satu tanggung jawabnya. Karena itu, posisi pemimpin tertinggi Pyonsa diberikan pada putra mahkota.

"Tetapi, jika kita tiba-tiba memperkuat militer secara besar-besaran. Apakah tidak akan menimbulkan kecurigaan dari negara tetangga? Mereka akan mengira negara kita mencoba untuk menyerang. Dan hal itu bukankah malah akan menyulut peperangan?" Pangeran Lee Jungshin angkat bicara. Ia setahun lebih muda dari putra mahkota. Perawakannya tinggi dan gagah. Ia adalah putra raja dari selir ke-2-nya, Selir Yoonhee. Pangeran Jungshin termasuk pendiam, namun ia sangat cakap dan berbakat bila sudah menyangkut masalah pemerintahan dan politik.

"Hamba setuju dengan apa yang dikatakan Yang Mulia Pangeran, jika kita terlalu tergesa-gesa dan gegabah mengambil keputusan. Kita bisa berakhir tragis."

"Komandan Choi! Kita tidak bisa berpangku-tangan dan menunggu begitu saja negara ini diserang tanpa melakukan sesuatu. Harusnya kau tahu itu!"

"Saya mengerti, tapi.." belum sempat Jonghun melanjutkan perkataannya, pintu ruang pertemuan terbuka dengan suara yang cukup untuk membuat semua yang berada di dalam ruangan tersentak karena terkejut.

"Pangeran Jaejin!"

Pemuda yang disebut namanya sama sekali tidak menyahut. Ia terus berjalan santai ke dalam ruangan dan duduk di samping Pangeran Jungshin tanpa mempedulikan tatapan tajam dari beberapa pasang mata yang ditujukan padanya.

"Kenapa kalian malah diam? Ayo, lanjutkan saja pembahasannya. Tidak perlu sungkan."

"Pangeran Jaejin, bagaimana bisa kau kemari?"

Pangeran termuda itu menatap kakak sulungnya dan menjawab, "aku juga pangeran, jadi aku berhak menghadiri pertemuan khusus Pyonsa meskipun tidak diundang, bukan?"

"Pangeran! Ini bukan main-main."

"Aku juga tidak pernah menganggap ini main-main. Jungshin boleh mengikuti pertemuan ini. Tapi kenapa aku tidak? Aku bukan seorang putri yang hanya boleh menulis sajak dan membaca saja. Aku ini PANGERAN!"

Putra mahkota hanya bisa menghela nafas menyaksikan tingkah laku adik termudanya itu.

XOXOXO

"Apa Pangeran Jaejin masih berada di perpustakaan kerajaan?" seorang pemuda tampan dengan senyum yang menawan bertanya kepada salah satu dayang pengasuh pangeran.

"Umm.. Yang Mulia.. beliau masih-"

"Dia pergi ke pertemuan Pyonsa lagi, kan? Haah.. anak itu.." pemuda itu menggelengkan kepalanya. Dayang-dayang terlihat gelisah. Mereka takut bangsawan muda di depan mereka ini akan melaporkan kelalaian mereka yang membiarkan tindakan nekat Pangeran Jaejin pada Raja. Sedikit mereka tahu jika sarjana muda yang telah menjadi sahabat dekat para Pangeran sejak kecil di depan mereka itu sama sekali tidak akan pernah melakukan hal kekanakan seperti itu.

"Tuan muda Wonbin, kami.."

"Kalian jangan khawatir, aku tidak akan bicara apa-apa soal ini. Mulutku tertutup." Dan dengan sebuah senyuman lembut, sarjana muda yang terkenal cerdas dan diharapkan nantinya dapat menjadi penasihat raja itupun segera beranjak pergi.

XOXOXO

Negara Hwanin memang bukan negara dengan wilayah yang besar, tetapi negara ini memiliki banyak pulau taklukan yang letaknya cukup jauh dari ibu kota kerajaan. Di pulau-pulau terpencil inilah penduduk Hwanin yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan, petani dan pedagang hidup dengan damai. Misalnya saja pulau Mahan yang terletak di semenanjung Manchuria. Para pejabat pemerintah memang jarang memantau perkembangan daerah pulau, tetapi para penduduk sudah lebih dari mampu untuk menghidupi diri mereka sendiri.

"Ayolah Hyung.. Bantu aku sekali ini saja. Aku berjanji akan mencucikan bajumu selamanya dan membantumu mencari kayu di hutan kapanpun kau mau. Tapi tolong bantu aku.."

"Aku tidak mau. Ini bukan pertama kalinya kau meminjam barang mahal dan menghilangkannya. Aku tidak mau tahu. Kau bilang saja sendiri pada tuan Yang."

Pemuda berparas cantik yang terlihat lebih tua diantara keduanya menjawab dengan nada kesal. Ia menyilangkan kedua tangan kecilnya di depan dada. Mata kecoklatan yang biasanya selalu berbinar kini menatap tajam pemuda yang tengah bersimpuh di depannya, masih memohon.

"Hongki-hyung! Hanya kau satu-satunya harapanku. Tuan Yang menyukaimu, jika kau bilang bahwa kau yang telah menghilangkan pisau emas itu ia tidak akan marah. Aku mohon selamatkan aku sekali ini saja. Aku belum ingin mati." Pemuda yang memiliki nama Song Seunghyun itu berkata dengan mata berkaca-kaca dan wajah memelas. Hal itu sukses membuat hati Hongki luluh untuk kesekian-kalinya.

"Baik, tapi ini untuk yang terakhir."

Wajah penuh penderitaan yang dipasang Seunghyun langsung berubah seketika. Ia segera berdiri dan memeluk Hongki erat.

"Hyung! Gomawo!"

Hongki hanya bisa berharap Tuan Yang lebih menyukainya daripada pisau emas mahal itu. Lehernya benar-benar terancam kali ini. Sungguh, betapa ia sangat memerlukan Hyung-nya disaat-saat seperti ini.

XOXOXO

Malam menyelimuti istana, seluruh aktivitas telah dihentikan beberapa saat yang lalu. Penghuni istana kebanyakan telah terlelap tidur. Para Pyonsa telah kembali ke barak masing-masing. Hanya beberapa penjaga saja yang terlihat masih berkeliling memeriksa keadaan. Barak untuk Pyonsa terletak disebelah barat dan timur istana. Pada setiap barak, terdapat beberapa ruangan yang memisahkan kamar tidur satu kompi pasukan dengan kompi yang lain. Mereka tidak memakai tempat tidur, hanya dipan panjang yang dilengkapi selimut dan bantal sesuai jumlah Pyonsa yang menempati.

"Yonghwa-hyung, kau belum tidur?" seorang Minhwan bertanya pada teman sekompinya yang masih terjaga. Ia duduk di depan meja kecil yang di atasnya menyala sebuah lilin. Di tangannya terdapat selembar kertas yang sudah terlihat lusuh.

"Aku masih belum mengantuk." Jawaban Yonghwa membuat Pyonsa muda itu bangun.

"Kau terus saja membaca surat itu berkali-kali, apa kau tidak bosan?"

"Kalau nanti surat yang baru sudah datang, aku pasti akan menyimpan surat ini."

"Dan membaca surat yang baru berulang-ulang sampai surat yang lebih baru lagi datang. Iyakan?" Minhwan menebak dengan yakin. Ia sudah hafal betul dengan kebiasaan pemuda yang berusia lebih tua tiga tahun darinya itu. Yonghwa memang berbeda dengan para Pyonsa yang lain. Jika kebanyakan para Pyonsa berasal dari keluarga bangsawan atau setidaknya merupakan putra dari mantan Pyonsa dan tentara, tetapi Yonghwa hanya merupakan anak desa terpencil dengan cita-cita kuat untuk bisa menjadi Pyonsa. Anak desa ini, sembilan tahun yang lalu dengan keberanian yang luar biasa menyeruak ke depan barisan Pyonsa yang tengah mengawal rombongan kerajaan. Ia duduk bersimpuh dan berteriak lantang kepada Raja agar mengizinkannya mengikuti pelatihan Pyonsa. Cerita keberanian anak desa itu berhasil menjadi bahan percakapan seluruh negeri sampai berbulan-bulan. Karena itu pula banyak Pyonsa yang menghormati dan mengidolakannya sampai sekarang. Begitu juga Minhwan.

"Aku jadi sering berpikir kalau surat itu bukan dari adikmu tapi dari kekasihmu. Kau terlihat seperti orang kasmaran kalau sedang membaca surat itu."

Yonghwa terseyum, "Begitukah? Um.. mungkin juga."

"Hah?"

Tawa yang cukup keras terdengar memenuhi seluruh ruangan.

XOXOXO

Jonghun terbangun oleh ketukan keras di pintu kamarnya. Ia menggosok matanya dan perlahan bangkit dari tempat tidur untuk melihat siapa yang membangunkannya dini hari begini.

"Komandan Choi, maaf mengganggu istirahat anda malam-malam begini. Tapi saya mendapat pesan penting dari Komandan Kim untuk membawa anda menemuinya sekarang."

Jonghun mencium sesuatu di balik undangan Komandan Kim, tetapi ia tidak tahu pasti apa itu. Dan satu-satunya cara untuk mengetahui adalah dengan memenuhi panggilan Komandan Kim.

"Tunggu di sini, aku akan berganti pakaian sebentar."

XOXOXO

Tempat pertemuan yang dipilih Komandan Kim terletak di sisi selatan istana. Tempat itu cukup tertutup karena dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang telah berumur puluhan tahun. Dengan berbekal sebuah obor untuk penerangan dan pedang untuk berjaga-jaga, Jonghun menanti kedantangan Komandan Kim dengan sedikit was-was. Ada apa ini sebenarnya.

"Maaf membuatmu menunggu lama." Komandan Kim yang baru datang mematikan obornya dan mendekati Jonghun, "Kau pasti menduga-duga kenapa aku memanggilmu ke tempat ini malam-malam." Komandan Kim melirik tangan Jonghun yang sudah berada di atas gagang pedang dan siap menghunusnya kapan saja.

Jonghun yang menyadari arah tatapan Komandan senior itu segera menurunkan tangannya, "Saya hanya.."

"Sudahlah, aku tidak mau berpanjang-panjang." Komandan Kim berhenti sejenak untuk mengambil nafas. "Aku punya tugas khusus untukmu. Ini sangat rahasia dan hanya kau, aku dan Putra mahkota yang mengetahui ini."

Jonghun menegakkan badannya dan menahan nafas menanti perkataan Komandan Kim selanjutnya.

"Ada yang mencium pergerakan pemberontak di pulau Mahan. Aku curiga mereka dipelopori oleh salah satu bangsawan yang ingin menggulingkan pemerintahan. Dari informasi yang aku dapat, mereka mengumpulkan pemuda-pemuda desa dan melatih mereka berperang di sebuah tempat terpencil di pulau Mahan. Dan tugasmu adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang pergerakan ini. Tapi ingat. Jangan sampai ada yang tahu tentang masalah ini. Bahkan keluargamu sekalipun. Kau mengerti!"

"Ya!"

"Bagus, nanti pagi-pagi sekali kau sudah harus berangkat ke pulau Mahan. Kau tidak usah memikirkan alasan untuk menutupi kepergianmu. Aku sendiri yang akan mengaturnya."

"Baik Komandan Kim. Terima kasih."

XOXOXO

Kerajaan Hwanin memiliki banyak bangunan istana yang didirikan berdekatan satu sama lain. Istana utama di kelilingi oleh tiga istana, yaitu istana pangeran di sebelah Barat, istana putri di sebelah Timur dan istana permaisuri di sebelah utara. Sedangkan untuk istana kediaman selir berada tepat di belakang istana kediaman permaisuri. Parit-parit lebar dibuat mengelilingi istana. Karena itu dibuatlah sebuah jembatan untuk menghubungkan istana satu dengan yang lainnya.

Dapur istana terletak tidak jauh dari keempat istana utama. Ini untuk memudahkan para dayang dalam menghidangkan makanan untuk anggota kerajaan dan tamu-tamunya. Bangunan yang bersebelahan dengan dapur istana adalah perpustakaan istana dan ruang penyimpanan dokumen negara. Di sinilah tempat para putra-putri kerajaan belajar dan menghabiskan waktu.

"Mana pedang yang kau janjikan itu?"

"Ya?" Wonbin mengalihkan pandangannya dari perkamen berisi tata hukum negara ke arah Pangeran Jaejin. "Maaf, kau tadi bilang apa?" bangsawan cakap itu bertanya mencoba menegaskan apa yang tadi ia dengar.

"Aku tanya mana pedang yang kau janjikan padaku dulu. Kau bilang akan memberiku pedang buatan pandai besi terkenal jika aku bisa mengikuti pertemuan khusus Pyonsa."

"Memang kau mengikutinya?" Wonbin menaikkan sebelah alisnya sedikit mengejek, "Kau bukan mengikuti tapi merusak pertemuan Pyonsa. Pangeran mana yang mendobrak pintu dan merangsek masuk pertemuan penting seperti orang tak beradab selain kau."

"Bukan salahku. Mereka yang tidak pernah mengijinkanku ikut."

"Itu karena kau masih terlalu muda."

"Memang lebih tua berapa tahun Jungshin dariku?" Pangeran Jaejin menantang. Rasa kesalnya sudah mencapai ubun-ubun. Memang apa bedanya ia dengan Jungshin yang hanya lebih tua tiga bulan darinya. Kenapa pangeran putra Selir Yoonhee itu boleh mengikuti pertemuan Pyonsa dan dirinya tidak. Ini sungguh tidak adil!

Wonbin menggulung perkamen yang ia pegang dan menaruhnya di atas meja. Bangsawan muda yang sudah sejak kecil menjadi sahabat karib para pangeran itu menatap lurus pangeran termuda yang duduk di depannya sekarang. "Kalau kau sudah bisa menyebut dirimu dewasa, harusnya kau tahu alasan kenapa kau tidak diperbolehkan mengikuti pertemuan Pyonsa."

Wonbin langsung meneruskan perkataannya setelah melihat Pangeran Jaejin bersiap membuka mulut untuk mengeluarkan pembelaan, "Kau tahu, kan? Raja hanya memiliki tiga orang putra untuk meneruskan tahta." Pangeran Jaejin mengangguk dan mulai duduk kembali dengan tenang menanti perkataan Wonbin selanjutnya.

"Sebagai pemimpin tertinggi Pyonsa, seorang putra mahkota dan pangeran juga harus siap maju langsung ke medan pertempuran dan menghadapi kemungkinan terburuk. Jika kau juga ikut dalam masalah militer, siapa yang akan memegang tahta jika sesuatu yang buruk menimpa Putra mahkota dan Pangeran Jungshin?"

"Kau mau bilang kalau aku ini pemain cadangan, begitu?"

"Bagaimana kalau aku bilang, kau adalah kesayangan Yang Mulia."

"Huh? Apa?" Pangeran muda bertanya sambil menunjukkan wajah heran dan tidak percaya.

Wonbin hanya tersenyum dan kembali membuka gulungan perkamen yang sempat ia lupakan tadi. Sepertinya memang ia harus sabar menjadi teman bermain pangeran muda satu ini.

XOXOXO

Suasana di lapangan berlatih Pyonsa sudah sangat ramai. Semua battalion pasukan telah berkumpul untuk melakukan latihan harian. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok besar. Kelompok pertama berlatih beladiri, kelompok kedua berlatih seni pedang, dan kelompok ketiga berlatih memanah. Mereka akan berlatih secara bergilir sehingga semua mendapat porsi latihan yang sama. Begitu juga dengan kompi pasukan Pyonsa yang dipimpin oleh Jonghun, mereka tetap berlatih dengan semangat meskipun pemimpin mereka tidak terlihat sejak pagi.

"Hyung, apa kau tahu dimana Hyung-nim?" Minhwan bertanya pada Jung Yonghwa di sela latihan memanahnya. Pyonsa muda itu sejak pagi sudah gelisah mencari keberadaan sepupu sekaligus komandannya yang tiba-tiba menghilang begitu saja.

"Mungkin komandan sedang bertugas di luar istana. tidak mungkin ia melewatkan sesi latihan begitu saja." Pyonsa yang menjadi idola itu menyahut kemudian melepaskan anak panahnya menuju sasaran.

"Tapi dia tidak biasanya pergi begitu saja tanpa berpamitan dulu denganku."

Yonghwa menurunkan kembali busur panah yang tadinya sudah siap ia tarik. Pandangannya dialihkan dari sasaran panah ke dongsaeng di sampingnya. "Mungkin ini tugas yang sangat penting dan ia harus buru-buru sehingga tidak sempat berpamitan denganmu. Sudahlah, jangan dipikirkan." Yonghwa mengambil satu anak panah dan memberikannya pada Minhwan. "Ayo bertanding, kalau kau bisa mengalahkanku dalam adu panah. Aku akan memberimu jatah ayam gorengku."

"Benarkah?" wajah Minhwan langsung penuh semangat. Ia merebut anak panah dari Yonghwa dan langsung mengambil ancang-ancang untuk memanah. Siapa yang mau melewatkan dobel ayam goreng buatan dayang istana yang lezat itu. Jelas orang itu bukan Choi Minhwan.

Minhwan benar-benar terlarut dalam pertandingan kecilnya dengan Yonghwa hingga ia tidak menyadari sepasang mata mengamatinya sejak tadi. Pemilik mata itu adalah seorang bangsawan muda dengan perawakan tinggi dan wajah yang tampan. Ia adalah putra dari bangsawan Kang yang mempunyai kedudukan tinggi di kerajaan. Kang Minhyuk, bangsawan muda yang terkenal bukan hanya karena keindahan paras dan kekayaanya, tapi juga kecakapan dan kemampuannya dalam berkuda dan bermain pedang.

"Tuan muda Kang, anda sudah datang?" panggilan kasim Nam mengalihkan pandangan Minhyuk dari sosok Minhwan.

"Ah, iya. Aku baru saja tiba." Minhyuk menjawab sambil tersenyum, membuat Kasim yang telah melayani Pangeran Jungshin sejak kecil itu ikut tersenyum tulus.

"Pangeran Jungshin sudah menunggu anda di ruangan beliau. Silakan ikuti saya.."

Minhyuk mengangguk dan berjalan mengikuti Sang kasim. Sebelum itu, ia sempat melempar tatapan kembali ke arah lapangan berlatih. Kini obyek matanya tengah duduk melepas lelah. Ia tersenyum kemudian mempercepat langkah kakinya mengejar Kasim Nam.

'Choi Minhwan..'

XOXOXO

"Hyung, tunggu aku. Jangan terlalu cepat jalannya. Kayu ini berat, tau!" Seunghyun berjalan cepat dengan sedikit tertatih-tatih di belakang Hongki. Di punggungnya terdapat tumpukan beberapa ikat ranting kayu yang telah ia kumpulkan dari hutan.

"Kau sendiri yang berjanji akan membantuku mengumpulkan kayu kapanpun aku mau. Jadi jangan protes!" Hongki menyahut, masih berjalan mendahului Seunghyun.

Seunghyun memonyongkan bibirnya kesal. Ia membenarkan letak beban di punggungnya dan berlari kecil sampai bisa menyamai langkah kaki Hongki.

"Yah, Hyung! Kau sudah dengar belum?" Seunghyun memasang wajah misteriusnya. Membuat Hongki tertarik dan sedikit menurunkan tempo jalannya.

"Apa?"

Melihat ekspresi penasaran Hyung-nya, Seunghyun meneruskan dengan semangat. "Aku dengar dari beberapa orang di pasar, beberapa bulan terakhir ini banyak pemuda desa yang tiba-tiba menghilang!"

"Hah? Bagaimana bisa?"

"Makanya dengarkan aku sampai selesai." Hongki hanya menggembungkan pipi dan kembali serius menanti kelanjutan cerita Seunghyun.

"Orang-orang percaya kalau misteri di balik menghilangnya pemuda-pemuda itu adalah karena siluman penunggu pulau ini meminta tumbal. Itu juga yang menyebabkan sekarang ini nelayan sulit sekali mendapat ikan." Seunghyun mendekatkan bibirkan ke telinga Hongki dan berbisik, "Penunggu pulau ini sedang marah!"

Hongki mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali mencoba mencerna informasi yang baru ia dapat. Sesaat kemudian ia memukul kepala Seunghyun dengan cukup keras. "Yah! Jangan bicara hal-hal yang mungkin begitu! Kau pikir aku percaya apa?"

SRAK!

"Huh? Suara apa itu?"

Seunghyun langsung melompat dan memeluk Hongki ketakutan. Tidak ia pedulikan lagi gendongan kayunya yang telah jatuh berserakan di tanah.

"Hyu-Hyung.. suara apa tadi? Ja..jangan-jangan-!"

"Ja-jangan menakutiku! Mu-mungkin hanya kelinci atau rusa." Hongki juga tidak bisa menyembunyikan rasa takut. Tangannya sudah basah oleh keringat dingin yang keluar karena adrenalinnya terpacu. Beruntung mereka berada di balik pohon yang cukup besar, sehingga tubuh mereka tertutupi.

SRAK! SRAK! SRAK!

Suara-suara itu semakin mendekat. Dan dalam jumlah yang sangat banyak.

XOXOXO

Hongki memang menutup rapat-rapat matanya ketika suara-suara itu bergerak melewati pohon besar tempat ia dan Seunghyun bersembunyi. Tetapi tidak dengan pendengarannya. Ia yakin bukan siluman atau pun hewan yang lewat barusan. Lalu apa itu tadi? Manusia, kah?

"Hyung!" Seunghyung yang berjongkok di depan Hongki sambil masih menutup mata dan telinganya berbisik lirih. "Apa mereka sudah pergi?"

Mendengar pertanyaan Seunghyun, Hongki perlahan membuka mata. Ia mengerjap-ngerjapkan sebentar kedua matanya yang mengabur karena ditutup terlalu kuat. Hongki menangkap bayangan Seunghyun yang duduk meringkuk dan memegangi ujung bajunya.

"Hyung.."

"Kita harus cepat pergi dari sini." Kemudian dengan itu, mereka segera bergegas mengumpulkan kembali kayu-kayu mereka yang terjatuh dan segera keluar dari tempat tersebut.

'Ini pertanda buruk.'

XOXOXO

"Kau sudah mendapat kabar terbaru dari pulau Mahan?"

Minhyuk memandang ayahnya. Bangsawan berusia lima puluh tahun yang wajahnya masih memperlihatkan kegagahan dan ketampanan masa muda. Ia menuangkan teh ke dalam cangkir kecil dan meminumnya perlahan. Minhyuk bisa mencium aroma teh yang khas menguar. Memberikan sensasi yang bisa membantu mengendurkan saraf-saraf tegang.

"Sepertinya semua berjalan sesuai rencana. Tidak lama lagi strategi ayah sudah bisa dilaksanakan."

"Hm.. bagus.."

"Ayah." Minhyuk menahan nafas, ia diam-diam menatap ayahnya yang kini tengah melempar pandangan penuh intimidasi ke arahnya. Ia sudah terbiasa mendapat tatapan seperti itu sejak kecil, tetapi entah kenapa sampai sekarangpun ia masih belum bisa melawan mata tajam penuh ketegasan itu.

"Kenapa? Ada yang ingin kau bicarakan dengan ayah?" bahkan nada suara yang digunakanpun penuh dengan keangkuhan. Lembut memang, tetapi dibelakang itu semua tersimpan racun mematikan yang siap kapan saja digunakan untuk menghabisi musuh. Inilah yang membuat Minhyuk selalu gagal membebaskan dirinya. Membebaskan jiwanya dari belenggu Sang ayah. Seberapa kalipun ia mencoba. Ck, betapa orang ini begitu menakutkan.

"Aku.. aku ingin tinggal beberapa minggu di ibukota sebelum kembali ke pulau Mahan. Mungkin berkuda berkeliling sebentar. Aku ingin beristirahat sejenak."

Minhyuk kemudian berpamitan setelah mendapat senyuman dan anggukan kecil dari Sang ayah.

XOXOXO

Suara desingan yang berasal dari gesekan pedang dengan udara memenuhi taman kecil di samping istana pangeran. Malam telah larut, namun pemuda ini malah baru memulai latihan rahasianya. Wonbin. Bangsawan muda yang terkenal seantero negeri karena kepandaian dan kecakapannya dalam urusan hukum dan pemerintahan. Bukan hanya itu, ia juga terkenal akan bakat seni yang ia miliki. Wonbin bisa memainkan berbagai jenis alat musik dan dikaruniai suara yang indah. Itulah kenapa Wonbin disebut-sebut sebagai calon penasehat kerajaan di masa yang akan datang.

Tidak banyak yang tahu dibalik semua kesempurnaan yang terlihat, bangsawan muda itu menyimpan impian terpendam yang mustahil untuk terwujud. Impian yang langsung kandas bahkan semenjak ia ditakdirkan lahir di dalam keluarga Oh, bangsawan penasehat utama kerajaan.

Wonbin terus mengayunkan pedangnya dalam suatu kesatuan gerakan yang indah. Peluh sudah membuat baju tipisnya melekat ke badan. Tubuhnya sudah payah, namun kepuasan yang ia dapat telah menutupi semua itu. Betapa ia begitu berharap bisa benar-benar mengayunkan pedang di medan perang pada musuh. Menaiki kuda yang gagah, membawa panji-panji penuh kebanggaan dan berjalan menggelilingi kota dengan dada membusung akan kemenangan perang. Yang paling buruk dari semua itu, ia hanya bisa bermimpi.

"Ehem!"

Suara dehaman yang disengaja itu sontak membuat Wonbin menghentikan kegiatannya. Pedang yang ia pegang jatuh karena tangan yang memegangnya gemetar, terkejut. Wonbin membalikkan badan dan menemukan seorang pemuda dengan pakaian Pyonsa berdiri santai masih memperhatikannya dengan seksama. Cukup lama mereka berdua terdiam tanpa ada yang mau angkat bicara. Wonbin tidak mau mengambil resiko dengan membuka mulutnya. Dan Pyonsa di depannya ini, entah.. ia tidak tahu apa yang tengah dipikirkannya.

Jengah dengan suasana canggung itu, Sang Pyonsa mengambil langkah mendekat perlahan-lahan. Gerakannya itu membuat Wonbin otomatis mundur beberapa langkah ke belakang. Pyonsa itu berhenti tepat di depan pedang Wonbin yang tergeletak begitu saja.

"Seorang pemain pedang itu..," si Pyonsa mulai bicara. Ia membungkuk dan duduk untuk mengambil pedang, "tidak boleh menjatuhkan pedangnya apapun yang terjadi."

"Ap-!"

"Pedang bukan lagi senjata, tapi juga bagian dari nyawa. Itulah yang harus diyakini oleh setiap pemain pedang."

Wonbin hanya bisa menatap bingung sekaligus takjub pada pemuda yang kini tersenyum di depannya. Ia bukan belum pernah mendengar kata-kata filosofis yang diucapkan pemuda itu sebelumnya. Tetapi entah kenapa ketika yang mengucapkan rangkaian kata itu adalah Pyonsa di hadapannya ini, makna yang terkandung di kalimat itu menjadi begitu dalam dan menyentuh. Padahal ia bahkan belum pernah mengenal Pyonsa satu ini.

"Dari pakaian yang kau kenakan, kau pasti putra salah satu bangsawan kerajaan," Pyonsa itu mengembalikan pedang Wonbin pada pemiliknya yang masih belum bisa kembali menguasai diri. "Aku tidak tahu kenapa orang sepertimu mau susah-susah berlatih pedang malam-malam begini. Tapi apapun itu alasannya, itu pasti alasan yang kuat."

Mereka kembali diam untuk beberapa saat. Kemudian Wonbin mencoba berbicara, "Aku Oh Wonbin." Bangsawan muda itu tersenyum sambil menawarkan tangannya untuk berkenalan.

"Aku Yonghwa. Jung Yonghwa."

XOXOXO

Jonghun menghirup udara pantai yang masih segar di pagi hari. Kapal yang membawanya baru saja mendarat beberapa saat yang lalu. Ia mencoba melemaskan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Tiga hari tiga malam perjalanan laut benar-benar melelahkan. Pulau Mahan memang sangat jauh. Bahkan yang terjauh dari ibukota kerajaan. Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa para pemberontak itu memilih pulau ini sebagai markas.

Jonghun membenarkan letak katong punggung yang ia bawa. Ia hanya membawa beberapa baju dan satu kantong emas. Sebagai mata-mata, tentu ia tidak boleh terlalu terlihat mencolok. Pakaian yang ia pakai sekarangpun hanya baju pengembara biasa. Siapa yang bisa mengenalinya sebagai seorang komanda Pyonsa sekarang? Tentu saja tidak ada.

Jonghun belum pernah sekalipun mengunjungi pulau Mahan. Jikapun sudah, ini adalah kali pertamanya ia menginjakkan kaki di pulau terpencil itu. Ia begitu takjub melihat kehidupan para penduduk. Hidup mereka sederhana tetapi berkecukupan. Pulau Mahan memang menyimpan sumber daya alam yang melimpah-ruah. Tanah yang subur, laut yang siap sedia kapanpun memberikan semua miliknya pada para nelayan, dan hutan lebat dengan berjuta potensi cukup untuk menghidupi semua penghuni pulau. Pulau terasing ini bukan menjadi penjara yang membelenggu namun menjadi surga impian yang mempesona.

'Aku merasa, sesuatu yang besar akan terjadi di pulau ini.' Jonghun mempercepat langkah kakinya mengimbangin rombongan para pedangang yang berjalan cepat. Kemana lagi tempat yang paling tepat untuk mencari informasi selain di pasar?

XOXOXO

"Ayo! Ayo! Bakpao ayam, bakpao kacang merah, bakpao kacang hijau! Masih panas! Masih panas!" Seunghyun menawarkan bakpao dagangannya dengan semangat. Jika dagangannya hari ini laku semua, ia akan bisa membayar hutangnya pada Hongki. Hyung-nya itu sudah berkali-kali meminta uangnya kembali, meski dengan nada bercanda, tetapi Seunghyun tahu kalau Hongki benar-benar membutuhkannya. Bibi Jeon, ibu Hongki sedang sakit keras. Sudah berminggu-minggu ia hanya bisa berbaring di tempat tidur. Hongki memang telah memanggil tabib desa, namun sakit yang di derita bibi Jeon terlalu parah. Ia harus segera di bawa ke tabib yang lebih ahli yang katanya ada di ibukota. Dan untuk menuju ibukota, tentu saja memerlukan uang yang tidak sedikit. Hasil yang di dapat Hongki dari menjual kayu bakar dan menjadi pelayan kedai kecil memang selalu ia sisihkan untuk di simpan. Tetapi simpanannya itu telah habis untuk menebus Seunghyun yang ditangkap kaki tangan Tuan Yang. Hal inilah yang membuat Seunghyun benar-benar merasa bersalah. Gara-gara kecerobohannya, rencana pengobatan bibi Jeon tertunda.

"Maaf, berapa harga satu bakpao ayam ini?" pertanyaan itu sukses membuat lamunan Seunghyun buyar. Melamun? Sejak kapan ia melamun? Seunghyun mengibaskan kepalanya seperti menyadarkan dirinya sendiri. Ia kemudian menatap calon pembelinya dengan seyuman semanis mungkin. Begitu ia melihat ke depan, senyum dibibirnya lenyap, berganti dengan mulutnya yang membuka dan matanya yang melebar. Siapa yang tidak bereaksi begitu jika kau adalah orang desa yang sudah terbiasa dengan wajah-wajah keras dan kasar khas nelayan dan petani lalu tiba-tiba berhadapan dengan pemuda gagah dengan wajah yang sungguh menawan. Hongki memang tampan, tapi lebih pas jika disebut cantik dan manis. Kalau pemuda di depannya ini, ia adalah contoh ideal para wanita dan impian gila laki-laki yang ingin menjadi sepertinya.

"Yah, kau mendengarku?"

"A..ah! i..iya iya. Mian. Ehehe.." Seunghyun menggaruk-garuk belakang kepalanya, malu.

"Kalau begitu, berapa harga bakpao ayam ini?"

"Tiga keping logam." Seunghyun membungkus bakpao yang dibeli dan segera menerima uangnya.

"Gomawo.. Ah, iya. Boleh aku bertanya sesuatu?" si pembeli bertanya dengan sedikit berbisik, "Aku seorang pengembara yang baru pertama kali datang ke pulau ini. Apa benar telah terjadi sesuatu yang menarik akhir-akhir ini di pulau?"

Mendengar pertanyaan itu, Seunghyun langsung bersemangat bercerita dengan setengah berbisik tentu saja, "Memang akhir-akhir ini banyak kejadian aneh di pulau. Para pemuda satu per satu menghilang tanpa ada yang tahu keberadaannya. Katanya, banyak yang bilang semua itu ulah siluman penunggu pulau ini."

"Siluman?" si pembeli memotong.

"Iya! Kau tidak percaya? Aku dan Hyung-ku bahkan sudah pernah bertemu dengan siluman itu di hutan. Um.. dan sepertinya mereka berjumlah banyak."

"Banyak?"

"Uhum. Dari suaranya terdengar begitu. Seperti segerombolan pasukan berjalan bersama."

"… Begitu, ya.." pemuda tampan itu tersenyum mengerti. Sepertinya pencarian sudah mencapai titik temu. Ia kemudian menatap si pedangan bakpao dan tersenyum, "Terima kasih atas informasinya. Ah, iya. Aku Jongshin. Senang berkenalan denganmu." Dan pemuda tampan itupun berlalu dari hadapan Seunghyun yang masih terpana.

XOXOXO

Jonghun melangkah dengan ringan di antara kerumunan orang. Seyum terkembang di bibirnya. Tangan kanannya memegang bungkusan berisi bakpao yang belum sempat ia makan. Ia baru saja sampai, tetapi pencariannya sudah menemukan titik terang. Terima kasih pada pemuda penjual bakpao tadi. Meski ia memberi informasi yang tidak masuk akal, namun dengan kemampuan analisis yang dimiliki Jonghun, semua itu telah menjadi petunjuk yang penting. Hm.. kini ia tinggal memeriksa hutan yang dimaksud. Ternyata misinya kali ini tidak sesulit yang ia bayangkan.

Komandan Pyonsa itu kembali tersenyum senang dan mulai membuka bungkus bakpao ayamnya. Hm.. ayam. Ia jadi teringat seseorang yang sangat menyukai makanan itu. Sepupu yang ia tinggalkan begitu saja tanpa sempat ia pamiti. Bicara soal Minhwan, bagaimana kabar bocah itu? semoga saja tidak terjadi apa-apa.

Kunyahan mulut Jonghun terhenti sesaat setelah matanya menangkap sosok seorang pemuda. Pemuda itu mirip dengan-!

"Pangeran Jaejin?"

Tanpa berkata lagi, Jonghun langsung menyusul sosok tadi. Pasar semakin penuh sesak. Jonghun harus berjalan menyelinap di antara orang-orang.

'Ck, apa yang dilakukan pangeran nakal itu di sini. Apa aku hanya salah lihat?' Jonghun membatin sambil mempercepat langkah kakinya. Ketika sampai di persimpangan, ia hampir kehilangan sosok yang ia kejar . Ia putuskan untuk berteriak memanggil.

"Pang-! Uh.. Jaejin! Tunggu!"

XOXOXO

Hongki baru saja selesai menjual kayu hasil pengumpulannya kemarin. Pagi ini pasar sungguh ramai. Ia harus segera menuju ke kedai sebelum ia dimarahi Nyonya pemilik kedai. Tapi perutnya tak sependapat. Sejak kemarin, Hongki memang belum sempat memberi makan perutnya itu. pantas saja kalau sekarang protes. Kasihan dengan perutnya, Hongki memutuskan untuk mampir sebentar ke tempat Seunghyun berjualan. Bakpao panas isi kacang sepertinya enak untuk sarapan.. nyam..

"Pang-! Uh.. Jaejin! Tunggu!"

Hongki memelankan langkah kakinya ketika mendengar teriakan itu. Ia merasa teriakan itu ditujukan untuknya. Tapi, ia yakin bukan namanya yang dipanggil. Jadi ia memutuskan kembali mempercepat tempo langkahnya.

Tap!

Sebuah tepukan mendarat di bahu Hongki. Sontak membuat si pemilik mata berkilau itu membalikkan badannya.

"Ya?"

Entah kenapa, Hongki tiba-tiba menahan nafas.

XOXOXO

Astaga. Itulah kata yang ingin keluar dari mulut Jonghun setelah menatap mata pemuda cantik di depannya. Bukan hanya karena ia telah salah orang, tetapi karena ia telah melihat seseorang yang entah bagaimana caranya berhasil membuat degup jantungnya menguat. Ia tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Demikian pula dengan pemuda cantik ini. Mereka diam dan hanya saling bertatapan selama beberapa saat.

Jonghun baru tersadar kembali ketika punggungnya terdorong orang yang lewat. Ia segera membenahi emosinya yang sempat kacau.

"Uhm.. maaf, aku.. aku salah orang."

"Oh.. tidak apa-apa."

Senyum. Pemuda cantik itu memberikan senyumannya pada Jonghun sebelum berbalik dan melenggang pergi. Meninggalkan Jonghun yang masih terpaku.

'Apa-apaan itu tadi."

XOXOXO

"Benar kau tidak mau ikut?" Wonbin bertanya untuk kesekian kalinya pada Pangeran muda Jaejin.

"Aku sedang tidak ingin." Nada jawaban ketus yang diberikan Jaejin inilah yang membuat Wonbin khawatir. Ia berencana mengunjungi biara Cheongsan hari ini. Biasanya jika Wonbin pergi ke sana, Jaejin pasti meminta untuk ikut pergi. Bahkan jika dilarang sekalipun.

"Kau tak mau menjenguk bibimu?"

"Aku baru saja ke sana."

Lagi-lagi, Pangeran muda itu menjawab dengan ketus. Bukan hanya itu, ia juga berbohong. Wonbin tahu benar kalau pangerannya satu ini belum mengunjungi bibinya lebih dari tiga bulan.

"Baiklah.." Wonbin mengalah dan segera menaiki kudanya. Perjalanan ke biara Cheongsan memang cukup jauh.

"Aku akan bilang pada bibimu kau menitipkan salam untuknya." Wonbin menggerakkan tali kekang dan segera melaju.

'Pembohong!' pangeran Jaejin membatin dan segera pergi berjalan kembali ke istananya.

XOXOXO

Biara Cheongsan adalah salah satu dari sepuluh biara besar yang berada di kerajaan Hwanin. Letaknya berada tepat di sisi tenggara ibu kota. Biara ini sering juga disebut biara Suri. Hal ini karena kebanyakan ibu suri yang telah lanjut usia memilih mengabdikan dirinya menjadi biarawati di tempat tersebut.

Wonbin mengikat tali kekang kudanya di halaman depan biara. Beberapa orang biksu dan biksuni telah menunggu untuk menyambut kedatangannya di depan pintu masuk. Senyum langsung mengembang di bibir Wonbin ketika pintu biara terbuka dan memperlihatkan seorang wanita paruh baya yang masih terlihat begitu cantik meskipun dibalut dengan pakaian sederhana seorang biksuni.

"Wonbin, kau datang rupanya." Wanita itu tersenyum. Ia berjalan mendekati Wonbin dan menyentuh pipi pemuda itu. "Baru sebulan yang lalu kau kemari, tapi rasanya aku sudah rindu sekali denganmu. Aku benar-benar penasaran dengan lanjutan cerita yang kemarin kau ceritakan padaku. Sampai aku susah untuk tidur."

"Maaf, Bibi.. belakangan ini banyak yang harus aku selesaikan di istana. jadi, aku baru bisa mampir sekarang."

Wanita cantik nan anggun itu kembali tersenyum. Dengan gerakan tangannya ia memberi isyarat pada Wonbin untuk mengikutinya ke arah taman kecil di samping biara.

"Kemana keponakanku? Kenapa dia tidak ikut kemari?" Ia bertanya sembari mendudukkan dirinya di bangku taman.

"Pangeran Jaejin sedang sibuk, tapi dia menitipkan salam untukmu." Wonbin mengikuti duduk di samping bibi Pangeran Jaejin yang sudah ia anggap seperti bibinya sendiri. Entah apa yang membuat mereka begitu dekat. Pertama kali Wonbin mengenal bibi satu ini ia masih sangat kecil. Mungkin usianya baru tiga tahun ketika keluarganya mengadakan pemujaan di biara Cheongsan. Saat itulah ia bertemu dengan wanita ini. Ironisnya, ia baru mengetahui identitas asli bibi yang sering bermain dengannya itu enam tahun yang lalu. Siapa sangka, wanita ini adalah seorang permaisuri Park Yeoreum yang diasingkan karena ramalan tak jelas.

"Kapan kau akan mulai bercerita? Aku menunggumu untuk itu."

"Ah, baiklah. Aku akan mulai bercerita. Bibi dengarkan dengan baik, ya."

XOXOXO

Minhwan berjalan mondar-mandir di depan bangsal khusus untuk Komandan Pyonsa. Ia bimbang untuk masuk dan mengutarakan maksud kedatangannya. Lebih tepatnya ia takut.

'Masuk tidak, ya? Tapi aku benar-benar ingin tahu kemana Jonghun-hyung pergi. Sudah seminggu ini tidak ada kabar. Aku benar-benar khawa-." Belum sempat Minhwan meneruskan pikirannya. Ia melihat Komandan Kim keluar dan berjalan cepat ke belakang bangsal. Penasaran, Minhwan mengikuti Komandam Kim diam-diam.

Minhwan melihat komandan Kim tengah berbicara dengan seseorang. Minhwan sedikit mendekat untuk dapat mendengar pembicaraan mereka.

"Katakan pada tuanmu, sekarang saatnya bergerak. Jonghun bodoh itu pasti sudah sampai di Mahan pagi ini. Kita bisa langsung menghabisinya saat ia memulai melakukan penyelidikan. Bangsawan Ka-"

Kata-kata Komandan Kim selanjutnya sudah tidak terdengar lagi oleh Minhwan. Ia sudah cukup terkejut mendengar rencana pembunuhan pada sepupunya. Minhwan ingin berteriak, tapi ia segera menutup mulutnya dengan kedua tangan dan berlari dari tempat itu.

'Aku harus menolong Jonghun-hyung. Bagaimanapun caranya.'

=TBC=

Gimme your review! ^^