LOGIKA

Tokoh utama : Hyolyn (Ex-Sistar) dan figur publik Korea lainnya

.

.

Ini adalah karya penulis yang pertama, jadi penulis mohon bimbingannya para pembaca semua.

Penulis akan dengan sangat terbuka menerima semua kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

.

.

Kisah ini hanya fiksi belaka. Tempat, waktu, dan karakter tokoh adalah ketentuan penulis sendiri.

.

.

Selamat membaca ^,^

Chapter 1

Suara dering alarm dari ponselku terdengar dan membangunkanku dari dunia mimpi. Aku meraih ponsel yang berada di samping bantal dan memusnahkan suara yang memuakkan itu. Setelah sunyi kembali, tubuhku menolak untuk bangun dan memilih diam di tempat. Namun juga tak bisa kembali tidur karena alarm sialan itu. Akhirnya aku berusaha menggerakkan tubuhku dan beranjak dari ranjang.

Seperti biasanya, pukul 5.30 pagi aku terbangun, mandi, dan berias. Sarapan jika sempat dan jika ada sesuatu yang bisa dimakan. Aku lebih sering membeli sarapan saat perjalan ke kampus dari pada sarapan di kost. Layaknya anak kost kebanyakan, makan di luar saat uang berlimpah dan makan seadanya atau bahkan puasa jika dompet menipis.

Pukul 6 pagi biasanya aku sudah mengunci kamar dan segera mengeluarkan motorku dari garasi. Setelah mempersiapkan motor dan memeriksa keadaan motor, aku segera berangkat menuju kampus. Sebagai mahasiswa semester dua yang masih dianggap junior di kampus, aku masih sering mendapat kelas pagi karena masih mengikuti mata kuliah paket dan itu benar-benar memuakkan. Tujuanku kuliah di jurusan sastra agar aku bisa lebih santai untuk kuliah, tapi kenyataannya sangat bertolak-belakang. Mungkin inilah yang dijuluki sebagai penderitaan mahasiswa baru. Meski begitu, aku akan bertahan hingga semester depan dan aku akan bisa memilih jadwal kuliahku sendiri.

Sesampainya di gerbang kampus, aku menaiki motorku memasuki loket parkir kampus. Seperti biasa, bapak penjaga loket selalu menggoda dan menjahiliku.

"Aduh, aduh. Kasihan itu motornya harus bawa kamu pagi-pagi begini."

"Kenapa sih, pak? Kalau bapak kasihan sama motor saya, gantikan motor saya dengan yang lebih besar!"

"Halah, begitu saja marah. Masih pagi ini, jangan marah-marah."

"Bapak selalu bikin kesal. Sudah belum?! Nanti saya terlambat!"

"Iya... ini sudah. Galak amat."

Setelah bapak itu memberikan karcis parkir, aku segera memarkirkan motorku yang selalu dicemooh oleh bapak-bapak cerewet itu. Entah kenapa bapak itu hobi sekali menjahiliku. Terakhir kali saat aku menitipkan helmku, kaca helmku sudah digambari dengan spidol permanent. Benar-benar bapak-bapak tak ingat umur, masih saja jahil. Mungkin karena tubuhku yang berbobot lebih ini membuatnya lebih senang menjahiliku dibanding menjahili mahasiswa yang lain. Aku harus mulai membiasakan itu.

"Ola!"

"Oh, hai!"

"Kita jalan bersama ya? Kau ke kelas linguistik kan?"

"Iya."

"Menyebalkan sekali! Kenapa harus linguistik di jam pertama?"

"Kita lebih segar dan daya tangkap kita lebih efektif di pagi hari."

"Membosankan! Aku akan tidur saja nanti."

"Kau ini memang hobi sekali mengeluh. Pak Ray tak akan memberikanmu kesempatan untuk tidur satu detik pun. Beliau mengajar sambil berkeliling dan tak bisa diam."

"Aiishh! Menyebalkan!"

Aku duduk bersebelahan dengan sahabatku, Egy. Berjaga-jaga untuk membangunkannya nanti jika ia tertidur. Terakhir kali saat kelas fonologi, Egy dikeluarkan dari kelas karena ketahuan tertidur dan aku juga terkena imbasnya karena tak berusaha membangunkannya.


Aku melihat jam tanganku lagi dan menatap Ola yang masih sibuk mencatat. Sudah pukul 9.40 tapi dosen itu tak berniat untuk menghentikan ocehannya. Seharusnya kelas selesai sepuluh menit yang lalu, tapi pak tua itu tak peduli dengan keadaan mahasiswanya yang sudah duduk manis selama hampir tiga jam mendengar ocehannya. Aku mengemasi barang-barangku dan berusaha membuat gerakan yang menimbulkan suara.

"Uhuk! Eheemm.. durasi..uhuk uhuk..."

"Kau ini kenapa?!" bisik Ola sambil menyikut lenganku.

Aku hanya melotot ke arahnya dan mengetuk-ngetuk jam di tanganku. Ola kembali melihat dosen tua itu yang sudah berjalan ke arah kami berdua. Dosen itu tersenyum kepada Ola dan mengalihkan pandangannya padaku, kali ini tatapannya mengerikan.

"Apakah ada masalah, nona Egy?"

"Maaf, pak. Waktu kelas bapak sudah selesai lima belas menit yang lalu, tapi bapak tak segera menutup kuliah ini."

"Kuliah saya itu tiga sks, yang berarti tiga jam. Itu berarti kelas saya masih ada waktu lima belas menit lagi. Apakah Anda keberatan?"

"Maaf, pak. Saya membaca buku panduan prodi bahwa satu sks itu satu jam, tetapi satu jam itu lima puluh menit bukan enam puluh menit. Dapat disimpulkan bahwa tiga sks sama dengan dua jam tiga puluh menit. Jika kuliah bapak dimulai pukul 7 pagi, maka kelas selesai pukul 9.30 pagi bukan pukul 10 pagi. Apakah saya salah, pak?"

Dosen itu hanya diam dan menatapku lebih tajam dari sebelumnya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Aku tahu bahwa dosen itu sudah kalah telak denganku.

"Pak Ray, mohon maaf tapi mungkin bapak memang harus menutup kuliahnya."

"Oh, baiklah. Maafkan bapak, kelas hari ini cukup sampai di sini. Kita lanjutkan minggu depan."

Ola lagi-lagi berusaha menengahiku, dan dosen tua itu bukannya meminta maaf padaku tapi pada Ola, bahkan sambil tersenyum. Dosen memang pilih kasih dan ingin selalu dianggap benar. Memuakkan. Aku dan Ola memang baru bertemu saat awal masuk kuliah. Dia selalu membelaku saat aku membuat masalah dengan dosen, bahkan terkadang ia juga ikut terkena hukuman karena membelaku. Aku tak tahu kenapa Ola tetap mau menjadi temanku sementara yang lain selalu menghidariku karena aku pembuat masalah.

Aku menggendong tasku dan segera pergi dari kelas itu, sudah tak sudi melihat wajah dosen menyebalkan itu. Saat aku berjalan di koridor kampus, Ola memanggilku dan berlari menghampiriku.

"Kenapa buru-buru seperti itu? Kau mau kemana?

"Aku sudah tak tahan berlama-lama di dalam."

"Aku lapar, kau mau ikut?"

"Baiklah."

Kami akhirnya berjalan menuju kantin kampus dan memesan makanan. Ola terlihat kelaparan, ia memesan satu piring lotek ditambah satu piring nasi dan gorengan. Selera makannya benar-benar tak berubah sejak awal semester satu. Dulu aku sangat kaget dan kini sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan makannya. Ola memiliki tubuh yang gemuk dan dulu ia sering dicemooh oleh teman-teman sekelas. Aku selalu bertanya-tanya dengan kepribadiannya. Kenapa ia bisa sangat positif dan optimis? Ola tak pernah tersinggung dengan ejekkan teman-teman dan hanya ikut tertawa bersama mereka. Tak heran ia disukai banyak orang dan memiliki banyak teman. Tapi kenapa ia memilihku sebagai sahabatnya? Aku juga tak mengerti.

"Ola?"

"Hmm?"

"Kenapa kau memilihku untuk menjadi sahabatmu?"

"Hah? Kau ini kerasukan apa hingga bertanya seperti itu?"

"Jadi selama ini kau tak menganggapku sebagai sahabat?"

"Aku tak akan mengejarmu seperti tadi dan memilih makan bersamamu jika kau bukan sahabatku."

"Lalu kenapa?"

"Karena kau tak pernah mengejekku seperti yang lain," jawabnya singkat sambil tersenyum dan menundukkan kepalanya.

Aku kaget mendengar jawabannya. Selama ini aku dikenal sebagai orang yang cuek dan masa bodoh dengan apapun. Mungkin karena itu, aku juga tak peduli dengan penampilan orang lain, termasuk Ola. Saat yang lain mengejek Ola, aku hanya diam dan melihatnya ikut tertawa bersama. Aku kira ia baik-baik saja dengan ejekkan itu selama ini.

"Aku kira kau tak mempermasalahkan ejekkan mereka?"

"Aku hanya menganggap ejekkan mereka sebagai candaan. Aku mengira mereka akan berhenti mengejekku jika aku membiarkan mereka, tapi ternyata orang-orang justru menganggapku tak keberatan jika dijadikan bahan ejekkan dan tak akan sakit hati. Sehingga semakin banyak orang yang mengejekku dan menganggapku baik-baik saja dengan ejekkan mereka."

"Kenapa kau tak mengatakannya padaku sejak dulu?"

"Tak perlu. Bukan sesuatu yang penting, aku bisa mengatasinya sendiri."

"Ola..."

"Sudahlah, Egy. Aku tak ingin membahasnya. Aku tak apa, jadi jangan khawatirkan apapun."

Ola hanya tersenyum, ia memiliki lesung pipi di pipi kanannya dan membuatnya terlihat manis. Meskipun ia gemuk, Ola sebenarnya memiliki wajah yang cantik dan aku yakin itu.


Setelah makan, Egy bersikeras untuk ikut pulang bersamaku ke kost. Terpaksa aku menurutinya karena ia mengancamku untuk membayar tagihan makannya jika tak mengijinkannya pulang bersamaku. Saat keluar dari loket tempat parkir, seperti biasa bapak penjaga loket mengejekku.

"Masih siang kok sudah pulang? Bolos ya?"

"Sok tahu! Kalau iri, pulang saja. Oh sayang sekali, saya lupa kalau bapak harus duduk di sini sampai malam."

"Eh eh eh... dasar tak sopan dengan orang tua."

"Bapak yang memulainya. Jangan mentang-mentang bapak lebih tua, bukan berarti bisa mengejek saya semau bapak. Permisi!"

Aku langsung menarik gas dan pergi dari situ. Sepertinya mulai besok aku akan parkir di loket utara, paling tidak bapak penjaga di sana lebih ramah dan tak banyak bicara saat bekerja. Seharusnya aku mendengarkan Egy untuk parkir di utara saja. Aku bersikeras parkir di selatan karena lebih dekat dengan kelas yang aku ikuti, tapi mau bagaimana lagi jika sudah begini. Lebih baik aku lelah karena berjalan jauh daripada lelah meladeni bapak cerewet itu.

Sesampainya di depan pagar kost, Egy sudah sampai lebih dulu dan menunggu. Aku segera membuka pagar dan memasukkan motor ke dalam garasi, begitu juga milik Egy.

"Kau lama sekali, sedang apa sih?"

"Maaf, aku harus menyelesaikan urusanku dengan bapak penjaga parkir yang cerewet itu."

"Lagi?! Sudah aku katakan, lebih baik parkir di utara saja. Aku yang jago perang mulut saja muak meladeninya, apalagi dirimu."

"Iya iya. Aku akan parkir di utara mulai besok."

Aku berjalan dan menuju kamarku yang berada di lantai dua. Kostku memang bukan kost elit yang dilengkapi AC, Tv dan kulkas. Namun, kostku termasuk kost menengah dengan ukuran 5x5, belum ditambah kamar mandi dalam. Maka dari itu Egy sangat senang mengunjungi kostku karena kostnya hanya berukuran 2x3. Mau bagaimana lagi? Meski harus membayar sedikit lebih mahal, aku rela demi kenyamanan tubuhku yang tak kecil seperti Egy ini.

"Astaga! Kau membeli kulkas mini baru?"

"Aku suka memasak dan ibuku menyuruhku membelinya supaya bahan makanan dari ibuku bisa disimpan untuk persediaan. Jadi aku bisa lebih hemat dan tak sering makan di luar."

"Kenapa tak menyewa kontrakan sekalian saja? Lebih leluasa, kau tak perlu membawa peralatan masak untuk camping seperti ini. Bukannya akan terkena biaya lebih lagi jika menambah kulkas ini?"

"Tak setiap kali aku memasak dan biaya untuk kulkas tak terlalu mahal, jadi kata ibuku tak masalah. Menyewa kontrakan terlalu besar untuk tinggal sendiri."

"Tak mahal?! Kau menggunakan tv, rice coocker, laptop, dan sekarang kulkas. Itu tak mahal?!"

"Orang tuaku hanya ingin aku tinggal dengan nyaman selama aku kuliah. Apa salah?"

"Astaga, aku lupa kalau keluargamu konglomerat."

"Jangan berlebihan. Aku hanya beruntung dan keluargaku berkecukupan. Kami berusaha memenuhi kebutuhan kami, itu saja. Keluargaku sangat menghargai uang. Kami tak mungkin mengeluarkan uang untuk hal yang sia-sia."

"Baiklah, aku mengerti. Maafkan aku."

"Hmmm"

Aku membuka laptopku dan mulai memeriksa youtube. Aku selalu membukanya untuk memeriksa berita terbaru dari industri musik Korea. Aku menyukai musik Korea sejak SMP, bahkan aku pernah berkeinginan untuk menjadi trainee di Korea. Ayah dan ibukku adalah orang yang sangat realistis, mereka tak percaya seni bisa menjamin kesuksesan seseorang. Bagi mereka otak dan pendidikanlah yang sudah pasti menjamin masa depan dunia kerja. Padahal aku ingin sekali menjadi seorang penyanyi. Terkadang aku mencoba-coba audisi melalui rekaman suara dan video, tapi hanya berhasil hingga 40 besar.

"Kau mencari audisi lagi?"

"Tidak. Aku sudah menyerah, mereka selalu menolakku saat melihat videoku."

"Kejam juga, mereka meloloskanmu saat audisi suara tapi langsung menolakmu saat audisi video. Sebenarnya yang mereka cari itu apa? Bakat atau penampilan?"

"Sudahlah. Mau bagaimana lagi?"

Aku mulai memutar lagu dan mengambil ponselku. Aku membuka website beberapa agensi Korea dan tanpa sadar aku mulai mencari pembukaan audisi. Meski aku ingin sekali menyerah, tapi aku benar-benar serius untuk menjadi penyanyi di sana. Aku bahkan mengikuti khursus bahasa Korea sejak SMA, bisa dibilang bahasa Koreaku cukup lancar karena hampir 4 tahun aku mempelajarinya. Sepertinya aku memang harus diet untuk bisa lolos audisi.


Acara tv tak ada yang menarik untuk di tonton. Aku beralih pada ponselku dan membuka instagram. Aku menaik-turunkan ibu jariku dan sesekali menekannya dua kali di beberapa foto yang aku sukai. Sesekali aku menoleh melihat Ola yang kini juga menatap ponselnya. Aku menghela nafas dan mencari official akun milik YG, SM, dan JYP. Tanpa sadar aku terus mencari dengan jeli, tapi audisi mereka sudah lama di tutup dan Ola sudah gagal lolos dalam audisi mereka. Aku melihat Ola yang juga mengela nafas panjang dan membuatku tak pantang menyerah. Aku mencoba mencari di beberapa agensi yang cukup terkenal dan cukup diakui.

AOMG? Sepertinya cukup menarik, di sana tak banyak penyanyi wanita dan menerima suara yang memiliki ciri khas. Pledis? Mereka baru saja sukses dan cukup beresiko. Cube? Agensi ini sempat hampir bangkrut setelah salah satu grup perempuannya yang paling sukses bubar, tidak, tidak. Starship? Sama saja, agensi ini sedang redup. Oh! Rainbow Bridge, tapi hanya ada Mamamoo yang bisa sukses.

"Ola, ada beberapa agensi yang membuka audisi tapi bukan dari YG, SM, dan JYP. Kau mau mencobanya?"

"Apakah bisa menjamin aku sukses? Aku sedikit takut mencoba agensi lain."

"Bagaimana jika AOMG? Mereka tak mempedulikan penampilan, yang terpenting suaramu memiliki keunikkan."

"Bukannya agensi itu khusus rapper?"

"Artis perempuan mereka semuanya penyanyi solo, meski tak begitu dikenal."

"Sepertinya bukan ide yang bagus."

"Masih ada Cube, Starship, Pledis, dan Rainbow Bridge yang sedang membuka audisi. Ayolah, kita coba saja semua termasuk AOMG. Bagaimana?"

"Kita? Kau juga akan ikut audisi?"

"Aku ini dancer. Meski suaraku tak sebagus suaramu tapi aku masih bisa menyanyi dan rapku juga tak buruk."

"Sejak kapan? Kau tak pernah mengatakannya padaku."

"Aku mulai menari sejak aku SD hingga SMA. Orang tuaku menyuruhku berhenti membuang uang untuk khursus menari dan mulai fokus dengan kuliahku."

"Tapi kau harus bisa bahasa Korea jika ingin menjadi rapper di sana."

"Tak ada kata terlambat untuk belajar kan? Aku bisa rap menggunakan bahasa Inggris dengan sangat baik, aku jamin itu."

"Percaya diri sekali kau."

"Jadi bagaimana?"

"Baiklah, kita coba semuanya."

"Itu baru semangat."

Aku mulai duduk di samping Ola dan membuka website agensi-agensi tersebut di laptop Ola. Kami mulai mendaftarkan diri masing-masing. Mengisi formulir dan merekam suara untuk di kirim. Ola membawakan lagu Dean – Instagram dan aku membawakan freestyle rap dengan instrument lagu CL – Mental Breakdown. Kami mencoba mengirim ke agensi AOMG terlebih dahulu karena tanggal audisi mereka sudah mendekati penutupan. Aku hanya berharap agar audisi kami kali ini berhasil lolos hingga final dan kami bisa segera mencoba audisi di Korea secara langsung. Aku akan mencoba sebaik mungkin agar bisa menemani Ola nantinya.

.

.

Bersambung

.

.

Kira-kira seperti itulah gambaran awal kisah yang digambarkan penulis.

Cerita ini masih sebagian kecil dari keseluruhan ceritanya.

Bisa dikatakan perjalanan pembaca masih sangat jauh.

Jadi, nantikan terus kelanjutan kisahnya dan jangan lupa berikan ulasan untuk penulis.

Penulis tak sabar menunggu ulasan menarik dari kalian.

Terima kasih. ^,^