Bulan itu, bulan September. Merupakan awal bagiku untuk memulai semuanya dari nol. Yah, aku baru memasuki semester pertama di SMA. Teman baru. Kenalan baru. Ekstra baru. Kakak kelas baru. Dan… mungkin gosip baru juga.

Jadi, aku harus mulai darimana ya?

Lemme tell my story to you~

.

Naruto © Masashi Kishimoto

A ShikaIno Fanfiction

.

Maybe OOC, Typo, AU

.

Thanks for

all the readers who have read this fanfiction.

.

Enjoy !

.

"Ino?"

Aku menoleh kearah Sakura lemah. Pandangannya menyelidik. Mungkin jika terlalu lama membalas pandangannya, dia akan menemukan celah dalam mataku. Dan aku tak suka jika ada orang yang menyadari keadaanku sekarang. Aku semakin merutuk dalam hati. Lalu detik berikutnya aku memandang direksi yang sebelumnya memang sudah aku pandang. Aku menjulurkan tanganku. Telapak tanganku menengadah, bersiap menerima hujaman air yang datang menyerbu.

"tidak biasanya hujan di musim yang panas." Kataku singkat. Mencoba mencairkan suasana dengan mencari topik baru. Aku benci kecanggungan ini dan aku benci menyadari bahwa aku sendiri hanya terdiam dalam kecanggungan ini.

"Tidak selamanya matahari tetap bersinar walaupun di musim panas sekalipun."

"…."

"Tidak selamanya seseorang bahagia walaupun ia tersenyum."

Apa-apaan Sakura. Apa dia menyinggungku? Sial! Apa dia terlalu peka atau aku yang tidak pintar menyembunyikan sesuatu.

"Sudah kubilang aku hanya mengaguminya. Tak tertarik untuk mendapatkannya."

Kurasa Sakura belum puas, "Alasanmu kecewa adalah karena sifatnya dan karena dia tak menghargai perasaanmu. Iyakan?"

Aku melipat kedua tanganku dan menghela napas.

"Jadi sejak kapan seorang Haruno Sakura jadi detektif? Hahaha, Sakura…"

Aku memandangi sahabatku itu, jidatnya yang lebar tampak berkerut.

"Ini hanya perasaan sementara…" sekali lagi aku memberi jarak untuk membiarkan angin mengambil alih pembicaraan, "Aku adalah orang yang cepat move on. Karena hanya dengan bersedih itu akan membuatku cepat bosan."

Kali ini Sakura menyunggingkan senyumnya. Walaupun kami sering mempertengkarkan hal sepele, tapi dia sering mengkhawatirkanku. Mungkin jawaban yang kuberikan membantunya mengecilkan kadar kekhawatirannya. Sebenarnya aku pun ingin meyakinkan diriku sendiri.

Aku memang mengaguminya. Sampai sekarangpun aku masih. Orang itu adalah Sasuke Uchiha. Dia adalah kakak kelas sekaligus ketua di ekstraku. Tapi entah mengapa Sakura menilai jika aku menyukainya. Atau mungkinkah sampai sekarang aku belum menyadari perasaanku itu sekedar mengagumi ataupun suka. Dan mau tak mau aku harus menyingkirkannya.

Bukan apa-apa, tapi seharusnya perasaan kagum hanyalah perasaan kagum. Tidak mungkin jika dibiarkan terus menerus. Sebelum semakin jauh.

Baru-baru ini aku cukup sadar apa yang beberapa senpai di ekstraku bicarakan ada benarnya. Menjadi seorang ketua ekstra adalah nilai tambahnya, tapi bukan berarti dia bisa berlaku seenaknya.

Dulu aku pikir, semua hanya iri dengan ke-perfeksionisan Sasuke, dan aku terlalu kaget untuk menyadarinya bahkan sampai sekarang.

Jadi, aku rasa aku punya alasan untuk segera melupakannya.

karena hanya bersedih akan membuatku cepat bosan.

.

oOoOoOoOo

.

Beritaku menyukainya cepat tersebar luas. Kenapa baru sekarang tersebar? Sejak pembicaraan terakhirku dengan Sakura, aku benar-benar berniat untuk melupakan Uchiha itu.

Dan sekarang, saat ekstra berlangsung, senpai-senpai yang lain ikut mengejekku. Bahkan mereka tidak tahu perasaanku. Beberapa juga tidak dekat denganku.

Soktau. Pikirku.

"Jangan, nanti ada yang marah…"

"Jadi pig itu ya?"

"Ino?"

Cih. Mereka mulai membicarakanku dan sialnya lagi mereka setengah menggodaku. Aku terpancing.

"Jadi siapa yang mulai duluan?" kataku pura-pura marah.

"…dasar pig. Kau suka dengan orang itu kan?"

Aku menoleh kearah sumber suara. Rupanya Shikamaru. jadi orang ini.

Shika-nii, Shikamaru Nara. Dia kelas dua sekarang. Dia orang yang aneh. Selalu pulang cepat saat ada kumpul. Dia selalu bersama Choji-senpai dan mereka lebih suka duduk di pojok kelas, entah itu untuk menatap layar laptop ataupun sesuatu yang lain. Rambutnya selalu berantakan walaupun dikuncit, aku pikir. Matanya selalu terlihat mengantuk. Apa dia sedang benar benar mengantuk atau dia malas hidup?

Terakhir kali aku melihatnya memainkan gitar dengan lagu grup favoritku. Aku melihatnya cukup lama tapi aku tak bicara apapun untuk mengomentarinya. Kita tidak kenal dekat.

"Apa-apaan? Siapa yang kau maksud, Shika?"

"Mana –nii nya? Kau tidak sopan."

"Kau menyebalkan."

Kesan pertama, dia menyebalkan. Aku sangat terganggu dengan ejekannya. Tapi, aku rasa aku senang bisa berbicara dengannya untuk yang pertama kali. Ternyata orang yang terlihat malas ini suka mengejek orang. Aku pikir dia benar benar tidak berniat melakukan apapun. Aku pikir orang sepertinya lebih suka diam.

Lain kali, aku ingin mencoba berbicara dengan Choji-nii. Kurasa menyenangkan jika bisa akrab dengan semua orang di ekstra ini. Ino akan tetap menjadi Ino yang biasanya, 'kan?

Sore yang cukup hangat. Sudah waktunya untuk pulang dan segera istirahat dari aktifitas sekolah. Area sekolah sudah semakin sepi. Hanya beberapa orang yang tetap ada disana untuk ekstra, sama sepertiku. Aku menengadah kearah biru.

Ah, benar, biru itu terlihat luas tapi kosong. Tetap tenang, membendung kesunyian. Menyisakan rasa keingintauan. Biru itu, apa dia tetap bernaung walaupun hujan badai? Apa dia akan berkeras hati untuk bertahan ataupun pergi untuk membiarkan awan pekat mengambil alih?

Kurasa kadang memang harus dibiarkan, karena biru pun butuh istirahat dari singgasananya, lalu dia akan muncul saat semuanya kembali membaik.

"Besok lusa kumpul?" suara Shikamaru membangunkan lamunanku.

"Ya," Aku menjawab singkat sambil tersenyum kearahnya. Jarang-jarang dia menanyaiku seperti itu.

"…Kau?" aku tak tahu tapi rasanya akan lebih baik jika aku juga menanyainya.

"Kumpul? Buat apa?" dia tersenyum singkat dan menurutku itu sangat menyebalkan.

"Bahas event berikutnya."

"Sudah malas."

Aku menghela nafas, "Itu urusanmu sih. Jaa."

Kubiarkan dia mau menanggapi apa. Setelah itu, aku berlalu sambil mengeluarkan ponselku. Kuharap ayah bisa menjemputku.

.

oOoOoOoOoOoOo

.

Oktober.

Udara cukup membuatku menggigil. Tidak ada awan di langit. Masih kosong. Tapi matahari enggan muncul. Semacam menghilang dari peradabannya. Aku membenarkan syal yang menutupi leherku.

"Kau dengan Sasuke-kun saja ya!" goda tenten sambil mengedipkan matanya.

Sungguh, boncengan dengannya adalah hal yang menyebalkan. Namun, kurasa aku terlambat jika harus menolak. Pasalnya, masing-masing kendaraan sudah penuh dengan penumpang.

Tidak adil. Seandainya saja mereka mengetahui seberapa bencinya aku sekarang dengan orang yang disebut 'heichou' itu. Aku benar benar telah melupakannya.

Aku hanya menurut dengan saran Tenten. Tidak ada kendaraan lagi. Daripada merengek dan meminta ganti dengan yang lain, itu akan memakan waktu banyak.

Sepanjang perjalanan aku memilih diam. Sasuke-nii juga diam. Hanya beberapa kalimat yang ia lontarkan, itupun samar terdengar. Mungkin ia memberitahu tentang beberapa acara di Harajuku hall.

Jadi perjalanan untuk beberapa jam pun berlalu.

Festival kali ini sangat ramai. Meskipun tidak terlalu besar, tapi aku melihat banyak pengunjung yang berantusias. Banyak makanan dan pernak pernik disini. Di tengah lokasi, terdapat panggung dengan red carpet yang saat ini digunakan untuk berfoto ria. Backsound yang diputar adalah lagu dari YUI. Mood-ku membaik.

Aku berpencar dengan yang lainnya. Aku dan tenten memutuskan untuk membeli jajanan terlebih dahulu. Aku membeli porsi kecil karena jajanan yang kami beli cukup merusak dietku jika aku membelinya banyak.

Semakin siang, semakin ramai.

"kenapa tidak mencoba keduanya, Ino? Apa ini berpengaruh banyak?"

"Aku perlu mengatur untuk makanan berlemak, tenten."

"Jadi…" Tenten memperjelas pandangannya. Entah apa yang ia lihat, dia tampak terkejut. Mau tak mau aku mengikuti arah pandangannya. Tapi aku tak menemukan apa yang menjadi fokus Tenten.

"Ada apa?"

"Temari-chan kawaii!"

"Temari?" aku masih tidak mengerti. Tenten memegang tanganku dan menarikku ke tempat orang yang dia maksud.

Orang yang di maksud Tenten, Temari-senpai, dia merupakan kakak kelasku. Aku tidak tau dia ada disini. Dia sangat cantik hari ini. Rambutnya di cepol satu dengan poni di belah dua, membuat wajahnya terkesan lebih manis. Tingginya semampai. Sebenarnya lebih tinggi aku. Dia memakai kimono merah muda. Kurasa Temari-chan menjadi pusat perhatian sekarang. Beberapa orang bahkan meminta foto dengannya. salah satunya Shikamaru-nii.

Orang itu kenal dekat dengan Temari-chan?

Aku memandang mereka berdua sesaat. Tenten tiba tiba mengalihkan pandanganku, ia menjulurkan ponsel miliknya di depanku. Untuk beberapa saat aku hanya menatap kosong ponsel itu dan memegangnya. Aku mungkin terlalu lama bengong, mau tak mau Tenten meneriakiku.

"Ino-pig! Fotokan aku!" aku tersadar dan tersenyum canggung. Sebelumnya, aku membungkukan badanku untuk minta maaf. Aku membuka layar ponsel Tenten lalu menuju kamera.

Aku memotret mereka bertiga beberapa kali.

.

oOoOoOoOoOo

.

"Maaf, aku jadi ganti tempat duduk." Kataku singkat di tengah perjalanan pulang.

"Jadi, memang ada apa dengan Sasuke, huh? Bukannya kau harusnya senang jika…"

"Tidak! Itu sudah dulu, Shika!" aku menaikkan suaraku. Bukan berarti aku marah, dia hanya semakin menyebalkan jika membahas Sasuke.

"Bagaimana aku bisa percaya kalau itu dulu, eh?" tanyanya mengancam.

"Ya… aku sudah tidak menyukainya sekarang. Kau tau…" aku melihat ke arah toko toko yang berjejeran sambil memegang erat jaketnya. Aku sedikit takut, motornya melaju kencang.

"Kenapa?" Shikamaru bertanya lagi.

"Aku sadar, itu kesalahanku untuk menyukainya. Tapi tunggu! Aku tidak menyukainya, aku hanya mengagumi!" entah mengapa aku jadi sewot sekarang.

"Okay, nona fansgirl yang mengagumi heichou~"

"Heyy!"sebutan yang ia ucapkan membuatku memukul punggungnya. Dia merintih kesakitan. Aku tak tau itu benar benar sakit atau dia hanya membuat drama sehingga terlihat ironi.

"Apa?! Masih mau mengejekku?" aku makin terlihat galak sekarang.

"Tidak. Hehehe," dia terkekeh. Kekehannya terdengar aneh. Aku menyunggingkan senyum.

Angin membelai pipiku lembut. Hening kini menguasai.

Dan,

"Jadi, kalian ternyata kenal dekat ya?" Aku memberi topik lagi. Dia menghentikan kekehannya.

"Siapa?"

"Kau dan Temari-chan."

Untuk beberapa waktu, dia tidak mengeluarkan kata sedikitpun. Apa aku salah bertanya? Apa aku terlalu ingin tau?

"Dulu." Jawabnya singkat.

"Eh? Maksudnya?"

"Dia hanya masa laluku."

Aku melongo demi mendengar kata-katanya.

"Mantan?" aku bertanya dengan hati-hati. Dia mengangguk.

Suasana berubah menjadi canggung. Sekali lagi, aku dan Shikamaru, kami membisu untuk waktu yang lama. Aku bahkan sudah ingin mengucapkan beberapa kata, tapi entah mengapa semuanya tertahan di ujung kerongkongan. Hingga kata yang terucap hanyalah,

"Maaf. Aku tidak tau,"

Aku menundukkan kepalaku. Kurasa dia melihat wajahku dari spion miliknya.

"Tidak apa."

Aku mendongak, "Hey, tapi bukankah kalian baik-baik? Tadi foto bareng, kukira kalian dekat."

"Sepertinya memakai kimono adalah hal yang baru baginya, jadi aku mencoba foto dengannya."

"Oh," hanya jawaban itu yang bisa aku berikan.

"Dan kita memang baik-baik saja, kita masih berteman. Hanya berteman."

Entah apa yang merasukiku, aku semakin ingin tau tentang topik ini.

"Jadi apa yang membuat kalian…"

"Dia berbohong."

"Huh?" Aku membelalakkan mataku.

"Ino, bukankah perpisahan itu sudah diatur?" Shikamaru bertanya. Suaranya memelan. Aku balas mengangguk.

"Dia pun juga kesalahanku…" dibiarkan nadanya menggantung lama,

"…yang indah dan menyakitkan."

Aku tersenyum. Aku tersenyum teduh mendengar pernyataannya.

Semua kesalahan itu awal mulanya, apakah selalu indah?

Saat kita mengulangi banyak kesalahan nanti, akankah kita terus berdiri? Berlari?

Akankah kita sama seperti sebelumnya saat kita belum terjatuh?

"Hey, Shika,"

"Hm?"

"Kau tak sendirian. Jadi, bisakah kau membiarkan hari esok lebih berharga dari hari hari yang lalu?"

Shikamaru tercekat. Aku tau dari wajahnya di spion. Meskipun kaca helmnya menutupi wajahnya, kurasa aku masih bisa melihat ekspresinya.

Aku melanjutkan, "…dan memaafkan masa lalumu?"

Shikamaru tersenyum.

"Bukankah kalau begitu, kau juga harus memaafkan Sasuke, eh?"

"Hahaha, iya. Aku juga harus banyak belajar memaafkan. Sebenarnya, aku hanya membencinya agar aku mudah lupa. Tapi kurasa sekarang aku harus berhenti."

"Pig! Aku rasa aku akan sangat bersalah pada Sasuke karena aku menghasutmu untuk naik di motorku. Dia akan semakin diam saat marah, kau tahu."

"Hey Heyy! Kenapa jadi dia lagi?!" Aku mengerucutkan bibir. Dia tertawa sangat keras karena melihat reaksiku di kaca spionnya. Aku pun akhirnya ikut tertawa bersamanya.

Untuk pertama kalinya, aku begitu terbuka pada seorang Shikamaru.

Untuk pertama kalinya aku dengan gamblang mengungkapkan bagaimana perasaanku tentang Sasuke setelah sebelumnya aku menyembunyikannya dari orang-orang.

Untuk pertama kalinya dia mau terbuka tentang masa lalunya. Ku kira aku terlalu ingin tau tentang masalah orang lain dan dia tidak akan mau memberitahuku. Karena jujur saja, menceritakan masa lalu itu sangat menyebalkan. Karena kenangan menyakitkan harusnya di pendam saja. Tak perlu diungkit lagi.

Kita sama-sama punya kesalahan, nyatanya. Kita sama-sama jatuh, nyatanya. Dan kita harus bisa berdiri dari kesalahan kita.

Aku bersimpati padanya. Melepaskan seseorang yang kita sayangi sebelumnya itu sulit. Mereka pasti sangat sangat saling menyayangi dulu.

Bahkan sekarang, mungkin saja Shikamaru masih…

.

oOoOoOoOo

.

November.

Malam ini cuaca mendingin. Pekan bazar hari pertama sudah dimulai dari 4 jam yang lalu sejak jam 3 sore. Ada banyak stand yang berjejer rapi melingkari lapangan sekolah, serta panggung yang berada di tengah tengah. Aku mengedarkan pandanganku. Semua stand di desain secara apik dan menarik. Tak hanya itu, makanan yang ditawarkan pun unik. Para siswa benar-benar menyiapkan dengan sangat matang. Dari wajah sih nggak bisa dibohongin, mereka terlihat lelah.

Hiruk pikuk siswa dan pengunjung pun meramaikan suasana. Apalagi ditambah dengan dentuman sound dari panggung yang membuat suasana makin meriah. Aku punya 2 stand. Stand kelas dan tentu saja stand ekstraku. Dan tempatnya pun bersebelahan. Aku cukup beruntung tapi tetap saja rasanya tidak adil jika hanya menetap di satu stand. Jadi, aku sering terlihat mondar mandir.

Aku membawa kendaraan sendiri. Sial! Ayahku benar-benar sedang sibuk sehingga aku harus membawa kendaraan sendiri. Untuk pertama kalinya aku pulang sangat larut. Saat semua teman temanku pulang termasuk Sakura, aku masih ada di stand ekstraku.

"Jadi mau aku antar sampai rumah?" tawar Shikamaru tiba-tiba.

"Ngikutin aku dari belakang?" aku bertanya setengah kalut. Aku benar-benar terlihat ketakutan sekarang.

Tiba-tiba seorang gadis berambut pirang -chan! Wajahnya sama sepertiku, setengah kalut. Apa yang dia harapkan dari Shikamaru?

"Shika, maukah kau…" terdengar ragu dan sedikit hati-hati, kurasa.

"…mengantarku pulang? Ayahku sedang tidak ada di rumah." Bahkan suaranya sangat lirih dan parau. Shikamaru kini bingung, tersirat jelas di wajahnya.

"Jadi kak, antar dia saja. Aku bisa minta bantuan Kiba atau mungkin Sasuke-nii." jawabku sekenanya. Minta diantar Sasuke-nii, yang benar saja? Tapi, Temari-chan sepertinya lebih membutuhkan Shikamaru daripada aku.

"Tenanglah Temari…" Shikamaru menatap mata gadis Temari itu seolah menenangkan.

"Maaf Ino, mungkin lain kali."

Aku tersenyum meng-iyakan. Detik berikutnya mereka beranjak meninggalkan tempatku berdiri. Punggung mereka makin menjauh.

"Jadi Temari ya?" aku menoleh ke sumber suara. Rupanya Choji-nii.

"Ya." Aku mengangguk pelan.

"Jika dilihat, mereka bahkan masih saling cocok." Ucapku sedemikian rupa. Aku menyunggingkan senyum. Rasanya sangat canggung tapi aku berniat sopan di depan Choji-nii.

"Ya… tapi Shika dikhianati. Mereka mungkin hanya tidak ingin saling memperburuk hubungan." Choji-senpai tiba-tiba mengatakan pendapatnya tentang mereka padaku. Sambil memakan keripik kentang, dia juga memandang ke arah Shikamaru dan Temari.

"…Jadi mereka memperbaikinya sekarang." Jelasnya sambil membuang bungkus keripik kentangnya yang telah habis.

Pemuda di sampingku ini hanya tersenyum kaku. Matanya ikut menyipit.

Untuk beberapa saat aku hanya diam dan melihat mereka lagi yang makin hilang ditelan kerumunan orang.

"Kak, bolehkan aku minta tolong? Ikuti aku dari belakang ya. Aku bawa kendaraan sendiri. Rumah kita searah, 'kan?"

"Rumahmu di daerah Hino kan?"

"Iya!"

"Oke. Ayo pulang."

Aku mengikutinya dari belakang. Dari halaman sekolah hingga parkiran cukup gelap. Walaupun banyak orang, aku bukanlah orang yang suka gelap.

Aku sedikit menoleh ke belakang,

Hubungan mereka yang terlihat baik-baik saja, semua hanya semu. Pada dasarnya mereka memang dibatasi. Dan Shikamaru masih sakit.

Entah apa kebohongan yang sudah dilakukan Temari-chan, seberapa kecil kebohongan itu, kebohongan adalah kebohongan.

Walaupun mungkin ada alasannya, apakah suatu saat pertemanan mereka akan membuat mereka kembali lagi? Bukan kembali pada kesalahan yang sama, tapi kembali memperbaiki kesalahan mereka sama-sama.

'Ino, dia pun juga kesalahanku…yang indah dan menyakitkan.'

Tiba-tiba ada dentuman kecil yang memukul dadaku.

Sial! Kenapa aku jadi mikir urusan orang lain? Ini pasti penyebab karena terlalu ingin tau urusan orang lain! Hey, dan apa yang aku rasakan barusan? Rasanya aneh tapi…

"no…Ino!" suara Choji-senpai seakan menggetarkan kembali gendang telingaku.

"Eh?"

"Kau daritadi melamun. Cepatlah."

"Iya Choji-nii! Aku akan kesana!"

.

oOoOoOoOoOo

.

Desember.

Ekstra sudah jarang mengadakan kumpul rutin. Tidak ada agenda dalam waktu dekat. Dan semuanya tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir semester satu. Ujian pertamaku yang sukses membuatku berkeringat dingin hanya dengan memikirkannya saja. Tapi seorang Ino tak mudah gentar begitu saja, jadi aku harus belajar semaksimal mungkin walaupun sampai larut malam. Tempat duduk diatur nomor absen, dan siapa yang akan tau bagaimana pengawasannya nanti. Tidak ada celah bagiku untuk matematika. Pelajaran itu, kelemahan terbesarku. Aku mendapatkan nilai D pada ulangan tengah semester yang lalu, mengerikan!

Waktunya satu minggu lebih, tiga hari saja sudah melelahkan apalagi selama itu. Walaupun hanya se-pekan, tapi hari-hari berlalu sangat lambat. Otakku terlalu panas untuk bekerja banyak. Yah, ini karena sudah lama aku biarkan sih, tidak sering latihan. Terlalu lelah juga untuk lembur. Dan alhasil, mataku lebih menghitam dari biasanya. Kurang tidur.

Jadi, selama itu aku seperti seseorang yang sedang berjuang melawan penjajah-lebih tepatnya, melawan soal-soal yang menyiksaku dan mengikis kepercayaan diriku.

Untung sekolah mengadakan class meet setelah ulangan berakhir, mungkin sebagai penghibur para murid yang jiwanya tengah terguncang menghadapi ujian. Yang dilombakan antar kelas adalah voli, futsal dan sepak bola. Bukan basic-ku, jadi aku hanya tim penonton. Satu lagi, karena aku mantan anggota cheer, aku berniat untuk menyemangati teman-temanku. Well, aku merangkap menjadi tim supporter yang berteriak-teriak. Terlihat sangat amatir.

Hari ini, aku menyaksikan pertandingan sepak bola antar kakak kelas dan kelasku.

Semua teman sekelasku datang ke lapangan untuk menyemangati teman-temanku yang menjadi tim inti. Akupun meneriakki nama mereka satu persatu lalu kami bertepuk tepuk memberi semangat. Setelah lama melihat, aku akhirnya sadar keberadaan Gaara. Gaara adalah murid yang banyak dikagumi oleh adik kelas, terutama cewek. Penampilannya yang super cool menjadi daya tariknya. Namun dia tak sombong sama sekali. Dari kelasku saja, ada tiga orang yang menjadi fans fanatiknya-bukan termasuk aku. Aku lebih suka ikut ikut tren sekarang, jadi aku bergaya seperti layaknya tiga temanku itu, histeris melihat Gaara-nii. Tujuannya sih, mendukung ke fanatik-an temanku secara positif. Jika secara negatif aku pasti sudah memelet Gaara-nii.

"Gaara-senpai keren! Sakura, kau lihat itu?!" kataku berbisik pada Sakura.

"Berhentilah menjerit Ino. Dia sama sekali tidak mendengarmu. Daripada Gaara, Itachi juga keren."

"Itachi? Hahahaha, kau benar juga."

"Tidak jauh berbeda dengan adiknya." Sakura kemudian melirikku.

"Hey! Kau menyindirku? Sudah aku bilang aku tidak suka lagi. Aku sekarang sedang suka…"

Dengan segera Sakura menoleh. Wajahnya menyiratkan rasa kecurigaan. Apa yang aku bilang barusan? Aku sekarang sedang suka…? Seketika aku melotot.

"Eh, bukan, bukan begitu, memangnya aku suka sama siapa?" aku mencoba menyela. Tapi sungguh, aku sendiri bingung apa yang ku katakan. Memangnya siapa yang aku suka saat ini?

"Jangan berbohong." Jawab Sakura menyelidik. Matanya tampak berkilat seakan dia adalah anggota tim interogasi.

Tiba-tiba,

Pelanggaran terjadi. Seseorang disana sedang ambruk dengan kaki tertekuk. Gaara. Lalu seseorang pemain cadangan berlari menggantinya.

Aku menoleh ke arah bangku cadangan lawan. Samar-samar terlihat tapi aku tau itu Shikamaru. Dia juga ikut dalam pertandingan ini? Memangnya dia pintar?

Terkesan meremehkan. Tapi aku baru tau jika Shika-nii juga pintar dalam hal ini.

Dia duduk bersama beberapa teman lainnya disana. Di belakangnya sudah berdiri teman-temannya yang tak kalah ramai dari kami.

Aku melihat cukup lama. Dan, tatapan kita bertemu. Shikamaru juga tengah memandangku. Aku memincingkan kepalaku lalu sedikit bergeser, takut-takut kalau dia tidak melihatku tapi melihat ke direksi yang lain. Dia tersenyum. Aku terdiam beberapa saat dan tak mengalihkan direksiku sama sekali. Lalu sedetik kemudian aku ikut tersenyum. Entah apa yang aku pikirkan tapi aku mengepalkan tanganku, memberi isyarat padanya agar terus semangat. Sepertinya dia memang memandangku dan menyadari maksudku.

"Siapa, Ino?" tanya Sakura.

Seketika aku menoleh ke arah Sakura, "Itu, kakak kelasku. Dia anggota ekstraku juga."

"Siapa?" Sakura memandang tajam ke arah pandangan yang aku tuju tadi, "Shikamaru-nii?"

"Yapp." Dengan yakin aku menjawab.

Sakura terkikik pelan.

"Kenapa?" tanyaku enteng.

"Tidak. Dia hanya lucu dengan pakaian seperti itu."

Aku ikut tertawa menanggapi pendapat Sakura. Ada benarnya pernyataan Sakura, jika dilihat terus menerus juga terlihat lucu. Aku tersenyum kembali dan Sakura memandangku beda. Mungkin dia heran karena aku tidak berhenti sejak tadi.

Walaupun Gaara telah keluar dari lapangan, tim lawan benar benar tak bisa diremehkan. Mereka masih punya Itachi yang terkenal telah menggandrungi klub sepak bola sejak lama. Juga beberapa penyerang yang tidak aku kenal.

Tapi tentu saja kelasku juga tak kalah hebat, aku percaya pada mereka.

Berakhir seri membuat mereka harus beradu pinalti, sayangnya yang keluar menjadi pemenang adalah tim kakak kelas. Skor tertinggal satu.

Kami semua kembali dan aku bertemu Shika.

"Shika-nii?"

Dia menoleh, "Ino? Tumben ada embel-embelnya?"

"Aku sedang berbaik hati, mungkin. Jadi, selamat." Aku mengulurkan tanganku. Dia balas menjabat tanganku.

"Yah… walaupun kau hanya cadangan hahaha." Aku cekikikan tanpa peduli reaksinya.

"Karena tidak ada yang cedera atau keluar lagi, jadi aku tetap duduk disana. Lagipula bermain itu merepotkan." Katanya yang terdengar enteng.

"Baka!"

"Aku belum dibutuhkan. Bukan berarti tidak dibutuhkan." Dia memandangku dengan senyum penuh arti. Mungkin dia ingin ber-PD ria atau bisa saja dia malah berniat meyakinkan dirinya sendiri.

"Hahaha…" Aku tertawa sekali lagi, "Kau masuk final…"

"Ya begitulah."

"Jadi harus lebih semangat!" kataku sambil memberi anggukan yakin.

Dia tersenyum. Sekali lagi. Teduh. Hangat. Senyuman yang jarang dia perlihatkan karena dia lebih suka tersenyum sekilas. Disana aku menemukan sesuatu,

aku mulai menyukai pemuda ini. Pemuda yang bodoh namun jenius.

Sekedar suka kah ini, seperti sebelumnya?

Perasaan sesaatkah ini?

Apakah ini akan menjadi buruk nantinya? Atau baik?

Semenjak beberapa kejadian terakhir ini, aku dan Shikamaru semakin dekat. Waktu bersamanya terasa sangat menyenangkan. Kita pun sering bertukar e-mail. Bahkan terkadang aku sering bercanda dengannya lewat e-mail. Dia sering mengingatkanku belajar karena dia tau aku sangat payah dalam matematika. Terakhir dia mengantarku pulang karena tidak ada yang menjemputku.

Aku tak tahu apa yang sedang aku hadapi sekarang. Terkadang rasanya tidak menyenangkan jika harus menyimpan semuanya sendiri. Kadang rasanya tidak menyenangkan jika harus memendamnya. Terkadang rasanya cemas, jika semua yang aku alami ternyata tidak berarti apapun. Mungkin terlalu awal untuk berharap. Tapi jika tak ada kesempatan, aku harap aku akan menjaga jarak dengannya secepatnya. Aku tak mau jatuh lagi.

Tapi aku juga berpikir untuk kesekian kalinya, jika aku menyukai seseorang, aku harus menerima semua konsekuensinya. Termasuk sakit.

Aku saat ini, aku benar-benar hanya seorang gadis yang menyukai pemuda karena terbiasa. Suka itu tumbuh disaat dia tersenyum bahagia dengan caranya sendiri dan aku melihatnya. Suka itu tumbuh saat aku sering bertukar e-mail dan dia membalasnya dengan sesuatu yang lucu, membuatku tertawa cukup keras di dalam kamar. Bahkan suka itu tumbuh saat aku melihatnya melakukan hal-hal kecil yang bahkan dia sendiri mungkin melupakannya. Semua natural.

Padahal seorang Ino hanya menyukai orang dengan tipe-tpe seperti Gaara. Perfectable. Tak berpikir untuk menyukai orang menyebalkan macam Shikamaru dengan wajah berantakannya.

Aku harus meyakinkan diriku sendiri, apakah ini benar-benar aku? Apakah ini yang dinamakan cinta dengan ke-apa adaan?

Dan aku hanya menjalaninya saja. Aku tak tahu apa yang terjadi di hari esok…

.

oOoOoOoOoOo

.

Sabtu sore, sehari sebelum liburan dimulai, Shikamaru mengajakku melihat film di bioskop.

Film yang dia pilih adalah film action. Aku belum tau bagaimana ceritanya tapi katanya, ini adalah film lanjutan dari film series sebelumnya.

Aku turun di daerah Yokoyama. Gedung bioskop tidak jauh dari pemberhentian bus. Udara cukup dingin dengan salju yang terus turun menutupi aspal jalan dan atap atap toko. Walaupun begitu, Tokyo tak pernah sepi nyatanya.

Aku mencepol rambutku dibelakang, sedangkan poniku masih menjuntai menutupi mataku. Aku menggunakan syal ungu dengan jaket tebal bewarna putih. Jeans biru dongker dengan beberapa robekan kecil dipadukan sepatu boots bewarna coklat membuatku sedikit keren sekaligus lucu. Meski begitu aku masih menggigil. Aku membeli satu cup coklat panas untuk menghangatkan tubuhku. Sambil menunggu Shikamaru, aku melihat daftar film yang akan diputar untuk waktu dekat.

Hampir 20 menit berlalu.

Shikamaru mengacak rambutku yang tertata rapi. Cukup tiba-tiba, aku menoleh ke belakang dan memprotesnya. Dia menertawakanku dengan sangat puas. Aku tak membawa kaca, baka! Ucapkku dalam hati. Alhasil aku hanya mengelus rambutku dengan tanganku. Dia sukses membuat penampilanku berantakan.

Jadi kita membeli dua tiket dan masuk karena waktu putar telah dimulai.

Kita sama-sama serius melihat film yang sedang diputar. Sesekali aku berteriak kecil. Aku tak tau bagaimana wajahku saat tegang, ku pikir karena penerangan yang minim, Shikamaru tidak akan tau ekspresiku. Tapi nyatanya dia tetap mengamatiku, dan well dia menertawaiku untuk kesekian kali. Apa-apaan. Aku merasakan pipiku memanas tapi kuharap dia tidak menyadari ada yang aneh dengan pipiku. Aku semakin bersembunyi di balik syal-ku. Tapi akhirnya aku memarahinya dan sewot sendiri. Terakhir aku menanyakan apa yang selanjutnya terjadi pada beberapa adegan di film itu, sepertinya ia sudah membaca sinopsisnya. Dia menjelaskan dan entah mengapa aku semakin mengantuk saja-ceritanya mirip dongeng sebelum tidur.

Aku melipat tanganku sambil menatap ke arah Shikamaru. Dadaku tiba-tiba bergemuruh. Detak jantungku berkejar-kejaran, bersiap untuk copot.

"Shika-nii?" panggilku lirih.

Dia masih melihat filmnya. Suaraku yang lirih juga menjadi penyebab dia tak mendengarku, sepertinya.

"Shika!"

"Eh? Kenapa?"

Ada sesuatu yang menahanku untuk tidak berucap dulu,

"…tidak. Hahaha, hanya memastikan kau tertidur atau tidak. Kau tukang tidur!"

Dia menggaruk kepala belakangnya cukup lama, "Pig! Jika ku katakan suki, apa…?"

"Heh?!" aku mencoba memperjelas pendengaranku lagi.

"Tidak tidak. Tidak ada apa-apa." Shikamaru kembali melanjutkan aktifitasnya.

Kita menghabiskan waktu dua jam untuk melihat film ini.

Pukul 17:00.

"Mau ku antar? Aku membawa motor." Tawar Shikamaru.

Aku menggelengkan kepala, "Pulanglah dulu."

"Aku akan ikut menunggumu sampai bus berikutnya datang."

Aku mengangguk tanda setuju.

Beberapa menit kemudian, busway yang akan membawaku pulang datang. Banyak orang yang berebut untuk masuk duluan. Aku menghela napas dan membuat banyak uap air di udara. Aku menoleh ke arah Shikamaru,

"Aku pulang dulu. Kau hati-hati." Aku melangkah menjauh.

"Kau juga, Ino! Jaga baik-baik kesehatanmu saat liburan nanti. Sampai jumpa." jelas Shikamaru setengah berteriak.

Aku tersenyum simpul. Tiba-tiba kakiku berlari mendekatinya, aku tak bisa mengontrolnya. Padahal aku tau aku akan tertinggal bus jika tidak segera masuk.

"Shika, daisuki ga…" aku mengatakannya sangat cepat. Aku menunduk, tak mau tau reaksinya terlebih dahulu.

Kami-sama, biarkan waktu berhenti barang sejenak saja.

"Sampai jumpa!" aku tersenyum menuju ke dalam busway. Wajahnya yang melihatku dari kejauhan itu tak bisa dijelaskan. Yang aku tau, dia juga kaget.

.

oOoOoOoOo

.

Menunggu sesuatu yang tak pasti sungguh melelahkan. Walaupun begitu, aku adalah orang yang keras kepala walaupun dipikiranku saat ini hanya ada kemungkinan terburuk.

Jika aku diberi satu permintaan, aku ingin mengetahui apa yang Shikamaru pikirkan sekarang.

Dan disinilah aku sekarang, menunggunya di sebuah kedai kecil. Shikamaru bilang, ada yang ingin ia bicarakan.

Sudah lewat dari jam yang dijanjikan. Dia terlambat.

Aku meneguk cappuccino latte yang masih berasap-menandakan masih panas. Berkali-kali aku mengecek ponselku walaupun nyatanya tak ada pemberitahuan yang berarti. Hanya beberapa grup yang meramaikan whatsapp.

Beberapa saat aku melihatnya lagi, ada pesan masuk. Aku membukanya, benar saja itu dari Shikamaru.

'Maafkan aku Ino, aku tidak bisa datang. Ada hal penting tentang Temari.'

Kenapa?

Kenapa disaat seperti ini? Kenapa Temari-chan?

Kenapa kedekatan mereka membuatku takut?

Tak bisakah Shikamaru menemuiku dulu? Dia yang telah memintaku datang tapi dia sendiri tak datang. Membuatku menunggu selama ini, kenapa?

Mataku memanas. Aku hanya terdiam. Aku sadar aku telah memaksakan diri sangat jauh. Aku tak pernah bisa membuka mata jika Shikamaru masih ingin bersama Temari. Bukan, lebih tepatnya aku terlalu bodoh untuk membiarkan semua kemungkinan buruk yang terjadi hanyalah menjadi pemikiranku yang tak aku hiraukan.

Sejak saat itu, aku ingin berhenti dari semua ini.

Berlari sekeras apapun, aku hanya akan berhenti pada tempat yang sama.

Rasanya ini adalah perasaan sesaat. Aku hanya perlu melupakan dan menghindar. Cukup dengan tidak berhubungan dengannya, aku pasti mudah lupa. Terlalu membosankan jika aku terus bersedih, Ino tidak pernah bersedih dengan waktu lama.

Shikamaru baka!

.

oOoOoOoOoOo

.

Sudah lama sejak saat itu, aku tak pernah menemuinya-lebih tepat menjauhinya.

Di jalanan yang tidak juga menghangat ini, aku berjalan bersama beberapa kantong belanjaan di tanganku. Aku mengajak Sakura tadinya, namun dia harus pulang duluan karena dia lupa jika keponakannya akan datang. Aku melirik lagi ke arah barang belanjaanku, kemudian aku menyadari bahwa jam tangan yang Sakura beli tertinggal di kantong belanjaanku.

"Dasar pelupa!" aku merutuk sendiri.

Sakura, dia sudah tau semuanya. Aku menceritakan semuanya tentang Shikamaru. Terus terang dia lebih mendukungku dengannya daripada Sasuke. Tapi setelah apa yang terjadi, aku memutuskan untuk mundur dan dia menghargai keputusanku.

'Jika dia jalanmu, dia akan kembali, Ino'

'Tidak ada jalan lagi, aku akan cepat melupakannya sama seperti yang sebelumnya, Sakura. Karena hanya dengan bersedih, aku akan cepat bosan.'

'Kau masih keras kepala, Ino. Kau bahkan langsung mundur tanpa tau alasannya melakukan itu.'

'Sebelum perasaanku terlalu jauh.'

'Kau hanya terlalu takut, Ino.'

'Aku baru sadar, kalau dia tak pernah benar-benar… Aku hanya terlalu berharap.'

Aku tersenyum kecut mengingat percakapanku dengan Sakura tadi. Aku kembali menatap lurus jalanan, dan disana berdiri,

Shikamaru.

"Shikamaru?"

"Ino. Lama tak jumpa. Maaf untuk beberapa waktu yang lalu…"

Aku tersenyum kaku, "Aku memaafkannya. Mungkin urusanmu dengan Temari lebih penting waktu itu." aku mengatakannya sambil meyakinkannya bahwa aku tidak apa-apa.

…hanya mundur.

Tapi aku tak berniat membencinya, sungguh aku tak membencinya sekalipun. Harusnya dia tau bahwa lebih baik dia tak usah mengatakan maaf. Itu tak masalah, aku sudah memaafkan semuanya. Hanya saja aku benci di keadaan ini, bertemu dengannya yang memasang wajah datar-bukan, ekspresinya sulit dijelaskan.

Aku ingin menghindarinya, sungguh.

"Aku menyukaimu, tapi aku…ragu."

Pikiranku buyar.

Ragu?

Dan dengan bodohnya aku pura-pura tersenyum dihadapannya, "Shikamaru, suka tak sebercanda itu. Jadi apapun yang terjadi, jangan membohongi dirimu sendiri…"

Kami-sama, bolehkah aku pergi dari perasaan ini?

Bolehkah aku berlari?

"Aku juga ragu." Aku menjawab sebisaku agar aku tak menghentikan langkahnya. Agar dia tetap berjalan tanpa mencemaskan aku.

"Maaf. Aku menyukaimu tapi aku harus mundur," kataku melanjutkan. Dadaku bergemuruh.

"…Apapun yang terjadi, kau tak sendirian Shikamaru. Kau harus melihat ke depan."

Angin menyeruak, sore berganti senja.

"Terimakasih, ini singkat tapi…menyenangkan."

Aku membungkukan badanku lalu berbalik meninggalkan Shikamaru tanpa menoleh sedikitpun. Air mataku mengambang di pelupuk, siap untuk diteteskan. Untuk beberapa lama aku terisak dalam diam sambil mengusap-usap pipiku.

Sejak saat itu, aku benar-benar pergi. Pergi untuk menjalani hidupku sendiri, mencari jalan lain.

Kami-sama, pertemuan ini, apakah berakhir sampai sini?

Tak bisakah aku mengulang waktuku?

Terkadang aku berpikir, apakah aku ini adalah orang yang mudah jatuh cinta?

Aku ingin menutup hatiku saja, setidaknya untuk waktu yang lama.

Shikamaru, aku akan merindukan semua yang pernah kita lakukan bersama. Senyummu, tawamu, diammu, cara bicaramu, cara berjalanmu, aku akan merindukan wangi parfummu juga.

Jika suatu hari ada kesempatan lagi, bolehkah aku bertemu dengannya dalam cerita yang baru?

Aku mendongak dan memandang yang langit tak berubah.

Hari esok itu memang lebih baik, bukan? Aku percaya itu.

Kami-sama, tolong lindungi dia.

Jadikan hari-hari yang ia miliki nanti adalah hari-hari yang membuatnya terus tersenyum.

Jadikan jalan yang ia pilih adalah jalan terbaiknya.

Kami-sama, tolong bantulah ia berdiri ketika ia terjatuh.

Terima kasih Kami-sama.

Jika nanti Shikamaru menemukan kebahagiaan baru, maka aku juga pasti ikut senang.

Karena semua tentangmu adalah kehangatan..

.

.

.

TBC

Hai para readers yang baik hati dan tidak sombong ( '-')/

Kali ini author yang (masih) kece ini membawakan satu lagi Fanfic romance dengan pair ShikaIno. Walaupun canon di Naruto udah pada keliatan, saya tetap suka sama Pair yang satu ini. Dan setelah sekian lama menelantarkan fanfic yang lain yang tentunya sudah jamuran, Laras ingin buat yang singkat aja namun tak singkat /?

Buat yang ini, ada sesi epilognya kok jadi bagi para readers, jangan bersedih hati melihat ending di chapter ini. Saya Cuma pengen memunculkan ke-mellow-an cerita ini kok, walaupun gagal :')

Ceritanya sendiri diangkat dari kehidupan saya, yang tentunya saya remake. Ini saya dedikasikan untuk seseorang disana yang jamuran juga menunggu updet-an saya._.v

Jadi, selamat tanggal 8 April. Yang ulang tahun, yang lagi enip, yang lagi sesi pemotretan, yang baca dan semuanya.

Semoga bisa menghibur.

Dan jangan lupa kasih kritik dan saranmu lewat review ya wahai readers yang budiman. Yang terpedas sampai yang terasin juga boleh /? Mulai dari penulisan EYD sampai ceritanya sendiri. Atau mungkin penokohannya. Semua Laras terima dengan senang hati lho.

Sampai jumpa di chapter depan! ^^

Salam manis,

Laras.

R

E

V

I

E

W