BABYSITTING [JeongCheol Twoshot Fanfiction] | Chapter 1
PDA Presents
Foreword
"I just want to know what a family is, and would it be nice to have one in this life. That's all."
A/N: You have to believe it, guys. The plot was just appeared in my dream last night! Yeah, tbh, I'm thinking too much about "how would it be if JeongCheol have a baby" before I fall asYoonp. It's my first time to have such dream. Did you know how it feels? Its too amazing to have one in these whole life!
.
.
.
"Terima kasih telah menggunakan jasa house moving kami. Semoga harimu menyenangkan. Later."
"Yeah, thanks for your help. Bye."
Siluet itu membungkukkan punggungnya beberapa derajat sebelum 3 orang pria berseragam itu menghilang dari balik pintu.
Tumitnya menyentuh salah satu kardus yang berserakan disekitarnya sebelum tubuh itu terhempas diatas sofa, merentangkan satu tangannya dipunggung kursi dan satunya lagi memijat keningnya yang pening.
Jeonghan membuang nafas kasar. Ini terdengar cukup mudah. Setiap ada daun pintu yang tertutup, maka yang tersisa hanya dirinya seorang diri.
"Apartement impian. Besar dan nyaman. Apa aku butuh yang lebih dari ini?"
Tawa sarkastik mendominasi gesekan antara sandal dan lantai mahoni yang mengkilap. Jeonghan menendang salah satu dus yang menghalangi pintu kulkas untuk terbuka. Air yang mengaliri tenggorokannya tidak begitu dingin. Lagipula, kulkas ini baru tiba setengah jam lalu.
Irama hentakan antara kaki gelas dengan meja counter tak membuat Jeonghan mengabaikan getaran handphone yang bersarang disaku celananya. Pesan singkat.
Jeonghan tahu ia masih punya pekerjaan malam ini sebelum liburannya yang langka akan dimulai keesokan harinya. Jadi ia membalas pesan singkat dari bos-nya yang membicarakan tentang datang tepat waktu dengan jawaban "jangan khawatir".
"Crap. It's June. The worst period of summer."
Jeonghan mengikat surai kecoklatannya yang panjang kebelakang selagi kakinya berjalan kembali keruang tv.
Tidak ada pilihan. Seseorang yang bertanggung jawab agar Air Conditioner bisa berfungsi di apartemennya itu berjanji baru akan datang esok hari. Keringat sudah membuat basah 50% dari kausnya dan Jeonghan memilih melepas T-shirt bergaris yang membalutnya itu sebelum suhu tubuhnya berubah menjadi semakin buruk.
Klik.
Jeonghan menyalakan tv. Phineas and Pherb pukul 3 sore dan itu tandanya tidak ada suara bayi.
"Huwweee... Huuweee... Bububu... Huueeeee..."
"BAYI?!"
Jeonghan terlonjak dari acara santainya dan demi Perry si platipus, suara tangis itu semakin kencang dan iya yakin jika semua berasal dari balik pintu apartemennya.
Drip drip drip! Jeonghan berlari untuk meraih knop dan berharap ia tak melihat apapun diambang pintunya namun...
"Hee?!"
Keranjang itu berkata tidak. Selimut itu menutupi makhluk kecil yang baginya tak lebih dari segumpal daging dan air liur yang tak bisa melakukan apapun selain menangis.
Dan seseorang yang tinggal disebelahnya juga mengeluarkan kepala diambang pintu.
"Hey, itu bayimu?"
"Kau bergurau? Bayi ini yang datang menghampirimu. Lagipula aku baru pindah kesini beberapa jam yang la-... K-kau?!"
Jeonghan melebarkan pintunya begitupula dengan kedua irisnya saat ini. Sosok itu juga tampak mengalami keterkejutan yang sama namun wajahnya yang membosankan tidak mengijinkannya untuk mengeluarkan ekspresi yang lebih manusiawi. Dan tangisan bayi semakin mendramatisir pertemuan mereka.
"Kau pelangganku saat di Jepang, benar?"
Dan seingatnya, nama pria itu adalah Seungcheol.
"Kukira kau Japanese."
"Aku yang seharusnya bilang begitu, bodoh."
"Kau mengabaikan bayimu."
"He's not mine, you dumb!"
"HUUWWEEEE...!"
"Aaarrgghh! Take him to your house, dude!"
Jeonghan menutup kedua telinganya rapat-rapat sambil sedikit mendorong keranjang bayi itu dengan kakinya.
"Dia diletakkan didepan pintumu. Kenapa melempar tanggung jawab padaku?"
"Kulihat keranjangnya diantara pintu apartement kita. Kurasa pemilik bayi ini akan lebih senang jika kau yang mengambilnya."
"Berhentilah mengeluh. Bawa dia masuk."
"H-hey... Apa-apaan kau?"
Sosok bertubuh atletis itu mengangkat bayi beserta keranjangnya dan menendang bokong Jeonghan untuk masuk kedalam.
"Huuummmm... Huuweee..."
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh 2 orang pemuda dengan bayi yang menangis didalam keranjang. Jeonghan merasakan ubun-ubunnya mengeluarkan asap dan orang yang berdiri disampingnya ini seperti tidak berguna sama sekali.
Jeonghan memilin bibir selagi membaca secarik kertas yang ia temukan dari balik selimut.
"Kau bisa memanggilnya Momo-chan. Dia bayi laki-laki yang sangat manis. Jadikan dia keluargamu. Terima kasih sudah mau merawatnya dengan baik.
P.S: Kumohon jangan tinggalkan dia sendirian. Dan jangan lupa, semangat!"
"Geez... Ano baka yaro..."
Kertas itu berubah menjadi gumpalan kecil saat kemarahan Jeonghan ia lampiaskan dengan meremat suratnya didalam kepalan tangan yang memerah.
"Pesan itu dari keluargamu?"
"Aku tidak punya satupun."
"Jadi dari seorang wanita yang kau hamili?"
"Just shut your mouth up, you sick jerk. You seemed never learn anything about the situation."
Seungcheol, begitulah namanya, memperhatikan tubuh Jeonghan terduduk dihadapan meja rendah dan menelungkupan tubuh lemasnya diatas sana.
"Ayolah. Dia tidak begitu buruk."
Jeonghan tetap tidak peduli saat ujung matanya sekilas melirik kearah siluet Seungheol (yang ternyata menjadi tetangga barunya itu) mengangkat tubuh sang bayi yang belum juga berhenti menangis.
"Dia tidak mau diam."
"Biarkan saja sampai dia lelah."
"Setidaknya kau harus mencoba mendiamkannya satu kali."
"Geez..."
Jeonghan mendesis dan memutar bola mata malas. Ia terpaksa bangun dan menyambut tubuh bayi itu dari gendongan Seungcheol.
"Bwah! Baba.."
Slap! Slap! Slap!
Bayi itu menepuk-nepukan tangannya didada Jeonghan yang telanjang dan berkali-kali menghantukan kepala kecilnya disana.
"Hey, aku bahkan tidak ingat jika ia sempat menangis beberapa detik lalu. Maksudku, dia terlihat senang sekarang."
Jeonghan menundukkan kepalanya sedikit untuk melihat ekspresi Momo yang terus mengeluarkan suara "bububu" semenjak berada digendongannya.
Pipinya berubah memerah. Bayi ini memang... Manis.
Smooch, smooch, smooch.
"Hyaa! Don't suck it!"
Jeonghan mencoba menjauhi Momo dari nipple kirinya namun bayi itu lebih tangguh dari apa yang terlihat.
"C'mon. There's nothing will came out. I'm not your mom. Hahaha."
Jeonghan terkekeh gemas meski rasanya sedikit nyeri saat Momo terus berusaha menghisap nipplenya sekuat yang ia bisa, berharap ada air susu keluar dari dadanya yang datar.
Jeonghan juga tak bisa menahan pipinya yang meruam merah karena malu. Ada orang lain yang memperhatikan mereka, namun rasanya lebih dekat dari sekedar tatapan yang melubangi belakang kepalanya karena tengkuk Jeonghan merasakan hangat dari hembusan nafas seseorang.
Smooch.
"H-hey... Apa yang kau lakukan?"
Tengkuk Jeonghan seperti tersedot dan liur Seungcheol yang membasahi kulitnya terasa begitu lembab namun hangat. Jeonghan memiringkan kepalanya sedikit dan meringis dengan mata terpejam.
"Ahn..."
"Don't turns on because of baby sucking your nips."
"I'm not!"
Drrt... Drrt... Drrt...
"Is it your phone?"
Seungcheol berbisik sebelum tangannya mampu merengkuh lekukan pinggang Jeonghan.
"Em."
Jeonghan mengangguk. Seungcheol berhenti dari ciumannya pada bahu Jeonghan dan Momo merengut karena tidak mendapatkan apapun setelah perjuangan kerasnya menyesap nipple itu.
"Yeah, its me. You don't have to recall me if just want to say that. Hm, I will go there now. Yeah, see ya."
Jeonghan menutup pembicaraannya. 'Sigh' kecil keluar dari sela nafasnya yang tidak teratur dan Seungcheol memperhatikannya dengan merelakan 40 detik pergi tanpa berkedip.
"Kau ingin pergi?"
"Aku bekerja."
"Kau masih melakukannya?"
"Memangnya ada yang lain?"
Jeonghan berhenti dan meletakkan Momo dalam posisi tengkurap diatas sofa. Bayi laki-laki itu terlihat sudah cukup terbiasa dengan suasana di Apartemen Jeonghan dan umpatan orang dewasa yang akan ia dengar setiap hari mulai dari sekarang.
"Itu artinya kau meninggalkan Momo sendiri."
"Kan ada kau. Jaga dia untukku selama aku pergi."
"Tapi-..."
"Aku butuh uang. Ditambah sekarang ada bayi yang harus kuurus, aku bisa apa?"
Jeonghan mencomot sepotong sweater dari salah satu kopernya dan mengenakannya dengan cepat.
"Mungkin aku agak terlambat malam ini. Besok hari liburku, dan aku harus membayarnya sedikit lebih keras dari yang biasa."
Jeonghan menekan pematik pada korek api dan mengarahkannya pada sebatang rokok yang ia sematkan diantara kedua belah bibirnya yang pink.
"I'm off-..."
"Tetaplah dirumah."
Jeonghan membiarkan api pada ujung rokoknya membakar gulungan tembakau itu pelan-pelan tanpa sempat menghisapnya lagi. Lengan panjang itu menahannya diambang pintu, menekan pinggangnya yang ramping sesuai lekuk tubuh yang terpahat disana.
"Tetaplah disini, dan bermain denganku."
"Kau gila. Aku ini bukan benda gratis."
Jeonghan menaikkan sudut bibirnya, menangkap setiap ucapan Seungcheol sebagai bagian dari hal yang selalu ia dengar setiap hari di club.
Seungcheol menekan bagian depan tubuhnya pada bokong Jeonghan, dan meremat areal perut yang berada dibalik sweater wol tebal itu.
"Kau ingin uang?"
"Beri aku bayaran yang sama seperti saat di Jepang. Kau pelanggan yang memberiku cash paling banyak dibanding yang lain."
"Apa itu artinya kau tidak jadi pergi?"
"Bilang ya atau lepaskan tanganmu dari selangkanganku."
"3 juta won."
"Setuju."
Jeonghan seketika berbalik dan mengalungkan tangannya dileher Seungcheol. Mereka berjalan menjauhi pintu hingga paha Seungcheol akhirnya menyentuh lengan sofa dimana Momo tengah berbaring sekarang. Pria atletis dengan surainya yang gelap itu memangka kaki kanan Jeonghan hingga pemuda dengan surai terikat itu terjatuh diatas lantai.
"Ini sakit, bodoh. Tambah 500 ribu lagi."
"Aku tambah sejuta untuk membuatmu tidak bisa berdiri saat pagi."
"Terserah kau saja."
Jeonghan tersenyum kecil dan Seungcheol menyambutnya dengan ciuman yang mengunci bibir itu didalam kulumannya.
"Bu bu bu bu... Gya!" Momo memperhatikan pergelutan yang terjadi antara Seungcheol dan Jeonghan diatas lantai. Kepalanya muncul dari balik lengan sofa dan sesekali kaki-kaki kecilnya yang lembut berjingkat-jingkat membuat suara tawanya terdengar naik dan turun.
"Kau menggagahi aku dihadapan bayi? Yang benar saja?"
Jeonghan membuka selangkangannya dan membiarkan kedua lututnya tertekuk. Seungcheol diatasnya, masih meraba-raba pahatan wajah tirus Jeonghan dan mengusap surai coklatnya sesekali.
"Bayi juga harus tahu bagaimana ia bisa terlahir karena perbuatan orang tuanya."
"Ah.."
Jeonghan mengeratkan cengkramannya pada bahu Seungcheol saat lubang anusnya menerima kedatangan penis itu didalam sana.
"Eumh! Ah! Ah!"
Semua dimulai dengan cepat. Seungcheol berkata blow job bukanlah style-nya karena sejak awal tubuh Jeonghan telah memancing birahinya untuk langsung menuju kepermainan utama. Ia tidak perlu perangsang apapun, karena hanya dengan mendengar suara Jeonghan sex terjadi diluar kendalinya dan pinggulnya menghentak dengan tempo yang lebih cepat dari yang bisa ia lakukan sebelumnya.
"Kau... Ah! Tahanlah sedikit. Ini akan menyakitkan bagiku jika kau terus-menerus menghentakkannya seperti ini, bodoh."
Jeonghan memalingkan wajahnya kekanan dan kiri bergantian saat Seungcheol melanjutkan tempo hentakan dalam persetubuhan ini lebih cepat dari 5 menit yang lalu. Tubuhnya terguncang dan lantai terlihat tidak begitu baik untuk dicengkram.
"Ah... Momo... Tolong aku..."
Jeonghan mengangkat tangannya mencoba meraih bayi kecil yang wajahnya saat ini terlihat lebih riang dari sekedar menonton kartun.
"Gya! Byuuu... Byuuu..." Momo berjingkat lagi dan terkekeh hingga mata bulatnya itu menyipit dibalik pipinya yang bundar.
"Agh!" Jeonghan menyerah untuk meminta bantuan pada seorang bayi, karena Momo sendiri terlihat lebih senang saat melihat dirinya kesakitan dibawah sini.
"Jangan ganggu ayah dan ibu, Momo-chan sayang."
"Byuu!"
Seungcheol terkekeh kecil sebelum mengunci kedua tangan Jeonghan disisi kepalanya dan mengucup bibir itu hingga desahan dan erangannya tenggelam dalam decak liur dan redaman kuluman hangat.
"Aku benci keluarga ini."
Jeonghan memiringkan kepalanya menjauhi tatapan dan seringaian Seungcheol yang membuatnya merasa tertindas. Ia tidak yakin dari mana rasa panas ini berasal, dan apakah jantung ini menghentak untuk sebuah rasa malu atau hal lain yang membuatnya tidak bisa berpikir dengan lebih bijaksana seperti biasanya.
Keluarga?
Ayah, Ibu, dan seorang bayi?
Apa ia benar-benar memiliki satu hubungan yang terdengar seperti itu sekarang?
Jeonghan membulatkan matanya dan dentuman yang lebih keras lagi kini menghantam telinga dan jantungnya.
"M-minggir!"
Jeonghan mendorong Seungcheol dan begitu ada kesempatan dimana penis itu tak lagi tertancap didalam lubangnya, Jeonghan berlari menuju kaar mandi dan mengunci dirinya didalam sana.
Seungcheol terkekeh kecil. Ia sempat melihat bagaimana wajah itu merah dan menghangat, juga detak jantung yang bertalu sama seperti yang tengah ia rasakan. Ini lebih menyenangkan dibanding berbaring diatas taman bunga sambil mengikuti pergerakan awan diatas langit. Seungcheol menyelipkan tangannya diantara lipatan ketiak Momo dan mengangkat bayi itu tinggi-tinggi sambil tetap berbaring diatas lantai.
Mereka berdua tertawa dan Seungcheol tidak punya alasan lagi untuk pergi dari keadaan ini. Seperti menemukan tempat dimana ia seharusnya tinggal. Tidak ada perasaan yang lebih baik selain tetap berada dirumah. Seungcheol mengecup kening Momo dan berkata pada bayi kecil itu jika ia tengah menunggu ibunya yang gugup karena bercinta didepan anak mereka.
"Jangan membodohiku, brengsek."
Jeonghan mengusap air matanya yang terakhir dan melihat wajahnya yang terlihat buruk didepan cermin. Air yang ditampung dibak washtafle terlihat cukup banyak untuk mengguyur seluruh wajahnya sekarang agar tersadar dari segala bayangan semu yang mengikat dirinya diantara fana.
"Keluarga itu tidak pernah ada... Keluarga itu tidak pernah ada..."
.
.
.
Sulit untuk menyadari keberadaan awan mendung diantara langit yang diterangi bulan. Jeonghan mengeratkan kain sweater dikedua sisi lengannya saat embun menggulung disela hembusan nafas yang menggigil. Korea dimusim panas seperti mencuri suhu diareal gurun, dimana siang terasa mencekik dan malam membekukan buku-buku jarinya yang ditekuk diujung 19 derajat fahrenheit. Temaramnya lampu jalan menuntun langkahnya meninggalkan convenience store menuju apartement mewahnya yang berselang beberapa blok dari situ. Jeonghan lebih memilih menggantikan air mata dan percikan suara keran dengan duduk didepan etalase sambil meneguk sekaleng soda. Ini lebih baik, lebih baik dibanding memikirkan bagaima harinya berlalu bersama gelas whiskey dan tangan-tangan panjang yang melingkari pinggangnya.
Meski kemanapun kakinya membawa ia pergi, Jeonghan tetap tak bisa meninggalkan gambaran itu pergi dari dunianya. Ia terbiasa hidup untuk tidak pernah lari dari pagi yang menjemputnya, juga meninggalkan malam yang dingin bersama jam waker disisi bantal.
Jeonghan menyundut ujung puntung rokok yang mengecil dengan sol sepatu, sebelum hujan akhirnya benar-benar turun dan Jeonghan memasuki gedung 20 lantai dengan pintu kaca yang terbuka otomatis. Lift berhenti dilantai ke-6 dan 3 pintu berselang disisi kanan adalah apartemennya. Jeonghan tidak ingat ia punya tetangga dengan badan atletis yang tinggal disebelah dan bayi laki-laki yang baru datang tadi sore. Jeonghan ingin melupakannya.
Ia menanggalkan sepatu sebelum menginjakkan kaki di lantai kayu. Ruang tamu terlihat lebih terang dibanding saat ia meninggalkannya dan kardus-kardus disekitar lantai telah ditumpuk disudut tembok. Jeonghan mengabaikan ruang makan dan berhenti didepan sebuah pintu yang tertutup. Ini kamarnya, tempat pertama yang ia masuki saat tiba di apartement ini dan ruangan terbaik yang ia miliki. Ia ingat dimana saja semua benda berharganya ia tata dan piama satin merah yang ia gantung didepan pintu kamar mandi. Ini terasa lebih menyenangkan saat ia mengingat jika besok adalah hari libur.
Dan saat ruangan dibaliknya ia masuki, Jeonghan lebih memilih bersandar didaun pintu dengan hembusan nafas berat dan kepala yang mendongak kelangit-langit. Ia tidak punya kata untuk diucapkan terlebih energi untuk berteriak dan menendang apapun yang ada didepannya. Jadi Jeonghan memilih untuk segera menukar pakaian dikamar mandi dengan piama satinnya, keluar setelah menyikat gigi dan mencoba menarik sebuah bantal disisi kanan tempat tidur yang tidak terpakai.
"Jeonghan,"
Langkahnya lantas berhenti saat seseorang yang ia kira telah tenggelam didalam mimpi kini menahannya dengan cengkraman dipergelangan tangan.
"Kau mau kemana?"
"Sudah cukup jelas, kan? Aku tidak akan pergi keluar rumah dengan piama dan bantal ditangan kiriku. Aku hanya ingin tidur diluar."
Jeonghan tidak tertarik untuk membalikkan badannya menghadap sosok itu yang kini duduk disisi tempat tidur bersamaan dengan decit ranjang yang mendengung.
"Tapi ini tempatmu. Jangan melakukan hal bodoh."
Jeonghan hampir tertawa kalau saja ia terlambat menggigit sudut bawah bibirnya yang memucat.
"Aku tidak suka dengan permainan rumah-rumahan seperti ini! Semuanya membuatku-..."
"Ssst..."
Seungcheol berdiri, membungkam segala kebisingan yang sempat memenuhi ruangan dengan sebuah pelukan dan kepala Jeonghan yang terbenam didada bidangnya.
"Lepaska-..."
"Kumohon... Jangan membuatnya terbangun."
Rontaan itu seketika mereda, digantikan dengan cengkraman kaku di sekitar pinggang Seungcheol dan nafas memburu dari dada Jeonghan yang berusaha berlari dari setiap emosi yang mengikatnya.
Jeonghan melemah. Ia bisa melihat dari balik punggung Seungcheol bagaimana bayi kecil yang terbaring ditengah-tengah tempat tidurnya kini menggeliat pelan sebelum peri tidur menimangnya kembali dalam lelap. Momo bukanlah halusinasi yang mengikutinya selama kaleng soda itu masih terisi, dan Seungcheol lebih nyata daripada suara hujan deras yang memukul aspal diluar sana.
"Aku lelah..."
Jeonghan mencengkram areal dimana air matanya menetes diatas pundak tegap Seungcheol. Ini sangat memalukan namun berdiri diantara mimpi dan fana yang sama-sama menipumu membuat Jeonghan berpikir jika dirinya ternyata lebih bodoh dari pada apa yang ia kira.
"Ayo, kita tidur."
Dan satu-satunya hal yang ia lihat sebelum mata ini terpejam adalah, Seungcheol yang menangkupkan tangannya diatas telapak tangan Jeonghan sepanjang malam, dan Momo yang tertidur dengan lebih tenang diantara mereka berdua.
.
.
.
Pagi ini berbeda. Jeonghan tidak punya suara alarm yang membangunkannya tiap jam 10 pagi. Namun ingatan semalam tidak juga meninggalkan bunga tidurnya hingga saat terbangun, Jeonghan meraba sisi bantal disamping kanannya dan mendapati ruang disana telah kosong, tidak ada Seungcheol. Apa matahari sudah setinggi itu?
Jeonghan mengerjapkan matanya pelan sebelum pupilnya benar-benar terbuka untuk melihat posisi jarum pada jam yang bertandang diatas dinding. Ini bahkan lebih pagi dari biasanya, pukul 7.
"Gyaaa~ bubu!" Jeonghan merasakan sedikit guncangan di springbed-nya karena Momo, bayi itu terbaring dengan mata terbuka dan memantul-mantulkan tubuh kecilnya disana, dengan pakaian yang berbeda dari semalam dan wajah yang bersih ditaburi bedak bayi. Aroma berry kini menggelitik hidungnya dan spontan membuat bibirnya tersenyum.
"Kau sudah mandi? Hihihi... Dari mana kau dapatkan baju ini?"
Jeonghan menjepit hidung Momo lembut dan mempertemukan dahi mereka saat tubuhnya tengkurap diatas bayi kecil itu.
"Fufu.. Byu!"
Senyum Jeonghan tertahan. Momo tidak punya jawaban dalam lisan namun kepala Jeonghan memikirkan sosok itu seketika. Seungcheol ada dibalik semua ini, ia tahu. Dan itu membuat Jeonghan memutar ulang apa saja yang terjadi semalam. Dadanya nyeri.
"Jangan tertipu, Momo. Ingatlah... Kau hanya punya aku didunia ini. Menatap langit gelap malam itu membuatku menyadari bahwa kita tidak jauh berbeda. Kau dan aku, sama-sama dibuang oleh mereka yang tidak pernah menginginkan keberadaan kita. Aku... Aku tahu bagaimana rasanya..."
.
.
.
Jeonghan mengusap rambutnya yang basah dengan handuk yang terkalung dibahu sambil berjalan menuju ruang makan. Ia menemukan sarapan diatas sana, dan set lengkap peralatan makan bayi yang baru dicuci. Jadi Momo sudah makan, pikirnya. Nasi beserta sup juga tersedia disana dan tertutup rapi dengan plastick wrap. Ini untuk... Dirinya.
Jeonghan membisu namun tangannya segera menarik kursi, mendudukan tubuhnya disana dan menautkan jari diatas meja.
"Aamiin."
Plop. Ia mempertemukan telapak tangannya dalam satu tepukan. "Ittadakimasu."
Jeonghan memakan nasinya yang setengah hangat begitu juga dengan sup, grilled salmon dipiring kecil dan ada nato didasar mangkuk. Ini benar-benar sarapan seperti saat di Jepang. Jeonghan jadi berpikir tentang Seungcheol yang mungkin saja berbohong soal kewarganegaraannya. Sigh.
Jeonghan menyelesaikan makan dan mencuci piring bahkan sebelum pagi melewati jam 9. Momo menunggunya diruang tv, tetap terbaring di keranjang bayinya yang diletakkan diatas sofa. Jeonghan duduk disisinya dan mengangkat tubuh yang tak lebih panjang dari pahanya itu, menciumi perut gembul Momo hingga bayi itu terkekeh.
"Kau tahu, pria itu tidak meninggalkan sedikitpun hal untuk kukerjakan. Harusnya ia tahu jika ini hari liburku. Aku tidak suka berdiam diri saja dirumah tanpa melakukan apapun. Sungguh mengesalkan."
Jeonghan menggerutu sementara Momo menepuk-menepuk paha Jeonghan diantara celah kaki mungilnya.
Dan siang berjalan dengan sangat lambat. Berkali-kali matanya melirik jam di dinding namun yang terjadi hanya pergerakan yang ia yakin tidak lebih dari 1 mili. Momo sudah berkali-kali terbangun dan tertidur kembali begitu pula dengan Jeonghan yang mondar-mandir menyiapkan air untuk susunya. Tidak ada yang membuatnya ingin mengeluh namun menghabiskan waktu seharian dengan cara seperti ini, Jeonghan berpikir jika ibu rumah tangga tidak seharusnya mengeluh saat ia memiliki banyak pekerjaan rumah untuk diselesaikan setiap hari. Menimang bayi saja seharian memang bukan hal yang buruk tapi ini cukup membosankan bila tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan.
"Hey, Momo... Ini pertama kalinya dalam hidupku aku membenci hari libur. Maksudku, tidak ada yang bisa kulakukan selain menekan perut bebek-bebek ini dan menyodorkan susu padamu."
"Dadadada... Byuuuu~"
Mulut Jeonghan makin mengerucut, dan Momo yang duduk diatas perutnya makin bersemangat memberi tepukan pada dada Jeonghan.
"Haha, you can't today. I've wear super tight polo shirt~"
Jeonghan terkikik melihat Momo yang masih berusaha mengusak-usakan wajahnya diareal dada Jeonghan. Pffftt... Jeonghan tidak akan bertelanjang dada lagi, terlebih Air Conditionernya diruang tv sudah bisa di hidupkan.
"Ah, aku tahu!" Jeonghan seketika bangkit dari baringannya.
"Sepertinya pria itu ada disebelah. Sementara aku jalan-jalan, kau bisa bermain dengan pria besar itu sampai aku pulang."
Jeonghan meninggalkan karpet dan juga Momo yang sibuk memasukan mainan plastik kedalam mulutnya.
Ia keluar dengan pakaian rapi. Jeonghan biasa berkunjung ke mall saat siang demi memastikan jika tabungannya tetap bisa mengimbangi bagaimana gaya hidupnya berjalan selama ini. Terlebih Seungcheol pasti sudah mentransfer uang itu tadi pagi, jadi membeli beberapa potong pakaian dan parfum baru bukanlah masalah untuknya.
"Ayo, kita keluar." Jeonghan menemukan sebuah gendongan modern di atas meja riasnya dan membawa Momo dengan itu. Seungcheol membeli semuanya disaat Jeonghan tidak bisa memperkirakan kapan pria itu keluar untuk berbelanja sebanyak ini.
Ting tong..
Jeonghan menekan belnya berkali-kali namun tidak ada sahutan. Apa pria itu pergi bekerja? Batin Jeonghan.
"Momo, bagaimana ini?"
"Guguga.. Kabum~"
Jeonghan membetulkan topi doraemon yang menutupi kepala botak Momo dan menghembuskan nafas berat beberapa kali.
"Aku tidak bisa berbelanja baju sementara kau ada digendongan ini."
Karena ia tidak terlihat seperti seorang ayah yang baik, terlalu muda dan terlihat tidak terampil. Jeonghan tidak sanggup menerima tatapan para pria di store jika melihat pemuda berambut panjang sepertinya menggendong seorang bayi didepan dada. Ia lebih terlihat seperti seorang... yah ia tidak ingin menyebutnya tapi... Ibu. Ia akan terlihat seperti seorang ibu muda.
"Dan hanya para ibu yang tidak akan menertawakanku. Maksudku, aku terlihat seperti mereka. Hey, Seungcheol! kemana kau?"
Jeonghan menendang pintu apartement tetangganya itu dan mengacak-acak poninya frustasi.
.
.
.
Seungcheol tidak pernah berada diperjalanan pulang saat matahari belum benar-benar sembunyi di balik langit ufuk utara. Senja masih menguning dan jalan di sekitaran district pertokoan tengah kota juga belum terlalu ramai. Seungcheol tidak memutar musik seperti biasanya namun bibirnya melantunkan nada yang lebih lembut dibanding jazz dan saxophone. Dan ia tidak benar-benar mengerti mengapa mobil yang dikendarainya kini terpakir didepan departement store yang menjual barang kebutuhan rumah tangga.
Seungcheol berhenti di depan etalase baby shop, melihat pajangan kereta bayi dari luar. Kakinya melangkah masuk dan sambutan hangat salah seorang pegawai toko ia balas dengan menanyakan bagaiamana dengan kereta bayi berwarna biru. Seungcheol juga menenteng beberapa pasang baju dan mainan saat keluar dari toko itu bersama salah seorang pegawai yang membawa kereta bayi untuk dimasukkan kedalam mobilnya.
"Tunggu sebentar."
Seungcheol memaku langkahnya lagi saat tubuhnya hampir mendahului Toko Perhiasan disisi kanan.
"Silahkan mampir jika Tuan butuh sesuatu. Aku akan menunggu."
Seungcheol mengangguk paham dan meninggalkan tas belanjaannya diluar kepada pegawai baby shop itu.
"Aku ingin sebuah kalung. Ringan, tidak terlalu mencolok, but it looks luxury. The precious necklace."
Seseorang menawarkannya satu dan Seungcheol langsung menyetujuinya. Ia membeli sebuah kalung emas putih tanpa bandul, namun mewah dengan taburan serbuk swarosky yang melapisi seluruh permukaannya.
Ini sungguh...
Menyenangkan.
Seungcheol akhirnya tiba dimobil setelah tas belanjaan lain sudah memenuhi troly yang ia dorong. Ya, Seungcheol memilih untuk menggunakan sebuah troly saat ia menyadari jika toko perhiasan tadi bukan tempat terakhir yang akan dikunjunginya. Ia membeli lebih banyak barang hingga setiap penjaga toko yang ia temui selalu berkata iri dengan kehidupan pernikahan seperti ini. Mereka selalu berkata, jika Yoon Jeonghan adalah istri yang paling beruntung didunia ini.
Namun Seungcheol hanya tersenyum, dan selalu siap menyangkal bahwa dirinya lah orang yang paling pantas disebut beruntung karena memiliki Jeonghan sebagai pendampingnya dalam hidup.
Jika saja itu benar-benar terjadi...
.
.
.
"Aku pulang."
Seungcheol cukup kewalahan dengan semua barang-barang ini. Ia hampir terjatuh saat hendak menanggalkan sepatu namun Jeonghan, pemuda itu berlari menghampirinya dan memegangi kedua lengannya hingga ia kembali pada keseimbangan.
"K-kau..."
"Kau bodoh. Jadi kau datang terlambat hanya karena membeli semua benda-benda ini?"
Jeonghan berkacak pinggang didepan pria yang beridiri membisu dengan semua kantung belanjaan yang masih memenuhi genggaman tangannya.
"Kau.. E.. Apron.. Maksudku... Kau memasak?"
Seungcheol tergagap dan Jeonghan membalasnya dengan pipi yang memerah.
Tuhan.
Jeonghan baru sadar jika ia belum melepas apronnya dan Sukiyaki yang ia tumis baru saja selesai dimasak. Rencananya gagal.
"Ah.. Em, aku... Ah, sudahlah! Kalau kau tidak mau makan masakanku itu tidak masalah."
Jeonghan berbalik dan demi dewi kwan in, Jeonghan tidak ingin Seungcheol menyadari jika ia memasak semua ini untuk pria itu. Jeonghan berpikir ia melakukan ini hanya untuk balas budi soal sarapan dan ia bisa mengatakan pada Seungcheol kalau semua ini dipesan dari restoran cepat saji. Tapi tak ada satupun dari kebohongan itu yang dapat terlaksana sekarang.
Jeonghan sudah meletakkan semuanya diatas meja dan ia tinggal mencuci semua peralatan masak itu dengan cepat. Momo sudah pergi tidur dari setengah jam yang lalu dan ia mendengar derap langkah Seungcheol kini semakin terdengar mendekati meja makan. Jeonghan tidak bisa berhenti menggurutui kebodohannya malam ini bersama suara bising panci yang ia cuci di counter.
"Terima kasih, Jeonghan."
Bunyi "prang" terdengar setelah tangan Seungcheol menyentuh lekuk pinggang Jeonghan dan dagunya mendarat diatas bahu sempit itu.
"Ini persis seperti apa yang aku impikan setiap malam. Ini yang aku cari selama ini, Yoon Jeonghan."
Air keran dibak cuci terus mengalir sementara tangan Jeonghan menggantung kaku, ia merasakan seluruh tubuhnya gemetar dan Seungcheol terus menghembuskan nafasnya dicuruk tengkuk putih itu.
"Be Mine, please."
"Aa!"
Pisau yang cukup jauh letaknya dari counter tiba-tiba saja terjatuh. Seungcheol refleks menarik tubuh Jeonghan dan beruntung, pisau itu mendarat cukup jauh dari kakinya.
"Kau tidak apa-apa?"
"Eum, tidak apa-apa. Disini bahaya. Dan... Sebaiknya kita makan sekarang sebelum mereka berubah dingin. Aku akan mencuci semuanya nanti."
"Tapi-..."
"Kumohon, Choi Seungcheol."
Jeonghan menarik kursi dengan cepat dan terkesan kasar, sementara Seungcheol mematung dibelakang pemuda itu.
"Kita tidak bisa... Lebih jauh. Sadarlah... Sejak awal ini hanya permainan."
Seungcheol berharap Momo terbangun, menangis, dan semua perkataan Jeonghan akan berhenti sampai disini.
"Aku bisa memainkan peran ini selama Momo ada bersamaku. Kau ingin tetap disini sebagai ayahnya? Itu tidak masalah. Dan saat kau mulai merasa bosan dan waktu menggerus segala ketertarikanmu terhadap playing house seperti ini, kau bisa pergi. Ini mudah. Apa bedanya antara punya Ibu atau Ayah saja? Aku bisa mengurus Momo dengan caraku sendiri..."
Apa yang membuat ini menjadi berat adalah, saat ia kembali mengulang kata "sendiri" diantara semua perasaan "menyendiri" yang terus menggelayuti hidupnya selama ini. Satu hari menjadi berbeda dari dirimu yang biasa tidak menggelapkan Jeonghan untuk tenggelam didalamnya dan terlena diatas semua kepalsuan yang terjadi. Sejak awal ia sadar, ini semua tidak pernah nyata dan Seungcheol hanyalah 1 dari sekian banyak pria gay lain yang memintanya untuk membangun sebuah hubungan yang lebih dari sekedar tidur bersama setiap malam dan kembali menjadi orang asing saat persetubuhan berlalu.
Jeonghan sudah terbiasa dengan semua ini... Ia mengenal lebih banyak pria seperti Seungcheol namun yang berbeda kali ini hanyalah situasi yang menempatkan cerita mereka terbumbu oleh ironi, kehadiran Momo diantara keduanya mempersulit Jeonghan untuk lari dari situasi seperti ini.
Jeonghan menunduk, dengan tautan jari yang bersembunyi dibawah dahinya. Ia kira malam ini akan menjadi makan malam yang konyol namun sakit yang menyerang dadanya lebih memuakkan dari sekedar mendapat tamparan di pipi.
"Pulanglah, Choi Seungcheol. Aku-..."
Kata-kata itu terkunci saat Seungcheol meraih dagunya, mencumbu bibirnya dengan sesapan dan balutan saliva yang dingin.
"Kau bilang ini permainan? Jika ya, maka aku yang akan memenangkannya. Berhentilah bersembunyi dibalik kaca yang sama sekali tidak melindungimu. Dia hanya merefleksikannya pada dunia bagaimana kau terlihat menyedihkan dengan segala ketakutan yang kau ciptakan sendiri."
"Kau hanya bertingkah seperti kau tahu segalanya."
"Aku mencintaimu."
"Katakan sebanyak yang kau mau."
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu..."
Dan Jeonghan tidak ingat, kapan terakhir kali ia mendengar seseorang mengatakan hal ini padanya, atau memang tidak pernah ada yang pernah menjanjikan hal sekeji ini selama ia hidup.
Seungcheol mengecupnya sebelum ada air mata yang keluar mengaliri pipi Jeonghan. Tidak ada makan malam. Dan malam berlalu bersama jari yang saling bertaut dan tatapan memohon untuk tetap tinggal lebih lama lagi. Momo terbangun setelahnya dan mereka menunggu fajar dengan mata tertutup.
Jeonghan mendekap Momo diantara balutan lengannya dan dada yang hangat, dan Seungcheol menuntun Jeonghan terlelap dengan belaian pada surai panjang pemuda itu dan tubuh yang terjaga.
Seungcheol membisikan kata yang sama disetiap detik tentang "Jangan lupakan malam ini." Dan "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
'Permainan rumah' ini baru saja dimulai. Jika satu hari dituturkan dengan begitu rumit dan panjang, maka Jeonghan bertanya-tanya apakah hari yang datang esok akan menyapanya dengan kemarutan yang sama atau tidak.
Jeonghan menarik tangan Seungcheol yang tergeletak di pinggangnya menuju dada. Tangan ini begitu kokoh, panjang, dan terlihat kuat namun hangat disaat yang bersamaan. Pria itu terlelap dan mengehembuskan nafas teratur ditengkuk Jeonghan. Jadi mungkin ini tidak apa-apa, membiarkan tangan itu tetap didadanya dan mendeteksi bagaimana jantung itu berdegup diluar jangkauan porosnya.
Jeonghan mengecup tangan Seungcheol, dan membiarkan air matanya yang terakhir menyentuh buku-buku jari pria yang tidak ingin ia relakan pergi, meski hanya dalam ekspektasinya saja.
.
.
.
To Be Continue
See you in the last chapter! ^^
Gimme feedback.
If you done read my story, then leave your review here in the return.
Have a lovely day with SEVENTEEN!
Gue akan posting tamatannya besok, karena sebenernya gue udah ngetik fanfic ini sampai fin. Well yeah, tergantung respon kalian juga
