vocaloid © yamaha corporation; rin, len, kaito © crypton future media, inc.; tidak ada keuntungan komersil yang didapat dari cerita ini.

peringatan: drabble; random; menjurus uhuqbluhuq (jangan kaget sama endingnya kay).

.


.

thirsty; rin haus—ia butuh sesuatu, asupan yang bergizi, katanya.


.

.

.


Bukan sekadar satu atau dua kali Len menerima pancaran ganjal dari seorang Rin. Gadis itu kakak kembarnya yang, tanpa alasan pasti, kerap merasa kurang nyaman jika mereka memutuskan belajar bertiga bersama salah satu kawan lelaki satu kelas di sekolah.

Serta hari ini bukan pengecualian.

Meski begitu, Len tetap tidak mampu menangkap kemafhuman atas sikap Rin. Terlalu menghelanya cenderung menuju arah penasaran—tapi ia tidak mungkin juga bertanya langsung.

Misalnya dengan Kaito.

Matahari semakin turun. Len tidak memberikan sikap apatis terhadap angka-angka yang disertai arah-arah berbeda. Di hadapannya terduduk seorang lelaki sebaya dan dengan helai-helai rambut biru yang teracak angin. "Aku tidak mengerti perihal vektor. Rin yang tahu caranya," katanya, mengambil ancang gerak menulis, namun diurung tolehan kepala ke arah lain. "Kau yang ajarkan kami, ya."

"Len, aku haus." Rin mendadak beku bersamaan pena yang digenggam kaku jemari kanannya. "Aku haus," ulangnya sebagai penegasan menggunakan nada yang lebih rendah dari seperti biasa, barangkali satu per sekian oktaf.

Kaito angkat suara. "Ini bukannya rumahmu?" Ia memiringkan kepala sembari mencoba guna mencerna untaian kata yang tadi terlontar bibir gadis berambut pirang sebahu.

Tangan kiri itu menyentuh leher, seolah menginsyaratkan ada sesuatu yang terdapat di kerongkongannya. "Tidak, Kai," katanya. Rin kemudian menyunggingkan senyum yang lagi-lagi ganjil (—itu merupakan satu-satunya yang tidak pernah dipandangi Len sebelum hari ini).

"Ada apa, sebenarnya?" Len menutup buku lebih kasar. Giginya sedikit bergemeretakkan jika diperhatikan secara saksama detik tadi.

Rin bergeming. "Sudah kubilang aku haus," tegasnya, "aku membutuhkan asupan cairan yang bergizi dan—ah, aku hanya akan mengajari Len lalu dia mengajari Kaito, atau sebaliknya saja? Terserah kalian." Ia mengangkat bahu tanpa keacuhan dan segera mengalihkan pandangan.

Len mengerutkan dahinya. Ia harusnya tahu arah pembicaraan ini, tapi ... apa? Lupakan saja Rin yang haus.

Kaito memutar pupil mata. "Baiklah, aku saja." Lelaki itu kemudian mempersempit jaraknya dengan Rin guna tidak terlalu sukar apabila bertanya mengenai suatu atau belasan hal, dan tampaknya gadis itu tidak keberatan walau bagaimana pun.

.


.

Sudah bergeraklah jarum panjang jam tersebut sejauh sembilan puluh derajat dari tempat asalnya terdiam. Kaito menghampiri Len yang tengah melamun, mungkin hampir mati jenuh. "Aku sudah tahu," bisiknya tepat di telinga lelaki pirang itu seraya memainkan jari di depan mata lawan bicaranya agar Len segera terkesiap.

(—dan Rin tanpa sadar terpaku.)

Len berbalik beserta segala ketidakrahuannya bahwa Kaito belum menggerakkan lagi raganya dari posisi tadi; bibir dekat telinga Len. Sontak saja sesuatu yang lebut mengenai pipinya. "Ap-" Ia terkejut, untung tidak kehilangan nyawa. Bagaimana mungkin bisa tidak? Pipinya ... terkecup bibir Kaito.

"Aku sudah tidak haus. Terima kasih."

Benar, bukan? Len mestinya tahu arah sejak awal.


.

.

.

fin

.

.

.


a/n: saya kembali tapi ini apaan sih whyyyyyyy AH INI AZUKIHAZL UDAH MULAI SUKA YANG BELOK YHA FIX. sumpah cuma iseng terus cuma buat pemanasan jari biar terbiasa ngetik lagi dan ah makasih yang udah baca :")

ah iya, indonesian fanfiction awards 2015 udah masuk bulan polling! ayo vote fanfic kesayanganmu

di: (salin) bit . ly / pollingIFA15 (hapus spasi)