NaruHina

Fenfik ini saya persembahkan untuk pecinta Naruto keren.

Karena saya sendiri suka sekali dengan fenfik orang lain yang memakai karakter Naruto yang gentle. Namun sayang sekali sangat sedikit fenfik yang seperti itu.

Karna saya kesulitan menemukan cerita seperti itu maka saya ingin membuatnya sendiri.

"Aku baru 18 tahun ayah!"

"Hn. Itu artinya kau sudah cukup besar Hinata."

"Astaga teganya ayah berlaku seperti ini padaku!"

"Semua yang ayah lakukan demi kebaikanmu."

"Ini tidak adil!"

"Tidak ada penolakan lagi! Kau tidak akan menyesal menikah dengannya."

"Tapi ayah!-'

Perseteruan itu diakhiri dengan Hiashi yang pergi begitu saja.

Ini bukan kali pertamanya hal seperti itu terjadi.

Ya.

Tapi ini puncak akhir dari semuanya.

.

.

.

Hari ini adalah hari terburuk dalam hidupku.

Hari pernikahanku dengan seseorang yg bahkan tidak pernah kukenal sebelumnya.

Dia kuno. Tua. Dan tidak keren!

Dan mulai saat ini aku benci dia!

Yang kutahu, dia itu selama ini hanyalah rekan bisnis ayahku.

Namanya bahkan baru ku ketahui sekarang. Naruto Namikaze. Dengan Usianya yang terpaut 10 tahun denganku!

Hidupku hancur! Setidaknya selama ini aku mendambakan pernikahan mewah bersama pria yang kucintai! Dan bukan dengan pria itu!

Photo preweding romantis. Juga kue pengantin besar yang ingin ku potong dengan pedang bersama suamiku yang juga tidak kudapatkan disini!

Pernikahan ini tertutup! Tidak ada seorangpun dari temanku yang mengetahuinya!

Disini hanya ada orang-orang berjas tidak penting yang sama sekali tidak pernah ku jumpai. Mereka tersenyum menjabat tangan ku memberi selamat. Seolah-olah mereka ini adalah teman baikku.

Menjijikan!

Dan sekarang.. Aku menangis disini.

Diatas ranjang berseprai merah bertabur banyak bunga semerbak.

Aku tidak peduli jika riasan wajahku hancur sekalipun.

Sungguh! Yang aku inginkan saat ini hanyalah sendirian.

"Mandilah.." Dan tanpa pria sialan itu!

Kutatap tajam tepat kearah matanya yang hanya menatapku tanpa makna. Rambutnya basah. Bisa kucium wangi aroma citrus segar mengguar darinya. Sudah jelas dia barusaja selesai mandi.

"Hiks.."Aku kembali tertunduk menangis menyadari jika sekarang aku akan terus hidup bersama dengan pria ini dan entah sampai kapan.

Dia berjalan mendekat dan aku tidak bisa terima itu.

"Pergi!" Bentak ku kasar. Dia tidak menggubris sama sekali dan malah semakin mendekat.

"Aku tau kau pasti lelah." Katanya.

Aku kembali menjerit saat dia mencoba menggenggam lenganku.

"Jangan sentuh aku!" aku menepis tangannya dan lalu melemparinya dengan bantal beserta benda-benda lain yang ada disekitarku.

"Aku tidak sudi melihatmu! Pergi kau! Hiks..'

"..." Dia masih terdiam menatapku datar.

"Hidupku hancur!" Dan itu membuatku semakin meracau marah.

"Dan itu semua kau penyebabnya Namikaze! Hiks.."

Bisa kulihat berbagai emosi dimatanya yang tidak bisa kutangkap apa maknanya. Tapi sedetik kemudian ia pergi begitu saja meninggalkanku tanpa sepatah katapun.

Dan sepeniggal-Nya, aku kembali menangis. Semakin terasa miris dengan keadaanku sendiri.

"Ini tidak benar.. Hiks.."

Emosiku semakin bertambah melihat nuansa romansa panas kamar ini.

"SEMUA INI TIDAK BENAR!!" Aku menjerit dan melemparkan semua gelas lilin-lilin yang ada dan merobek gaun pengantin yang masih ku kenakan.

"AKU TIDAK MAU INI..!!"

Beranjak menuruni ranjang dan lalu mengamuk membanting semua barang yang ada disini.

"Ini tidak adil ayah.."

Lalu aku terjatuh lesu disamping ranjang yang sama sekali tidak ingin ku tempati.

"Ini tidak adil.. Hiks.." Mataku perih dan aku sungguh lelah sekali. Tapi perasaanku sama sekali tidak membaik setelah menangis dan mengamuk seperti ini.

.

.

.

.

Naruto menatap jam yang ada dimejanya dan berdecak kesal.

Tepat tengah malam.

Seharusnya ini menjadi malam yang indah untuk setiap pasangan pengantin baru. Tapi ia bahkan tidak dapat merasakan indahnya malam pertama yang kata orang-orang begitu tidak terlupakan.

Entah sampai kapan ia akan terus duduk dikursinya dan bercinta bersama pekerjaannya yang mungkin tidak akan pernah selesai sampai kapan pun juga.

Dengan napas kasar Naruto beranjak pergi meninggalkan ruang kerjanya.

Ia berjalan pelan guna untuk mendengarkan suara dari ruangan yang berjam-jam ia tunggu kesunyiannya.

Tidak ada tanda-tanda adanya isak tangis. Tidak ada tanda-tanda adanya jeritan dan teriakan beserta suara lainnya.

Itu tandanya satu-satunya mahluk yang mengisi ruangan itu sudah terlelap.

Naruto membuka pintu ruangan itu dan tidak terkejut mendapati isi didalamnya yang nyaris seperti puing-puing kapal pecah.

Ia berjalan menghampiri seseorang yang meringkuk disamping tempat tidur.

"..." Setelah memastikan jika orang itu telah tertidur pulas. Naruto kemudian mengangkat dan membawanya dalam gendongannya.

Terdiam beberapa saat hanya untuk memperhatikan wajah sang gadis yang begitu berantakan.

"Jika saja kau sedikit dewasa. Akan kugauli kau saat ini juga." Ujarnya sedikit tersenyum melihat jejak mascara yang luntur disepanjang pipi Hinata.

"Sayangnya mentalmu masih balita." lanjutnya pelan.

Naruto mulai berjalan tanpa memperhatikan langkahnya.

"Akh.." Tepat diujung pintu, kakinya menginjak serpihan kaca yang entah berasal darimana.

Namun ia tidak berhenti sama sekali. Terus melangkahkan kakinya tanpa peduli dengan rasa sakit dan perih yang terasa semakin menusuk dikakinya.

Hal itu menyebabkan terciptanya jejak-jejak darah yang ia tinggalkan berhasil mengotori lantai yang dipijaknya.

Naruto membuka kamarnya tanpa perlu bersusah payah. Lalu merebahkan Hinata dengan sangat perlahan diranjangnya.

Lagi-lagi ia terdiam memandangi wajah sang gadis yang telah resmi menjadi istrinya kini.

"Cepat atau lambat.." Jemarinya terulur membelai pipi Hinata. Lalu menunduk untuk membisikan sesuatu.

"Akan kubuat kau jatuh cinta padaku.. Aku berjanji."

Lalu setelah itu barulah ia menyelimuti Hinata dan lalu pergi meninggalkannya kembali.

.

.

.

.

Suasana terik dikota tokyo menyadarkan kita akan pagi yang telah terlewatkan.

Hinata yang tertidur lelap terusik ketika sinar terik matahari jatuh menimpa wajahnya.

Dia mengerang tidak terima merasakan tulang-tulang tubuhnya yang mulai terasa pegal.

Lalu terbangun dengan perasaan yang kembali memburuk saat menyadari jika semua yang ia alami kemarin ternyata bukanlah sebuah mimpi.

Namun ia tidak ingin memikirkannya lebih lama lagi dan menghancurkan hari ini dengan tangisannya yang tidak akan bisa merubah apapun.

Dengan itu ia berjalan malas masuk ketempat yang sudah pasti.

Kamar mandi.

Sedikit terheran dengan suasana ruangan baru ini. Jujur saja ia sedikit terpukau.

Kamar mandi ini begitu luas dan juga mewah.

Ia bingung dengan remot yang tergeletak didekat cermin besar yang ada didepannya saat ini.

Dengan penasaran Hinata mengambil benda itu dan menekan tombol apa saja yang terdapat disana.

Begitu ia menekan salah satunya, ia dikagetkan dengan cerminnya yang tiba-tiba saja terbuka dan menunjukan berjejer botol-botol minuman yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Dibawahnya ada berbagai bentuk gelas yang terbilang lengkap. Dari yang terkecil sampai yang tertinggi. Dengan cepat ia kembali menekan tombol yang berbeda. Dan kali ini ia kembali terkejut dengan dinding disampingnya yang terbuka. Disana ada banyak sekali pakaian yang tergantung didalamnya.

Oke. Jadi apa tempat ini benar-benar kamar mandi?

Rasanya terlalu mewah untuk sebuah kamar mandi.

Namun Hinata tidak ingin berlama-lama ditempat ini.

Ia memilih menekan kembali tombol yang telah ia tekan sebelumnya.

Dan akhirnya semuanya kembali seperti semula.

Dan lagi-lagi ia berhasil terkejut. Namun kali ini dengam penampakan dirinya sendiri.

Astaga.. Dirinya benar-benar kacau!

Rambut panjangnya acak-acakan seperti sarang burung.

Mata sembab dengan wajah berantakan sisa make up kemarin.

Jangan lupakan balutan gaun indah yang telah ia sobek semalaman kini telah berubah compang camping tanpa bentuk.

Persis seperti orang gila.

Dua puluh menit kemudian..

Hinata keluar dengan hanya mengenakan kemeja putih kebesaran sebatas paha.

Rambutnya yang masih basah menyisakan tetesan air yang berhasil membasahi kemejanya.

Gadis itu berjengit menyadari jika tempatnya semalam bukanlah ditempat ini.

Namun ia tidak peduli.

Saat matanya menelusuri ruangan yang baginya sangatlah baru. Ia kembali mengernyit heran melihat ada jejak darah dibawah lantai.

Namun lagi-lagi ia tidak ambil pusing.

Dan memilih kembali menelusuri keseluruhan ruangan ini.

Ada soffa dan meja beralas karpet berbulu tidak jauh dari tempat tidur.

Lalu peralatan televisi dan segala macam benda elektronik yang diapit rak tinggi penuh buku tepat berada didepan soffa itu.

Tidak ada lemari pakaian.

Oh tentu saja, lemarinya sudah ada didalam kamar mandi.

Jendela besar bergorden abu-abu gelap didepan ranjang menghasilkan pemandangan menakjubkan jalanan kota tokyo yang selalu ramai dan dipenuhi gedung-gedung pencakar langit.

Keseluruhan nuansa kamar ini semuanya gelap. Mulai dari seprai beserta selimutnya pun berwarna gelap.

Dindingnya juga gelap.

Kesan dingin dan tenang dapat Hinata rasakan.

Tok tok tok..

Namun semuanya terhenti saat ketukan pintu terdengar jelas menganggu.

"Keluarlah. Kita sarapan." Dan suara berat itu terdengar lagi.

Membuat raut muka Hinata berubah seketika.

Tapi ia tidak punya pilihan. Perutnya memang sudah keroncongan.

Hinata keluar dengan menggerutu kesal.

"Apa tua bangka itu tidak punya pelayan?! Seharusnya antarkan saja makanannya ke kesini.'

Malas sekali rasanya harus bertatap muka dengan Naruto.

"Duduklah aku akan.." Naruto yang barusaja akan mengambilkan sesuatu terpaku ditempatnya berdiri setelah melihat penampilan Hinata saat ini.

"Apa yang kau lihat!?!" dan Hinata yang menyadari tatapan mata Naruto yang termangau hanya mendengus kesal. Ia tentu tau apa yang diperhatikan pria itu dengan dirinya yang seperti ini.

"Berhenti berkhayal pak tua. Aku sudah lapar!"

"Hn. Bisakah kau sedikit sopan atau kau sengaja menggodaku." Naruto pergi untuk mengambil omelete beserta sandwich yang telah ia buat sebelumnya.

"Kau boleh memujiku setelah memakannya."

Perkataan Naruto membuat Hinata berjengit tidak suka. Tentu saja. Semua orang bisa membuat telur.

Well, kecuali dirinya mungkin.

Hinata mencicipi nya dengan bibir mencibir meremehkan.

Namun ia terdiam dikunyahan pertamanya.

Astaga ini..

Ia mencuri pandang dengan ekor matanya kearah pria didepannya yang saat ini tengah menyeringai.

Sial. Harus ia akui ternyata semua makanan ini luar biasa! Lezat sekali.

Namun tentu harga dirinya melarangnya untuk melakukan hal semacam itu.

"Ekhem!" berdeham sekali guna membangun kembali raut muka acuhnya.

"Setidaknya aku tidak mati keracunan.." ucapnya sarkastik.

Ia tidak percaya pria tua itu bisa memasak.

"Hn. Tak apa jika kau malu untuk jujur." Naruto melebarkan seringainya memperhatikan makanan yang dimakan istrinya itu hampir tak tersisa.

"Jangan terlalu percaya diri!"

"Diamlah dan makan saja."

"Cih!"

"Tidak boleh ada percakapan dimeja makan."

"Terserah apa maumu."

Setelah menghabiskan semuanya Hinata hanya memperhatikan Naruto yang mulai membereskan semua bekas makanan mereka diatas meja. Pria itu tidak cekatan namun ia tampil tenang seolah semuanya telah biasa ia lakukan sendiri.

"Besok kau yang harus kerjakan semua ini." Celetukan Naruto membuat Hinata mendengus.

"Aku tidak mau"

"Hn. Dan aku tidak peduli." Naruto menimpali nya dengan santai. Asik mencuci piring.

"Kemarilah, ada yang ingin ku bicarakan denganmu tuan Namikaze."

"Hn. Sekarang kau juga Namikaze."

"Dengar. Aku ingin bicara serius denganmu.!"

Naruto menghampiri tempat duduknya kembali setelah menyelesaikan cuciannya.

"Hn. Bicaralah."

"Begini. Aku tidak peduli apapun yang kau lakukan. Aku tidak akan melarangmu. Kemanapun kau pergi atau dengan siapapun. Aku tidak peduli.."

"Tapi aku meminta hal yang sama darimu mengerti?"

Hinata menunggu jawaban Naruto yang kini hanya menatapnya datar.

"Bagaimana?"

"Tidak."

"Apa?!"

"Kau. Tidak akan kemanapun. Dengan. Siapapun!" Suaranya ditekan disetiap perkataannya.

Dan itu membuat Hinata kesal.

"Kau tidak bisa mengaturku!"

"Coba saja lakukan apapun semaumu jika kau bisa." Naruto menatap dingin Hinata dan membuat gadis itu berdecak kesal.

"Aku bisa melakukan apapun tanpa seizinmu!" Bentak Hinata keras.

BRAKK!!

Dan Naruto menggebrak meja membuat Hinata tersentak kaget.

"Tidak ada percakapan dimeja makan!"

"Dan itu pelajaran pertamamu disini Hyuuga." Setelah itu ia pergi meninggalkan Hinata begitu saja.

Dan membuat gadis itu marah sekaligus kecewa.

Ternyata Naruto tidak bisa diajak kompromi. Dia pria yang sangat egois. Dan itu membuat Hinata semakin membencinya.

Padahal barusaja ia memuji keterampilan pria itu. Tapi kini hilang sudah semua nilai baik yang telah Hinata berikan.

Pria itu memuakan!

Dan ia masih lapar sekarang.

Hinata memutuskan untuk mencari makanan apapun yang ada dilemari pendingin.

Dibukanya kulkas dua pintu itu dengan pelan.

Dan ia mulai mencari makanan yang bisa ia makan. Tapi nihil. Semuanya hanya ada sayuran dan bahan mentahan. Dan ia sangat malas memasak. Secara harpiah ia sama sekali tidak bisa memasak.

Hinata menghembuskan napasnya kesal.

Kenapa tidak ada makanan disini. Percuma saja ada kulkas tinggi besar ini jika tidak menyediakan makanan apapun untuknya!

Lalu ia memilih untuk mencari keberadaan sang pemilik apartemen.

Tidak terlalu banyak ruangan disini jadi tidak sulit untuknya menemukan pria itu.

"Err.. Namikaze bisakah kau.."

"Jangan ganggu aku."

"Tapi aku.."

"Tidakah kau lihat aku sedang bekerja Hyuuga?!"

"Hm.."

"Lebih baik kau bantu aku."

"Aku tidak bisa.."

"Aku tidak menyuruhmu mengerjakan ini."

"Lalu?"

"Ikut aku." Hinata mengekor dibelakang Naruto. Dan ia tidak tau pria itu akan membawanya kemana.

Dan disinilah ia sekarang. Memegangi penyedot debu dan kemoceng beserta peralatan kebersihan lainnya.

"Astaga aku tidak bisa!"

"Kau alasan semua kekacauan ini."

"Lalu harus kuapakan ini semua!" Hinata mengerang prustasi. Melihatnya saja sudah membuatnya lelah lebih dulu.

"Bereskan. Bersihkan. Rapikan. Mengerti?"

"Tsk! Tidak bisakah kau memanggil jasa kebersihan?!"

"Tidak."

"Aku tidak mau!"

"Hn. Aku tidak peduli."

"Keterlaluan!"

"Ingat. Jangan sampai aku menginjak pecahan kaca lagi." perkataan Naruto kali ini berhasil membuat Hinata termenung.

Sementara Naruto dengan senang hati kembali meninggalkan Hinata sendiri.

Ia tersenyum penuh arti. Membiarkan gadis itu membereskan kekacauan yang sudah dirinya sendiri perbuat semalam membuat Naruto sedikit tidak tega. Tapi ia harus melakukan itu agar istrinya punya rasa tanggung jawab dan kedisiplinan. Gadis itu tentu butuh banyak latihan agar menjadi dewasa.

Kembali kepada si gadis Hyuuga. Gadis itu kini masih menggerutu tidak terima. Tidak seharusnya ia disini! Tidak seharusnya ia melakukan semua ini.

Menyebalkan sekali. Tau begini jadinya ia akan berpikir dua kali untuk mengamuk tadi malam.

"Astaga.. Kenapa berantakan sekali!"

"Melihatnya saja aku sudah lelah.."

Dengan malas-malasan Hinata mulai menyalakan penyedot debu ditangannya dan bergerak perlahan membereskan kembali benda-benda yang ia lempar semalam.

1 Jam kemudian..

Naruto meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Lalu menutup laptop dan membereskan beberapa berkas yang baru selesai ia kerjakan.

Ia menatap arlojinya dan menyeringai menyadari sudah satu jam ia meninggalkan Hinata dengan pekerjaan kebersihannya itu.

"Kuharap seperti dugaanku." ujarnya tidak yakin. Naruto beranjak pergi untuk melihat semuanya.

Tepat didepan pintu masuk raut muka Naruto berubah datar. "Seharusnya aku sudah tau hal ini pasti terjadi."

Ia bisa melihat Hinata meringkuk diatas ranjang sementara seisi ruangan ini masih terlihat sama kacaunya persis seperti terakhir kali ia melihatnya.

Menghembuskan nafas pelan Naruto berjalan menghampiri Hinata yang tidak terganggu sedikitpun. Sedetik kemudian pria itu menyerngai senang. Tentu ia tau jika dibalik kemeja yang dipakainya gadis itu tidak mengenakan apapun lagi.

Naruto menaiki ranjang dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara apapun. Lalu memposisikan dirinya tepat didepan Hinata. Dan mulai memperhatikan gadis itu tanpa terlewat seincipun.

Dimulai dari poni ratanya yang menyingkap. Kedua alisnya. Bulu mata lebat. Hidung mungil. Bibir merah muda. pipi gembil. Turun ke leher jenjang Kulit putih mulus. Dada berisi. Naruto tidak bisa melanjutkan hal ini lebih jauh lagi. Sial dengan tubuh molek istrinya yang tanpa cela. Ia tentu tidak ingin menyiksa dirinya sendiri lebih lama lagi.

'Ingat Naruto. Mentalnya masih balita' Naruto mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak mengikuti nafsu birahinya yang berteriak meminta pelepasan.

Dengan itu ia beranjak dari ranjang dan bersikap seolah hal sebelumnya tidak pernah ia lakukan.

"Sampai kapan kau akan meringkuk putri tidur!" Lalu berjongkok dan menyentil dahi Hinata dan membuat si gadis membuka matanya tersentak kaget.

"Mhh.. Sejak kapan kau disini." terduduk dan berbasa basi. Hinata tentu tau Naruto tidak akan suka dengan cara kerjanya. Tapi heey! Ia tentu tidak akan menurut begitu saja.

"Kenapa kau tidak menyewa jasa pelayan saja. Aku lelah sekali.."

"Hn. Lelah menjelajah dialam mimpi maksudmu." lebih ke pernyataan. Naruto sama sekali tidak mihat ada sesuatu yang berbeda ditempat ini.

"Oh ayolah.. Aku sudah menyapu bersih semua pecahan kacanya. Dan kau tidak akan menginjaknya lagi!" Mengerang kesal Hinata malah mendapati Naruto yang mengangkat alisnya dan bersedekap.

"Maksudmu itu ha?" Naruto mengedikan dagunya kepojokan dimana disitu menjadi tempat persinggahan terakhir debu beserta pecahan-pecahan benda dari gelas kaca.

Dan Hinata hanya tersenyum kaku dibuatnya.

"Setidaknya aku sudah mengumpulkannya."

"Bereskan. Bersihkan. Rapikan. Dan tidak ada satupun dari mereka yang kau tuntaskan."

"Err.. Aku masih lapar."

"Melakukan ini saja tidak becus! Jangan harap ada yang memberimu makan."

"Apa?! Aku ini bukan pelayan!"

"Mana ada yang mau memperkerjakan orang malas sepertimu."

"Pelajaran kedua. Tidak bekerja maka tidak dapat makan. Mengerti!"

"Sialan." Hinata menatap kesal Naruto dan beranjak dari ranjang untuk memulai kembali acara bersih-bersihnya.

Dan Naruto tersenyum penuh kemenangan. Pria itupun juga tidak diam saja, ia ikut bergerak membereskan semuanya.

Hinata diam-diam mencuri pandang dari ekor matanya. Ia tentu tidak mengira ternyata Naruto adalah pria yang rajin dan pandai bersih-bersih. Dibandingkan dengan dirinya pria itu jauh lebih pandai membereskan semuanya. Dan entah mengapa hatinya sedikit tercubit menyadari kenyataan bahwa ia bahkan tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya.

Namun ada yang ingin ia tanyakan pada Naruto.

"Em.. Naruto.. Ada yang ingin kutanyakan padamu."

"Hn. Tanyakanlah." Naruto menimpal tanpa menoleh sedikitpun.

"Kenapa kau tidak menolak dijodohkan denganku.."

Dipertanyaan kali ini pria itu berhasil terdiam untuk beberapa saat.

"Kenapa kau bertanya."

"Sudahlah jawab saja."

Naruto menoleh dan menatap lekat-lekat wajah Hinata sehingga membuat gadis itu merasa heran dan sejujurnya ia sedikit agak grogi.

"Karna aku sendiri yang menginginkannya."

"..." Jawaban itu membuat Hinata bergeming.

"M-Maksudnya..'

"Tsk. Sudahlah jangan banyak bertanya!" Naruto mendorong dahi Hinata dan membuat gadis itu terdorong kebelakang.

"Ishh.. Berhenti melakukan itu!"

"Yasudah lalukan sendiri."

"H-Heey maksudku bukan itu!"

"Astaga.." Hinata menggeram marah. Sulit sekali berbicara dengan orang tua.

"Seharusnya aku ini dimanja!"

"Belanja, dan bersenang-senang!"

"Makan enak!"

"Hn. Honeymoon.." oke, yang ini tentu Naruto yang berbicara.

"Dan bukan melakukan semua pekerjaan ini!"

"Aku bahkan tidak pernah memegang benda-benda ini sebelumnya!" Kakinya menendang ember berisi air pel dan membuat air didalamnya meluap sedikit berceceran keluar.

"Anak manja. Jangan banyak bicara! Kerjakan saja."

"Kerjakan saja sendiri! Tidak seharusnya pengantin baru melakukan semua ini!"

"OH! Kalau begitu kenapa kita tidak bercinta saja." Naruto mendorong Hinata ke dinding dan mencekal kedua lengan gadis itu disampingnya.

"Apa!!"

Naruto menyeringai. Ia kemudian mendekatkan mulutnya ketelinga Hinata dan berbisik. "Bercintalah denganku maka kau akan kumanjakan."

"Brengsek.." Hinata berdesis marah.

Ia menginjak kaki Naruto yang dibalut perban kuat-kuat. Dan berhasil membuat pria itu meringis kesakitan dan menjauh.

"Jangan berani menyentuhku! Aku tidak sudi!" Setelah mengatakan itu Hinata melenggos pergi meninggalkan sisa pekerjaannya beserta Naruto yang terkekeh.

"Tunggu saja.. Akan kubuat kau memohon padaku nanti." Bisiknya penuh percaya diri.

Hinata merebahkan dirinya disoffa. Ia sungguh tidak mengerti dengan perkataan Naruto sebelumnya.

'Karna aku sendiri yang menginginkannya.'

Jadi maksudnya dia sendiri yang meminta pada ayahnya untuk menikahinya?

Tapi maksudnya apa? Kenapa dia melakukan itu?

Hinata tentu tau Naruto tidak bermaksud meraup keuntungam dibalik ikatan pernikahan ini. Justru sebaliknya.. Ayahnyalah yang banyak mendapat keuntungan lebih. Hinata tau perusahaan yang dipimpin ayahnya tengah berada diujung tanduk. Dan ia tidak sebodoh itu sampai tidak menyadari maksud ayahnya yang sebenarnya.

Lalu kenapa?

'Apa dia memiliki perasaan padaku?'

Terbersit pertanyaan itu dibenaknya. Namun Hinata menepisnya jauh-jauh.

"Mana mungkin.. Kita bahkan tidak pernah bicara sebelumnya." Gumamnya tidak pasti.

"Ah sudahlah masa bodoh!" Hinata sudah malas memikirkannya lebih jauh.

Yang harus ia lakukan sekarang adalah menelepon seseorang agar menjemputnya dari tempat ini. Ia tentu tidak ingin seharian berdiam diri disini dan melewatkan harinya begitu saja.

Dengan cepat Hinata mencari ponselnya yang entah dimana keberadaannya sekarang.

Dan setelah berlama-lama mencari akhirnya ia menemukan ponsel kesayangannya itu berada didalam tas beserta koper miliknya yang entah sejak kapan berada disini.

Hell iya.. Kenapa barang-barang nya sudah ada disini? Apa Naruto yang memindahkannya?

Ah masa bodoh. Yang penting sekarang ia harus cepat-cepat keluar dari tempat ini.

"Halo Sasuke-kun tolong aku.."

"Tolong jemput aku. Lihat lokasiku di gps mu.."

"Baiklah aku akan-" Sret!

Hinata tersentak kaget saat tiba-tiba saja ponselnya diambil dengan cepat.

"Tidak ada yang akan kemana-mana. Kau tidak perlu repot bocah." Oleh Naruto.

Pip. Tentu saja pria itupun langsung memutuskan sambungannya begitu saja.

"Beraninya kau!" Hinata mencoba mengambil kembali ponselnya. Namun Naruto tidak membiarkannya.

"Kembalikan ponselku!"

Naruto menatap datar Hinata.

"Jangan pernah hubungi dia lagi." Ucapnya dingin.

"Itu bukan urusanmu!"

Lalu pria itu menyeringai mendengar jawaban Hinata barusan.

PRANKK!! Dan tanpa basa basi melemparkan ponsel yang masih ada ditangannya itu dengan kuat.

Membuat Hinata menjerit tidak terima. "Kenapa kau lakukan itu! Itu ponselku!"

"Hn. Itu bukan urusanku." Setelah itu ia pergi meninggalkan Hinata untuk yang kesekian kalinya.

Ini wilayahnya dan gadis itu harus tau jika dirinya tidak dapat dijajah oleh siapapun.

Hinata memunguti sisa sisa ponselnya yang telah hancur berserakan. Ia sungguh tidak menyangka jika ternyata watak Naruto sangatlah keras dan tempramen. Tidak seharusnya pria itu bersikap seperti ini padanya.

Namun disisi lain Hinata mulai mengerti.

Jika perintah pria itu adalah mutlak! Dan ia tidak diberi pilihan lain selain harus menurutinya.

Barusaja ia memuji pria itu. Tapi kini lagi-lagi ia harus menghapus kembali ingatan tentang sisi baik Naruto yang menurutnya langka itu dengan lenyap. Tidak ada kebaikan sama sekali.

Dia memang memuakan!

.

.

.

.

.

Naruto berdecak kesal. Ia memikirkan kembali perlakuannya pada Hinata beberapa saat yang lalu.

Apa sikapnya keterlaluan?

Otaknya jelas mengatakan tidak. Berbeda dengan hatinya yang mengatakan iya.

Jelas ia tidak salah. Pria mana yang akan membiarkan istrinya berkeliaran bersama laki-laki lain?

Namun ia tidak menyangkal jika sikapnya memang terlalu keras barusan.

Tapi heey! Ia tidak suka Hinata berbicara dengan lelaki lain selain dirinya. Sudah cukup ia berdiam diri selama ini. Dan sekarang ia tidak akan membiarkan serangga manapun mengganggu miliknya. Sebut saja ia egois dan posesif. Ia tidak peduli selagi itu menyangkut Hinata.

Dengan itu Naruto bergegas mengganti bajunya dan kembali mengahampiri gadis itu yang lagi-lagi saat ini ditemukan tengah menangis terisak.

Melihat itu membuat Naruto menghembuskan napasnya panjang.

"Ganti bajumu Hyuuga. Kita keluar"

Hinata menatap tajam Naruto dan pergi begitu saja.

"Oh ini akan sulit." Naruto berjalan mengikuti kemana langkah si gadis pergi.

Dan mengetuk pintu kamar kala pintu itu dikunci dari dalam.

"Jangan buat aku merusak pintu ini Hinata."

"Buka pintunya."

10 menit Naruto bersender disamping pintu. Mencoba untuk bersabar. Setelah dirasa tidak ada tanda-tanda Hinata akan keluar barulah Naruto kembali berbicara.

"Kuhitung sampai lima.. Jika kau masih bersikeras. Maka terpaksa aku akan.."

"Akan apa ha?" Hinata membuka pintu dan muncul mengenakan dress hitam selutut dengan rambut yang diikat tinggi.

"Hn. Aku jadi tidak perlu meninggalkanmu."

Naruto menarik dan menggenggam jemari Hinata keluar dari apartemen nya. Pria itu tidak mempedulikan berontakan gadis itu yang berusaha melepaskan genggaman tangannya.

Saat mereka sampai didepan mobil tiba-tiba saja seseorang menarik tangan Hinata dan membuat Naruto berjengit.

"Siapa kau ha?" Naruto menarik kembali Hinata kesisinya dengan kasar dan membuat gadis itu sedikit meringis.

"Hey, harusnya aku yang bertanya begitu padamu! Siapa kau.. Dan lepasakan tanganmu dari kekasihku."

Naruto terkekeh membuang mukanya kesamping.

"Berhenti berkhayal bocah! Sekarang dia-"

"Umh.. S-Sasuke-kun tidak apa-apa. Tinggalkan kami. Nanti ku jelaskan."

Naruto menatap tidak suka dengan Hinata yang tiba-tiba saja memotong perkataannya. Rahangnya mengeras menyadari jika Hinata mencoba menutupi status hubungan mereka.

Dengan kedewasaannya Naruto membiarkan Hinata bercakap-cakap dengan lelaki yang dipanggil Sasuke itu. Ia memilih memasuki mobilnya dan menunggu sedikit lebih lama lagi. Matanya tidak lepas memandangi interaksi kedua sejoli itu dari kaca spion mobilnya.

Setelah dirasa lama Naruto membunyikan klakson mobilnya berkali-kali untuk memperingati Hinata.

Namun yang muncul menghampirinya bukanlah istrinya. Melainkan bocah tengik berambut emo itu.

"Hinata pergi bersamaku kali ini. Lain kali aku akan membiarkannya denganmu. Oji-san"

Naruto memejamkan matanya dengan gigi bergeletuk. Ia tidak percaya jika Hinata mengenalkan dirinya sebagai pamannya kepada lelaki tengik ini. Kedua tangannya meremas kemudinya dengan kuat.

Matanya datar menatap kepergian mobil Sasuke.

Namun sedetik kemudian ia menyeringai. "Baiklah Hyuuga. Aku ikuti cara mainmu."

Naruto menghubungi seseorang yang tentu saja akan sangat senang dihubungi olehnya.

"Pastikan penampilan terbaikmu.. Aku akan menjemputmu sekarang."

.

.

.

-TBC-