.
.
.
The Truth Untold © mochijm
BTS belong to God, their parents, Bighit.
Warning: taekook college au, hurt/comfort, best friend, alur maju-mundur, two-shoots.
Playlist:
1. All of Me – John Legend
2. Dari Mata – Jaz Mckay Cover
3. The Truth Untold - BTS
Enjoy dear!
.
.
.
Jungkook bisa menghabiskan waktu delapan jam duduk diam di atas kasur sembari memikirkan Kim Taehyung. Pemuda itu memiliki perawakan kurus tinggi dengan rambut hitam yang tergerai panjang hingga sebahu. Saat melakukan sesuatu, Taehyung akan mengucir rambutnya menjadi satu ke belakang. Dikucir ala kadarnya, tak memakai sisir sehingga terlihat berantakan dan natural. Kebanyakan hari, ia hanya akan membiarkan rambutnya berantakan dibawa angin.
Tak beraturan, tapi seksi.
Jungkook pernah iseng mengepang rambut panjang Taehyung saat ia tidur. Rambutnya lembut seperti kelihatannya, wangi kayu-kayuan dan Taehyung sekali. Jungkook amat menyukainya. Kemudian ketika ia tertangkap sedang memainkan rambutnya, Taehyung akan menggeram marah dan Jungkook yang lari entah kemana.
Keduanya sama-sama suka bermain Overwatch. Sehingga, tiap malam minggu, mereka janjian main bareng dirumah masing-masing. Atau terkadang mereka akan bermain dirumah salah satu. Berteriak, saling memaki, bahkan memukul. Kebanyakan mouse milik Taehyung yang menjadi korban kebringasan Jeon Jungkook.
"Tae, diam! Kakimu, astaga, jangan bergerak!" Jungkook menginjak kaki Taehyung dengan miliknya, "Ah! Bangsat, ini gara-gara kau, Kim!" lalu mouse ditangannya melayang entah kemana diikuti bunyi prak kencang setelahnya. Taehyung hanya meringis.
"Kook, itu mouse kedua puluhku yang kau rusak."
Jungkook mendelik dan memukul kepala belakang pemuda disampingnya, "Kau pikir aku peduli?"
"Ouch," Taehyung mengelus kepala belakangnya. "Bisa tidak sehari saja kau tak berbuat KDRT padaku? Ibarat tulang, sudah remuk aku, Jeon!"
Jungkook memutar mata malas, beralih menyenderkan tubuhnya pada kepala kursi. Desahan panjangnya tertangkap ditelinga Taehyung, membuatnya terkekeh pelan. Ikut merebahkan diri namun ia lebih memilih meletakkan kepalanya diatas paha Jungkook. Meski keras, karena bocah kecil itu suka olahraga, tapi hangat. Dan yang paling penting, karena itu Jeon Jungkook. Bayi besar kesayangannya. Sahabatnya.
"Ah, Kim, pergi dari sana. Kau berat."
"Itu hyung untukmu, bocah," Taehyung menyentil dahi Jungkook, membuat Jungkook menutup mata refleks. Kemudian ia hanya bergumam tak jelas, terdengar seperti umpatan. "Aku lelah, mau pulang. Antar aku, atau kulaporkan ibu jika kau menelantarkanku di jalan."
Taehyung terkadang dibuat gugu karena sikap kekanakan dan barbar Jungkook. Ia terlihat dewasa dimata semua orang, namun jika bersamanya Jungkook hanya seperti manusia biasa. Ia marah, kesal, menangis, bahagia, dan sifat lain yang tidak semua orang tahu. Untuk mencapai level ini tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan, Taehyung susah payah menghancurkan tembok tebal yang Jungkook pasang dibalik wajah garangnya.
Awal kenal dengan Jungkook, sekitar dua tahun lalu saat ia memulai kehidupan kuliahnya menjadi freshman. Taehyung menjadi salah satu panitia senat yang bertanggung jawab membimbing adik tingkat. Dan kebetulan, Taehyung dan Jungkook berada di satu fakultas. Jungkook luar biasa diam, di kebanyakan waktu ia hanya mendengarkan. Mengikuti apapun perintah kakak tingkat tanpa protes, kemudian pulang. Se-membosankan itulah awal kehidupannya.
Saat itu panitia mengadakan pensi dadakan di aula. Ketua senat, Kim Namjoon, dengan semangat meneteng sebuah gitar dan mendekatkan mic di depan bibir kemudian berteriak lantang, "Siapapun yang bisa bernyanyi dan mau maju ke depan, aku akan memberi nomor Kim Taehyung pada kalian!"
Tidak banyak perempuan di fakultas mereka, memang, tapi adanya perempuan itu cukup membuat aula sedikit heboh. Belum lagi suara protesan Taehyung yang tidak terima dirinya menjadi tumbal. Semua yang ada di dalam sana tertawa, namun tak ada satupun yang maju. Namjoon jelas bingung.
"Haloo? Jadi, tidak ada yang mau nomor Taehyung?"
Semua mahasiswa baru terdiam, menoleh kanan kiri memeriksa barang kali ada yang bernyali besar untuk maju. Beberapa saat kemudian Namjoon hampir menyerah dan menyuruh Taehyung saja yang bernyanyi, tapi ruangan itu mendadak hening ketika seorang pemuda berambut hitam berdiri dari tempat duduknya. Ia menunduk begitu dalam, dan poninya hampir melebihi garis matanya.
"Woaah! Bagus, aku akan memberimu hadiah khusus, kemari hoobae manis!"
Namjoon tersenyum sumringah, ia memberikan gitarnya pada Taehyung yang diterima dengan satu alis terangkat bingung. Namjoon tak menghiraukan dan berjalan kearah si pemuda yang dengan malu-malu naik keatas panggung. Suara riuh mahasiswa menggema ke seluruh aula, dan Namjoon merangkul bahu si pemuda ke tengah-tengah.
"Jadi, sebutkan nama dan jurusanmu."
Pemuda itu sedikit mengangkat kepalanya dan memandang kerumunan di depannya, badannya sedikit condong ke depan untuk mendekati mic yang di pegang si Ketua Senat. "Jeon Jungkook, jurusan arsitektur."
"Hmm, jadi Jungkook, apa yang ingin kau nyanyikan?"
Jungkook berpikir sebentar. Taehyung yang ada di belakang mereka hanya menghela napas lelah, duduk di bangku yang sudah di siapkan dengan pasrah. Namjoon dan sikap seenaknya sendiri.
"Uhm… All of me?"
Namjoon menoleh ke belakang untuk meminta persetujuan Taehyung, dan ia mengangguk lemas. Ia langsung memberikan micnya pada Jungkook dan menyuruhnya untuk berdiri di samping Taehyung yang sudah siap dengan gitar di pangkuannya.
"Baiklah, ini dia penampilan spesial dari Jungkook dan Taehyung! Music, cuee!"
Lampu aula tiba-tiba padam, gelap gulita itu membuat yang ada disana sedikit terkejut. Kemudian, samar petikan gitar mengalun pelan diikuti temaram lampu meng-highlight Taehyung dan Jungkook. Ketika intro yang Taehyung lantunkan mencapai akhir, suara hembusan napas halus Jungkook membuat penonton merinding.
'What would I do without your smart mouth?'
Seperti dihantam palu, Taehyung menegakkan punggung dan mendongak menatap pemuda disampingnya yang bernyanyi jauh dari lubuk hatinya dengan mata tertutup. Kedua tangannya menggenggam erat mic, dan suara indah itu membuatnya seakan melayang ke langit tujuh. Taehyung kembali menatap tangannya yang dengan lihai bermain diatas string, tersenyum penuh makna.
Setelah itu, Taehyung tak pernah absen mendatangi Jungkook.
.
.
.
"Kim."
"Hm."
Taehyung mendengung protes ketika Jungkook mengganggu tidurnya dengan mengguncang bahunya. Ia membuka sebelah matanya dan samar-samar melihat wajah Jungkook yang tepat berada diatasnya. Jungkook mendengus malas menarik salah satu pipi si pria Kim.
"Pahaku sakit, bodoh. Kau sudah tidur selama satu jam, sekarang bangun dan gendong aku ke kasur."
Kali ini giliran Taehyung yang mendengus. Dengan masih setengah sadar ia beranjak dari paha Jungkook yang dengan seenaknya ia pakai sebagai bantal dan meregangkan lehernya. Ia menoleh dan menatap Jungkook yang ikut menatapnya juga, untuk sebentar mereka saling tatap tanpa tahu apa yang ada di otak masing-masing. Sampai bunyi pak terdengar dan Taehyung mengaduh kesakitan. Jungkook mendepak kepalanya.
"Apa?!"
"Jadi digendong ke kasur, tidak? Kalo tidak aku mandi."
Jungkook menarik kasar lengan bajunya dan Taehyung pasrah. Untuk masalah kekuatan dan rajuk-merajuk seperti ini ia mana bisa menang melawan Jeon Jungkook. Akhirnya ia berdiri kemudian berlutut membelakangi Jungkook, yang langsung melingkarkan lengannya di leher sang sahabat.
"Kita berangkat, Tuan Putri."
Goda Taehyung dan Jungkook mengeratkan pegangan di lehernya kesal. Ia terkekeh pelan dan mendengarkan gumaman Jungkook yang terdengar jelas di telinganya. Juga napas hangatnya. Taehyung menendang pintu kamarnya dan berdiri di samping kasur kemudian berlutut dan Jungkook mendarat dengan aman disana.
"Tidur yang lama, jangan menggangguku. Aku mau mengerjakan tugas."
Jungkook diam saja. Taehyung memutuskan untuk pergi dari sana namun terhenti ketika Jungkook memanggilnya. "Hyung."
Taehyung menoleh dan mengangkat satu alisnya bertanya, Jungkook menunjuk dirinya dengan ujung dagu. "Rambutmu panjang."
"Lalu?"
"Potong. Jika kau punya pacar, mereka akan malu berdiri di sampingmu."
Taehyung tertawa keras sekali membuat si pemuda kelinci mengerut alis tak suka. Kemudian ia mendekatkan dirinya kearah Jungkook yang duduk di pinggiran kasur. Tangannya bergerak untuk mengacak helai halus Jungkook dengan kasar. "Kau suka tidak?" tanyanya.
"Apanya?"
"Rambutku. Kau suka tidak?"
Jungkook berpikir sebentar. Kemudian matanya jatuh ke wajah Taehyung, meneliti satu persatu rambutnya yang jatuh berantakan karena bangun tidur. Jujur saja, hal yang paling ia sukai dari Taehyung adalah rambut panjangnya. Ketika ia akan tidur di malam hari, rutinitas wajibnya adalah membayangkan jemarinya yang menari diantara helai rambut sahabatnya, menariknya halus yang akan menghasilkan erangan seksi yang akan membuat—
"Jungkook?"
Jungkook menatap Taehyung dengan gugup, mulutnya tertutup dalam satu garis lurus. Salah satu tangannya merambat dan menggenggam erat ujung bantal kemudian— buk!
"Ya!" Erang Taehyung marah lalu mengusap wajah tampannya yang terkena timpukan bantal dari Jungkook. Ia mendesis pelan, mengambil bantal yang jatuh di kakinya dan melemparkannya balik lebih kencang ketimbang Jungkook.
Dan sebelum Jungkook sadar, bantal itu telah menghantam kepalanya hingga tubuhnya terjatuh ke belakang ke atas kasur. Ia terdiam, membuat Taehyung khawatir dan melongokkan sedikit kepalanya. "Kook?"
"Kim Taehyung— sini kau bajingan!"
Taehyung lari sebelum kelinci berotot itu membantingnya ke lantai.
.
.
.
Jungkook memulai awal semester empatnya dengan malas-malasan. Setelah mengisi kelas Profesor Yoon–dia asisten dosen—, ia pergi untuk mencari Taehyung dan tak menemukannya dimanapun. Pesan tak dibalas, telpon tak diangkat. Selama berjalan dari gedung fakultas hingga gerbang kampusnya, ia terus mengumpati pria gondrong itu. Taehyung sudah berjanji mengantarnya pulang, sekarang ia harus jalan lagi menuju halte.
Jungkook bersumpah jika bertemu dengan Taehyung, ia akan menggunduli pria itu.
Halte nampak lenggang, awan perlahan juga menggelap. Jungkook hampir saja menangis kala rintik hujan mulai turun dan ia harus menunggu paling tidak satu jam lagi hingga bus selanjutnya datang. Ia berdoa pada Tuhan, meskipun ia bukan orang yang suka beribadah, agar ia selamat dari terjangan hujan kali ini. Untuk menambah bebannya lagi, ia hanya memakai kemeja tanpa jaket ataupun mantel. Lengkap sudah penderitaan Jungkook.
Ketika giginya mulai bergemelatuk kedinginan, sebuah bus berhenti dan ia spontan berlari masuk. Jungkook menghempaskan badannya ke kursi paling belakang kemudian menggosok kedua tangannya untuk mengais sedikit kehangatan.
Entah kerasukan setan mana, Jungkook telah berdiri di depan apartemen Taehyung. Ia memencet bel secara brutal, beberapa tetes air jatuh dari ujung kemejanya dan rambutnya basah. Sekali. Pintu terbuka dan Taehyung menatapnya marah, ia masih memegang gagang pintu ketika ia berkata, "Pulang. Aku serius. Pergi dari sini, Jeon."
Jungkook menyatukan kedua alisnya tidak suka. Matanya menatap kedua hazel Taehyung yang mengintimidasi, ia berusaha menahan bahunya yang gemetar karena kedinginan. "What the fuck?" kemudian ia mendorong bahu Taehyung dengan kasar ke dalam apartemennya.
Taehyung hampir saja jatuh jika ia tak berpegangan pada tembok disampingnya. Jungkook menjatuhkan tasnya yang juga basah, kali ini tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Rahang mengetat marah, "Matamu sudah tak berfungsi? Lakukan sesukamu. Aku ingin tidur."
Jungkook pergi dari hadapan si pria Kim, dan saat itulah ia baru menyadari bahwa seluruh tubuh Jungkook basah kebas. Kemudian ia teringat janjinya, dan ia tiba-tiba ingin menghantamkan kepalanya ke tembok. Si Idiot Kim Taehyung.
"Jungkook?"
Alasan sebenarnya ia lupa menjemput Jungkook adalah sepulang dari kampus, ia tergesah-gesah pulang dan merampungkan tugas akhirnya. Jika ia tak segera menyelesaikan tugas akhir yang merupakan bagian dari skripsinya, bisa-bisa ia lulus tahun depan dan ia tak mau. Taehyung membuka pintu kamarnya dan menemukan Jungkook tidur memunggunginya. Pemuda kelinci itu memakai pakaian Taehyung, jadi setelah mandi pasti ia langsung tidur.
"Hei," Taehyung berlutut disamping kasur untuk mensejajarkan wajahnya dengan Jungkook, tangannya terulur mengusap rambut yang menghalangi wajah si pemuda kelinci. "Kau tidur?"
"Kook? Maafkan aku— aku hanya, uh, sedikit stress karena tugas akhirku," Taehyung menghembuskan napas bergetar, merasa bersalah karena sempat mengusir Jungkook tadi. Bahkan tanpa tahu keadaannya. "Maafka—"
"Berisik, Kim."
Jungkook membuka mata, dan mata mereka seketika bertemu untuk saling beradu. Taehyung yang pertama memutuskannya dan itu benar-benar membuat dada Jungkook seperti diremat. Ia tak mengerti perasaan itu, dan ia tak mau memperdulikannya karena ia takut. Sangat takut.
Taehyung duduk disamping Jungkook ketika ia beranjak, dan Taehyung menumpu kedua sikunya diatas paha. Tangannya saling menggenggam erat.
"Aku tahu aku salah, tapi kuharap kau mengerti."
Tidak. Aku tidak mengerti, Taehyung.
"Aku mengerti . Aku juga minta maaf sudah menganggu, padahal sebentar lagi kau sidang."
Jika kau mengangkat telponku, aku tidak akan datang ke apartemenmu, bodoh. Aku takut kau kenapa-kenapa.Itu adalah suara hati Jungkook yang tertelan kembali ke tenggorokan ketika ia hendak mengungkap bagaimana bodohnya ia mengkhawatirkan sahabatnya itu.
Taehyung menoleh, tersenyum lega. Ia mengusak rambut hitam Jungkook yang dihadiahi erangan protes. "Tidurlah, kau boleh pulang kapanpun kau mau."
"Tidak, aku menginap. Ibu dan ayah pergi ke luar kota."
.
.
.
"Jeon Jungkook?"
Jungkook menoleh ketika namanya dipanggil. Disana berdiri kakak tingkat yang beberapa hari lalu berduet bersama dengannya di acara orientasi mahasiswa baru kemarin. Ia membalik badan sepenuhnya dan membungkuk sopan.
"Ya, sunbae?"
Taehyung berdiri di hadapannya sembari mengangkat satu alis. Jungkook tak tahu artinya, maka ia hanya memberikan tatapan bertanya dengan mata bulat yang inosen itu. Taehyung menghela napas berat, tangannya yang sedari tadi bersembunyi dibalik tubuhnya mengayun pelan di depan wajah Jungkook.
"Nametag. Kau meninggalkannya di aula."
Jungkook melebarkan matanya terkejut, dengan gemetar ia mengambil nametag itu dari tangan seniornya. Matanya kembali bertemu dengan Taehyung, dan ia berucap pelan, "M-maaf… aku lupa,"
Taehyung mengendikkan bahu. Namun sedetik kemudian sudut bibirnya terangkat, lalu merangkul bahu Jungkook sok akrab. Mulutnya mendekat di telinga si pemuda kelinci dan ia membisik pelan, "Kau tahu kau akan mendapat hukuman, kan?" Jungkook mengangguk kaku.
"Besok, temui aku jam sebelas siang. Di parkiran dekat Fakultas Elektro. Mengerti?"
Jungkook mengangguk lagi. Kali ini si senior melepas rangkulannya dan mengacak rambut Jungkook, kemudian beralih dari hadapannya dengan senyum kotak yang membuat si pemuda kelinci bersemu hingga ke telinga.
Esok harinya setelah acara orientasinya selesai, Jungkook segera menuju ke tempat dimana Taehyung menyuruhnya menunggu. Ia berdiri kikuk dibawah naungan pohon, berlindung dari teriknya sinar matahari. Di depannya ada puluhan sepeda motor milik mahasiswa, dan ada beberapa mahasiswa juga yang berlalu lalang dan menatapnya— ia malu sekali, memang wajahnya itu kentara sekali ya kalau dia mahasiswa baru?
Tiba-tiba sebuah motor gede berhenti di depannya. Matanya naik untuk melihat si pelaku membuka kaca helmnya dan tersenyum kotak, Kim Taehyung. Jantungnya lagi-lagi berdetak kencang.
"Hai."
"H-halo, sunbae…"
Taehyung menyodorkan sebuah helm hitam kearahnya, kemudian ia menunjuk jok belakangnya dengan dagu. "Naiklah, hoobae."
Jungkook memegang helm dengan kedua tangannya, matanya membulat protes. Taehyung yang melihatnya terkekeh pelan. "Tapi— kita mau kemana?"
"Ikut saja. Kau sedang dihukum, ingat?"
Akhirnya Jungkook mengangguk pasrah dan memasang helmnya. Tangannya tanpa sadar berpegangan di bahu Taehyung saat ia akan naik keatas motor, dan Jungkook langsung menarik tangannya terkejut ketika tersadar.
"Sudah?"
"Sudah."
Dan Jungkook harus menahan umpatan juga tubuhnya agar tidak menubruk tubuh senior didepannya ketika Taehyung mengendarai motor layaknya pebalap Moto GP.
.
.
.
tbc.
jadi, gimana pendapat kalian ttg rambut taehyung? :))))))
